TEMPERATUR TUBUH, FREKUENSI JANTUNG DAN FREKUENSI NAFAS INDUK SAPI PERAH YANG DIVAKSIN DENGAN VAKSIN Escherichia coli PADA PERIODE KERING KANDANG

dokumen-dokumen yang mirip
TEMPERATUR TUBUH, FREKUENSI JANTUNG DAN FREKUENSI NAFAS INDUK SAPI PERAH YANG DIVAKSIN DENGAN VAKSIN Escherichia coli PADA PERIODE KERING KANDANG

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Perah

SUHU TUBUH, FREKUENSI JANTUNG DAN NAFAS INDUK SAPI Friesian Holstein BUNTING YANG DIVAKSIN DENGAN VAKSIN Avian Influenza H5N1 ACHMAD HASAN MAULADI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi bali adalah sapi asli Indonesia yang berhasil di domestikasi dari banteng (Bos bibos

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali Sapi bali (Bibos sondaicus) merupakan hasil domestikasi banteng liar

DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA

DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI H5N1 MENGGUNAKAN METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) PADA SERUM SAPI YANG DIVAKSINASI H5N1 NOVIYANTI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. utama (aceh, pesisir, madura dan bali). Sapi bali merupakan hasil domestikasi

Morfologi dan Taksonomi Escherichia coli

PROFIL LEUKOSIT SAPI FRIESIAN HOLSTEIN (FH) BUNTING YANG DIVAKSIN DENGAN VAKSIN AVIAN INFLUENZA (AI) INAKTIF SUBTIPE H5N1

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi potong merupakan sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai

BAB I PENDAHULUAN. komoditas ternak yang memiliki potensi cukup besar sebagai penghasil daging

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Temperatur Tubuh Temperatur tubuh didefinisikan sebagai derajat panas tubuh. Temperatur

BAB I PENDAHULUAN. Hasil penelitian menunjukan bahwa penyakit ternak di Indonesia dapat

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

SUHU TUBUH, FREKUENSI JANTUNG DAN NAFAS INDUK SAPI Friesian Holstein BUNTING YANG DIVAKSIN DENGAN VAKSIN Avian Influenza H5N1 ACHMAD HASAN MAULADI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tomat dapat dijadikan sebagai bahan dasar kosmetik atau obat-obatan. Selain

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sama seperti sapi Bali betina. Kaki bagian bawah lutut berwarna putih atau

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADIA PASIEN GANGGUAN KEBUTUHAN SUHU TUBUH (HIPERTERMI)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Suhu inti (core temperature) Suhu inti menggambarkan suhu organ-organ dalam (kepala, dada, abdomen) dan dipertahankan mendekati 37 C.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mampu beradaptasi dengan pakan dan lingkungan yang kurang baik (Priyanto et

I. PENDAHULUAN. populasi kambing di Provinsi Lampung pada tahun 2009 baru mencapai

POKOK BAHASAN IX IX. PENGGUNAAN ENERGI MEKANIK PADA TERNAK KERJA. Mengetahui proses metabolisme dan dinamika fisiologi pada ternak kerja

Ilmu Pengetahuan Alam

II. TINJAUAN PUSTAKA. makanan yang tidak tercerna. Alat pencernaan itik termasuk ke dalam kelompok

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

UJI ANTIBAKTERI EKSTRAK TANAMAN PUTRI MALU (Mimosa pudica) TERHADAP PERTUMBUHAN Shigella dysentriae

II. TINJAUAN PUSTAKA. motil, tidak membentuk spora, tidak membentuk kapsul, aerob, katalase positif,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu

PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Purbowati, 2009). Domba lokal jantan mempunyai tanduk yang kecil, sedangkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Escherich 1885) dengan seluruh patogenitasnya di infeksi saluran pencernaan.

