BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Dalam rangka pembangunan nasional untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan

UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM. Nomor : 429/SK/BAN-PT/Akred/S/XI/2014

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera demi mewujudkan suatu keadilan sosial, dengan cara pemenuhan. layak bagi seluruh rakyat Indonesia. 1

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pasal 27 ayat (2) yang berbunyi: Tiap tiap warga Negara berhak atas. pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

BAB I PENDAHULUAN. Kontribusi wajib ini bersifat memaksa dan diatur dengan undang-undang.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam,

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan perikatan yang lahir dari undang-undang yang. mewajibkan seseorang yang telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban debitor untuk membayar kembali utang sesuai jangka waktu yang telah

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

PENANGGUHAN EKSEKUSI OBJEK HAK JAMINAN KREDIT DI BANK DARI PERUSAHAAN YANG PAILIT 1 Oleh : Timothy Jano Sajow 2

BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Dalam rangka. merata di segala bidang, salah satunya adalah bidang ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara. sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaaan.

BAB II PENETAPAN HAK MENDAHULUI PADA FISKUS ATAS WAJIB PAJAK YANG DINYATAKAN PAILIT. A. Kepailitan dan Akibat Hukum Yang Ditinggalkannya

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang-

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

BAB I PENDAHULUAN. terbukti secara sederhana bahwa persyaratan permohonan

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

BAB I PENDAHULUAN. Proses perniagaan, apabila debitor tidak mampu ataupun tidak mau

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI

TINJAUAN YURIDIS PERKARA KEPAILITAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. membayar ganti rugi atau disebut dengan penanggung. Perjanjian asuransi adalah perjanjian timbal balik atau wederkerig

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN. Abstrak

BAB I. tidak dipakai. Sangat sedikit kasus-kasus yang ada saat itu yang mencoba memakai peraturan

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

PUTUSAN Nomor 67/PUU-XI/2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan ekonomi tersebut. Modal yang dimiliki oleh para pengusaha

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

BAB I PENDAHULUAN. - Uang berfungsi sebagai alat tukar atau medium of exchange yang dapat. cara barter dapat diatasi dengan pertukaran uang.

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 67/PUU-XI/2013 PERKARA NOMOR 69/PUU-XI/2013

Oleh: Dicki Nelson ABSTRAK

BAB II KEADAAN DIAM (STANDSTILL) DALAM HUKUM KEPAILITAN INDONESIA. Konsep keadaan diam atau standstill merupakan hal yang baru dalam

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur

BAB III PENUTUP. belum dapat berjalan dengan baik. Kurangnya konsistensi dalam

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang

HAK HAK KARYAWAN PADA PERUSAHAAN PAILIT (STUDI TENTANG PEMBERESAN HAK KARYAWAN PADA KASUS PERUSAHAAN PT. STARWIN) SKRIPSI

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan uraian pada bab-bab terdahulu, berikut disajikan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB I PENDAHULUAN. restrukturisasi dengan musyawarah dan mufakat, atau

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan.

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

Lex Privatum, Vol.II/No. 2/April/2014

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III HAK KREDITOR ATAS EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA BILAMANA DEBITOR PAILIT

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Terhadap kasus yang dihadapi oleh PT Metro Batavia dan International Lease

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR. 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

TANGGUNG JAWAB KURATOR PADA KEPAILITAN PT. ARTA GLORY BUANA TERHADAP PARA KREDITOR

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang dan Rumusan Masalah. Indonesia adalah negara hukum, artinya segala aspek kehidupan baik berbangsa dan

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang dan Rumusan Masalah. Tujuan dari Pembangunan Nasional adalah untuk mewujudkan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tah

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

BAB I PENDAHULUAN. berarti adanya interaksi berlandaskan kebutuhan demi pemenuhan finansial.

