Kajian Kritis Kedudukan Ketetapan MPR dan Gagasan Arah Materi Muatannya Di Masa Mendatang 1 Ali Rido 2

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana dituangkan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang

PROBLEMATIKA KETETAPAN MPR PASCA REFORMASI DAN SETELAH TERBITNYA UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 2011

KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA Oleh: Muchamad Ali Safa at

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan

Pokok Bahasan. Sistem Norma Hukum Hierarki Peraturan dalam Sistem Norma Hukum di Indonesia

EKSISTENSI KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

GAYA PERUMUSAN KALIMAT PERINTAH PEMBENTUKAN PERATURAN YANG MENJALANKAN DELEGASI DARI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA

R. Herlambang P. Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2014

BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA. A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan

Problematic MPR Decree Post Reform and After The Issuance of Law No. 12 of 2011

BAB III KEDUDUKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU- XII/2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Norma Hukum dan Hierarki Norma Hukum dalam Masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat ada banyak macam-macam norma baik

Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Rudy, dan Reisa Malida

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

SIARAN PERS. Penjelasan MK Terkait Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4

Reformasi Kelembagaan MPR Pasca Amandemen UUD 1945

PENUTUP. partai politik, sedangkan Dewan Perwakilan Daerah dipandang sebagai

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. kesimpulan dari permasalah yang penulis teliti, yaitu:

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Norma hukum yang berlaku di Indonesia berada dalam sistem berlapis dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

Riki Yuniagara: Jenis dan Hirarki Peraturan...


MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DINAMIKA KEDUDUKAN TAP MPR DI DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

BAB SATU PENDAHULUAN

PERKEMBANGAN PENGATURAN SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Oleh: RETNO SARASWATI 1

Reposisi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Implikasinya terhadap Kedudukan TAP MPR/S Pasca Amandemen UUD 1945.

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 57/PUU-XV/2017

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. dikelola salah satunya dengan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi

BAB I PENDAHULUAN. Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

SENTRALISASI DALAM UU NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

BAB I PENDAHULUAN. yang ditetapkan oleh lembaga legislatif.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

MEMAHAMI UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. OLEH : SRI HARININGSIH, SH.,MH

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 121/PUU-XII/2014

Sinkronisasi horizontal..., Irfan Huzairin, FH UI, 2010.

PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Sebelum Amandemen Undang-Undang Dasar 1954, MPR merupakan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 72/PUU-X/2012 Tentang Keberadaan Fraksi Dalam MPR, DPR, DPD dan DPRD

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Adanya korupsi di berbagai bidang menjadikan cita-cita demokrasi

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 54/PUU-X/2012 Tentang Parliamentary Threshold dan Electoral Threshold

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Fungsi, Tugas, dan Wewenang DPD, Hak dan Kewajiban Anggotanya Serta Kelemahan dari DPD Dalam UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sebagaimana penegasannya dalam penjelasan umum Undang-Undang

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama

UNDANG-UNDANG TERSENDIRI MENGENAI MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT: PERLUKAH? 1

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Kedaulatan rakyat menjadi landasan berkembangnya demokrasi dan negara republik.

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kewenangan pembatalan peraturan daerah

Implementasi Kewenangan Kepala Daerah Dalam Pembuatan Perda Dan Peraturan Lainnya. Yusdiyanto Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unila

BAB III KEDUDUKAN HUKUM DAN PENGAWASAN PERATURAN DESA DI INDONESIA. A. Kedudukan Hukum Peraturan Desa Setelah Diberlakukannya Undang-

BAB I PENDAHULUAN (UUD NRI Tahun 1945) terutama pada Pasal 18 ayat (4) yang menyatakan,

BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving) dalam beberapa

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

peraturan (norma) dan kondisi pelaksanaannya, termasuk peraturan pelaksanaan dan limitasi pembentukannya. 2. Peninjauan, yaitu kegiatan pemeriksaan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan 1. Ada peluang yuridis perubahan non-formal konstitusi dalam hal bentuk negara

RechtsVinding Online

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang

KEDUDUKAN TAP MPR DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HIERARKI PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA. Oleh : Irwandi,SH.MH. 1. Abstrak

Kewenangan Pembentukan Peraturan Menteri Sebagai Jenis Peraturan Perandung-undangan

Kedudukan TAP MPR Dalam Sistem Perundang-Undangan Indonesia 1

Oleh : Widiarso NIM: S BAB I PENDAHULUAN

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 130/PUU-XII/2014 Pengisian Kekosongan Jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2010 NOMOR 16

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pada deskripsi dan analisis yang telah dilakukan diperoleh

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang

DELEGASI REGULASI DAN SIMPLIFIKASI REGULASI DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN KEPALA DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARAN RAKYAT,

KONSTITUSIONALITAS PENGALIHAN KEWENANGAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN MENENGAH DARI KABUPATEN/KOTA KE PROVINSI 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

DAFTAR PUSTAKA. Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,

POKOK-POKOK PIKIRAN YANG MENDASARI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN *

Transkripsi:

Kajian Kritis Kedudukan Ketetapan MPR dan Gagasan Arah Materi Muatannya Di Masa Mendatang 1 Ali Rido 2 A. Pendahuluan Salah satu hasil perubahan Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) adalah reformasi struktur ketatanegaaran di negara Indonesia yang menjadikan setaranya lembaga negara yang ada di dalam konstitusi, seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Maejleis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Khusus untuk MPR yang tidak lagi diposisikan sebagai lembaga tertinggi negara, telah berdampak pada aktivitas kelembagaannya dalam mengeluarkan produk hukum. Mengingat MPR tidak lagi diposisikan sebagai Lembaga Tertinggi Negara dan berubah menjadi Lembaga Tinggi Negara, dan juga tidak memiliki wewenang untuk membuat ketetapan (Tap) sebagai sumber hukum, maka timbul permasalahan dimana letak TAP MPR yang nyata-nyata masih berlaku di dalam susunan hirarki peraturan perundang-undangan Indonesia?. Sebagai respon atas hal tersebut, pada tahun 2003 MPR kemudian mengeluarkan TAP MPR RI Nomor 1/MPR/ 2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPR Sementara dan Ketetapan MPR Republik Indonesia tahun 1960 sampai dengan tahun 2002. 3 Salah satu kategori dari tinjauan tersebut, adalah masih terdapat TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang, yang mana di dalamnya memasukan Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber 1 Tulisan ini dipersiapkan untuk buku kompilasi (bunga rampai) Konstitusi dan Tata Negara Indonesia yang akan diterbitkan oleh Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. 2 Peneliti pada Pusat Studi Hukum Konstitusi Universitas Islam Indonesia (PSHK UII) dan mahasiswa Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. 3 Munculnya TAP MPR No. 1 tahun 2003 ini merupakan pelaksanaan dari amanat Pasal 1 Aturan Tambahan UUD 1945 yang berbunyi: Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara/Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003. Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. 1

Hukum Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan sebagai ketetapan yang masuk dalam kategori tersebut. Di dalam Tap MPR No. III/MPR/2000, kedudukan Tap MPR di bawah Undang-Undang Dasar (UUD) dan di atas undang-undang. Pada tahun 2004 terbentuklah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, namun menghilangkan Tap MPR dari hierarki Peraturan Perundang-undangan. Selama hampir 6 (enam) tahun keberadaan Tap MPR tidak diakui dalam hierarki peraturan perundang-undangan, oleh karena itu banyak pihak yang memandang keberadaan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 perlu diganti karena dianggap tidak sempurna dengan tidak memasukan Tap MPR ke dalam hierarki peraturan perundangundangan. 4 Atas mosi ketidaksmepurnaan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 itulah, kemudian lahir Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Poin penting adanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah penempatan Tap MPR sebagai bagian dari hierarki peraturan perundang-undangan. 4 Di dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentag Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (kini Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011) meneyebutkan, bahwa semangat dibentuknya UU No. 11 tahun 2012 dikarenakan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang telah disahkan pada kenyataannya jauh dari sempurna dan kiranya perlu dilakukan perbaikan sehingga nantinya materi-muatan undang-undang tersebut dapat meminimalisir kekurangan-kekurangan di berbagai pasal-pasalnya. Sehingga perlu pengkajian yang mendalam agar ditemukan konsepsi yang lebih baik terkait dengan pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut. Salah itu, yang dinilai menjadi problem dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 adalah ketentuan Pasal 7 ayat (1) yang tidak memasukan TAP MPR ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan, sehingga telah membawa perubahan yang sangat krusial dan sangat berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam TAP MPR Nomor III/MPR/2000. berbagai kelemahan dalam materi muatan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 adalah muncul pula persoalan harmonisasi Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD yang substansinya membawa konsekuensi perubahan atau penyesuaian terhadap materi muatan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini sesuai dengan prinsip perundangundangan yaitu lex posteriori derogate legi priori, dimana prinsip ini mensyaratkan bahwa undang-undang yang baru mengenyampingkan undang-undang yang lama yang artinya bahwa Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 harus menyesuaikan dan menselaraskan materi muatannya agar tidak tumpang tindih atau bertentangan dengan undang-undang lainnya. Karena pada dasarnya politik hukum pembaharuan peraturan perundang-undangan kita diarahkan menuju unifikasi hukum yang harmonis. Lihat Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Jakarta: Badan Legislasi DPR RI, 2010, hlm. 38 dan 46. 2

Re-eksistensi Tap MPR menjadi bagian integral hierarki peraturan perundang-undangan, setidaknya telah memicu dua pertanyaan. 5 pertanyaan pertama, apakah secara teoritis penempatan tersebut tidak bertentangan dengan teori hierarki perundang-undangan yang ada saat ini?. Kedua, materi muatan apakah yang seharusnya menjadi substansi di dalam Tap MPR tersebut?. Pertanyaan kedua ini layak diajukan mengingat dengan eksisnya nomenklatur baru berupa Tap MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan telah membuka konsekuensi hukum sebagai berikut: 1). Lembaga MPR memiliki legitimasi kuat untuk dapat membuat produk hukum berupa Tap MPR, namun agar muatan materinya tidak mengkooptasi materi peraturan perundang-undangan lain maka perlu dimunculkan arahan-arahan muatan materinya; 2). Secara yuridis normatif, Tap MPR kembali memperoleh pembenaran yang memiliki daya ikat, legalitas pemberlakuan, dan memiliki konskeuensi hukum bagi yang melanggar. B. Anantomi Akademik Tap MPR dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang dilakukan dengan 4 tahap yaitu tahun 1999, 2000, 2001, 2002, telah membawa Indonesia ke beberapa perubahan besar. Salah satu perubahan mendasar yang memiliki pengaruh terhadap struktur ketatanegaraan Indonesia adalah pergeseran kedudukan, tugas dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pergeseran kedudukan MPR tersebut secara langsung berpengaruh terhadap produk hukum yang selama ini dikenal dengan Ketetapan MPR (Tap MPR). Sungguhpun telah terjadi perubahan secara radikal terhadap UUD 1945, bukan berarti MPR sebagai lembaga negara fungsi dan wewenangnya dinihilkan secara total. Bahkan lambat laun, keberadaan MPR berusaha diorbitkan kembali agar lebih kuat posisinya. Salah satu 5 Sesungguhnya bukan kali ini saja persoalan hierarki peraturan perundang-undangan menimbulkan perdebatan. Kritik selalu muncul seperti kritik terhadap Tap MPR No. III /MPR/2000 adalah bahwa menempatkan Perpu di bawah Undang-Undang adalah kerancuan. Bukankan Perpu dikeluarkan tatkala kebutuhan akan undang-undang sangat mendesak tetapi waktu dan proses tidak memungkinkan. Maka sesungguhnya posisi perpu adalah sederajat dengan undang-undang. Lihat selengkapnya dalam Ni matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, Yogyakarta: UII Press, 2005, hlm. 66. 3

