BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia demi mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, yang merata secara materiil maupun spiritual yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Peran tenaga kerja sangat penting dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Oleh karena itu, perlu adanya perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesempatan yang sama serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan usaha. 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengatur dalam salah satu pasalnya yaitu dalam pasal 28D, pada ayat (1) menyatakan Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Pada ayat (2), Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bagian Menimbang 1
2 Perusahaan tempat pekerja/buruh bekerja tidak selamanya mengalami kestabilan dalam operasionalnya, dan hasil produksi tidak selamanya menghasilkan keuntungan yang meningkat. Banyak risiko yang akan timbul, baik dari segi investasi maupun pembiayaan. Perusahaan tidak akan terlepas dari utang piutang. Ketika perusahaan mengalami penurunan penghasilan dan keuntungan, perusahaan akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan kewajiban untuk membayar utang kepada para kreditornya. Disaat utang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih, kreditor dapat menagih kepada perusahaan, serta berhak mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan. Berdasarkan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) menyatakan, Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih Kreditornya. Yang dimaksud dengan Kreditor dalam ayat ini adalah baik Kreditor Konkuren, Kreditor Separatis, maupun Kreditor Preferen. 2 Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya atau kreditor dengan jaminan, disebut kreditor separatis. Berdasarkan pasal 55 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, kreditor tersebut berwenang untuk mengeksekusi haknya seolah-olah tidak 2 Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
3 terjadi kepailitan. Separatis berarti terpisahnya hak eksekusi atas benda-benda yang dijaminkan dari harta yang dimiliki debitor yang dipailitkan. Sehingga, kreditor separatis mendapatkan posisi paling utama dalam proses kepailitan, sehubungan dengan hak atas kebendaan yang dijaminkan untuk piutangnya. 3 Kreditor preferen berarti kreditor yang memiliki hak istimewa atau hak prioritas. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memakai istilah hak-hak istimewa, sebagaimana diatur di dalam KUHPerdata. Hak istimewa mengandung arti hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya. Terdapat dua jenis hak istimewa yang diatur dalam KUHPerdata, yaitu hak istimewa khusus (pasal 1139 KUHPerdata) dan hak istimewa umum (pasal 1149 KUHPerdata). Hak istimewa khusus berarti hak istimewa yang menyangkut benda-benda tertentu, sedangkan yang termasuk hak istimewa umum adalah seluruh benda. Berdasarkan ketentuan KUHPerdata, hak istimewa khusus didahulukan atas hak istimewa umum (pasal 1138 KUHPerdata). Meskipun memiliki keistimewaan dibanding hak-hak yang dimiliki orang berpiutang pada umumnya, posisi pemegang hak istimewa pada dasarnya masih berada di bawah pemegang hak gadai atau hipotek sehubungan dengan benda-benda yang dijaminkan. Ada beberapa perkecualian untuk urutan tersebut, seperti misalnya, biaya-biaya perkara atau tagihan pajak. 4 3 HukumOnline.com. Pembayaran Upah Buruh dalam Proses Kepailitan. Diakses dari internet http://www.hukumonline.com, pada tanggal 21 Oktober 2014, pukul 21.45 WIB 4 Ibid.
4 Kreditor konkuren atau kreditor biasa adalah kreditor pada umumnya (tanpa hak jaminan kebendaan atau hak istimewa). Berdasarkan KUHPerdata, kreditor konkuren memiliki kedudukan yang setara dan memiliki hak yang seimbang (proporsional) atas piutang-piutang mereka. Ketentuan tersebut juga dinamakan prinsip paritas creditorium. 5 Menurut Rahayu Hartini, terdapat 3 (tiga) golongan Kreditor, yaitu 6 : a. Golongan Khusus, yaitu kreditor yang mempunyai hak tanggungan, gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan (pasal 56 UU Kepailitan); Pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 ayat (1) yang melaksanakan haknya tersebut, wajib memberikan pertanggungjawaban kepada kurator tentang hasil penjualan barang yang menjadi agunan dan menyerahkannya kepada kurator sisanya setelah dikurangi jumlah utang, bunga dan biaya. b. Golongan Istimewa (previlege), yaitu kreditor yang piutangnya mempunyai kedudukan istimewa artinya golongan kreditor yang mempunyai hak untuk pelunasan terlebih dahulu atas