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari

BAB I PENDAHULUAN. membicarakan karakteristik hukum dalam pembangunan. 1 Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Balakang. Salah satu sarana yang mempunyai peran strategis didalam kehidupan

BAB IV HASIL PENELITIAN. A. Kedudukan Tertanggung Setelah Perusahaaan Asuransi Dinyatakan Pailit

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

BAB I PENDAHULUAN. mampu lagi untuk membayar hutang-hutangnya, maka pihak debitur ini

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 99/PUU-XIV/2016 Korelasi Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu dan Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tidak Tertentu

separatis dapat memintakan agar kekurangan tersebut diperhitungkan sebagai kreditor konkuren (kreditor pesaing). Kata kunci: Hak Eksekutorial, Pailit

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai peranan penting dalam pembangunan adalah pajak. Menurut Rochmat

PELAKSANAAN TUGAS KURATOR DALAM MENGURUS HARTA PAILIT BERDASARKAN PASAL 72 UNDANG UNDANG NO

HAK-HAK NORMATIF PEKERJA PADA PERUSAHAAN YANG DINYATAKAN PAILIT

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 071/PUU-II/2004

BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH PERSEROAN TERBATAS (PT) SEBAGAI DEBITOR UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DAN PKPU

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 18/PUU-XV/2017 Daluwarsa Hak Tagih Utang Atas Beban Negara

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR. Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 57/PUU-XII/2014 Penghitungan Pajak Penghasilan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia demi mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, yang merata secara materiil maupun spiritual yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Peran tenaga kerja sangat penting dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Oleh karena itu, perlu adanya perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesempatan yang sama serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan usaha. 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengatur dalam salah satu pasalnya yaitu dalam pasal 28D, pada ayat (1) menyatakan Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Pada ayat (2), Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bagian Menimbang 1

2 Perusahaan tempat pekerja/buruh bekerja tidak selamanya mengalami kestabilan dalam operasionalnya, dan hasil produksi tidak selamanya menghasilkan keuntungan yang meningkat. Banyak risiko yang akan timbul, baik dari segi investasi maupun pembiayaan. Perusahaan tidak akan terlepas dari utang piutang. Ketika perusahaan mengalami penurunan penghasilan dan keuntungan, perusahaan akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan kewajiban untuk membayar utang kepada para kreditornya. Disaat utang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih, kreditor dapat menagih kepada perusahaan, serta berhak mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan. Berdasarkan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) menyatakan, Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih Kreditornya. Yang dimaksud dengan Kreditor dalam ayat ini adalah baik Kreditor Konkuren, Kreditor Separatis, maupun Kreditor Preferen. 2 Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya atau kreditor dengan jaminan, disebut kreditor separatis. Berdasarkan pasal 55 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, kreditor tersebut berwenang untuk mengeksekusi haknya seolah-olah tidak 2 Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)

3 terjadi kepailitan. Separatis berarti terpisahnya hak eksekusi atas benda-benda yang dijaminkan dari harta yang dimiliki debitor yang dipailitkan. Sehingga, kreditor separatis mendapatkan posisi paling utama dalam proses kepailitan, sehubungan dengan hak atas kebendaan yang dijaminkan untuk piutangnya. 3 Kreditor preferen berarti kreditor yang memiliki hak istimewa atau hak prioritas. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memakai istilah hak-hak istimewa, sebagaimana diatur di dalam KUHPerdata. Hak istimewa mengandung arti hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya. Terdapat dua jenis hak istimewa yang diatur dalam KUHPerdata, yaitu hak istimewa khusus (pasal 1139 KUHPerdata) dan hak istimewa umum (pasal 1149 KUHPerdata). Hak istimewa khusus berarti hak istimewa yang menyangkut benda-benda tertentu, sedangkan yang termasuk hak istimewa umum adalah seluruh benda. Berdasarkan ketentuan KUHPerdata, hak istimewa khusus didahulukan atas hak istimewa umum (pasal 1138 KUHPerdata). Meskipun memiliki keistimewaan dibanding hak-hak yang dimiliki orang berpiutang pada umumnya, posisi pemegang hak istimewa pada dasarnya masih berada di bawah pemegang hak gadai atau hipotek sehubungan dengan benda-benda yang dijaminkan. Ada beberapa perkecualian untuk urutan tersebut, seperti misalnya, biaya-biaya perkara atau tagihan pajak. 4 3 HukumOnline.com. Pembayaran Upah Buruh dalam Proses Kepailitan. Diakses dari internet http://www.hukumonline.com, pada tanggal 21 Oktober 2014, pukul 21.45 WIB 4 Ibid.