bukti akan hal itu adalah dengan dimasukannya Tap MPR sebagai bagian tak terpisahkan dari hierarki peraturan perundang-undangan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Pengorbitan Tap MPR sebagaimana telah disinggung di atas, kemudian memunculkan persoalan teoritis. Beberapa begawan hukum memandang, bahwa pemosisian Tap MPR ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan merupakan ketidaktepatan sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia. Maria Farida Indrati 6 mengemukakan bahwa dalam sistem hukum negara Republik Indonesia, norma-norma hukum yang berlaku berada dalam suatu sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang sekaligus berkelompok-kelompok, dimana suatu norma itu selalu berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma dasar negara (staatsfundamentalnorm) Republik Indonesia, yaitu Pancasila. Ketentuan tersebut, menurut Maria jika dikorelasikan dengan keberadaan Tap MPR yang duduk pada sistem hierarki tidaklah tepat karena Tap MPR kedudukannya sebagai aturan dasar. 7 Disamping itu, secara teori MPR juga memiliki kualitas (tugas) utama sebagai konstituante (menetapkan UUD) untuk kemudian MPR mengikatkan diri pada UUD yang ia bentuk tersebut, sehingga produknya disetarakan dengan aturan dasar negara. Adanya pilihan memasukan Tap MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan (wetgeving) yang di bawah UUD, maka telah mengartikecilkan aturan dasar 6Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta: Kanisius, 1998, hlm. 39, dalam Ni matul Huda dan R. Nazriyah, Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-undangan, Bandung: Nusamedia, 2011, hlm. 53. 7 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan Op. Cit, hlm. 39, dalam Ni matul Huda dan R. Nazriyah, Teori... Op.Cit., hlm. 54. Lihat juga Sahlan Adiputra, Kecelakaan Sistem Peraturan Perundang-undangan Di Indonesia: TAP MPR Sebagai Salah Satu Peraturan Perundang-undangan dalam UU Nomor 12 tahun 2012, Jurnal Konstitusi, Volume 1, Nomor 1, November 2012, hlm. 65. 4

negara/aturan pokok negara yang dimiliki oleh Indonesia. 8 Alasannya dikarenakan secara substansi Tap MPR selevel dengan UUD, sehingga Tap MPR juga merupakan sumber dan dasar pembentukan peraturan perundang-undangan yang seharusnya diposisikan selevel dengan UUD. 9 Bagir Manan juga berpendapat, dengan adanya perubahan susunan lembaga negara pasca perubahan UUD 1945, dimana MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara dan perubahan badan perwakilan menjadi sistem dua kamar yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), maka menurut Bagir Manan ketetapan MPR dengan sendirinya terhapus. 10 Keterhapusan tersebut, dapat diartikan bahwa ke depan sudah tidak akan ada lagi produk hukum yang dikeluarkan oleh MPR sehingga akan sia-sia dengan penempatan tersebut. 11 Moh. Mahfud MD secara tegas mengatakan bahwa TAP MPR oleh karenanya tidak lagi dapat dikatakan sebagai peraturan perundangundangan. Moh. Mahfud mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD menggariskan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Hal ini berarti bahwa peraturan perundang-undangan yang langsung di bawah UUD adalah UU. Jika ada TAP MPR di bawah UUD, maka ketentuan pengujiannya akan berbunyi MK menguji TAP MPR terhadap UUD dan/atau menguji UU terhadap TAP MPR. 12 Terlepas dari kontra argumentasi di atas, memang secara de jure MPR tidak lagi diposisikan sebagai lembaga tertinggi negara dan tidak lagi menjalankan kedaulatan rakyat secar alangsung, namun secara 8 Delfina Gusman dan Andi Nova, Kedudukan Ketetapan MPR Berdasarkan UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Jurnal Dinamika Hukum, FH Andalas, Vol. 12 No. 3 Septemebr 2012, hlm. 446. 9 Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan 1 (Dikembangkan dari Perkuliahan A. Hamid S. Attamimi), Yogyakarta: Kanisius, 2007, hlm. 13. 10 R. Nazriyah, Status Hukum Ketetapan MPR/S setelah Perubahan UUD 1945, Jurnal Hukum, Hukum Tata Negara, No. 28 Vol 12 Tahun 2005, hlm. 38. 11 Rachmani Puspitadewi, Kedudukan dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Setelah Perubahan UUD RI Tahun 1945, Jurnal Hukum Pro Justitia, Vol. 25 No. 04, Oktober 2007, hlm. 1. 12 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hlm. 41. 5