I. PENDAHULUAN. Produk yang dihasilkan oleh itik yang bernilai ekonomis antara lain: telur, daging,

1. PENDAHULUAN. akan daging sebagai salah satu sumber protein. Pemenuhan akan daging

BAB I PENDAHULUAN. Sapi bali merupakan salah satu bangsa sapi asli Indonesia dan keturunan asli

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kecamatan Kuta Selatan terletak di selatan Kabupaten Badung tepatnya pada 8º

PERFORMA PRODUKSI SUSU DAN REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN DI BPPT-SP CIKOLE LEMBANG SKRIPSI YUNI FITRIYANI

II. TINJAUAN PUSTAKA. penghasil telur juga dapat dimanfaatkan sebagai ternak penghasil daging

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Domba Garut Suhu dan Kelembaban

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. daging bagi masyarakat (BSN, 2008). Daging sapi sebagai protein hewani adalah

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Bligon. Kambing Bligon (Jawa Randu) merupakan kambing hasil

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu sapi lokal (Bos

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Mortalitas Puyuh

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%)

COXIELLA BURNETII OLEH : YUNITA DWI WULANSARI ( )

GAMBARAN SEL DARAH PUTIH PADA KELINCI YANG DIVAKSIN DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SITI RUKAYAH

I. PENDAHULUAN. Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura

GAMBARAN SEL DARAH PUTIH (LEUKOSIT) DOMBA LOKAL (Ovis aries) YANG DIIMMUNISASI DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SUTRISNO EKI PUTRA

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

- TEMPERATUR - Temperatur inti tubuh manusia berada pada kisaran nilai 37 o C (khususnya bagian otak dan rongga dada) 30/10/2011

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Lampung merupakan daerah yang berpotensi dalam pengembangan usaha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Ternak babi bila diklasifikasikan termasuk ke dalam kelas Mamalia, ordo

TINJAUAN PUSTAKA. banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras. Sifat-sifat yang

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. lain. Elektrolit terdiri dari kation dan anion. Kation ekstraseluler utama adalah natrium (Na + ), sedangkan kation

I. PENDAHULUAN. atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Berat Basah. Tabel 7. Pengaruh Perlakuan terhadap Berat Basah Usus Besar

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan penduduk yang semakin pesat, permintaan produk

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini kajian ilmiah terhadap kejadian penyakit yang disebabkan oleh agen yang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. dikenal orang karena lalat ini biasanya hidup berasosiasi dengan manusia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. besar dipelihara setiap negara sebagai sapi perahan (Muljana, 2010). Sapi FH

BAB I PENDAHULUAN 1. I. LATAR BELAKANG

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. bangsa-bangsa ayam yang memiliki produktifitas tinggi terutama dalam

PATOGENISITAS MIKROORGANISME

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI H5N1 MENGGUNAKAN METODE HEMAGLUTINASI INHIBISI (HI) PADA KOLOSTRUM SAPI YANG DIVAKSINASI H5N1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. dagingnya untuk dikonsumsi oleh manusia, yang selanjutnya meningkat untuk

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

AGENT AGENT. Faktor esensial yang harus ada agar penyakit dapat terjadi. Jenis. Benda hidup Tidak hidup Enersi Sesuatu yang abstrak

BAB II TUJUAN PUSTAKA. jalan seperti es dawet, es kelapa muda, dan es rumput laut. Pecemaran oleh

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Taksonomi Escherichia coli adalah sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN. masyarakat menyebabkan konsumsi protein hewani pun meningkat setiap

BAB I PENDAHULUAN. ditularkan kepada manusia melalui makanan (Suardana dan Swacita, 2009).

