BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jati (Tectona grandis Linn. F) merupakan salah satu jenis penghasil kayu pertukangan yang memiliki nilai ekonomi tinggi untuk berbagai macam keperluan pertukangan dan termasuk kelas kuat dan awet II (Martawijaya et al., 1981). Kekuatan dan keindahan seratnya merupakan faktor yang menjadikan kayu jati sebagai pilihan utama (Sukmadjaja dan Mariska, 2003). Seiring berkembangnya sektor industri khususnya industri kayu, kebutuhan akan kayu jati juga semakin meningkat. Di Indonesia, pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu jati mengandalkan pasokan dari hutan tanaman yang dikelola oleh Perum Perhutani. Dalam perkembangannya, Perum Perhutani tidak mampu memenuhi kebutuhan kayu jati bulat (Marsoem, 2014). Menurut Sumarna (2005) kebutuhan kayu jati mencapai 2,5 juta m 3 per tahun, sedangkan berdasarkan data Statistik Perum Perhutani, produksi kayu pertukangan jati di Perhutani per tahun sekitar 0,39 0,40 juta m 3 per tahun, seperti yang terlihat pada grafik berikut: 0,48 0,46 0,44 0,42 0,40 0,38 0,36 0,46 0,44 0,43 0,40 0,39 2011 2012 2013 2014 2015 2011 2012 2013 2014 2015 Gambar 1.1. Grafik Produksi Jati Perum Perhutani Tahun 2011-2015 1
2 Rendahnya produksi jati dikarenakan kondisi sebaran kelas hutan produktif di sebagian besar kawasan KPH lingkup Perum Perhutani saat ini sudah tidak normal, yaitu didominasi oleh kelas hutan umur muda. Salah satu penyebabnya adalah dampak dari penjarahan yang terjadi sekitar tahun 1997 2000. Banyaknya tebangan yang tidak terencana akibat illegal logging menyebabkan distribusi standing stock yang tidak seimbang yang lebih banyak didominasi kelas umur muda yang berdampak kurang baik terhadap kelestarian hasil (Ichwandi et al., 2009). Luas kelas umur KU I KU IV sebesar 500.605,08 ha (91,8%), sedangkan KU V keatas (termasuk MT dan MR) hanya 44.223,97 ha (8,1 %) (Perum Perhutani, Audit potensi SDH, 2008). Untuk mengantisipasi ketidakseimbangan antara kebutuhan kayu jati dan produktivitas jati, perlu dilakukan tindakan intensifikasi pengelolaan hutan jati untuk meningkatkan produktivitas dan kualitasnya. Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas kayu dapat dilakukan dengan penanaman bibit yang berkualitas unggul. Menurut Perhutani (2014), mulai tahun 2002, bibit ungul jati telah berhasil dikembangkan dengan menyebar 10 juta bibit yang berasal dari Kebun Benih Klon (KBK). Jati asal KBK merupakan materi genetik unggul Perhutani yang diperoleh dari program pemuliaan pohon. KBK dibangun pada tahun 1983, yaitu inisiasi kerjasama Perhutani dengan Universitas Gajah Mada (UGM). Secara bertahap, tanaman KBK jati diselesaikan sampai tahun 1996. Dalam realisasi pekerjaannya, dibangun lebih lanjut KBK jati
3 terseleksi kurun waktu tahun 2003 sampai 2005. KBK terseleksi dibangun dari klon-klon pilihan yang mengacu pada hasil evaluasi tanaman uji keturunan. Tercatat terdapat 25 klon yang dinyatakan unggul dari hasil tanaman uji keturunan sebelumnya (Corryanti dan Triswahyudi, 2014). Keunggulan Jati KBK dibandingkan jati konvensional terletak pada ukuran batang pohon yaitu diameter setinggi dada yang lebih besar dan tinggi bebas cabangnya yang lebih tinggi (Sumarni dan Muslich 2008). Selain itu memiliki ratarata riap awal yang lebih tinggi dibanding jati konvensional sehingga diharapkan dapat mengimbangi kemungkinan penurunan produksi (Perhutani, 2011). Sampai