4 Kreditor konkuren atau kreditor biasa adalah kreditor pada umumnya (tanpa hak jaminan kebendaan atau hak istimewa). Berdasarkan KUHPerdata, kreditor konkuren memiliki kedudukan yang setara dan memiliki hak yang seimbang (proporsional) atas piutang-piutang mereka. Ketentuan tersebut juga dinamakan prinsip paritas creditorium. 5 Menurut Rahayu Hartini, terdapat 3 (tiga) golongan Kreditor, yaitu 6 : a. Golongan Khusus, yaitu kreditor yang mempunyai hak tanggungan, gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan (pasal 56 UU Kepailitan); Pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 ayat (1) yang melaksanakan haknya tersebut, wajib memberikan pertanggungjawaban kepada kurator tentang hasil penjualan barang yang menjadi agunan dan menyerahkannya kepada kurator sisanya setelah dikurangi jumlah utang, bunga dan biaya. b. Golongan Istimewa (previlege), yaitu kreditor yang piutangnya mempunyai kedudukan istimewa artinya golongan kreditor yang mempunyai hak untuk pelunasan terlebih dahulu atas hasil penjualan harta pailit (pasal 1133, 1134, 1139, 1149 KUHPerdata). c. Golongan Konkuren, atau kreditor konkuren yaitu kreditor-kreditor yang tidak termasuk golongan khusus atau golongan istimewa. Pelunasan piutang-piutang mereka dicukupkan dengan sisa hasil penjualan atau pelelangan harta pailit sesudah diambil bagian golongan khusus dan golongan istimewa, sisa penjualan harta pailit itu dibagi menurut imbangan besar kecilnya piutang para kreditor konkuren itu (pasal 1132 KUHPerdata). Ketika perusahaan tempat pekerja/buruh bekerja dinyatakan pailit oleh Pengadilan, maka pekerja/buruh dapat meminta haknya yaitu upah. Berdasarkan pasal 39 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, upah yang terutang sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit. Yang dimaksud 5 Ibid. 6 Rahayu Hartini. 2012. Hukum Kepailitan. Malang: UMM Press. hlm. 139

5 dengan upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada pekerja atas jasa yang telah atau akan dilakukan, ditetapkan, dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarga. 7 Pekerja/buruh dalam kepailitan termasuk dalam golongan istimewa, yang mana tagihan upahnya dikategorikan sebagai hak istimewa umum, sesuai pasal 1149 angka (4) KUHPerdata. Walaupun memiliki hak untuk pelunasan terlebih dahulu atas penjualan harta pailit, posisi pemegang hak istimewa masih berada di bawah pemegang hak jaminan. Bahkan diantara kreditor pemegang hak istimewa, pekerja/buruh berada di peringkat kelima setelah tagihan pajak, biaya perkara, biaya lelang, dan biaya kurator. 8 Hal inilah yang kemudian menjadi perdebatan ketika disandingkan dengan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya. Kata didahulukan pembayarannya dianggap menjadi bermakna multitafsir. Didahulukan pembayarannya dianggap pelunasan tagihan upah pekerja/buruh didahulukan pembayarannya 7 Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) 8 Susilo Andi Darma. 2013. Kedudukan Pekerja/Buruh dalam Perkara Kepailitan Ditinjau dari Peraturan Perundang-Undangan dan Teori Keadilan. hlm. 132. Diakses dari internet http://www.aifis-digilib.org, pada tanggal 21 Oktober 2014, pukul 21.47 WIB