PENDAHULUAN. masyarakat. Permintaan daging broiler saat ini banyak diminati oleh masyarakat

RESPON PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIAN HOLSTEIN TERHADAP PEMBERIAN SUPLEMEN BIOMINERAL DIENKAPSULASI SKRIPSI PIPIT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Organisasi merupakan suatu gabungan dari orang-orang yang bekerja sama

BAB I PENDAHULUAN. dan telah lama dimanfaatkan sebagai sumber protein yang cukup penting bagi

HUBUNGAN STRES DAN BIOKIMIA NUTRISI PADA TERNAK OLEH : NOVI MAYASARI FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAD PADJADJARAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki

Transkripsi:

TEMPERATUR TUBUH, FREKUENSI JANTUNG DAN FREKUENSI NAFAS INDUK SAPI PERAH YANG DIVAKSIN DENGAN VAKSIN Escherichia coli PADA PERIODE KERING KANDANG AN NISAA NOFITA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 1

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Temperatur Tubuh, Frekuensi Jantung dan Frekuensi Nafas Induk Sapi Perah yang Divaksin dengan Vaksin Escherichia coli Pada Periode Kering Kandang adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, 11 November 2008 An Nisaa Nofita NRP B04104139 2

ABSTRAK AN NISAA NOFITA. Temperatur Tubuh, Frekuensi Jantung dan Frekuensi Nafas Induk Sapi Perah yang Divaksin dengan Vaksin Escherichia coli Pada Periode Kering Kandang. Dibimbing oleh ANITA ESFANDIARI dan RETNO WULANSARI. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati status kesehatan induk sapi Friesian Holstein (FH) bunting yang divaksin dengan vaksin Escherichia coli polivalen melalui pengamatan terhadap temperatur tubuh, frekuensi jantung dan frekuensi nafas. Penelitian ini menggunakan 2 ekor sapi FH betina periode kering kandang yang diberi vaksin E. coli secara intra muskular sebanyak 3 kali pada 8, 6, dan 4 minggu sebelum perkiraan partus. Pengamatan dilakukan selama 3 hari sebelum dan 3 hari sesudah vaksinasi pertama, kedua, dan ketiga. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa bila dibandingkan dengan nilai pada hari ke-0 vaksinasi, temperatur tubuh sapi 1 dan sapi 2 sehari setelah vaksinasi pertama meningkat 1.8% dan 0.5%. Frekuensi jantung sapi 1 dan sapi 2 mengalami peningkatan 26.3% dan 21.7%. Frekuensi nafas sapi 1 dan sapi 2 mengalami peningkatan 44.4% dan 23.1%. Setelah vaksinasi kedua temperatur sapi 1 mengalami penurunan 2.1% dan temperatur sapi 2 menurun 0.3%. Frekuensi jantung sapi 1 dan sapi 2 sama seperti hari ke-0 vaksinasi kedua. Frekuensi nafas sapi 1 mengalami penurunan 20% dan sapi 2 mengalami peningkatan 14.3%. Sementara setelah vaksinasi ketiga temperatur sapi 1 sama seperti hari ke-0 vaksinasi ketiga dan sapi 2 menurun 2.1%. Frekuensi jantung sapi 1 dan sapi 2 menurun 5.6% dan 11.5%. Frekuensi nafas sapi 1 dan sapi 2 mengalami penurunan 11.1% dan 10%. Dari hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa pemberian vaksin E. coli pada induk sapi FH pada periode kering kandang tidak mempengaruhi status kesehatan induk sapi bunting. Vaksinasi meningkatkan temperatur tubuh, frekuensi jantung, dan frekuensi nafas sapi 1 dan sapi 2 sehari setelah vaksinasi pertama, namun demikian peningkatan yang terjadi masih dalam kisaran normal. Sementara temperatur tubuh, frekuensi jantung, dan frekuensi nafas setelah vaksinasi kedua dan ketiga relatif stabil. 3