dengan tahun 2014, penanaman jati asal KBK ini telah berhasil dilaksanakan di sebagian wilayah Perhutani kurang lebih seluas 200.000 Ha, salah satunya di KPH Ngawi. KPH Ngawi merupakan salah satu KPH terbesar di Jawa Timur. Berdasarkan data Kelola Produksi KPH Ngawi total kawasan adalah 45.909,70 Ha dengan pembagian yang terdiri atas hutan produksi 42.890,30 Ha dan hutan lindung seluas 19,40 Ha (Perhutani, 2014). Sebagai salah satu KPH terbesar, KPH Ngawi memiliki peran penting dalam penghasil kayu jati di Jawa Timur. KPH Ngawi terletak pada jalur ekonomi yang strategis dengan intensitas perhubungan yang tinggi dan lancar karena dilintasi oleh jalan raya dan jalan kereta api yang menghubungkan kota Madiun dan Surakarta. Kedua kota tersebut merupakan penyerap hasil hutan KPH Ngawi yang cukup besar. Hasil hutan tersebut berupa kayu pertukangan, kayu bakar maupun hasil hutan lainnya. Kapasitas daerah setempat untuk menyerap hasil kayu pertukangan juga cukup
4 besar, karena di sepanjang jalur jalan raya Ngawi Banjarejo banyak terdapat perusahaan perusahaan laadbak. Berdasarkan kondisi tersebut, upaya pengembangan jati asal KBK ini menjadi sangat penting untuk memenuhi peran KPH Ngawi dalam menyuplai kebutuhan kayu jati dan diharapkan mampu mengatasi permasalahan penurunan produktivitas akan kayu jati. 1.2. Rumusan Masalah Dalam rangka mewujudkan kesinambungan produksi kayu jati, perlu adanya pengelolaan secara non-konvensional melalui penerapan silvikultur intensif (SILIN). Menurut Soekotjo (1999), tindakan silvikultur pada dasarnya merupakan aktivitas regenerasi dan pemeliharaan hutan dan tegakannya. Salah satu bentuk tindakan silvikutur yang sering dilakukan pada tegakan jati adalah penjarangan. Untuk dapat merencanakan penjarangan yang tepat dibutuhkan informasi tentang karakteristik pertumbuhan dan hasil tegakan. Selain penjarangan, informasi pertumbuhan digunakan untuk menentukan arah dan rencana pengelolaan hutan (Simon, 2007). Ketersediaan informasi pertumbuhan tersebut dapat didukung melalui penyediaan perangkat pendugaan produksi tegakan menggunakann model-model matematis. Informasi pertumbuhan jati pada kondisi normal umumnya mengacu pada tabel Wolff van Wulffing (WvW). Namun dengan adanya upaya perbaikan produktivitas jati menggunakan bibit unggul, performa pertumbuhan yang jati hasil pemuliaan pohon khususnya jati asal KBK yang dipublikasikan dibeberapa
5 penelitian, terdapat perbedaan pertumbuhan tanaman Jati KBK dengan tabel WvW. Dari hasil pengukuran pertumbuhan tanaman Jati KBK yang berasal dari benih pohon plus di berbagai tempat diketahui pertumbuhannya secara umum lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan rata-rata jati menurut tabel WvW (Siswamartana 2004 dalam Iskak 2005). Hasil evaluasi yang dilakukan di plot KPH Pemalang menunjukkan bahwa tanaman umur 5 tahun memiliki rata-rata tinggi 17,8 m dan diameter 18 cm yang melebihi pertumbuhan tegakan menurut tabel Wolff von Wulfing (WvW) pada Bonita 6 (Siswamartana dan Wibowo 2009). KPH Kendal telah membuat Petak Ukur Permanen (PUP) untuk mengamati pertumbuhan riap jati (diameter, tinggi dan volume) yang dilaksanakan setiap tahun. Adapun hasil pengukuran awal PUP tanaman jati tahun 2011 menunjukkan bahwa riap tanaman jati untuk semua kelas umur dan bonita berada di atas Tabel WvW (Perhutani 2011). Perbedaan pertumbuhan Jati KBK dengan jati konvensional menuntut