BAB I PENDAHULUAN. Pertemuan antara budaya Jepang dan budaya Barat pada masa Restorasi

dokumen-dokumen yang mirip
Bab 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sosial masyarakat di dalam karya sastra adalah hubungan antara laki-laki dan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan. kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB IV KESIMPULAN. Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik

BAB I PENDAHULUAN. akar perselisihan. Isu dan permasalahan yang berhubungan dengan gender,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Karya sastra merupakan gambaran tentang kehidupan yang ada dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu sastra pada hakikatnya selalu berkaitan dengan masyarakat. Sastra

BAB I PENDAHULUAN. manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan kerja sangatlah terbatas (Suratiyah dalam Irwan, 2006)

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Media seni-budaya merupakan tempat yang paling banyak

I. PENDAHULUAN. 2008:8).Sastra sebagai seni kreatif yang menggunakan manusia dan segala macam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sastra adalah gejala budaya yang secara universal dapat dijumpai pada

BAB IV PENUTUP. Hasil analisis yang penulis lakukan tehadap novel Namaku Hiroko karya N.H.

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

BAB II KAJIAN TEORI. dan Eksploitasi Wanita dalam Novel The Lost Arabian Women karya Qanta A.

BAB V PENUTUP. memfokuskan pada Ideologi Tokoh Utama Wanita Dalam Novel Surga Yang Tak

BAB I PENDAHULUAN. Pandangan tentang wanita Jepang yang masih kuno dan tradisional masih

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana

BAB I PENDAHULUAN. tersebut memiliki pemerintah dan pemerintahan yang berjalan, hukum,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam realitas kehidupan, perbedaan peran sosial laki-laki dan perempuan

BAB V PENUTUP. A. Simpulan. hubungan intertekstual antara novel Tantri Perempuan yang Bercerita karya Cok

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dilihat pada penyajian sampul-sampul buku karya sastra yang hampir selalu menjadikan sketsa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia saat ini memasuki era globalisasi yang ditandai dengan arus

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. dari tulisan-tulisan ilmiah. Tidak juga harus masuk ke dalam masyarakat yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL GINKO DAN PENGERTIAN GENDER. Sebutan novel berasal dari bahasa Italia, yakni novella yang secara harfiah

BAB IV KESIMPULAN. atau isu-isu yang sering terjadi dalam kehidupan perempuan. Melalui

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Perkembangan zaman melalui kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Analisis Gender dan Transformasi Sosial Pembahas: Luh Anik Mayani

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pers mempunyai beberapa fungsi yang saling berhubungan satu

BAB I PENDAHULUAN. tidak pantas atau tabu dibicarakan. 1. lainnya secara filosofis, sebenarnya manusia sudah kehilangan hak atas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. digambarkan secara luas oleh pengarang melalui pemikiran-pemikiran yang menjadikan

BAB I PENDAHULUAN. gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender related

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang telah berhasil dikumpulkan,

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan produk tidak hanya

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Wacana merupakan salah satu kata yang sering digunakan dalam

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan dan keadaan sosial masyarakat baik secara langsung maupun tidak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. khalayak. Karena menurut McLuhan (dalam Rakhmat,2008:224), media

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. ini. Terjadinya ketidakadilan gender kiranya dapat dipicu oleh masih kuatnya

MENGIKAT TALI KOMUNITAS MEMUTUS RANTAI KEKERASANTERHADAPPEREMPUAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Karya sastra adalah salah satu jenis hasil budidaya masyarakat yang dinyatakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL. Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum

BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan gagasan-gagasan ataupun merefleksikan pandangannya terhadap

BAB IV KESIMPULAN. Sejarah panjang bangsa Eropa mengenai perburuan penyihir (witch hunt) yang

2015 PERANAN PEREMPUAN DALAM POLITIK NASIONAL JEPANG TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. cukup menggembirakan. Kini setiap saat telah lahir karya-karya baru, baik dalam

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam

BAB I PENDAHULUAN. seorang pengarang yang dituangkan dalam bentuk tulisan berdasarkan

BAB IV KESIMPULAN. dalam menentukan dan membentuk konstruksi sosial, yaitu aturan-aturan dan batasan

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian

BAB I PENDAHULUAN. Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan. minoritas seperti pemuda, petani, perempuan, dan

BAB IV KESIMPULAN. publik. Secara lebih khusus, Mansfield Park menceritakan posisi perempuan pada

BAB 1 PENDAHULUAN. A. LATAR BELAKANG Timbulnya anggapan bahwa kaum perempuan lebih lemah

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan

BAB I PENDAHULUAN. masih dapat kita jumpai hingga saat ini. Perbedaan antara laki- laki dan

BAB I PENDAHULUAN. Bicara tentang tokoh pendidikan ataupun pelopor perjuangan kaum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Emansipasi adalah suatu gerakan yang di dalamnya memuat tentang

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebenarnya bukan hal yang baru

Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi

BAB 4 KESIMPULAN Citra Tokoh Utama Perempuan die Kleine sebagai Subordinat dalam Novel RELAX karya Henni von Lange RELAX RELAX

BAB 1 PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan sebuah ungkapan pribadi manusia. berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, imajinasi, ide, keyakinan dalam

PEREMPUAN DALAM BIROKRASI Hambatan Kepemimpinan Perempuan dalam Birokrasi Pemerintah Provinsi DIY

BAB VII HUBUNGAN SOSIALISASI PERAN GENDER DALAM KELUARGA ANGGOTA KOPERASI DENGAN RELASI GENDER DALAM KOWAR

BAB I PENDAHULUAN. proses saling tolong menolong dan saling memberi agar kehidupan kita. saling mencintai, menyayangi dan mengasihi.

