KONSEP MATI MENURUT HUKUM

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi. penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata. membawa dampak sampingan terhadap jenis, kualitas dan

VISUM et REPERTUM dr, Zaenal SugiyantoMKes

Pengertian Maksud dan Tujuan Pembuatan Visum et Repertum Pembagian Visum et Repertum

Bagian Kedua Penyidikan

PENGANTAR MEDIKO-LEGAL. Budi Sampurna

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu

PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

Lex Administratum, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2017 TENTANG PELAKSANAAN RESTITUSI BAGI ANAK YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA

SURAT KETERANGAN MEDIS

KEWENANGAN PENYIDIK POLISI TERHADAP PEMERIKSAAN HASIL VISUM ET REPERTUM MENURUT KUHAP 1. Oleh : Yosy Ardhyan 2

BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM tentang Hukum Acara Pidana.

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 436 / MENKES / SK / VI / Tentang

BAB II. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP. yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan

MODUL FORENSIK FORENSIK KLINIK dan VeR. Penulis : Dr.dr. Rika Susanti, Sp.F Dr. Citra Manela, Sp.F Dr. Taufik Hidayat


PERANAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI UPAYA MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN Studi Kasus Putusan PN Surabaya No:3054/Pid.B/2010/PN.

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

RELEVANSI Skm gatra

FUNGSI DAN KEDUDUKAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PIDANA ARSYADI / D

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 9/Okt-Des/2016

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

-2- dialami pihak korban dalam bentuk pemberian ganti rugi dari pelaku atau Orang Tua pelaku, apabila pelaku merupakan Anak sebagai akibat tindak pida

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2

BAB II ATURAN HUKUM TENTANG OTOPSI DI INDONESIA Pengaturan Otopsi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF

BAB V PENUTUP. pertanggungjawaban pidana, dapat disimpulkan bahwa:

BAB I PENDAHUUAN. lainya, mengadakan kerjasama, tolong-menolong untuk memperoleh. pertikaian yang mengganggu keserasian hidup bersama.

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian. Kejahatan merupakan perilaku anti sosial dan juga

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

FUNGSI DAN KEDUDUKAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PIDANA ARSYADI / D

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

TINJAUAN ALUR PROSEDUR PEMBUATAN VISUM ET REPERTUM DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PANDAN ARANG BOYOLALI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

K homo homini lupus ketidakseimbangan dalam kehidupan manusia:pembunuhan, penganiayaan pemerkosaan, pencurian, dan tindak kejahatan lainnya sering ter

2017, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang d

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

BAB VI PENUTUP. 1. Prosedur tetap (protap) pembuatan visum et repertum. a. Pemeriksaan korban hidup. b. Pemeriksaan korban mati

TINJAUAN HUKUM TERHADAP SANTUNAN BAGI KELUARGA KORBAN MENINGGAL ATAU LUKA AKIBAT KECELAKAAN LALU LINTAS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. dan penyebab pertama kematian pada remaja usia tahun (WHO, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai

Ilmu Kedokteran Forensik (Interaksi dan Dependensi Hukum pada Ilmu Kedokteran)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB III HAMBATAN DALAM PEMBUATAN VISUM ET REPERTUM PADA PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN MENGGUNAKAN RACUN

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar belakang. Di rumah sakit Dr. Sardjito, angka kejadian kasus forensik klinik (hidup) yang dilakukan

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

CACATAN TERHADAP RUU PERLINDUNGAN SAKSI BERDASARKAN UU DAN PP TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PENCUCIAN UANG

BAB I PENDAHULUAN. khususnya bagi pasien mempunyai kedudukan dan martabat yang tinggi.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Kekerasan seksual pada anak, yaitu dalam bentuk pencabulan

IMPLEMENTASI OTOPSI FORENSIK DI INSTALASI KEDOKTERAN FORENSIK RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR

TINJAUAN YURIDIS PROSES PERKARA PIDANA PELANGGARAN LALU LINTAS MOHAMMAD RIFKI / D

P U T U S A N. Nomor : 19 /PID.SUS.ANAK/2014/PT-MDN.- DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. : Rantau Prapat. : Laki-laki.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Bab XXI : Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan

BAB 1. PENDAHULUAN. dimana barang bukti yang diperiksa tersebut tidak mungkin dihadapkan di sidang

KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh: Stenli Sompotan 2

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

KOP SURAT KEMENTERIAN ATR/BPN/PEMERINTAH PROVINSI/ PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA *) SURAT PERINTAH TUGAS Nomor: SP-../Gas-W/PPNS PENATAAN RUANG/ /20..

