LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU PEMENUHAN DAN PELINDUNGAN HAK PEKERJA PEREMPUAN (Studi di Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Riau) Sali Susiana PUSAT PENELITIAN BADAN KEAHLIAN DPR RI JAKARTA 2016 1
EXECUTIVE SUMMARY Persamaan hak pekerja laki-laki dan pekerja perempuan dijamin oleh konstitusi. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Pasal 28D ayat (2) menegaskan, setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Selanjutnya Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan adanya kesamaan hak tanpa diskriminasi antara tenaga kerja laki-laki dan tenaga kerja perempuan di pasar kerja. Hal serupa juga diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, yang menegaskan bahwa Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh mengadakan diskriminasi antara buruh laki-laki dan buruh perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya. Selain diatur dalam UU Ketenagakerjaan, persamaan hak pekerja laki-laki dan perempuan juga terdapat dalam beberapa konvensi ketenagakerjaan internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, antara lain: Konvensi No. 100 tentang Pengupahan yang Sama bagi Laki-Laki dan Perempuan untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya (diratifikasi dengan Undang-Undang No.80 Tahun 1957) dan Konvensi No. 111 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan (diratifikasi dengan Undang-Undang No. 21 Tahun 1999). Beberapa isu pokok tenaga kerja perempuan selain berkaitan dengan upah dan diskriminasi yaitu tentang jaminan sosial, pelindungan kehamilan, bekerja pada malam hari, pemutusan hubungan kerja, serta keselamatan dan kesehatan kerja. Beberapa isu tersebut juga telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan, misalnya larangan untuk bekerja pada malam hari (Pasal 76); pelindungan fungsi reproduksi (Pasal 81); dan pelindungan kehamilan [Pasal 82 ayat (1)]. Menjadi pertanyaan kemudian bagaimana pemenuhan dan pelindungan hak-hak pekerja perempuan tersebut diimplementasikan dalam perusahaan. meskipun secara yuridis formal jaminan terhadap hak pekerja perempuan telah diatur dalam konstitusi, undang-undang tentang ketenagakerjaan dan peraturan pelaksana 2
maupun konvensi internasional, kondisi pekerja perempuan secara umum masih perlu terus ditingkatkan karena belum sepenuhnya hak mereka terlindungi. Apalagi bila kemudian dikaitkan dengan konteks otonomi daerah, kebijakan setiap daerah di bidang ketenagakerjaan dapat saja berbeda. Demikian pula dengan kebijakan masing-masing perusahaan yang mempekerjakan pekerja perempuan. Dengan demikian permasalahan yang dapat dirumuskan adalah Bagaimana pemenuhan dan pelindungan hak pekerja perempuan selama ini? Permasalahan penelitian tersebut dijabarkan ke dalam pertanyaan penelitian berikut: 1. Bagaimana aturan hukum mengenai hak-hak pekerja perempuan di Indonesia? 2. Bagaimana upaya pemerintah daerah untuk memenuhi dan melindungi hak pekerja perempuan? 3. Bagaimana perusahaan melaksanakan pemenuhan dan pelindungan hak pekerja perempuan? Penelitian tentang pemenuhan dan pelindungan hak pekerja perempuan bertujuan untuk melengkapi penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, antara lain penelitian yang telah dilakukan oleh Imma Indra Dewi W. pada tahun 2002 mengenai pengupahan pada pekerja perempuan beberapa perusahaan percetakan di Daerah Istimewa Yogyakarta dan DKI Jakarta. Hasil penelitian diharapkan dapat dimanfaatkan oleh DPR RI dalam melaksanakan fungsi pengawasan yang terkait dengan pemenuhan dan pelindungan hak pekerja perempuan. Secara umum penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Melalui pendekatan ini diharapkan dapat diperoleh masukan sebanyak-banyaknya dari para narasumber dan informan, sehingga dapat diperoleh gambaran yang utuh mengenai pemenuhan dan pelindungan hak pekerja perempuan. Sesuai dengan pendekatan yang dipakai, yaitu pendekatan kualitatif, data dikumpulkan melalui wawancara terbuka kepada narasumber dan informan penelitian. Sejalan dengan metode pengumpulan data yang digunakan, yaitu wawancara mendalam dan studi dokumen yang relevan dengan topik penelitian, maka peneliti melakukan wawancara kepada: (1) pejabat di instansi/satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang menangani bidang pemberdayaan perempuan dan bidang ketenagakerjaan; (2) pengusaha; dan (3) pekerja perempuan. Di Provinsi Jawa Timur, perusahaan yang dipilih menjadi objek penelitian adalah PT. Vitapharm, sedangkan 3