BAB I PENDAHULUAN. penting dan strategis dalam pembangunan serta berjalannya perekonomian bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya (Iswanto

BAB V KESIMPULAN. kritik sastra feminis sosialis karena dalam Kumpulan Cerpen ini

BAB I PENDAHULUAN. tergantung dari perubahan sosial yang melatarbelakanginya (Ratna, 2007: 81). Hal

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN RIFFAT HASSAN DAN MANSOUR FAKIH TENTANG KESETARAAN JENDER DALAM ISLAM: SEBUAH PERBANDINGAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

yaitu budaya Jawa mempengaruhi bagaimana maskulinitas dimaknai, seperti pendapat Kimmel (2011) bahwa maskulinitas mencakup komponen budaya yang

BAB I PENDAHULUAN. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan

BAB I PENDAHULUAN. memberantas kemiskinan yang tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Elfa Michellia Karima, 2013 Kehidupan Nyai Di Jawa Barat Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB II. Kajian Pustaka. hukum adat. Harta orangtua yang tidak bergerak seperti rumah, tanah dan sejenisnya

1Konsep dan Teori Gender

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Pertemuan antara budaya Jepang dan budaya Barat pada masa Restorasi Meiji tahun 1868 membawa pengaruh yang signifikan terhadap relasi gender dalam masyarakat. Sistem patriarki yang sudah berlangsung ratusan tahun mulai dikritisi. Kaum perempuan dan aktivis kesetaraan gender mempertanyakan keadilan dalam pemenuhan hak-hak dan berusaha untuk mewujudkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Berbagai usaha dilakukan oleh kaum perempuan maupun laki-laki yang peduli dengan permasalahan ini. Meskipun demikian, konstruksi sosial yang sudah berlangsung lama dan menjadi tradisi tidak mudah untuk berubah. Berbagai permasalahan muncul baik dari laki-laki sebagai penguasa dalam konstruksi patriarki maupun dari kalangan perempuan sendiri. Restorasi Meiji memberikan harapan bagi kaum perempuan Jepang yang ingin maju mengikuti perkembangan jaman. Harapan ini dipicu oleh diadopsinya pemikiran-pemikiran Barat melalui kebijakan modernisasi negara oleh pemerintah. Jepang meniru secara besar-besaran cara-cara yang dilakukan oleh negara Barat dalam membangun negara, tidak hanya dalam hal kemajuan teknologi dan persenjataan, tetapi juga dalam hal pemikiran-pemikiran, termasuk tentang kesetaraan gender. Setelah pemberlakuan restorasi, perempuan diperbolehkan untuk membaca buku, sekolah, bekerja di luar rumah, dan lain-lain. Namun, apakah pada kenyataannya kesempatan terbuka begitu saja bagi kaum perempuan? 1

Novel Hanauzumi menceritakan perjalanan hidup seorang perempuan dari desa Tawarase yang bernama Gin, putri bungsu keluarga kelas atas Ogino yang terkenal cantik dan cerdas. Kisah ini diawali dengan kepulangan Gin dari rumah keluarga suaminya secara mendadak dan tanpa ijin dari suami. Tidak lama setelah kepulangan Gin itu, tersiar kabar mengenai perceraian Gin. Alasan yang diajukan oleh pihak keluarga suaminya adalah Gin terlalu lemah dan tidak bisa memberikan keturunan. Hanya sedikit orang yang mengetahui bahwa penyebab sebenarnya perceraian itu adalah karena Gin tertular gonorrhea (penyakit kelamin) dari suaminya. Meskipun sudah dirayu agar Gin kembali ke keluarga suaminya, Gin dengan berani menolak. Hal yang tak lazim pada masa itu. Gin yang menanggung malu akibat perceraian semakin terpuruk ketika penyakit yang dianggapnya sebagai aib hanya biasa ditangani oleh dokter laki-laki karena saat itu belum ada dokter perempuan di Jepang. Namun, peristiwa itu pula yang memicu Gin untuk bangkit dari kesedihan. Gin bertekad untuk menjadi dokter agar perempuan-perempuan Jepang yang lain tidak mengalami penderitaan seperti dirinya. Pada masa awal pemerintahan Meiji, ketika meraih profesi dokter sangatlah sulit bahkan bagi laki-laki, cita-cita Gin terbilang mustahil. Kesulitan ini tidak membuat Gin berhenti berusaha dan berjuang. Gin mengawali perjuangangannya dengan mengubah namanya menjadi Ginko sebagai simbol perlawanannya terhadap ketidakadilan yang mendera perempuan. Ginko memulai perjuangan untuk menjadi dokter perempuan pertama di Jepang. 2

Pada saat Ginko telah meraih cita-citanya menjadi dokter yang terkenal di seluruh negeri, nasib mempertemukannya dengan seorang lelaki yang mengaguminya dan mampu membuat Ginko memutuskan untuk menikah dengannya. Pernikahan dengan suami keduanya ini menjadi awal kehidupan Ginko kembali mengalami banyak tantangan. Kisah dalam novel menceritakan perjuangan seorang perempuan untuk mewujudkan cita-citanya di tengah konstruksi sosial yang sangat membatasi keinginannya untuk mengembangkan diri. Latar waktu yang digunakan dalam novel ini juga menarik karena pada jaman Meiji benturan antara budaya Jepang dan budaya Barat dalam hal ini yang berkaitan dengan relasi gender sangat berlawanan. Strategi-strategi yang digunakan baik perempuan yang berusaha untuk meraih kesetaraan gender dan sistem patriarki yang harus mengalami perubahan karena pengaruh Restorasi Meiji menarik untuk dicermati. Novel ini ditulis oleh Junichi Watanabe pada tahun 1970. Jun ichi Watanabe adalah seorang pengarang yang dilahirkan di Hokkaido, Jepang, pada tahun 1933. Ketertarikannya terhadap dunia tulis menulis dimulai saat menempuh sekolah menengah. Ketika menjadi mahasiswa kedokteran di Universitas Sapporo, Hokkaidou, dia mulai mempublikasikan tulisan di sejumlah majalah sastra. Setelah lulus sebagai dokter, dia membuka praktik sebagai ahli bedah ortopedi tapi kemudian mengundurkan diri dan berpindah ke Tokyo untuk menekuni dunia kepenulisan. Sejak 1969, dia merintis karier sebagai penulis sepenuhnya. 3