esensi kedudukan MPR sebagai lembaga negara yang menjalankan kedaulatan rakyat sesungguhnya tetap ada hanya mengalami perbedaan makna. Perbedaannya adalah ketika sebelum amandemen kedaulatan rakyat dijalankan penuh oleh MPR, namun pasca perubahan lembaga negara lain juga diberi bagian untuk menjalankan kedaulatan rakyat alias tidak sepenuhnya di tangan MPR. Kerangka berpikir untuk melihat potret tersebut, dapat disandarkan pada structure of government yang digunakan Rosco J. Tresolini dan Martin Shapiro sebagai berikut:...bahwa kedaulatan rakyat dilaksanakan yang merupakan kedaulatan politik yang dimiliki rakyat dilaksanakan oleh MPR. Lembaga pelaksana kedaulatan rakyat ini memiliki otoritas untuk menetapkan UUD 1945 yang menimbulkan kedaulatan hukum, yang pada dataran lebih jauh diaktualisasikan oleh Presiden bersama DPR di bidang legislasi. Kedaulatan hukum ini menjadi dasar bagi MPR dan lembaga Negara lainnya untuk menyelenggarakan fungsi dan kekuasaan Negara sebagai pemegang kedaulatan ; 13 Benang merah paparan di atas, adalah bahwa letak kedaulatan rakyat yang kini dimiliki oleh MPR adalah masih melekatnya kewenangan menetapkan UUD. Sebagaimana ditegaskan di dalam UUD 1945 hasil amandemen, kewenangan MPR antara lain: Pasal 3 UUD 1945 (1) Majelis Permuyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar. (2) Majelis Permuyawaratan Rakyat Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden. (3) Majelis Permuyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar. Pasal 8 UUD 1945 (2) Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden. (3) Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti dan diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Peratahanan secara bersama-sama. Selambat- 13 Sumali, Reduksi Kekuasaan Eksekutif, Malang: UMM Pres, 2003, hlm. 50. Lihat juga Sri Soemantri, UUD dan Ketetapan MPR sebagai Produk MPR, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1987, hlm. 17. 6

lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Majleis Permusyawaratan Rakyatmenyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh Partai Politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya. Berdasarkan beberapa pasal di atas, maka funsgi dan wewenang MPR menurut UUD 1945 hasil amandemen adalah : 1. Menetapkan dan mengubah Undang-Undang Dasar; 2. Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden; 3. Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar; 4. Memilih Wakil Presiden dalam hal teradi kekosongan jabatan Wakil Presiden; 5. Memilih Presien dan Wakil Presiden dalam hal keduanya mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan. Membaca kewenagan MPR tersebut, secara de facto jika dilihat dalam kerangka yang lebih luas sebenarnya MPR tetap saja menjadi lembaga tertinggi. Tesis itu muncul karena kewenangan MPR yang sangat besar dalam menentukan sistem hukum apa yang akan berlaku di Indonesia sesuai yang terdapat dalam UUD, yaitu dengan dimilikinya wewenang eksklusif berupa: 1. Kewenangan MPR untuk menetapkan dan mengubah UUD adalah kewenangan yang sangat tinggi dalam struktur kelembagaan negara. UUD terdiri dari Pembukaan dan Batang Tubuh, memberi wewenang kepada MPR untuk menetapkan dan mengubah UUD adalah sama saja memberikan kewenangan untuk menetapkan aturan-aturan yang bersifat mendasar di Negara Republik Indonesia; 2. Kewenangan memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden - walauapun dengan beberapa syarat-, dapat ditafsirkan bahwa kedaulatan rakyat dijalankan langsung oleh MPR. Apabila pada proses normal pemilihan Presidn dan Wakilnya harus dipilih langsung oleh rakyat yang menandakan bahwa 7

kedaulatan rakyat diwadahi dengan baik dalam sistem demokrasi, 14 namun adanya kewenangan MPR pada saat tertentu untuk memilih Presiden dan/atau Wakilnya membawa dimensi pemahaman bahwa pada saat menjalankan kewenangan tersebut ia sedang menjalankan keadauluatan rakyat tersebut. Pada titik itulah, sesungguhnya MPR masih memiliki legitimasi sebagai lembaga pengemban kedaulatan rakyat, bahkan kewenangan ini jug atidak dimiliki oleh lembaga negara lain di Indonesia. Penempatan Tap MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang berada pada tingkat kedua setelah UUD Negara RI Tahun 1945, dapat dibenarkan apabila kita mengacu pada teori Stufentbauheori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, dengan alasan, ketentuan tersebut dimaksudkan untuk mengurutkan tingkatan norma hukum perundang-undangan, dimana norma yang di bawah tidak boleh bertentangan dengan norma yang di atas. Dalam teori Kelsen terkandung makna: a). peraturan yang lebih rendah harus mempunyai sumber atau dasar pada peraturan yang lebih tinggi; a). peraturan perundang-undangan merupakan sebuah tertib hukum (legal order); dan c). peraturan perundang-undangan untuk menjamin tata urutan itu dalam suatu sistem yang tertib. 15 Artinya kebradaan Tap MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan merupakan langkah untuk memberikan ketertiban hukum (legal order) mengingat sejauh ini masih terdapat Tap MPR yang relevan diberlakukan dan dijadikan payung hukum. Mahkamah Konstitusi juga menilai adanya ketetapan MPR dan kedudukannya dalam hierarki peraturan perundang-undangan dimaksudkan sebagai langkah sistematisasi peraturan dan guna menghindari terjadinya kekosongan hukum, megingat sejauh ini masih terdapat TAP MPR yang penting untuk dipertahankan sebagai dasar yuridis peneyelnggaraan Negara. 14 Pasal 6A ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tegas menyebutkan bahwa: Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. 15 Bagir Manan, Arogansi MPR, Republika, 2000. 8