6 mendahului Kreditor Separatis maupun hak Negara, tagihan pajak, biaya perkara, biaya lelang, dan biaya kurator. Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ini kemudian diajukan permohonan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 17 Juni 2013 dengan nomor perkara 67/PUU-XI/2013 oleh 9 (sembilan) orang pekerja PT. PERTAMINA sebagai pemohon. Pemohon masing-masing bernama: Ir. Otto Geo Diwara Purba sebagai Pemohon I; Ir. Syamsul Bahri Hasibuan S.H.,M.H sebagai Pemohon II; Eiman sebagai Pemohon III; Robby Prijatmodjo sebagai Pemohon IV; Macky Ricky Avianto sebagai Pemohon V; Yuli Santoso sebagai Pemohon VI; Joni Nazarudin sebagai Pemohon VII; Piere J Wauran sebagai Pemohon VIII; dan Maison Des Arnoldi sebagai Pemohon IX. Para pemohon ini mempunyai kepedulian perlindungan terhadap para karyawan PT. PERTAMINA khususnya, dan pekerja yang bekerja pada perusahaan lain pada umumnya, yang akan berpotensi dikenai pemberlakuan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ketika perusahaan tempat mereka bekerja mengalami pailit. Kepailitan ini yang dikhawatirkan akan menyulitkan pekerja dalam menuntut hak-hak mereka apabila dihadapkan dengan kreditor lain. Permohonan ini diajukan dengan tujuan untuk memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan keluarganya. Hal inilah yang dianggap oleh para pemohon tidak adanya penafsiran yang tegas dalam ketentuan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun

7 2003 tentang Ketenagakerjaan, sehingga berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum serta pengingkaran terhadap hak-hak para pemohon selaku pekerja dan pekerja lainnya yang bekerja di perusahaan tempat mereka bekerja yang sedang mengalami pailit berdasarkan putusan pengadilan. Alasan pengajuan permohonan judicial review Pasal 95 ayat (4) Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan oleh para pemohon adalah karena dianggap bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Yang pertama, dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, karena berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pekerja, yakni dalam praktik dan mengingat ketentuan hukum yang berlaku, baik itu dalam Pasal 1134 ayat (2) juncto Pasal 1137 KUH Perdata dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, maka terdapat urutan peringkat penyelesaiian tagihan kreditor setelah selesainya kreditor separatis, dimana upah buruh masih harus menunggu urutan setelah tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah untuk didahulukan. Selain itu, pemberlakuan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian bahwa Hak pemegang polis atas pembagian harta kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan

8 Asuransi Jiwa yang di likuidasi maerupakan hak utama. Baik dalam Undang- Undang Pajak, Undang-Undang Asuransi maupun Undang-Undang Ketenagakerjaan semua menyatakan diutamakan/didahulukan. Hal ini kemudian dalam praktiknya akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pekerja/buruh. Yang kedua, Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dianggap bertentangan dengan pasal 28D ayat (2) karena berpotensi menimbulkan pelanggaran hak pekerja untuk memperoleh perlakuan yang adil dan layak secara hukum, yakni meskipun upah dan hakhak buruh dijamin dalam hal terjadinya pailit atau likuidasi perusahaan, namun posisi pekerja selaku kreditor preferen khusus menjadi rentan karena masih menunggu pembayaran bagi kreditor separatis dalam hal terjadinya kepailitan. Dengan demikian salah satu pihak yang dijaminkan haknya selama proses pailit yaitu para pekerja/buruh menjadi terabaikan hak asasi manusianya untuk mendapatkan penghidupan yang layak dan imbalan yang sesuai dengan kerjanya. Atas permohonan ini, Mahkamah dalam amar putusannya mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian, bahwa 1) Pasal 95 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai : pembayaran upah pekerja/buruh yang terutang didahulukan atas semua jenis kreditor termasuk atas tagihan kreditor separatis, tagihan hak Negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk oleh Pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua

9 tagihan termasuk tagihan hak Negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk oleh Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditor separatis. 2) Pasal 95 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai : pembayaran upah pekerja/buruh yang terutang didahulukan atas semua jenis kreditor termasuk atas tagihan kreditor separatis, tagihan hak Negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk oleh Pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak Negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk oleh Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditor separatis. Apabila dilihat dari sejarah, filosofi dan asas-asas hukum kepailitan, hukum kepailitan itu sendiri ada karena adanya perjanjian utang piutang antara debitor dan kreditor, dimana penyelesaiannya yang sulit mengakibatkan perlu ada pengaturan penyelesaian pembayaran utang untuk melindungi debitor dan kreditor, oleh karena itu kepailitan menganut beberapa prinsip utama penyelesaian utang debitor terhadap kreditornya secara merata untuk menciptakan keadilan. Selain itu, menurut Sutan Remy Sjahdeini 9, beberapa asas yang seyogyanya termuat dalam Undang-Undang Kepailitan yaitu: Undang-Undang Kepailitan harus dapat mendorong kegairahan Investasi Asing, mendorong Pasar Modal, dan memudahkan perusahaan Indonesia memperoleh kredit luar 9 Sutan Remy Sjahdeini. 2002. Hukum Kepailitan: Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No.4 Tahun 1998. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti. hlm. 42-43.

10 negeri; Undang-Undang Kepailitan harus memberikan perlindungan yang seimbang bagi kreditor dan debitor. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013 akan bisa menimbulkan rasa ketidakadilan bagi pihak kreditor lain terutama kreditor separatis yang notabene kebanyakan adalah investor. Hal tersebutlah yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian lebih dalam terhadap dasar putusan Hakim Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sebagian permohonan pemohon, serta implikasi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terhadap hak-hak buruh pada perusahaan pailit pasca judicial review ke dalam bentuk penulisan skripsi yang berjudul : IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 67/PUU-XI/2013 TERHADAP HAK-HAK BURUH PADA PERUSAHAAN PAILIT PASCA JUDICIAL REVIEW B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka penulis akan meneliti dan membahas masalah yang dirumuskan sebagai berikut : 1. Apa dasar putusan Hakim Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sebagian permohonan pemohon pada permohonan judicial review Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan? 2. Bagaimana implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU- XI/2013 terhadap hak-hak buruh pada perusahaan pailit pasca judicial review?

11 C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian yang dilakukan penulis adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui dan menganalisa dasar putusan Hakim Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sebagian permohonan pemohon pada permohonan judicial review Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 2. Untuk mengetahui dan mendiskripsikan implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013 terhadap hak-hak buruh pasca judicial review. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian yang ingin dicapai penulis adalah sebagai berikut : 1. Manfaat praktis Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat luas tentang pengetahuan hak dan kewajiban yang terkait dengan bidang usaha dan ketenagakerjaan ketika terjadi sebuah peristiwa hukum (kepailitan pada perusahaan). 2. Manfaat teoritis Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis berupa pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum perdata yang berkaitan dengan hak dan kewajiban para subjek hukum bidang usaha dan

12 ketenagakerjaan ketika terjadi sebuah peristiwa hukum (kepailitan pada perusahaan). E. Kegunaan Penelitian 1. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi penulis tentang hak dan kewajiban subjek hukum dalam bidang usaha dan ketenagakerjaan ketika terjadi sebuah peristiwa hukum (kepailitan pada perusahaan) setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013. 2. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pedoman dan pemahaman bagi masyarakat saat berada dalam bidang usaha dan ketenagakerjaan ketika terjadi sebuah peristiwa hukum (kepailitan pada perusahaan). 3. Bagi akademisi hukum, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan hukum dalam bidang hukum perdata khususnya bidang usaha dan ketenagakerjaan yang terkait dengan hak dan kewajiban para subjek hukumnya ketika terjadi kepailitan setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013. F. Metode Penelitian Untuk memperoleh data-data yang dihubungkan dengan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut :

13 1. Metode Pendekatan Sebagai penelitian hukum yang melihat hukum sebagai norma dalam masyarakat, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Dengan menganalisa masalah berdasarkan hukum positif/peraturan perundang-undangan (statute approach). Selain itu, penulis melakukan penelitian hukum ini dengan pendekatan konseptual (konseptual approach). Pendekatan konseptual (konseptual approach) beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. 10 Yaitu dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrindoktrin dalam ilmu hukum sesuai permasalahan yang diangkat. 2. Jenis Bahan Hukum a. Bahan Hukum Primer Adalah bahan hukum yang diperoleh dari hukum positif/peraturan perundang-undangan. 11 Beberapa peraturan perundang-undangan yang dikaji terkait dengan masalah adalah yang terkait dengan kepailitan, ketenagakerjaan, dan hukum jaminan kebendaan. b. Bahan Hukum Sekunder Adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer, berupa buku, jurnal, hasil penelitian, hasil kegiatan ilmiah, dan lain-lain. 12 Yaitu 10 Peter Mahmud Marzuki. 2010. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. hlm. 94-95 11 Fakultas Hukum UMM. 2012. Pedoman Penulisan Hukum. Malang: UMM Press. hlm. 18 12 Ibid. Hlm. 19

14 yang terkait dengan masalah kepailitan, ketenagakerjaan, dan hukum jaminan kebendaan. c. Bahan Hukum Tersier Adalah bahan hukum yang diperoleh dari Ensiklopedi, Kamus, dan lain-lain. 13 3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan oleh penulis yaitu dengan studi pustaka. Peneliti mencari bahan-bahan hukum yang sesuai dengan masalah, dan berdasar pendekatan yang digunakan. 4. Teknik Analisa Data Teknik analisa data yang dilakukan penulis dalam penelitian ini yaitu analisa isi (content analysis) terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013 dengan berdasar pendekatan yang digunakan. Penulis mengkaji masalah yang dibahas, menelaah peraturan perundang-undangan terkait, dan berdasarkan asas-asas/prinsip-prinsip kepailitan, serta menggunakan analogi/penafsiran. G. Sistematika Penulisan Pada penelitian ini, penulis akan menyajikan empat bab yang terdiri dari sub-sub bab, sistematika penulisannya secara singkat adalah sebagai berikut : 13 Ibid.

15 1. BAB I : PENDAHULUAN Bab ini memuat hal-hal yang melatarbelakangi pemilihan topik dari penulisan skripsi dan sekaligus menjadi pengantar umum didalam memahami penulisan secara keseluruhan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kegunaan penelitian, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. 2. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab II ini penulis akan menguraikan dan menjelaskan berbagai teoriteori hukum yang dapat mendukung peneliti dalam membahas dan menjawab rumusan masalah terkait dengan para subjek hukum dalam bidang usaha ketika perusahaan terjadi kepailitan, hak dan kewajiban para subjek hukum tersebut ketika terjadi kepailitan. 3. BAB III : PEMBAHASAN Dalam bab III ini penulis akan menjawab, menguraikan dan menganalisa secara rinci dan jelas terkait dengan rumusan masalah. Penulis akan menguraikan dan menganalisa masalah berdasarkan metode pendekatan yang digunakan, serta berdasarkan bahan yang digunakan penulis untuk menjawab rumusan masalah. 4. BAB IV : PENUTUP Dalam bab IV berisi kesimpulan-kesimpulan, ini merupakan hasil penelitian yang dirumuskan dalam bentuk pernyataan dan merupakan jawaban atas rumusan masalah, sedangkan saran merupakan sumbangan pemikiran penulis.