di Provinsi Riau terdapat 2 perusahaan yang menjadi objek, yaitu PT. Indofood Sukses Makmur Tbk Cabang Pekanbaru dan kedua, PT. Asia Forestama Raya. Penelitian lapangan dilaksanakan selama 6 hari masing-masing tanggal 11-16 April 2016 di Kota Surabaya dan tanggal 16-21 Mei 2016 di Kota Pekanbaru. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan beberapa hal berikut: Pertama, secara nasional hak pekerja perempuan telah dijamin dalam konstitusi, undang-undang, dan beberapa peraturan pelaksananya. Jaminan hak tersebut sejalan dengan berbagai konvensi internasional yang mengatur tentang hak pekerja perempuan. Dalam konstitusi, persamaan hak perempuan untuk bekerja dan mendapat perlakuan yang layak terdapat dalam Pasal 27 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur hak pekerja perempuan antara lain (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Pasal 18, Pasal 76, Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 93, dan Pasal 153 Ayat 1 huruf e); (2) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Pelindungan Upah; (3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 8 Per-04/Men/1989 tentang Syarat-syarat Kerja Malam dan Tata Cara Mempekerjakan Pekerja Perempuan pada Malam Hari; (4) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep. 224/Men/2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. Hak pekerja perempuan tersebut antara lain: (1) pelindungan jam kerja; (2) perlindungan dalam masa haid (cuti haid); (3) pelindungan selama hamil dan melahirkan, termasuk ketika pekerja perempuan mengalami keguguran (cuti hamil dan melahirkan); (4) pemberian lokasi menyusui (hak menyusui dan/atau memerah ASI); (5) hak kompetensi kerja; (6) hak pemeriksaan selama masa kehamilan dan pasca-melahirkan. Kedua, upaya pemerintah daerah di dua daerah yang menjadi lokasi penelitian menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan oleh pemerintah selama ini masih bersifat netral gender, artinya belum mengatur pelindungan hak pekerja perempuan secara khusus. Kebijakan, program dan kegiatan yang disusun oleh pemerintah daerah tidak membedakan antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan. Di dua daerah yang diteliti juga belum ada satu pun kebijakan yang khusus mengatur mengenai hak pekerja perempuan, terutama yang terkait dengan hak reproduksi pekerja perempuan. 4
Ketiga, di beberapa perusahaan di dua daerah yang diteliti, belum semua hak pekerja perempuan dipenuhi oleh perusahaan. Misalnya, yang terkait dengan hak untuk menyusui selama bekerja, dalam praktek sulit untuk dilakukan, karena perusahaanperusahaan tersebut tidak menyediakan tempat penitipan anak (TPA) sementara lokasi perusahaan dan rumah pekerja perempuan relatif jauh dan jam istirahat relatif terbatas. Demikian pula dengan hak cuti haid, dengan alasan terdapat beberapa karyawan yang menjadikan haid sebagai alasan untuk tidak bekerja, maka karyawan yang mengajukan cuti haid diperiksa secara ketat untuk memastkan bahwa yang bersangkutan benar-benar sedang haid. Karyawan yang benar-benar haid juga enggan untuk mengajukan cuti haid karena tidak mendapat uang hadir jika mengajukan cuti tersebut. Berdasarkan kesimpulan tersebut direkomendasikan beberapa hal berikut: 1. Pemerintah daerah pada dua daerah yang diteliti perlu menyusun kebijakan yang terkait dengan hak pekerja perempuan, sebagai dasar hukum penyelenggaraan pelindungan dan pemenuhan hak pekerja perempuan yang telah diatur dalam konstitusi dan berbagai peraturan pelaksananya, mengingat pekerja perempuan memiliki kebutuhan; 2. Pemerintah daerah melalui satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang membidangi masalah ketenagakerjaan perlu melakukan pengawasan dan pembinaan kepada perusahaan yang ada di wilayahnya untuk memastikan bahwa hak-hak pekerja perempuan telah terpenuhi sesuai dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku; 3. Perusahaan harus memberikan kesempatan kepada pekerja perempuan untuk menyusui anaknya selama waktu kerja (pada saat istirahat) dan menyediakan tempat penitipan anak (TPA) sehingga memudahkan pekerja perempuan yang akan menyusui anaknya. 5