ABSTRACT AN NISAA NOFITA. Body Temperature, Heart and Respiratory Rate of Dairy Cow After Escherichia coli Vaccination During Dry Period. Guidanced by ANITA ESFANDIARI and RETNO WULANSARI. The objective of this experiment was to study the health performance of pregnant holstein cow after administration of Escherichia coli inactive vaccine. Two holstein cow in dry period were used in this experiment. Vaccinations through intramuscular route were given 3 times at 8, 6, and 4 weeks before parturition. Status health were monitored during 3 days before and after the first, second, and third vaccination, respectively. The result showed that one day after the first vaccination, temperature of cow no. 1 and cow no.2 increased 1.8% and 0.5%, respectively. The heart rate increased 26.3% and 21.7% in cow no. 1 and cow no.2, respectively. While, respiration rate of cow no. 1 increased 44.4% and cow no. 2 increased 23.1%. After second vaccination, temperature of cow no. 1 and cow no.2 decreased 2.1% and 0.3%, respectively. Heart rate was the same wether 0 day vaccination in cow no. 1 and cow no. 2. While, respiration rate of cow no. 1 decreased 20% and cow no. 2 increased 14.3%. After third vaccination, temperature of cow no.1 was the same wether 0 day vaccination, and cow no.2 decreased 2.1%. Heart rate decreased 5.6% and 11.5% in cow no.1 and cow no.2, respectively. Respiration rate of cow no. 1 decreased 11.1% and cow no. 2 decreased 10%. In conclusion, the administration of E.coli vaccine during dry period did not effect the health status. The administration of E.coli vaccine increased the body temperature, heart and respiration rate a day after vaccination, however were still in the normal range. On the other hand, body temperature, heart rate, and respiration rate in second and third vaccination remain stabile. 4

Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB. 5

TEMPERATUR TUBUH, FREKUENSI JANTUNG DAN FREKUENSI NAFAS INDUK SAPI PERAH YANG DIVAKSIN DENGAN VAKSIN Escherichia coli PADA PERIODE KERING KANDANG AN NISAA NOFITA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 6

Judul Skripsi : Temperatur Tubuh, Frekuensi Jantung dan Frekuensi Nafas Induk Sapi Perah yang Divaksin dengan Vaksin Escherichia coli Pada Periode Kering Kandang Nama : An Nisaa Nofita NRP : B04104139 Disetujui, Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Dr. drh. Anita Esfandiari, MSi drh. Retno Wulansari, MSi, Ph. D NIP : 131 841 741 NIP : 131 760 845 Diketahui, Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Dr. Nastiti Kusumorini NIP. 131 669 942 Tanggal Lulus : 13 November 2008 7

PRAKATA Puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT, atas limpahan rahmat, taufik hidayah serta kasih sayang-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tercurah hanya kepada Nabi akhirul zaman Muhammad SAW, yang senantiasa memberikan contoh kepada umatnya untuk melakukan yang terbaik dalam hidup ini. Skripsi ini merupakan syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Penulisan skripsi ini dapat diselesaikan berkat bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: Ayah dan Bunda yang senantiasa menanti kehadiran kembali buah hati mereka diantara kehangatan cinta dan kasih sayang yang selalu tercurah selama ini lewat perhatian dan doa yang tiada henti. Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk memperoleh pendidikan dan ilmu yang berlimpah di Institut Pertanian Bogor. Dr. drh. Anita Esfandiari, MSi dan drh. Retno Wulansari, MSi, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah sangat sabar mendampingi dan membimbing penulis. Dr. drh. Chusnul Choliq, MSi, MM atas masukan dan saran-saran yang membangun untuk penulis. Prof. Dr. Drh. Fachriyan H. Pasaribu dan Drh. Eko Sugeng Pribadi, MS atas motivasinya untuk penulis. Achmad Hasan Mauladi untuk semua bantuan, perhatian, kasih sayang, semangat, serta kesediaanya menjadi tempat berbagi dan belajar bagi penulis untuk senantiasa menjadi lebih baik. Teman-teman seperjuangan dalam kelompok penelitian ini (Hasan, Aki, Ophing, Nini, Ita, dan Faisal) atas kerjasama dan kebersamaannya, serta kepada Pak Ngkos dan Pak Dahlan atas bantuannya dalam melaksanakan penelitian ini. 8