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kejahatan sudah ada sejak manusia dan masyarakat ada, demikian

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEAMANAN PANGAN (UNDANG-UNDANG NO 12 TENTANG PANGAN TAHUN 2012

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

BAB 1 PENDAHULUAN. yang diduga meninggal akibat suatu sebab yang tidak wajar. Pemeriksaan ini

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lex Crimen Vol. III/No. 4/Ags-Nov/2014. BEDAH MAYAT DAN AKIBAT HUKUMNYA 1 Oleh : Yukilfi Poluan 2

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232]

Transkripsi:

KONSEP MATI MENURUT HUKUM A. DEFINISI KEMATIAN Menurut UU no.36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 117, kematian didefinisikan sebagai Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi system jantung-sirkulasi dan system pernapasan terbukti telah berhenti secara permanen, atau apabila kematian batang otak telah dibuktikan Pada saat seseorang sudah dinyatakan mati, maka akan terjadi perubahan pada beberapa haknya, diantaranya: Kehilangan hak o Dihentikannya segala tindakan medis o Status kependudukan berubah o Segala kepemilikan berpindah tangan pada ahli waris Timbulnya hak o Pernyataan medis (sertifikat kematian: surat keterangan kematian) o Deklarasi/pernyataan dari pemerintah (akta kematian) B. PENANGANAN KEMATIAN Penanganan kematian dibedakan dalam 2 hal, yaitu: Kegiatan sertifikasi yang menghasilkan sebuah surat keterangan bahwa seseorang telah meninggal yang disebut dengan Surat Keterangan Kematian Kegiatan non-sertifikasi yang akan menghasilkan data dan informasi seputar kematian, diantaranya: o Cara kematian: sifat peristiwa yang menimbulkan penyebab kematian (Wajar-tidak wajar) o Sebab kematian: jenis kekerasan atau penyakit yang menimbulkan kematian o Mekanisme kematian: perubahan biologis, kimiawi dan patologis akibat penyebab kematian

o Lokasi kematian: temapt terjadinya kematian atau ditemukannya jenazah (Fasilitas Kesehatan-Diluar fasilitas kesehatan) C. SURAT KETERANGAN KEMATIAN Surat keterangan kematian mempunyai fungsi sebagai berikut: Pernyataan kematian dari petugas medis Untuk memfasilitasi kebutuhan registrasi penyebab kematian Syarat pengurusan administrasi kependudukan & pemulasaraan Surat keterangan kematian berisi: Identitas jenazah (nama, NIK, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, agama, pendidikan terakhir, pekerjaan, alamat, status kependudukan) Deklarasi kematian Waktu meninggal Umur saat meninggal Tempat meninggal Rencana pemulasaraan Dokter pemeriksa dan keluarga penerima jenazah Keterangan lengkap penyebab kematian D. AUTOPSI Autopsy adalah pemeriksaan tubuh mayat dengan jalan pembedahan untuk mengetahui penyebab kematian. Dasar hukum untuk penyelenggaraan autopsy adalah Undang Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 119 1) Untuk kepentingan penelitian dan pengembangan pelayanan kesehatan dapat dilakukan bedah mayat klinis di rumah sakit 2) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk menegakkan diagnosis dan / atau menyimpulkan penyebab kematian 3) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas dasar persetujuan pasien semasa hidupnya atau persetujuan tertulis keluarga terdekat pasien

4) Dalam hal pasien diduga meninggal akibat penyakit yang membahayakan masyarakat dan bedah mayar klinis mutlak diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan/atau penyebab kematiannya, tidak diperlukan persetujuan. E. VISUM ET REPERTUM Pengertian Visum et Repertum Pengertian yang terkandung dalam Visum Et Repertum ialah : YANG DILIHAT DAN DIKETEMUKAN. Jadi Visum Et Repertum adalah suatu keterangan dokter tentang apa yang dilihat dan diketemukan di dalam melakukan pemeriksaan terhadap orang yang luka atau terhadap mayat. Jadi merupakan kesaksian tertulis. Menurut Pasal 10 Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M04.UM.01.06 tahun 1983 menyatakan, bahwa hasil pemeriksaan ilmu kedokteran kehakiman disebut Visum et Repertum. Dengan demikian, menurut KUHAP keterangan ahli yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman atau dokterdan atau ahli lainnya disebut Visum et Repertum. Tugas seorang dokter dalam bidang ilmu kedokteran kehakiman adalah membantu para petugas kepolisian, kejaksaan dan kehakiman dalam mengungkap suatu perkara pidana yang berhubungan dengan perusakan tubuh, kesehatan dan nyawa manusia, sehingga bekerjanya harus objektif dengan mengumpulkan kenyataankenyataan dan menghubungkannya satu sama lain secara logis untuk kemudian mengambil kesimpulan, maka oleh karenanya pada waktu memberi laporan dalam pemberitaan dari Visum Et Repertum itu harus yang sesungguh-sungguhnya dan seobyektif-obyektifnya tentang apa yang dilihat dan diketemukan pada waktu pemeriksaan dan dengan demikian Visum Et Repertum merupakan kesaksian tertulis. Tidak dapat disangkal lagi bahwa tubuh manusia selalu berubahubah jadi keadaannya tidak statis, misalnya pada suatu kasus perkara pidana ada orang yang kena tusukan sehingga luka, lalu perkara ini diajukan ke sidang pengadilan, akan tetapi sidangnya mungkin baru dilaksanakan beberapa bulan kemudian dan sementara itu lukanya mungkin sudah sembuh atau semakin membusuk, keadaan luka itu sudah lain daripada waktu penusukkan itu terjadi dan oleh karena itu diperlukan suatu keterangan