Sejumlah karyanya berupa novel biografis dan beberapa berlatar belakang dunia kedokteran. Selain Hanauzumi, novelnya yang popular adalah Shitsurakuen (A Lost Paradise) yang menjadi buku laris di Jepang dan berbagai negara Asia. Dia telah menulis lebih dari 50 novel dan banyak di antaranya telah difilmkan. Dia juga meraih sejumlah penghargaan dalam bidang sastra dan kepenulisan, antara lain hadiah Naoki 1970 untuk novel Hikari to kage dan hadiah Eiji Yoshikawa 1979 untuk novel Toki rakujitsu. Novel Hanauzumi terdapat pula dalam terjemahan bahasa Inggris berjudul Beyond the Blossoming Fields yang diterjemahkan oleh Deborah Iwabuchi dan Anna Isozaki dengan penerbit Alma Books Ltd, Inggris pada tahun 2009. Novel ini juga diterbitkan dalam bahasa Indonesia yang berjudul Ginko oleh PT. Serambi Ilmu Semesta pada tahun 2012 dengan penerjemah Istiani Prajoko. Novel Hanauzumi ini mengangkat latar belakang kondisi Jepang yang penuh dengan gejolak perubahan. Dalam arus perubahan yang begitu cepat terjadi dan kehadiran pemikiran-pemikiran baru yang banyak bertentang dengan tradisi, bagaimana respon dari sistem patriarki Jepang dalam menghadapi ide-ide kesetaraan gender dari Barat? Bagaimana sistem ini berstrategi melakukan perubahan dan berusaha kembali berkuasa dalam relasi gender dalam masyarakat? Penulis menggunakan teori dan konsep-konsep yang dipaparkan oleh Sylvia Walby, seorang prosfesor sosiologi dari University of Lancaster yang memusatkan perhatiannya pada permasalahan gender. Patriarki adalah sebuah sistem struktur sosial dan praktik-praktik di mana laki-laki mendominasi, 4

menindas, dan mengeksploitasi perempuan (Walby, 2014:28). Sebagai sebuah sistem struktur, patriarki mempunyai beberapa struktur yang saling kait mengkait sehingga terbentuklah sebuah sistem. Menurut Sylvia Walby ada enam struktur yang membentuk sistem patriarki yaitu, mode produksi patriarki, relasi patriarki pada pekerjaan dengan upah, relasi patriarki dalam negara, kekerasan laki-laki, relasi patriarki dalam seksualitas, dan relasi patriarki dalam lembaga budaya. Dengan menggunakan keenam struktur tersebut akan diidentifikasi bagaimana sistem patriarki melalui struktur-strukturnya menjalankan strategi untuk mendominasi relasi gender dalam masyarakat Jepang. 1.2 Rumusan Permasalahan Perubahan-perubahan sosial sebagai implikasi Restorasi Meiji yang mengubah sistem feodal menjadi negara yang modern juga mempengaruhi relasi gender dalam masyarakat Jepang. Upaya-upaya untuk memperoleh kesetaraan gender dilakukan oleh kaum perempuan dan aktivis yang peduli terhadap kesetaraan gender. Namun, hingga Jepang menjadi negara modern pada masa Perang Dunia II, sistem patriarki masih tetap kuat dalam masyarakat Jepang. Bagaimanakah strategi yang dilakukan oleh sistem patriarki untuk tetap mendominasi perempuan Jepang dalam novel Hanauzumi ini? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan bagaimana strategi yang dilakukan oleh patriarki untuk tetap mendominasi perempuan dalam novel Hanauzumi. 5

1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis penelitian ini adalah menerapkan teori patriarki pada karya sastra sehingga ketika membahas tentang feminisme tidak hanya tentang perempuan yang tersubordinasi tetapi juga tentang patriarki yang mendominasi dalam relasi gender. Manfaat praktis penelitian ini adalah untuk memaparkan bagaimana strategi patriarki dalam mendominasi relasi gender di Jepang sekaligus sebagai referensi penelitian-penelitian selanjutnya, terutama penelitian mengenai patriarki di Jepang. 1.5 Tinjauan Pustaka Bagian ini merupakan uraian dari penelurusan pustaka terhadap hasil penelitian yang membahas novel Hanauzumi sebagai objek kajiannya. Perhatian diberikan lebih mendalam terhadap hasil penelitian yang membahas permasalahan gender yang teradapat di dalam novel tersebut. Pertama-tama penelitian yang berkaitan erat dengan tesis ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Tesa Mitalika dalam skripsinya yang berjudul Dominasi Patriarki Terhadap Tokoh Perempuan Ginko dalam Novel Hanauzumi Karya Jun ichi Watanabe (2014). Dalam penelitian ini, Mitalika mencari jawaban tentang apa yang menjadi penyebab tokoh utama, sebagai representasi perempuan Jepang, mengalami dominasi patriarki yang mengarah pada ketidakadilan dan ketertindasan. Dengan menggunakan konsep patriarki, sistem Ie, Ideologi Konfusianisme dalam Onna Daigaku, dan Budaya Samurai, Mitalika menganalisis data-data yang diperoleh dari novel Hanauzumi. Hasil analisis yang 6