Para sahabat Sessamoidea & Al Kahfia (Eva, Ajeng, Ridla, Mbak Ria, Bu Ning) sebagai tempat menumpahkan lelah dan berbagi penulis. Para sahabat Asteroidea 41 untuk semua kebersamaannya dalam angkatan yang terbaik dan teristimewa. Dan, terima kasih untuk semua elemen-elemen penyusun desain holistik kehidupan penulis sehingga menciptakan berbagai keindahan dan keajaiban dalam hidup penulis. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini banyak terdapat kekurangan dan keterbatasan ilmu yang dimiliki. Semoga hasil penelitian yang dipaparkan dalam skripsi ini dapat memberikan banyak manfaat bagi masyarakat luas. Bogor, 11 November 2008 An Nisaa Nofita 9

RIWAYAT HIDUP An Nisaa Nofita lahir pada 17 November 1986 di Samarinda, Kalimantan Timur dari pasangan Bapak M. Hanafi Abidarda, BSc dan Ibu Isnaniah Djuhri. Penulis merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara. Penulis lulus dari SMU Negeri 1 Tenggarong Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur, pada tahun 2004 dan pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD). Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif dalam organisasi intra dan ekstra kampus. Penulis pernah menjadi sekretaris Departemen Olahraga Seni & Budaya BEM KM FKH IPB pada tahun 2006-2007, sekretaris Forum Mahasiswa BUD Kutai Kartanegara IPB pada tahun 2006-2007, sekretaris Himpro SATLI FKH IPB pada tahun 2007-2008, dan Ketua KOHATI HMI Komisariat FKH IPB pada tahun 2007-2008. Penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan kampus. Penulis pernah menjadi sekretaris dalam kegiatan Peringatan Hari Bumi Kota Bogor melalui Pembuatan Lubang Biopori se-kota Bogor pada tahun 2007 dan sekretaris dalam kegiatan Pengabdian Masyarakat Veteriner di Kawasan Sulawesi Selatan pada tahun 2007. 10

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vi vii I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Tujuan... 2 1.3. Manfaat... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Friesian Holstein... 3 2.2. Escherichia coli... 4 2.2.1 Serotipe dan Biokimia Escherichia coli... 4 2.2.2. Faktor Virulensi Escherichia coli... 6 2.2.3. Diare Akibat Escherichia coli... 7 2.2.4. Vaksin Escherichia coli... 8 2.3. Pemeriksaan Fisik... 10 2.3.1 Temperatur Tubuh... 10 2.3.2. Sistem Sirkulasi... 13 2.3.3. Sistem Respirasi... 15 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat... 18 3.2. Alat dan Bahan... 18 3.2.1. Hewan Coba... 18 3.2.2. Alat dan Bahan... 18 3.3. Desain penelitian... 18 3.3.1. Pemberian Vaksin Escherichia coli... 18 3.3.2. Pemeriksaan Status Present... 19 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 20 4.1. Temperatur Tubuh... 20 4.2. Frekuensi Jantung... 24 4.3. Frekuensi Nafas... 27 V. KESIMPULAN DAN SARAN... 31 DAFTAR PUSTAKA... 40 11

DAFTAR TABEL Halaman 1. Temperatur tubuh induk sapi yang diberi vaksin E. coli... 20 2. Frekuensi jantung induk sapi yang diberi vaksin E. coli... 24 3. Frekuensi nafas induk sapi yang diberi vaksin E. coli... 27 12

DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Sapi perah jenis Friesian Holstein (FH)... 4 2. Escherichia coli... 5 3. Temperatur tubuh induk sapi yang diberi vaksin E. coli pertama... 22 4. Temperatur tubuh induk sapi yang diberi vaksin E. coli kedua... 22 5. Temperatur tubuh induk sapi yang diberi vaksin E. coli ketiga... 22 6. Frekuensi jantung induk sapi yang diberi vaksin E. coli pertama... 25 7. Frekuensi jantung induk sapi yang diberi vaksin E. coli kedua... 25 8. Frekuensi jantung induk sapi yang diberi vaksin E. coli ketiga... 25 9. Frekuensi nafas induk sapi yang diberi vaksin E. coli pertama... 29 10. Frekuensi nafas sapi induk yang diberi vaksin E. coli kedua... 29 11. Frekuensi nafas induk sapi yang diberi vaksin E. coli ketiga... 29 13

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diare menjadi salah satu masalah utama yang mengancam peternak karena sering menyerang pedet berumur kurang dari 14 hari. Diare pada umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, dan protozoa. Bakteri yang paling banyak menyebabkan diare adalah Escherichia coli (E. coli) (Anonim 2008a). Diare profus yang disebabkan oleh E. coli pada anak sapi disebut kolibasilosis, terjadi karena infeksi enterotoksigenik E. coli (ETEC) yang mempunyai antigen perlekatan K 99 atau F 41 yang mampu memproduksi enterotoksin tahan panas (heat stable toxin). Anak sapi yang terinfeksi akan menderita diare terus-menerus sehingga tubuh akan mengalami dehidrasi dan kehilangan cairan serta elektrolit tubuh secara berlebihan sehingga menimbulkan kematian secara cepat (Supar et al. 1997). Infeksi pada umumnya terjadi pada 1-3 hari setelah lahir dengan tingkat kematian mencapai 50% (Supar et al. 1997). Selama dua dekade terakhir, antibiotika banyak digunakan untuk pengobatan diare akibat kolibasilosis pada anak sapi. Namun hasilnya kurang baik, karena kasus diare dan mortalitas tetap tinggi. Selain itu, uji sensitifitas isolat ETEC dari berbagai daerah menunjukkan adanya multipel resistensi terhadap 2-9 macam obat-obatan atau antibiotika yang sering digunakan di lapangan. Penggunaan antibiotika sebagai pengobatan atau sebagai feed additive juga akan menaikkan residu antibiotika dalam daging. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan antibiotika tidak efektif, mahal, perlu pengawasan dan harus dikendalikan (Supar 2001). Semakin meluasnya multipel resistensi ETEC terhadap antibiotika yang sering digunakan di peternakan membuat vaksin ETEC menjadi alternatif penting untuk pencegahan kolibasilosis, terlebih dengan diketahuinya berbagai macam antigen perlekatan E. coli yang berkaitan dengan sifat imunogenitas dan imunoproteksinya (Supar 2001). Salah satu alternatif untuk pengendalian kolibasilosis pada pedet yang baru lahir adalah melalui pemberian vaksin pada induk sapi pada periode kering kandang agar didapatkan imunoglobulin spesifik terhadap ETEC yang terkandung 14

di dalam kolostrum. Namun demikian, perlu diperhatikan efek vaksinasi tersebut terhadap kinerja kesehatan induk sapi. Menurut Tizard (2000), vaksinasi dapat menyebabkan demam, hipersensitifitas, shock, stress, dan mampu menyebabkan abortus pada hewan bunting. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui status kesehatan induk sapi bunting yang divaksin dengan vaksin E. coli. 1.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengamati status kesehatan induk sapi perah bunting yang divaksin dengan vaksin E. coli melalui pengamatan temperatur tubuh, frekuensi jantung, dan frekuensi nafas. 1.3. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang status kesehatan induk sapi perah bunting yang diberi vaksin E. coli pada periode kering kandang. 15