ada ketetapan-ketetapan MPR, misalnya mengenai reformasi agraria, mengenai dasar hukum atau perintah yang memerintahkan pemberantasan korupsi dan sebagainya itu masih tetap berlaku. Kalau ini kemudian tidak dimasukkan dalam struktur peraturan perundangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b tadi, maka malah menimbulkan kekosongan hukum 16 Argumentasi tersebut setidaknya dapat menjadi gambaran bahwa sesungguhnya semangat yang dibawa UU P3 adalah memberikan tempat kepada Tap MPR agar memiliki legitimasi normatif seperti halnya peraturan lain yang lebih dulu masuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Konsepsi Mahkamah tersebut, juga selaras dengan argumentasi Ali Safa at yang memandang bahwa masuknya Ketetapan MPR dalam jenis dan hierarki peraturan perundangundangan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 hanya merupakan penegasan semata, tidak ada konsekuensi hukum yang lebih kuat lagi. 17 Konstruksi di dalam Pasal 7 ayat (1) UU P3 sesungguhnya tidak bisa dianggap seutuhnya salah, karena di dalam pasal tersebut mengandung dua frasa yang memiliki makna berbeda. Frasa pertama adalah berkenaan dengan jenis peraturan perundang-undangan. Pada konteks ini, dapat dibaca bahwa di dalam pasal tersebut mengelompokan jenis-jenis yang menjadi rumpun peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Frasa kedua adalah berkenaan dengan hierarki peraturan perundang-undangan. Pada ranah ini, dapat dibaca bahwa di dalam pasal tersebut disebutkan juga susunan dan tingkatan keberlakuan sebuah peraturan perundangundangan di Indonesia. Mendasarkan pada pemahaman kedua frasa dalam Pasal 7 ayat (1) UU P3, maka frasa kedua pasal tersebut memiliki kebenaran memposisikan Tap MPR di atasa undang-undang, sementara frasa 16 Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 86/PUU-XI/20, Acara Pemeriksaan Pendahuluan Perihal Pengujian Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI, 2013, hlm. 11. 17 Muchamad Ali Safa at, Kedudukan Ketetapan MPR dalam Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Artikel dalam Safaat.lecture.ub.ac.id/.../KEDUDUKAN- KETETAPAN, hlm. 6. 9

pertama yang memasukan Tap MPR ke dalam jenis peraturan perundang-undangan tidak benar. Hal ini sebagaimana dijelaskan Attamimi, bahwa menggolongkan Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan MPR ke dalam jenis peraturan perundang-undangan adalah tidak benar, tetapi menempatkan keduanya di atas Undang-Undang adalah benar. Karena UUD adalah sumber hukum tertinggi yang di dalam UUD terdapat dua norma hukum yaitu norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm) dan aturan dasar/aturan pokok negara yang tertulis dalam batang tubuh konstitusi (staatsgrundgesetz). Attamimi juga menggunakan pendapat dari Hans Nawiasky yang juga dikutip oleh Maria Farida Indarti Soeprapto yang mengatakan bahwa norma-norma hukum dalam suatu negara itu berjenjang dan dikelompokkan ke dalam empat tingkatan yang terdiri atas : 18 Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV : Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara) : Staatsgrungesetz (Aturan dasar/pokok Negara) : Formell Gesetz (Undang-Undang Formal) : Verordnung dan Autonome Satzung (Aturan Pelaksana dan aturan otonom) Dalam hal Ketetapan MPR, Attamimi mengatakan bahwa kedudukannya adalah sebagai norma hukum yang hakekatnya sama dengan namun setingkat lebih rendah dari norma hukum UUD. Sehingga ketetapan MPR merupakan aturan dasar/aturan pokok negara (staatsgrundgesetz) dan tidak bisa disamakan dengan undangundang sebagai aturan formal. 19 Melihat bahwa Tap MPR posisinya di atas undang-undang dan muatan materinya berisi hal-hal pokok negara, maka ke depan perlu dicarikan gagasan materi apa saja yang sekiranya layak masuk di dalamnya. Arahan (guidance) muatan materi menjadi penting dilakukan agar tidak menimbulkan tumpang tindih muatan materi 18Maria Farida Indarti Seoeprapto, Ilmu Perundang-Undangan...Op. Cit, hlm. 25. 19 Ni matul Huda, Negara Hukum...Op. Cit, hlm. 67. Lihat juga Eko Riyadi, Reposisi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Implikasinya terhadap Kedudukan TAP MPR/S Pasca Amandemen UUD 1945, Paper pada acara diskusi Tinjuan terhadap Ketetapan MPRS/MPR yang diselenggarakan oleh MPR RI dan Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia di Hotel Jogja Plaza, Yogyakarta pada Rabu, 25 Februari 2015. 10

antar satu peraturan dengan peraturan lainnya. Alasan lainnya, adalah agar muatan materi Tap MPR memang betul-betul menjadi cermin acuan bagi aturan di bawahnya sehingga legal order yang dicitakan dapat terwujud. C. Gagasan Arah Materi Muatan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Di Masa Mendatang Sebelum membahas arah materi muatan ideala dalam sebuah Tap MPR, nampaknya perlu sedikit diuraikan apakah MPR masih memiliki kewenangan untuk membentuk Tap?. Memang jika melihat teks UUD Negara RI 1945, nyaris tidak akan menemukan satu pasal pun yang secara tegas memberikan wewenang kepada MPR untuk membuat Ketetapan MPR. Namun secara eksplisit, kewenangan MPR membuat ketetapan itu dapat ditemukan dalam UUD Negara RI Tahun 1945 itu sendiri, yaitu Pasal 2 ayat (3), Pasal 3 ayat (1), dan Pasal 3 ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945. Dasar kewenangan MPR dalam membentuk produk hukum, dapat juga dilihat dalam pendapat Ridwan, 20 bahwa secara teoretik negara adalah organisasi jabatan (de staat is ambtenorganisatie). Jabatan adalah lingkungan pekerjaan tetap (kring van vastewerkzaamheden) yang dilekati tugas dan kewenangan. Tugas dan kewenangan yang melekat pada jabatan itu dilaksanakan oleh fungsionaris. MPR merupakan salah satu jabatan kenegaraan, yang dilekati wewenang berdasarkan UUD. Kewenangan tersebut dilaksanakan dalam bentuk tindakan-tindakan oleh pimpinan dan para anggota MPR selaku fungsionaris jabatan MPR. Ketika tindakan-tindakan itu dituangkan dalam bentuk tertulis, bentuknya dapat berupa peraturan, keputusan, ataupun ketetapan MPR, yang semuanya harus ditetapkan dengan suara terbanyak. Materi muatan dalam setiap peraturan perundang-undnagan merupakan bagian inti yang harus ada dalam peraturan perundangundangan. Tidak terkecuali bagi Tap MPR bilamana ke depan akan dikeluarkan Tap baru oleh MPR. Sejalan dengan hal itu, maka arah 20 Ridwan, Eksistensi dan Problematika Ketetapan MPR dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan di Indonesia", Makalah disampaikan pada Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Tinjauan terhadap Ketetapan MPRS/MPR Menurut Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 yang diselenggarakan Badan Pengkajian MPR RI, Rabu, 25 Februari 2015, di Hotel Santika Yogyakarta, hlm. 5. 11