dilakukannya menyimpullkan bahwa ketidakadilan dan ketertindasan kaum perempuan Jepang disebabkan oleh kondisi masyarakat Jepang pada awal jaman Meiji masih berlandaskan pada sistem patriarki, Sistem Ie, Ideologi Konfusianisme dalam Onna Daigaku, dan budaya Samurai. Hal ini menyebabkan perempuan Jepang tunduk dan patuh pada dominasi laki-laki. Mitalika menitikberatkan penelitiannya pada hal-hal yang menyebabkan perempuan Jepang mengalami dominasi patriarki yang mengarah pada ketidakadilan dan ketertindasan. Hal inilah yang membedakan penelitian Mitalika dengan gagasan yang hendak dibangun dalam tesis ini. Dalam tesis ini, yang menjadi fokus penelitian adalah bagaimana patriarki sebagai sebuah sistem struktur sosial dan praktik-praktik secara aktif berstrategi melakukan tindakan transformatif dan rekonstruktif sebagai respon terhadap gerakan kesetaraan gender. Mitalika melakukan penelitian dengan berfokus pada perempuan Jepang yang tunduk dan patuh pada dominasi laki-laki beserta faktor-faktor yang menjadi penyebabnya. Sementara itu, gagasan yang disusun tesis ini berfokus pada patriarki sebagai subyek yang secara aktif melakukan tindakan untuk tetap mendominasi struktur sosial masyarakat Jepang. Penelitian lain yang menjadikan novel Hanauzumi sebagai objek kajian adalah skripsi yang disusun oleh Estu Prihanti dengan judul Ketidakadilan Gender dalam Novel Hanauzumi Karya Watanabe Jun ichi: Pendekatan Kritik Sastra Feminis (2014). Dalam penelitian ini Prihanti meneliti tentang bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang dialami oleh tokoh utama novel. Sebagai alat analisis, Prihantini menggunakan teori struktural yang dielaborasi dengan teori kritik sastra 7

feminis. Berdasarkan proses analisis, Prihanti menyimpulkan bahwa bentukbentuk ketidakadilan gender yang dialami tokoh utama novel (Ginko) adalah subordinasi di bidang pendidikan, stereotipe, dan kekerasan (psikis dan seksual). Selain itu, penelitian ini juga menyimpulkan bahwa ide-ide feminis yang terdapat dalam novel tersebut adalah kemandirian seorang perempuan serta keberhasilan perempuan menempuh pendidikan tinggi dalam budaya patriarki. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Mitalika yang berfokus pada faktor penyebab dominasi patriarki terhadap perempuan Jepang, fokus penelitian Prihanti ini lebih menitikberatkan pada bentuk-bentuk bentuk ketidakadilan gender beserta ide feminis yang ada di dalam novel Hanauzumi. Penelitian belum menguraikan bahwa bentuk-bentuk ketidakadilan gender tersebut adalah bagian dari sebuah sistem patriarki yang bekerja melalui strukturnya di hampir seluruh sisi kehidupan perempuan. Penelitian Mitalika berkonsentrasi pada latar belakang mengapa dominasi patriarki terjadi, Prihantini berkonsentrasi pada bentuk-bentuk ketidakadilan gender, sementara itu tesis ini lebih pada bagaimana patriarki melalui strukturnya secara sistematis melakukan upaya dominasi, termasuk bagaimana sistem ini melakukan transformasi dan rekonstruksi ketika perubahan jaman terjadi. Tulisan lain yang juga menggunakan Hanauzumi sebagai bahan kajian adalah penelitian yang dilakukan oleh Ni Luh Giri Prastasari yang berjudul Upaya Tokoh Ogino Ginko Mencapai Kesetaraan Gender Dalam Novel Hanauzumi Karya Junichi Watanabe yang termuat dalam jurnal Humanis Volume 7. No. 3. Juni 2014. Dalam penelitian ini Giri Prastasari lebih menekankan pada deskripsi 8

tentang kendala apa saja yang dihadapi dan bagaimana usaha yang dilakukan oleh tokoh utama dalam upaya mencapai kesetaraan gender. Hasil analisis menunjukkan bahwa kendala yang dihadapi oleh tokoh utama untuk mencapai kesetaraan gender adalah adanya diskriminasi yang didasarkan pada perbedaan gender yang dialami oleh perempuan. Diskriminasi ini meliputi marginalisasi, subordinasi, stereoripe, kekerasan, dan beban kerja ganda. Adapun upaya yang dilakukan oleh tokoh utama untuk memperoleh kesetaraan gender adalah menentukan tujuan hidup sendiri, bersikap pantang menyerah dan terus berusaha, dan meraih kedudukan yang terhormat dalam masyarakat. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Giri Prastasari menunjukkan adanya kesimpulan yang senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Prihantini pada bagian diskriminasi dan bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang dialami oleh tokoh utama. Giri Prastasari dalam hasil penelitiannya mengungkapkan bagaimana usaha yang dilakukan oleh tokoh utama dalam mencapai upaya kesetaraan gender. Penelitian ini, sama dengan penilitian sebelumnya, lebih menitikberatkan perhatian pada bentuk ketidakadilan gender dan sisi perempuan yang direpresentasikan oleh Ginko sebagai tokoh utama novel. Hal inilah yang membedakan dengan fokus penelitian dalam tesis ini. Penelitian lain yang juga menggunakan novel Hanauzumi sebagai bahan kajian tetapi dengan fokus yang berbeda cenderung mengkaji citra perempuan yang ditampilkan dalam novel. Penelitian yang mengungkap citra tokoh perempuan adalah penelitian yang dilakukan oleh Ninin Idfan dalam skripsinya Citra Perempuan dalam novel Hanauzumi Karya Junichi Watanabe. 9

Penelitian ini menguraikan citra perempuan dalam dua bagian, yaitu citra diri dan citra sosial. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa citra diri yang diungkapkan terdiri atas citra fisik yang cantik dan citra psikis yang pantang menyerah, keras hati, berpendirian teguh, bebas, mandiri, dan penyayang. Ada pun citra sosial yang diungkap adalah kekurangpeduliannya terhadap keluarga, kecerdasan dan kerja keras. Berdasarkan penelusuran terhadap beberapa pustaka yang telah dipaparkan di atas, bisa dikatakan bahwa belum ada penelitian yang mengkaji Hanauzumi sebagai objek material kajian yang memfokuskan pada masalah patriarki sebagai sistem struktur sosial dan praktik-praktik yang secara aktif melakukan tindakan untuk berkuasa dalam struktur sosial masyarakat Jepang. Sebagian penelitian terdahulu menyinggung tentang patriarki sebagai pihak yang dominan, pihak yang melakukan diskriminasi yang merugikan perempuan. Meskipun demikian, penelitian yang berfokus tentang bagaimana cara kerja patriarki itu sendiri dengan sistem struktur sosialnya menguasai konstruksi sosial masyarakat, bagaimana sistem patriarki itu merespon perubahan jaman yang cenderung menuntut untuk terwujudnya kesetaraan gender dalam masyarakat Jepang bisa dikatakan belum ada. Fokus penelitian-penelitian terdahulu cenderung memusatkan perhatian pada bentuk-bentuk kerugian yang dialami akibat sistem patriarki dan perempuan yang berposisi sebagai korban dari sistem tersebut. Maka dari itu, tesis ini akan melihat dari perspektif yang berbeda, yaitu patriarki sebagai subyek yang melakukan strategi tindakan. 10