hasil penjualan harta pailit (pasal 1133, 1134, 1139, 1149 KUHPerdata). c. Golongan Konkuren, atau kreditor konkuren yaitu kreditor-kreditor yang tidak termasuk golongan khusus atau golongan istimewa. Pelunasan piutang-piutang mereka dicukupkan dengan sisa hasil penjualan atau pelelangan harta pailit sesudah diambil bagian golongan khusus dan golongan istimewa, sisa penjualan harta pailit itu dibagi menurut imbangan besar kecilnya piutang para kreditor konkuren itu (pasal 1132 KUHPerdata). Ketika perusahaan tempat pekerja/buruh bekerja dinyatakan pailit oleh Pengadilan, maka pekerja/buruh dapat meminta haknya yaitu upah. Berdasarkan pasal 39 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, upah yang terutang sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit. Yang dimaksud 5 Ibid. 6 Rahayu Hartini. 2012. Hukum Kepailitan. Malang: UMM Press. hlm. 139
5 dengan upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada pekerja atas jasa yang telah atau akan dilakukan, ditetapkan, dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarga. 7 Pekerja/buruh dalam kepailitan termasuk dalam golongan istimewa, yang mana tagihan upahnya dikategorikan sebagai hak istimewa umum, sesuai pasal 1149 angka (4) KUHPerdata. Walaupun memiliki hak untuk pelunasan terlebih dahulu atas penjualan harta pailit, posisi pemegang hak istimewa masih berada di bawah pemegang hak jaminan. Bahkan diantara kreditor pemegang hak istimewa, pekerja/buruh berada di peringkat kelima setelah tagihan pajak, biaya perkara, biaya lelang, dan biaya kurator. 8 Hal inilah yang kemudian menjadi perdebatan ketika disandingkan dengan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya. Kata didahulukan pembayarannya dianggap menjadi bermakna multitafsir. Didahulukan pembayarannya dianggap pelunasan tagihan upah pekerja/buruh didahulukan pembayarannya 7 Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) 8 Susilo Andi Darma. 2013. Kedudukan Pekerja/Buruh dalam Perkara Kepailitan Ditinjau dari Peraturan Perundang-Undangan dan Teori Keadilan. hlm. 132. Diakses dari internet http://www.aifis-digilib.org, pada tanggal 21 Oktober 2014, pukul 21.47 WIB
6 mendahului Kreditor Separatis maupun hak Negara, tagihan pajak, biaya perkara, biaya lelang, dan biaya kurator. Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ini kemudian diajukan permohonan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 17 Juni 2013 dengan nomor perkara 67/PUU-XI/2013 oleh 9 (sembilan) orang pekerja PT. PERTAMINA sebagai pemohon. Pemohon masing-masing bernama: Ir. Otto Geo Diwara Purba sebagai Pemohon I; Ir. Syamsul Bahri Hasibuan S.H.,M.H sebagai Pemohon II; Eiman sebagai Pemohon III; Robby Prijatmodjo sebagai Pemohon IV; Macky Ricky Avianto sebagai Pemohon V; Yuli Santoso sebagai Pemohon VI; Joni Nazarudin sebagai Pemohon VII; Piere J Wauran sebagai Pemohon VIII; dan Maison Des Arnoldi sebagai Pemohon IX. Para pemohon ini mempunyai kepedulian perlindungan terhadap para karyawan PT. PERTAMINA khususnya, dan pekerja yang bekerja pada perusahaan lain pada umumnya, yang akan berpotensi dikenai pemberlakuan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ketika perusahaan tempat mereka bekerja mengalami pailit. Kepailitan ini yang dikhawatirkan akan menyulitkan pekerja dalam menuntut hak-hak mereka apabila dihadapkan dengan kreditor lain. Permohonan ini diajukan dengan tujuan untuk memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan keluarganya. Hal inilah yang dianggap oleh para pemohon tidak adanya penafsiran yang tegas dalam ketentuan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
7 2003 tentang Ketenagakerjaan, sehingga berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum serta pengingkaran terhadap hak-hak para pemohon selaku pekerja dan pekerja lainnya yang bekerja di perusahaan tempat mereka bekerja yang sedang mengalami pailit berdasarkan putusan pengadilan. Alasan pengajuan permohonan judicial review Pasal 95 ayat (4) Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan oleh para pemohon adalah karena dianggap bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Yang pertama, dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, karena berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pekerja, yakni dalam praktik dan mengingat ketentuan hukum yang berlaku, baik itu dalam Pasal 1134 ayat (2) juncto Pasal 1137 KUH Perdata dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, maka terdapat urutan peringkat penyelesaiian tagihan kreditor setelah selesainya kreditor separatis, dimana upah buruh masih harus menunggu urutan setelah tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah untuk didahulukan. Selain itu, pemberlakuan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian bahwa Hak pemegang polis atas pembagian harta kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan
8 Asuransi Jiwa yang di likuidasi maerupakan hak utama. Baik dalam Undang- Undang Pajak, Undang-Undang Asuransi maupun Undang-Undang Ketenagakerjaan semua menyatakan diutamakan/didahulukan. Hal ini kemudian dalam praktiknya akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pekerja/buruh. Yang kedua, Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dianggap bertentangan dengan pasal 28D ayat (2) karena berpotensi menimbulkan pelanggaran hak pekerja untuk memperoleh perlakuan yang adil dan layak secara hukum, yakni meskipun upah dan hakhak buruh dijamin dalam hal terjadinya pailit atau likuidasi perusahaan, namun posisi pekerja selaku kreditor preferen khusus menjadi rentan karena masih menunggu pembayaran bagi kreditor separatis dalam hal terjadinya kepailitan. Dengan demikian salah satu pihak yang dijaminkan haknya selama proses pailit yaitu para pekerja/buruh menjadi terabaikan hak asasi manusianya untuk mendapatkan penghidupan yang layak dan imbalan yang sesuai dengan kerjanya. Atas permohonan ini, Mahkamah dalam amar putusannya mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian, bahwa 1) Pasal 95 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai : pembayaran upah pekerja/buruh yang terutang didahulukan atas semua jenis kreditor termasuk atas tagihan kreditor separatis, tagihan hak Negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk oleh Pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua
9 tagihan termasuk tagihan hak Negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk oleh Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditor separatis. 2) Pasal 95 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai : pembayaran upah pekerja/buruh yang terutang didahulukan atas semua jenis kreditor termasuk atas tagihan kreditor separatis, tagihan hak Negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk oleh Pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak Negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk oleh Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditor separatis. Apabila dilihat dari sejarah, filosofi dan asas-asas hukum kepailitan, hukum kepailitan itu sendiri ada karena adanya perjanjian utang piutang antara debitor dan kreditor, dimana penyelesaiannya yang sulit mengakibatkan perlu ada pengaturan penyelesaian pembayaran utang untuk melindungi debitor dan kreditor, oleh karena itu kepailitan menganut beberapa prinsip utama penyelesaian utang debitor terhadap kreditornya secara merata untuk menciptakan keadilan. Selain itu, menurut Sutan Remy Sjahdeini 9, beberapa asas yang seyogyanya termuat dalam Undang-Undang Kepailitan yaitu: Undang-Undang Kepailitan harus dapat mendorong kegairahan Investasi Asing, mendorong Pasar Modal, dan memudahkan perusahaan Indonesia memperoleh kredit luar 9 Sutan Remy Sjahdeini. 2002. Hukum Kepailitan: Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No.4 Tahun 1998. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti. hlm. 42-43.
10 negeri; Undang-Undang Kepailitan harus memberikan perlindungan yang seimbang bagi kreditor dan debitor. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013 akan bisa menimbulkan rasa ketidakadilan bagi pihak kreditor lain terutama kreditor separatis yang notabene kebanyakan adalah investor. Hal tersebutlah yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian lebih dalam terhadap dasar putusan Hakim Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sebagian permohonan pemohon, serta implikasi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terhadap hak-hak buruh pada perusahaan pailit pasca judicial review ke dalam bentuk penulisan skripsi yang berjudul : IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 67/PUU-XI/2013 TERHADAP HAK-HAK BURUH PADA PERUSAHAAN PAILIT PASCA JUDICIAL REVIEW B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka penulis akan meneliti dan membahas masalah yang dirumuskan sebagai berikut : 1. Apa dasar putusan Hakim Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sebagian permohonan pemohon pada permohonan judicial review Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan? 2. Bagaimana implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU- XI/2013 terhadap hak-hak buruh pada perusahaan pailit pasca judicial review?