yaitu Visum Et Repertum yang menerangkan keadaan luka pada saat atau tidak lama setelah peristiwa tersebut terjadi. Oleh sebab itu pengiriman barang bukti harus dilakukan dengan cepat. Visum Et Repertum merupakan rencana (verslag) yang diberikan oleh seorang dokter mengenai apa yang dilihat dan diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan secara obyektif, sebagai pengganti peristiwa yang terjadi dan harus dapat mengganti sepenuhnya barang bukti yang telah diperiksa dengan memuat semua kenyataan sehingga akhirnya daripadanya dapat ditarik suatu kesimpulan yang tepat. Selain itu Visum Et Repertum dipakai pula sebagai dokumen dengan nama ditanyakan pada dokter lain tentang barang bukti yang telah diperiksa apabila yang bersangkutan (Jaksa, Hakim) tidak menyetujui hasil pemeriksaan tersebut. Ada kemungkinan keluarga si korban berkeberatan dan menentang /menghalanghalangi untuk diadakan pemeriksaan bedah mayat (sectio), apabila demikian dapat dikenakan pasal 222 KUHP yang berbunyi : Barangsiapa dengan sengaja menghalanghalangi, merintangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk pengadilan, dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 4500,- Dari uraian tersebut diatas maka dapat ditarik simpulan bahwa tujuan Visum Et Repertum ialah : a) Harus sepenuhnya mengganti barang bukti yang diperiksa b) Merupakan dokumen kedokteran Syarat Pembuatan Visum et Repertum Pembuatan Visum et Repertum haruslah memenuhi syarat formil dan materiil. Syarat formil, yaitu menyangkut prosedur yang harus dipenuhi dalam pembuatannya. Menurut Instruksi Kepala Polisi Republik Indonesia No. Pol. : INS/E/20/IX/75 tentang Tata Cara Permohonan/Pencabutan Visum et Repertum, adalah : Permintaan Visum et Repertum haruslah secara tertulis (sesuai dengan Pasal 133 ayat (2) KUHAP) Pemeriksaan atas mayat dilakukan dengan cara dibedah, jika ada keberatan dari pihak keluarga korban, maka pihak polisi atau pemeriksa memberikan penjelasan tentang pentingnya dilakukan bedah mayat

Permintaan Visum et Repertum hanya dilakukan terhadap peristiwa Pidana yang baru terjadi, tidak dibenarkan permintaan atas peristiwa yang telah lampau; Polisi wajib menyaksikan dan mengikuti jalannya bedah mayat; Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, maka polisi perlu melakukan pengamanan tempat dilakukannya bedah mayat Syarat materiil dalam pembuatan Visum et Repertum adalah berkaitan dengan isi, yaitu sesuai dengan kenyataan yang ada pada tubuh korban yang diperiksa, pada saat diterimanya Surat Permintaan Visum et Repertum dari Penyidik. Peristiwa pidana yang memerlukan pembuatan Visum et Repertum, seperti ditentukan dalam KUHP adalah : 1. Pelaku Tindak Pidana yang diduga menderita kelainan jiwa, yaitu berkaitan dengan berlakunya ketentuan Pasal 44; 2. Penentuan umur korban/pelaku Tindak Pidana : - Berkaitan dengan korban Tindak Pidana terhadap anak,khususnya di bidang kesusilaan misalnya, ditentukan dalam Pasal 287, 288, 290 sampai dengan 295, 300 dan 301. - Berkaitan dengan pelaku Tindak Pidana anak yang ditentukan dalam UU No. 3/1997 tentang Pengadilan Anak. 3. Kejahatan kesusilaan diatur dalam Pasal 284 sampai dengan 290, dan Pasal 292 sampai dengan 294; 4. Kejahatan terhadap nyawa, yaitu Pasal 338 sampai dengan 348; 5. Penganiayaan, berkaitan dengan Pasal 351 sampai dengan 355, 6. Perbuatan alpa yang mengakibatkan mati atau luka orang lain, yaitu Pasal 359 dan 360. Permintaan VER berdasarkan KUHAP pasal 133; 1. Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan atau mati yg diduga karena peristiwa yg merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.

2. Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yg dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. 3. Mayat yg dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dgn penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yg memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yg diletakkan pada ibu jari atau bagian lain badan mayat. Dasar hukum mengenai pembuatan Visum et Repertum Berdasarkan Undang Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 122 1) Untuk kepentingan penegakkan hukum dapat dilakukan bedah mayat forensic sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan 2) Bedah mayat forensic sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh dokter ahli forensic, atau dokter lain apabila tidak ada dokter ahli forensic dan perujukan ke tempat yang ada dokter ahli forensic tidak memungkinkan