1.6 Landasan Teori Pandangan Sylvia Walby tentang struktur sistem patriarki akan dijadikan rujukan sebagai kerangka berfikir dalam penilitian ini. Pandangan ini digunakan untuk menguraikan bagaimana sistem patriarki berpraktik dan mendominasi konstruksi sosial seperti yang tercermin di dalam novel Hanauzumi. Identifikasi terhadap cara kerja sistem patriarki melalui strukturnya ini akan sekaligus berguna untuk memperoleh gambaran secara cermat tentang bagaimana perempuan Jepang yang direpresentasikan oleh Ginko Ogino dalam novel ini melakukan perlawanan terhadap konstruksi sosial yang patriarkis. Sylvia Walby mendefinisikan patriarki sebagai sebuah sistem struktur sosial dan praktik-praktik di mana laki-laki mendominasi, menindas, dan mengeksploitasi perempuan (Walby, 2014: 28). Kata struktur sosial di dalam pengertian ini menjadi hal yang sangat penting untuk menegaskan bahwa dalam definisi ini menolak determinisme biologis serta pemikiran bahwa setiap individu laki-laki berada pada posisi dominan dan setiap perempuan dalam posisi subordinat. Walby berpendapat bahwa jika dalam mengurai suatu permasalahan menggunakan satu teori yang hanya memuat satu elemen sebab maka akan menghadapi kesulitan ketika permasalahan itu bersifat kompleks dengan berbagai keragaman dan perubahan. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah teori yang mencakup lebih dari satu basis penyebab untuk menjelaskan sebuah permasalahan. Demikian juga dengan sistem patriarki, sistem ini mendominasi dalam masyarakat 11

dengan keberagaman yang kompleks dan perubahan-perubahan yang dinamis mengikuti perkembangan jaman. Oleh karena itu, untuk mengurai permasalahan tentang sistem patriarki, Walby merumuskan enam struktur utama pembangun sebuah sistem patriarki: pekerjaan dengan upah, produksi rumah tangga, seksualitas, budaya, kekerasan dan negara (Walby, 2014: 23). Walby merumuskan keenam struktur patriarki ini setelah melakukan kajian yang mendalam dan kritis terhadap empat pendekatan dalam kajian feminisme, yaitu Feminisme Radikal, Feminisme Marxis, Liberalisme, Teori Sistem Ganda, dan kajian terhadap struktur sosial. Keenam struktur tersebut memiliki efek sebab akibat satu dengan yang lainnya, baik sebagai peneguhan maupun pemblokiran, tetapi masing-masing struktur cenderung bersifat otonom. Keenam struktur patriarki ini adalah struktur dasar yang nyata, dan penting untuk menjelaskan variasi di dalam relasi gender. (Walby, 2014:29) 1. Produksi Rumah Tangga Salah satu struktur patriarki dalam level ekonomi adalah produksi rumah tangga. Suami, sebagai representasi laki-laki, mengendalikan buruh perempuan melalui sebuah ikatan pernikahan dan hubungan dalam rumah tangga. Bentuk dari relasi ini adalah lebih ditunjukkannya pekerjaan yang menjadi kewajiban istri daripada membahas kewajiban suami dan imbalan bagi hasil kerja istri. Pekerjaan rumah tangga yang dilakukan oleh perempuan, sebagai istri atau anak dalam keluarga, menjadi sebuah konsekwensi dari ikatan pernikahan. 12

Relasi patriarki dalam keluarga ditopang oleh pembagian kerja. Ketidakadilan dalam pembagian kerja yang berlangsung secara terus menerus akan memapankan posisi laki-laki dalam relasi patriarki di masyarakat maupun dalam level negara. Keluarga dan pernikahan menjadi alat kuasa patriarki untuk mengendalikan perempuan. Pertanyaan yang kemudian jadi pembahasan Walby adalah apakah sebuah rumah tangga merupakan sebuah arena penting penindasan perempuan? Jika memang begitu, mengapa perempuan mau menikah dan memasuki relasi yang mengeksploitasi semacam itu? ( Walby, 2014:127). Saat kesempatan kerja tidak tersedia bagi perempuan karena penutupan patriarki di dalam pasar kerja, pernikahan tetap jadi pilihan materi yang terbaik bagi kebanyakan mereka. Maka, mereka yang menikah bukannya menderita kesadaran palsu dan ketidaksadaran akan kepentingan mereka yang sebenarnya, tetapi mereka bertindak berdasarkan kepentingan mereka yang terbaik, dengan mempertimbangkan pilihan yang terbatas tersebut (Walby, 2014: 129). Apakah perempuan merupakan korban pasif yang dipaksa masuk ke dalam pernikahan? Walby berpendapat bahwa perempuan bukanlah korban pasif dalam pernikahan. Sebenarnya perempuan berjuang untuk memperbaiki peran mereka di dalam pernikahan, bahkan ketika tannpaknya mereka sedang mengubur dirinya lebih dalam ke dalam pilihan pernikahan tersebut (Walby, 2014: 129). Meskipun demikian, secara signifikan, relasi gender di dalam rumah tangga mengalami perubahan sejalan dengan ide-ide kesetaraan gender. Perempuan tidak lagi harus terikat pada seorang laki-laki yang menyita pekerjaan 13