11 C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian yang dilakukan penulis adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui dan menganalisa dasar putusan Hakim Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sebagian permohonan pemohon pada permohonan judicial review Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 2. Untuk mengetahui dan mendiskripsikan implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013 terhadap hak-hak buruh pasca judicial review. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian yang ingin dicapai penulis adalah sebagai berikut : 1. Manfaat praktis Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat luas tentang pengetahuan hak dan kewajiban yang terkait dengan bidang usaha dan ketenagakerjaan ketika terjadi sebuah peristiwa hukum (kepailitan pada perusahaan). 2. Manfaat teoritis Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis berupa pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum perdata yang berkaitan dengan hak dan kewajiban para subjek hukum bidang usaha dan
12 ketenagakerjaan ketika terjadi sebuah peristiwa hukum (kepailitan pada perusahaan). E. Kegunaan Penelitian 1. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi penulis tentang hak dan kewajiban subjek hukum dalam bidang usaha dan ketenagakerjaan ketika terjadi sebuah peristiwa hukum (kepailitan pada perusahaan) setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013. 2. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pedoman dan pemahaman bagi masyarakat saat berada dalam bidang usaha dan ketenagakerjaan ketika terjadi sebuah peristiwa hukum (kepailitan pada perusahaan). 3. Bagi akademisi hukum, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan hukum dalam bidang hukum perdata khususnya bidang usaha dan ketenagakerjaan yang terkait dengan hak dan kewajiban para subjek hukumnya ketika terjadi kepailitan setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013. F. Metode Penelitian Untuk memperoleh data-data yang dihubungkan dengan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut :
13 1. Metode Pendekatan Sebagai penelitian hukum yang melihat hukum sebagai norma dalam masyarakat, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Dengan menganalisa masalah berdasarkan hukum positif/peraturan perundang-undangan (statute approach). Selain itu, penulis melakukan penelitian hukum ini dengan pendekatan konseptual (konseptual approach). Pendekatan konseptual (konseptual approach) beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. 10 Yaitu dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrindoktrin dalam ilmu hukum sesuai permasalahan yang diangkat. 2. Jenis Bahan Hukum a. Bahan Hukum Primer Adalah bahan hukum yang diperoleh dari hukum positif/peraturan perundang-undangan. 11 Beberapa peraturan perundang-undangan yang dikaji terkait dengan masalah adalah yang terkait dengan kepailitan, ketenagakerjaan, dan hukum jaminan kebendaan. b. Bahan Hukum Sekunder Adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer, berupa buku, jurnal, hasil penelitian, hasil kegiatan ilmiah, dan lain-lain. 12 Yaitu 10 Peter Mahmud Marzuki. 2010. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. hlm. 94-95 11 Fakultas Hukum UMM. 2012. Pedoman Penulisan Hukum. Malang: UMM Press. hlm. 18 12 Ibid. Hlm. 19
14 yang terkait dengan masalah kepailitan, ketenagakerjaan, dan hukum jaminan kebendaan. c. Bahan Hukum Tersier Adalah bahan hukum yang diperoleh dari Ensiklopedi, Kamus, dan lain-lain. 13 3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan oleh penulis yaitu dengan studi pustaka. Peneliti mencari bahan-bahan hukum yang sesuai dengan masalah, dan berdasar pendekatan yang digunakan. 4. Teknik Analisa Data Teknik analisa data yang dilakukan penulis dalam penelitian ini yaitu analisa isi (content analysis) terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013 dengan berdasar pendekatan yang digunakan. Penulis mengkaji masalah yang dibahas, menelaah peraturan perundang-undangan terkait, dan berdasarkan asas-asas/prinsip-prinsip kepailitan, serta menggunakan analogi/penafsiran. G. Sistematika Penulisan Pada penelitian ini, penulis akan menyajikan empat bab yang terdiri dari sub-sub bab, sistematika penulisannya secara singkat adalah sebagai berikut : 13 Ibid.
15 1. BAB I : PENDAHULUAN Bab ini memuat hal-hal yang melatarbelakangi pemilihan topik dari penulisan skripsi dan sekaligus menjadi pengantar umum didalam memahami penulisan secara keseluruhan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kegunaan penelitian, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. 2. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab II ini penulis akan menguraikan dan menjelaskan berbagai teoriteori hukum yang dapat mendukung peneliti dalam membahas dan menjawab rumusan masalah terkait dengan para subjek hukum dalam bidang usaha ketika perusahaan terjadi kepailitan, hak dan kewajiban para subjek hukum tersebut ketika terjadi kepailitan. 3. BAB III : PEMBAHASAN Dalam bab III ini penulis akan menjawab, menguraikan dan menganalisa secara rinci dan jelas terkait dengan rumusan masalah. Penulis akan menguraikan dan menganalisa masalah berdasarkan metode pendekatan yang digunakan, serta berdasarkan bahan yang digunakan penulis untuk menjawab rumusan masalah. 4. BAB IV : PENUTUP Dalam bab IV berisi kesimpulan-kesimpulan, ini merupakan hasil penelitian yang dirumuskan dalam bentuk pernyataan dan merupakan jawaban atas rumusan masalah, sedangkan saran merupakan sumbangan pemikiran penulis.