materi muatan di dalam Tap MPR penting untuk diidentifikasi. Salah satu alasannya adalah karena di dalam UU P3 itu sendiri sama sekali tidak memberikan arahan muatan materi bagi Tap MPR. Di dalam UU P3 hanya memberikan arahan materi muatan kepada; 1). undangundang; 21 2). peraturan pemerintah pengganti undang-undang; 22 3). peraturan pemerintah; 23 4). peraturan presiden; 24 5). peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota. 25 Sebelum perubahan UUD 1945, berdasarkan Tap MPRS RI No. XX/MPRS/1966 tentang Tata Urutan Perundang-undangan yang kemudian diganti dengan TAP MPR RI No. III/PR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, TAP MPR ditempatkan dibawah UUD 1945 dan di atas Undang-undang. Pemosisian tersebut memiliki makna bahwa TAP MPRS atau TAP MPR akan mengatur secara langsung pokok-pokok aturan dalam UUD 1945, sekaligus berkaitan langsung dengan penetapan haluan negara. Akan tetapi, kini Garis Besar Haluan Negara (GBHN) telah ditiadakan sehingga tidak perlu lagi mekanisme pengaturannya. Sementara, berkaitan dengan pokok-pokok aturan dasar negara sejauh ini dianggap final telah diatur seluruhnya di dalam UUD 1945 sehingga tidak diperlukan lagi lembaga yang diminta untuk membuat aturan tersebut. 21 Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan: (1) Materi muatan yang harus diatur dengan Undang- Undang berisi: a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang- Undang; c. pengesahan perjanjian internasional tertentu; d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. (2) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden. 22 Pasal 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan: Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang. 23 Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan: Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. 24 Pasal 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan: Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. 25 Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan: Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi. 12

Sungguhpun demikian, adanya Mahkamah Konstitusi (MK) sebenarnya menjadi babak baru dalam langkah maju sistem ketatanegaraan Indonesia. Sebagai lembaga yang memiliki tugas penafsir dan penjaga kontitusi (the guardian and interpreter of constitution), putusan MK banyak mengandung substansi materi yang erat kaitannya dengan pokok-pokok dasar negara yang seharusnya dapat ditindaklanjuti. Namun dikarenakan masih minimnya kesadaran moral pemegang kuasa di lembaga negara, maka menjadikan putusan MK dibiarkan mengambang tanpa arah muara. 26 Putusan MK yang bisa dijadikan muatan materi dalam Tap MPR misalnya seperti putusan terhadap permohonan Pengujian Undangundang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang terdiri dari 3 (tiga) nomor registrasi perkara, yaitu permohonan dengan Nomor Registrasi 001/PUU-I/2003, 021/PUU-I/2003, dan 022/PUU-I/2003. Model putusan tersebut secara umum dapat diuraikan bahwa dalam hal pemaknaan Pasal 33 ayat (2) UUD Negara RI 1945 mengenai dikuasai oleh negara harus dimaknai (diatur): a. Yang harus dikuasai oleh negara adalah cabang-cabang produksi yang dinilai penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak, yaitu: (i) cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, (ii) penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak, atau (iii) tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat hidup orang banyak. b. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam 26 Perlu diingat sungguhpun MK lembaga peradilan yang integral dengan dari kekuasaan kehakiman, namun sifat putusan MK lebih kepada ikatan moral (moral binding) dalam pelaksanaannya, sehingga diperlukan kesadaran utuh pemangku kuasa negara untuk melaksnakan putusan tersebut. Hal ini berbeda dengan peradilan lain yang memiliki perangkat eksekutor pemaksa terhadap putusan yang lahirkannya, sehingga putusannya relatif banyak dapat ditindaklanjuti dengan baik. Namun demikian, penulis tidak menghendaki MK memerlukan atau bahkan harus ada lembaga pemaksa yang memapu memaksakan pada siapa saja untuk mentaati putusan tersebut. MK tidak perlu ditambah perangkat lain karena secara teoritis putusan MK yang bersifat final and binding memiliki makna putusannya bersifat self executable (mengikat dengan sendirinya bagi siapa saja). Di samping itu, bagi penulis keberadaan MK adalah dimaksudkan untuk memberikan pembelajaran bagi bangsa Indonesia untuk bersikap dewasa dalam menyikapi putusan peradilan yang telah dinobatkan sebagai lembaga independen dan proses hukum akhir dalam setiap penyelesaian persoalan. 13

kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut, tercakup pula pengertian kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. c. Tidak dapat diartikan hanya sebatas sebagai hak untuk mengatur, karena hal dimaksud sudah dengan sendirinya melekat dalam fungsi-fungsi negara tanpa harus disebut secara khusus dalam undang-undang dasar. Sekiranyapun Pasal 33 tidak tercantum dalam UUD 1945, sebagaimana lazim di banyak negara yang menganut paham ekonomi liberal yang tidak mengatur norma-norma dasar perekonomian dalam konstitusinya, sudah dengan sendirinya negara berwenang melakukan fungsi pengaturan. Adapun alasan yang relevan dan urgen untuk diakomodir ke dalam Tap MPR berdasarkan jenis putusan MK seperti di atas yaitu; pertama, sebagaimana telah banyak disinggung oleh banyak pihak, bahwa muatan materi Tap MPR haruslah berisi dimensi pokok-pokok aturan dalam konstitusi. Putusan MK yang merupakan tafsiran atas pasal-pasal konstitusi jelas sangat terkait dengan pokok konstitusi sebagaimana dimaksudkan tersebut sehingga ini menjadi relevan untuk dapat diwadahi dalam bentuk Tap MPR, dibanding harus mencari materi lain yang justru dikhawatirkan malah akan melenceng dari pakem materi muatan yang ideal dari sebuah Tap MPR atau bahkan mungkin justru akan mengkooptasi materi yang menjadi lingkup undang-undang. Sebagaimana ditegaskan di dalam sistem hierarki Pasal 7 ayat (1) UU P3 bahwa Tap MPR ditempatkan di atas undang-undang dan di bawah UUD Negara RI Tahun 1945. Dapat diartikan bahwa materi muatan ketetapan MPR (yang sifatnya mengatur) itu haruslah selain materi muatan UUD dan bukan materi muatan undang-undang. Jika ketetapan MPR yang sifatnya mengatur itu berisi norma hukum yang semestinya diatur dalam UUD atau undang-undang, jelas akan menimbulkan kekacauan sistem peraturan perundang-undangan dan mengaburkan berlakunya asas preferensi. 27 27 Ridwan, Eksistensi dan Problematika... Op. Cit, hlm. 7. 14

Kedua, dalam praktek kekinian jenis putusan yang mengandung pokok-pokok dasar negara yang merupakan hasil penafsiran pasalpasal konstitusi belum seutuhnya mendapatkan wadah hukumnya. Memang ketentuan dalam Pasal 10 ayat (3) UU P3 menyebutkan bahwa materi muatan undang-undang adalah tindaklanjut dari putusan MK, namun sesungguhnya tindaklanjut tersebut lebih kepada materi yang sifatnya teknis implementatif, seperti tindaklanjut terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang terhadap UUD Negara RI Tahun 1945. Dengan demikian, putusan yang memiliki kandungan pokok-pokok dasar negara sangat mungkin tidak ikut diakomodir ke dalam materi muatan undang-undang, sehingga keberadaannya dibiarkan menggantung tanpa tindak lanjut yang jelas. Bersamaan dengan itu, maka pada bagian itulah MPR dapat mengambil peran untuk menjadikannya sebagai materi muatan di dalam ketetapan. Tentu akan muncul pertanyaan bahwa esensi dari Tap MPR bukankah penetapan yang bersifat konkret, final dan individual?, sementara dalam hasil jenis putusan MK khususnya yang terkait pokok-pokok konstitusi- muaranya bersifat pengaturan yang sifatnya mengikat secara umum. Hemat penulis, mengingat Tap MPR dimasukan ke dalam UU P3 yang merupakan rezim tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, maka secara tidak langsung telah menunjukan bahwa produk hukum MPR yang dalam bentuknya ketetapan juga telah dikategorisasikan sebagai jenis peraturan. Kemudian, jika melihat pada sifat, isi dan materi Tap MPR yang telah ada juga tidak sepenuhnya berupa penetapan. Sebagaimana dijelaskan Bagir Manan bahwa TAP MPR/S ditinjau dari materi muatannya maka dapat dikelompokan menjadi: 28 28 Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Bandung: Mandar Maju, 1995, hlm. 29. 15

1. Ketetapan mengenai kedudukan, tugas, dan tanggung jawab lembaga-lembaga negara; 2. Ketetapan yang berisi garis-garis kebijakan umum yang akan dijalankan oleh negara melalui atau lembaga negara khususnya presiden; 3. Ketetapan yang berisi prinsip-prinsip tertentu dan tidak bersifat mengatur; dan 4. Ketetapan yang materinya langsung mengikat umum. Sedangkan, ditinjau dari segi sifat isinya, TAP MPR/S dapat digolongkan menjadi: (1). Ketetapan yang bersifat mengatur; (2). Ketetapan yang bersifat penetapan/beschiking; (3). Ketetapan yang bersifat deklaratur. 29 Melihat pada dimensi penggolongan, dan dikorelasikan dengan unsur-unsur suatu peraturan perundang-undangan di atas, maka produk hukum MPR dalam bentuknya ketetapan dapat mewadahi jenis putusan MK sebagaimana diuraikan di atas. Hal itu dikarenakan, Tap MPR memiliki kualifikasi tersendiri berupa: a). TAP MPR isi/materi dan sifanya bersifat tertulis, umum, dan dibentuk oleh lembaga yang berwenang dan bersifat mengatur secara umum; dan b). TAP MPR bukan yang dimaksudkan dalam bentuk penetapan yang memiliki konsekuensi konkret-individual layaknya keputusan yang bersifat penetapan (beshicking) seperti dalam keputusan administrasi negara. Selanjutnya agar materi muatan ketetapan tidak seporadis menindaklanjuti semua putusan MK, maka menjadi penting untuk diberikan syarat-syarat untuk jenis putusan MK manakah yang layak untuk ditindaklajuti ke dalam Tap MPR. Syarat ini menjadi penting untuk menghindari terjadinya tumpang tindih kewenangan yang pada akhirnya akan menyalahi asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat. 30 Tidak kalah pentingnya, adanya persyaratan dimaksud 29 Sumali, Reduksi Kekuasaan...Op. Cit, hlm. 21. Ilmu pengethaun perundangundnagan dapat dikatakan relative baru, yang awalnya berkembang di Eropa Barat. Ilmu ini bersifat interdisipliner yang berkaitan dengan ilmu politik dan sosiologi. Ilmu perundangundnagan ini menurut Burkhadrt Krems dpaat dibedakan atas teori perundang-undangan dan ilmu perundang-undangan yang mengkaji aspek pembentukan undang-undang. Ilmu perundang-undangan dapat dirinci lagi ke dalam proses perundang-undangan. adapun konsep undang-undang itu sendiri dapat bermakna: (i). proses pembentukan peraturan engara baik di tingkat daerah ataupun pusat. (ii). Segala peraturan negar ayang dihasilkan baik ditingkat derah ataupun puat. Lihat Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan...Op. Cit, hlm. 2-3. 30 Di dalam penjelasan Pasal 5 huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud asas asas kelembagaan atau 16