rumah tangga mereka seumur hidup. Sebaliknya, meningkatnya jumlah perempuan berganti suami, memiliki anak-anak tanpa suami, dan terlibat di dalam pekerjaan bagi seorang majikan selain suami mereka. Proporsi kerja di bawah relasi produksi patriarki semakin berkurang, meskipun bagi mereka yang menjadi ibu rumah tangga secara penuh/purnawaktu tetap menghabiskan waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumah yang sama banyaknya dengan waktu yang dihabiskan para perempuan beberapa dekade sebelumnya. Perubahan-perubahan ini merupakan contoh lain sebuah pergeseran patriarki dari bentuk privat menuju bentuk publik. Perempuan tetap seperti biasanya terlibat di dalam pekerjaan mengasuh anak-anak, tetapi sekarang tidak melulu untuk keuntungan seorang patriarki (Walby, 2014: 132) 2. Pekerjaan dengan Upah Sylvia Walby berpendapat bahwa permasalahan dalam relasi gender yang terkait pekerjaan dengan upah adalah penghasilan perempuan yang biasanya lebih sedikit daripada laki-laki, perempuan melakukan pekerjaan yang berupah lebih rendah daripada laki-laki, dan jenis pekerjaan perempuan yang berbeda dengan laki-laki (Walby, 2014:36). Penghasilan perempuan yang pada umumnya lebih rendah daripada lakilaki biasanya berkaitan dengan akses terhadap jenis-jenis pekerjaan tertentu yang berupah lebih tinggi. Keterbatasan akses ini membuat kesempatan perempuan untuk memperoleh penghasilan lebih juga terbatas. Selain itu, keterbatasan akses 14

ini lambat laun membuat stigma bahwa perempuan tidak pantas untuk bekerja pada profesi-profesi tertentu yang dianggap sudah identik dengan laki-laki. Pemikiran yang patriarkis juga membuat posisi yang tidak menguntungkan bagi perempuan. Pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan sering dihargi dengan upah yang lebih rendah daripada laki-laki. Sebagai contoh, biasanya pembantu rumah tangga perempuan yang mengerjakan pekerjaanpekerjaan di dalam rumah, memasak, mencuci, membersihkan rumah, diberi upah lebih rendah daripada laki-laki yang menjadi sopir di tempat yang sama. Pembedaan ini didasarkan pada pemikiran bahwa pekerjaan rumah tangga lebih ringan daripada yang lain. Menurut Walby, negara mempunya peranan penting dalam pembentukan pembagian pekerjaan berdasarkan gender. Pembagian ini tidak bisa hanya dipahami sebagai akibat dari situasi ekonomi atau alasan-alasan ekonomi dan keluarga, tetapi perlu juga pemahaman sebagai sesuatu yang bersifat ekonomi politis. Pembagian dan pembedaan pekerjaan yang berdasarkan gender perlu disadari sebagai sebuah dari pertarungan politik (Walby, 2014:84). 3. Budaya Ide-ide mengenai gender bisa ditemukan di seluruh area relasi sosial dan ide-ide tersebut menjadi sebuah aksi yang pada intinya adalah membangun dan menguatkan struktur patriarki (Walby, 2014: 133). Wacana tentang gender, maskulinitas dan femininitas, dipertarungkan di tempat-tempat kerja dan negara, sekaligus juga dipelajari oleh individu-individu. Wacana ini dikonsktruksi secara 15

aktif di seluruh area kehidupan sosial, tidak hanya dalam keluarga, media, dan sekolah. Di dalam budaya, yang menjadi kunci relasi patriarki adalah diferensiasi wacana maskulinitas dan femininitas, dan penghargaan maskulinitas di atas femininitas. Maskulinitas meliputi orientasi dunia luar yang melampaui keluarga dan rumah tangga. Seorang istri yang tergantung secara keuangan merupakan poin sentral bagi wacana maskulinitas. Kemampuan membawa pulang upah keluarga merupakan bagian penting dari usaha untuk meraih maskulinitas sepenuhnya. (Walby, 2014: 155) Wacana femininitas mendefinisikan perempuan sebagai makhluk yang dikekang di dalam keluarga, tidak peduli apakah menikah atau tidak, meskipun pernikahan merupakan ambisi yang utama. Feminin ideal bagi perempuanperempuan adalah tidak mementingkan diri sendiri, kerapuhan, dan tergantung pada seorang suami atau ayah. Sejalan dengan perkembangan jaman dan gerakan untuk mencapai kesetaraan, gender, pengasuhan ibu tetap jadi komponen penting wacana femininitas. Pengasuhan mengalami perubahan dari yang bersifat domestifikasi menjadi sedikit lebih bebas. Kemampuan untuk memberikan keturunan tetap menjadi hal yang penting dalam wacana femininitas. Demikian pula dengan posisi keayahan ( fatherhood) dalam wacana maskulinitas juga mengalami perubahan signifikan. Perubahan citra sosok seorang ayah dari sesosok sebagai penyedia ekonomi berangsur-angsur bergeser menjadi sosok ayah yang pengasuh (Walby, 2014: 157). 16

4. Seksualitas Seksualitas, menurut Walby, bukanlah sebuah kesenangan yang banyak dicari orang seperti halnya yang diungkapkan oleh Freud, atau sebuah fondasi kontrol laki-laki terhadap perempuan seperti yang diungkap oleh Mackinton. Seksualitas adalah sebuah struktur patriarki yang diatur secara sosial dan dibangun secara kritis oleh ketidaksetaraan gender. Sebagai sebuah praktik sosial, seksualitias tidak bisa disederhanakan sebagai sebuah tindakan psikologis ataupun biologis semata. Wacana seksualitas menjadi sebuah fenomena sosial yang berada di luar individu tetapi pada saat yang sama juga dibentuk oleh tindakan-tindakan individu tersebut (Walby, 2014:183) Seksualitas digunakan untuk menguasai dan mengatur perempuan demi kepentingan laki-laki. Strategi patriarki untuk menguasai dan mengatur seksualitas perempuan adalah dengan mengarahkan perempuan menjadi agen patriarki untuk seumur hidup yang diwujudkan dalam sebuah ikatan heteroseksualitas (pernikahan). Strategi patriarki yang lain adalah mendukung hasrat seksual seorang perempuan terhadap laki-laki dengan beragam metode (Walby, 2014:186) Walby berpendapat bahwa heteroseksualitas merupakan struktur patriarki yang penting. Bentuk pengendalian atas perempuan melalui seksualitas sudah berubah, tetapi perubahan ini bukanlah pengurangan sederhana pada kadar pengendalian, dan bukan juga sekedar penggantian satu bentuk kontrol dengan bentuk lain yang sama jahatnya. Ada gerakan yang menjauh dari bentuk kontrol 17