adanya informasi pertumbuhan jati secara lengkap dan tervalidasi dalam bentuk tabel tegakan yang sesuai sebagai acuan rencana pengelolaan. KPH Ngawi merupakan KPH yang mengembangkan jati asal KBK dengan tujuan dapat memproduksi kayu jati secara optimal untuk memenuhi kebutuhan pasar. Oleh karena itu diperlukan penelitian, pengamatan dan analisis tentang pertumbuhan Jati asal KBK di KPH Ngawi agar tujuan pengelolaan dapat tercapai. Usaha peningkatan produktivitas jati dengan menggunakan bibit unggul yang memiliki riap yang lebih tinggi memunculkan tren pengelolaan jati daur pendek. Di Indonesia terutama di Perhutai pengelolaan ke arah daur pendek sudah
6 mulai diterapkan, bahkan pada beberapa Bagian Hutan di KPH Ceou sudah disusun rencana pengelolaan daur 20 tahun dari semula 50 tahun ke atas (Perhutani, 2013). Namun dasar dalam penetuan daur tersebut belum memiliki landasan yang jelas, untuk itu diperlukan perhitungan daur optimum tanaman jati asal pemuliaan pohon dalam hal ini Jati KBK. Berdasarkan latar tersebut maka muncul pertanyaan yang menjadi rumusan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Model pendugaan pertumbuhan apakah yang baik diterapkan pada jati asal KBK di KPH Ngawi? 2. Tabel tegakan seperti apakah yang sesuai dengan Jati asal KBK di lingkup KPH Ngawi? 3. Berapa daur optimum Jati Plus Perhutani asal KBK? 1.3. Keaslian Penelitian Pengukuran, pengamatan dan analisis terhadap pertumbuhan dan potensi Jati pada dasarnya pernah dilakukan pada penelitian sebelumnya yaitu oleh Rahmadwiati (2015) dan Herningtyas (2016). Namun penelitian masih mencakup wilayah yang cukup luas, dan belum dilakukan penelitian untuk lokasi dengan kriteria yang lebih spesifik. Dalam permodelan yang dilakukan pada penelitian sebelumnya terdapat beberapa parameter pertumbuhan yang tidak dapat diprediksi. Hal ini disebabkan peneltian sebelumnya mencakup 1 SPH, dimana tiap KPH memiliki kondisi yang berbeda-beda, sehingga variasi data tinggi. Selain itu pada penelitian sebelumnya belum dilakukan validasi terhadap model yang di peroleh.
7 Oleh karena itu penelitian ini bermaksud untuk menyempurnakan penelitian sebelumnya dengan menambah time series data, data lebih spesifik untuk satu KPH dan khusus pada Jati yang berasal dari Kebun Benih Klon (KBK), serta melakukan validasi terhadap model pertumbuhan yang diperoleh. Selain itu penetian ini bertujuan untuk memproyeksikan tabel pertumbuhan yang sesuai untuk Jati serta menentukan daur yang optimum untuk jati berdasarkan riap rata-rata tahunan ( Mean Annual Increment) dan riap rata-rata berjalan ( Current Annual Increment). 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Menyusun model pendugaan pertumbuhan yang sesuai untuk dapat diterapkan pada Jati asal KBK di KPH Ngawi 2. Menyusun tabel tegakan Jati asal KBK dalam lingkup KPH Ngawi 3. Menghitung daur optimum Jati asal KBK di KPH Ngawi 1.5. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada Perum Perhutani dalam pengelolaan hutan jati antara lain sebagai berikut: 1. Indentifikasi model pertumbuhan Jati asal KBK diharapkan dapat diaplikasikan di lingkup KPH Ngawi dalam perencanaan produksi untuk memudahkan rencana pengelolaan.
8 2. Tabel tegakan diharapkan mampu menjadi acuan dalam manajemen tegakan terutama penjarangan 3. Daur optimum diharapkan mampu digunakan untuk menyusun arah pengelolaan dan pengaturan produksi tegakan jati di kemudian hari.