maka diharapkan tidak akan menimbulkan kerancuan dan kesamaan materi hukum dengan undang-undang, karena sesuai dengan Pasal 10 ayat (2) UU P3 tindak lanjut atas putusan MK juga dapat diakomodir ke dalam materi muatan undang-undang. Adapun syarat dimaksud adalah sebagai berikut: 1). Jenis putusan MK yang layak dijadikan materi Tap MPR hanya jenis putusan MK yang mengandung pokok-pokok aturan dasar negara; 2). Putusan MK tersebut bukan jenis putusan yang sifatnya teknis implementatif melainkan jenis putusan yang sifatnya arahan/pandangan umum (global view) yang erat kaitannya dengan substansi pokok dasar negara (konstitusi); dan 3). Putusan MK dimaksud harus mencerminkan semangat Pancasila dan UUD Negara RI yang minimal mengakomodir asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum. D. Penutup Sebagaimana diamanatkan oleh UUD Negara RI Tahun 1945, MPR secara eksplisit memiliki wewenang ekslusif yang tidak dimiliki oleh lembaga negara lain dalam sistem ketatanegaraan Indonesia saat ini. Oleh kerana itu, kelembagaan MPR patut diberikan penguatan agar mampu menjalankan kewenangannya secara proporsional. Adanya langkah hukum yang memasukan produk hukumnya berupa Tap MPR ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan telah memberi konsekuensi bukan hanya pada benar tidaknya penempatan tersebut. Akan tetapi telah membuka pintu bagi MPR untuk dapat mengeluarkan produk hukum sejenis. Mengingat konstruksi dalam sistem hierarki menempatkan Tap MPR dibawah UUD dan di atas undang-undang, maka berimplikasi pada aspek materi muatan peraturannya. Materi muatan di dalam Tap MPR idealnya adalah berkenaan dengan pokok-pokok dasar negara (konstitusi), atau berkenaan materi yang bukan menjadi domain materi pejabat pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang. 17

muatan dalam undang-undang. Dalam menyikapi hal itu, maka adanya jenis putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak jarang bermuatan pokok-pokk dasar negara yang didasarkan atas penafsiran dari pasalpasal UUD, seyogianya dapat dijadikan materi muatan Tap MPR tersebut. Daftar Pustaka Buku-buku Huda, Ni matul, 2005, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, Yogyakarta: UII Press. Huda, Ni matul dan R. Nazriyah, 2011, Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-undangan, Bandung: Nusamedia. Mahfud MD, Moh., 2010, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta: Rajawali Pers. Manan, Bagir, 1995, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Bandung: Mandar Maju. Soeprapto, Maria Farida Indrati, 1998, Ilmu Perundang-Undangan, Dasar- Dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta: Kanisius., 2007, Ilmu Perundang-Undangan 1 (Dikembangkan dari Perkuliahan A. Hamid S. Attamimi), Yogyakarta: Kanisius. Sumali, 2003, Reduksi Kekuasaan Eksekutif, Malang: UMM Pres. Jurnal, Hasil Penelitian dan Makalah Adiputra, Sahlan, 2012, Kecelakaan Sistem Peraturan Perundangundangan Di Indonesia: TAP MPR Sebagai Salah Satu Peraturan Perundang-undangan dalam UU Nomor 12 Tahun 2012, Jurnal Konstitusi, Volume 1, Nomor 1, November. Gusman, Delfina dan Andi Nova, 2012, Kedudukan Ketetapan MPR Berdasarkan UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Jurnal Dinamika Hukum, FH Andalas, Vol. 12 No. 3 Septemebr 2012. Puspitadewi, Rachmani, 2007, Kedudukan dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Setelah Perubahan UUD RI Tahun 1945, Jurnal Hukum Pro Justitia, Vol. 25 No. 04, Oktober. Ridwan, 2015, Eksistensi dan Problematika Ketetapan MPR dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, Makalah disampaikan pada Kegiatan Focus Group Discussion(FGD) Tinjauan terhadap Ketetapan MPRS/MPR Menurut Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 yang diselenggarakan Badan Pengkajian MPR RI, di Hotel Santika Yogyakarta, Rabu, 25 Februari. Riyadi, Eko, 2015, Reposisi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Implikasinya terhadap Kedudukan TAP MPR/S Pasca Amandemen UUD 1945, Paper pada acara diskusi Tinjuan terhadap Ketetapan MPRS/MPR yang diselenggarakan oleh MPR RI dan Pusat Studi 18

Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia di Hotel Jogja Plaza, Yogyakarta pada Rabu, 25 Februari. Soemantri, Sri, 1987, UUD dan Ketetapan MPR sebagai Produk MPR, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung. Tim Penyusun, 2010, Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Jakarta: Badan Legislasi DPR RI. Media Manan, Bagir, 2000, Arogansi MPR, Republika. Safa at, Muchamad Ali, Kedudukan Ketetapan MPR dalam Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Artikel dalam Safaat.lecture.ub.ac.id/.../KEDUDUKAN-KETETAPAN, diakses 01 September 2015. Peraturan Perundang-undangan dan Risalah Sidang Peradilan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor 1 Tahun 2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Republik Indonesia. Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 86/PUU-XI/20, Acara Pemeriksaan Pendahuluan perihal pengujian Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI, 2013. 19