privat yang lebih ketat terhadap seksualitas perempuan menuju bentuk yang lebih bebas dan publik (191) 5. Kekerasan Yang dimaksud kekerasan laki-laki terhadap perempuan oleh Walby adalah tindakan yang mencakup pemerkosaan, penyerangan seksual, pemukulan (oleh suami) pada istri, pelecehan seksual di tempat kerja, dan pelecehan seksual pada anak (Walby, 2014:193). Pandangan umum menganggap bahwa kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan dilakukan oleh individu sebagai oknum dan akibat dari tindakan itu dianggap mempunyai konsekwensi sosial yang minim. Bertentangan dengan pandangan tersebut, Walby berpendapat bahwa kekerasan ini memiliki kriteria karakteristik sebagai sebuah struktur sosial yang diharapkan dan kekerasan ini hanya bisa dipahami dalam analisis struktur sosial patriarki. Dual hal pokok yang menjadi pertanyaan tentang kekerasan laki-laki terhadap perempuan adalah mengapa dan bagaimana laki-laki menggunakan caracara kekerasan dan mengapa hanya sedikit tindakan yang dilakukan negara untuk meminimalkan kekerasan terhadap perempuan. Dengan kedua pertanyaan ini dapat ditelusuri bagaimana patriarki sebagai praktik menjalankan strateginya untuk memperoleh kekuasaan. Walby menyatakan bahwa kekerasan laki-laki pada hakikatnya merupakan sebuah bentuk kekuasaan atas perempuan. Tetapi, kekerasan laki-laki ini dibentuk secara signifikan sebagai hasil dari kontrol patriarki atas perempuan di pelbagai 18

area lain. Karena alasan inilah maka tidak layak untuk melihat kekerasan laki-laki sebagai basis bentuk-bentuk lain kontrol laki-laki terhadap perempuan (Walby, 2014:216) Struktur patriarki yang berupa kekerasaan akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Pengesahan kekerasan laki-laki yang dilakukan secara privat terhadap perempuan berkurang, tetapi tidak menghapus salah satu bentuk kekuasaan yang dimiliki laki-laki atas perempuan. Para suami tidak lagi menjadi satu-satunya hakim yang menentukan tingkat kekerasan yang bisa diterima, karena dalam perkembangannya negara akan mengaturnya dalam sebuah legislasi. Jarangnya intervensi negara dan penghinaan yang ditimpakan kepada para perempuan yang mencari intervensi itu, mengindikasikan bahwa hal ini lebih seperti sebuah pergeseran dalam lokus kontrol dan legitimasi kekerasan ketimbang sebuah penghapusan (Walby, 2014:225) 6. Negara Struktur patriarki yang berupa negara menjadi struktur yang besar dan sistematis. Pengaruh negara terhadap relasi gender tidak ditentukan oleh eksistensinya sebagai sebuah negara, tetapi oleh asal-usul patriarki negara. Dalam struktur patriarki ini, perempuan dipinggirkan dari akses terhadap sumber daya dan kekuasaan negara. Ketidakhadiran perempuan dalam posisi-posisi penting dalam negara mengakibatkan kepentingan-kepentingan perempuan tidak tersuarakan sehingga pada akhirnya peraturan-peratutan dan tindakan negara cenderung menggunakan sudut pandang laki-laki. Dengan kata lain, tindakan 19

negara merupakan hasil dari persaingan, pertarungan politik, siapa yang memenangkan pertarungan, dia lah yang akan menguasai tindakan-tindakan negara. Walby membedakan antara kadar (tingkat) dan bentuk -bentuk patriarki untuk menguraikan permasalahan-permasalahan gender. Kadar patriarki merujuk pada intensitas penindasan pada dimensi-dimensi tertentu, misalnya selisih ukuran upah di antara laki-laki dan perempuan. Bentuk-bentuk patriarki merujuk pada seluruh jenis patriarki, seperti yang didefinisikan oleh relasi tertentu di antara struktur-struktur patriarki yang berbeda (Walby, 2014:263) Bentuk patriarki dibedakan ke dalam dua bentuk, yaitu privat dan publik. Patriarki privat dan publik berbeda pada tataran ragam: pertama, dalam konteks hubungan di antara struktur-struktur dan, kedua: dalam bentuk lembaga masingmasing struktur. Selanjutnya, keduanya dibedakan oleh bentuk utama strategi patriarki: penyingkiran pada patriarki privat dan segregasi pada patriarki publik. Patriarki privat didasarkan pada produksi rumah tangga, dengan seorang patriarki mengontrol perempuan secara individu dan secara langsung di dalam ruang yang relatif privat yakni di dalam rumah. Patriarki publik didasarkan atas struktur-struktur selain struktur rumah tangga, meskipun hal ini mungkin merupakan arena patriarki yang signifikan. Di dalam patriarki privat, laki-lakilah yang berada pada posisi sebagai suami atau ayah yang merupakan penindas dan penerima manfaat langsung, secara individu dan langsung, dari subordinasi perempuan. Ini tidak berarti bahwa produksi rumah tangga merupakan satu-satunya struktur patriarki. Produksi ini 20

sangat penting dipelihara oleh penyingkiran secara aktif terhadap perempuan dari arena publik oleh struktur yang lain. Patriarki publik merupakan sebuah bentuk di mana perempuan memiliki akses baik pada arena publik maupun privat. Mereka tidak dilarang dari arenaarena publik, tetapi bagaimanapun tetap tersubordinasi di dalamnya. Perampasan perempuan dilakukan lebih secara kolektif daripada oleh individu patriarki. Rumah tangga bisa jadi tetap menjadi sebuah wilayah penindasan patriarki, tetapi tidak lagi menjadi wilayah utama di mana perempuan hadir. Di dalam setiap tipe patriarki, keenam struktur tersebut hadir, tetapi hubungan di antaranya, dan tingkat kepentingan relatif mereka berbeda. Di dalam sistem patriarki privat, eksploitasi perempuan di dalam rumah tangga dilanggengkan oleh ketidakterlibatan mereka di dalam ruang publik. Di dalam bentuk patriarki publik eksploitasi perempuan terjadi pada semua level, tetapi perempuan tidak secara formal disingkirkan dari yang lain, tetapi disubordinasi. Perubahan-perubahan dalam struktur patriarki akan terjadi tapi tidak berlaku secara universal, tergantung pada kondisi masing-masing kasus. Meskipun demikian, Walby memberikan deskripsi bagaimana struktur patriarki mengalami transformasi dan merekonstruksi diri. Pada pekerjaan berupah ada sebuah pergeseran dari sebuah strategi penyingkiran ke strategi segregasi, sebuah gerakan dari mencoba menyingkirkan perempuan dari pekerjaan dengan upah menjadi menerima kehadiran mereka tetapi membatasi mereka pada pekerjaanpekerjaan yang dipisahkan dari dan dihargai lebih rendah ketimbang laki-laki. Di dalam rumah tangga terjadi reduksi pegucilan perempuan untuk masuk ke dalam 21

ruang ini selama seumur hidup dan pergeseran di wilayah utama kontrol atas produksi. Lembaga budaya utama berhenti menyingkirkan perempuan, tetapi mensubordinasi perempuan di dalamnya. Kontrol seksual atas perempuan bergeser secara signifikan dari kontrol khusus seorang suami ke arena publik yang lebih luas; perempuan tidak lagi disingkirkan dari relasi seksual dalam cakupan yang sama, tetapi disubordinasi di dalamnya. Penyingkiran perempuan dari negara digantikan dengan subordinasi perempuan di dalamnya. (Walby, 2014:269-270) 1. 7 Metode Penelitian Bagian ini akan memaparkan bagaimana proses penentuan dan pemerolehan data yang akan digunakan untuk penelitian. Berdasarkan data yang diperoleh, pada bagian ini juga dipaparkan bagaimana data itu akan dianalisis kemudian disajikan. Data-data yang dicari dalam objek material penelitian dipilih berdasarkan masalah yang diteliti dan konsep-konsep yang digunakan sebagai landasan teoretik untuk menjawab permasalahan penelitian, maka data-data yang dikumpulkan dipilih berdasarkan perspektif teoretiknya, yakni mengenai struktur patriarki dan strategi-strateginya. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa tulisan. Pada bagian awal, data berupa tulisan-tulisan yang membahas tentang sejarah Jepang pada masa sekitar Restorasi Meiji. Data-data sejarah Jepang pada masa ini dianggap penting karena menjadi latar belakang waktu kisah yang diceritakan dalam novel Hanauzumi, sebagai objek material. Data sejarah yang dipilih adalah data yang 22

menitikberatkan pada hal-hal yang berkaitan dengan sistem patriarki. Data ini sebagai digunakan sebagai pendukung bagi data-data yang diperoleh dari sumber data utama penelitian, yaitu novel Hanauzumi. Data yang dikumpulkan dari sumber data utama berupa kalimat-kalimat yang menunjukkan praktik struktur patriarki dan strateginya. Data yang terakhir adalah tulisan-tulisan terdahulu yang membahas novel Hanauzumi, yang berfungsi sebagai tinjauan pustaka sekaligus sebagai data untuk mendukung analisis dalam penelitian ini. Data-data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan cara menghubungkan satu sama lain melalui sebuah proses analisis data. Penghubungan antar data ini perlu dilakukan karena satu data tidak bisa dibaca secara sendiri-sendiri untuk menemukan jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Penghubungan antar data perlu dilakukan untuk menemukan kesimpulan-kesimpulan tertentu yang tidak bisa dilakukan jika hanya melihat dari satu data saja atau data-data yang masih terpisah satu sama lain. Dalam konteks penilitian ini, data yang diperoleh dari novel dikaitkan dengan data yang yang diperoleh dari fakta sejarah, kemudian dikaitkan lagi dengan data-data pendukung lainnya. Hasil dari proses analisis data ini kemudian disajikan dalam bentuk tulisan yang terbagi dalam bagian-bagian yang akan diuraikan pada bagian sistematika penyajian. 1.8 Sistematika Penyajian Tesis ini terdiri dari empat bab. Bab I adalah pendahuluan, yang terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penilitian, dan sistematika penyajian. 23

Bab II berisi pembahasan tentang negara Jepang sebagai negara patriarki. Dalam bab ini diuraikan sejarah Jepang pada jaman sekitar Restorasi Meiji 1868 yang berkaitan dengan sistem patriarki. Melalui pengungkapan fakta sejarah tentang hal-hal yang berkaitan dengan patriarki ini diharapkan dapat menjadi landasan yang kuat bagi analisis data-data yang diperoleh dari novel Hanauzumi sebagai objek material penelitian dan sumber data utama. Bab II ini terdiri atas empat sub bab pembahasan, yaitu Sistem Ie (sistem kekeluargaan Jepang), Agama/Kepercayaan, Ajaran Moral, dan Kebijakan Pemerintah. Keempat hal tersebut diuraikan dengan kaitanya terhadap sistem patriarki di Jepang. Bab III berisi pembahasan tentang struktur patriarki dan strateginya dalam mendominasi relasi gender yang terdapat dalam novel Hanauzumi. Bab ini terdiri atas enam subbab, antara lain, Pekerjaan dengan Upah, Produksi Rumah Tangga, Budaya, Seksualitas, Kekerasan, Negara. Bab IV berisi kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan. 24