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Perah Sapi adalah hewan ternak penting sebagai sumber daging, susu, tenaga kerja, dan kebutuhan lainnya. Sapi berasal dari famili Bovidae dengan klasifikasi sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Artiodactyla Famili : Bovidae Genus : Bos Spesies : Bos taurus (Anonim 2008b) Jenis sapi perah yang unggul dan paling banyak digunakan adalah sapi Shorthorn (dari Inggris), Friesian Holstein (dari Belanda), Yersey (dari Selat Channel antara Inggris dan Perancis), Brown Swiss (dari Switzerland), Red Danish (dari Denmark), dan Droughtmaster (dari Australia). Berdasarkan kondisi dan keadaan alam Indonesia, maka jenis sapi perah yang paling cocok dan menguntungkan untuk dibudidayakan adalah Friesian Holstein (FH). Selain sebagai penghasil susu, sapi perah juga dapat menjadi penghasil daging dan kulit (Prihatman 2000). Ciri fisik sapi FH adalah memiliki berat badan rata-rata untuk sapi jantan 900 kg dengan tinggi rata-rata 140 cm dan berat badan rata-rata sapi betina 700 kg dengan tinggi rata-rata 135 cm. Sapi FH berwarna hitam dan putih serta memiliki dua tanduk pada jantan dan 0-2 tanduk pada betina dengan bentuk tanduk kecil dan nyaris tertutup (Anonim 2008b). Sapi FH banyak diandalkan oleh banyak peternak dan pabrik susu. Sapi FH mempunyai adaptasi lingkungan yang baik di dataran tinggi di atas 700 meter 16

di atas permukaan laut (dpl), pada temperatur antara 16-24 C dan curah hujan sekitar 2000 mm/ tahun (Anonim 2008b). Gambar 1 Sapi perah jenis Friesian Holstein (FH). (Sumber: Anonim 2008b). Umumnya sapi FH dipelihara secara semi intensif hingga intensif. Pakan yang diberikan berupa hijauan dan konsentrat. Hijauan yang diberikan dapat berupa jerami padi, daun lamtoro, rumput gajah, rumput benggala atau rumput raja. Hijauan diberikan pada siang hari setelah pemerahan sebanyak 30-50 kg/ekor/hari. Pakan berupa rumput bagi sapi dewasa umumnya diberikan 10% dari bobot badan dan pakan tambahan sebanyak 1-2% dari bobot badan. Sementara untuk induk sapi yang sedang laktasi, diperlukan tambahan 25% hijauan dan konsentrat dalam ransumnya. Pemberian konsentrat diberikan pada pagi dan sore hari sebanyak 1-2 kg/ekor/hari. Selain pakan, sapi harus diberi minum sebanyak 10% dari berat badan per hari (Prihatman 2000). 2.2. Escherichia coli 2.2.1. Serotipe dan Biokimia Escherichia coli Escherichia coli (E. coli) pertama kali diidentifikasi oleh seorang berkebangsaan Jerman, Theobald Escherich (1885) dalam studinya mengenai sistem pencernaan (Sojka 1981). Klasifikasi E. coli menurut Anonim (2008a) adalah: 17

Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Bacteria : Proteobacteria : Gamma Proteobacteria : Enterobacteriales : Enterobacteriaceae : Escherichia : Escherichia coli Escherichia coli adalah bakteri gram negatif berbentuk batang, bersifat anaerobik fakultatif dan tidak berspora dengan ukuran panjang sel 2.0 6.0 µm dan lebar 1.1 1.5 µm. Escherichia coli dapat tumbuh dengan mudah pada media umum atau media khusus pada suhu 37 C di bawah kondisi anaerob. Escherichia coli dari feses biasanya dikultur pada media yang hanya akan menumbuhkan bakteri dari famili Enterobacteriaceae dan membuatnya berdiferensiasi sesuai morfologinya. Sekitar 90% dari galur E. coli dapat memfermentasi laktosa. Pada uji indol, 99% E. coli menunjukkan hasil positif. Hal ini dapat dipakai untuk membedakan E. coli dari anggota Enterobacteriaceae lainnya. Escherichia coli juga memberikan hasil uji Voger Proskaver (VP) negatif, motil positif dan tidak menggunakan sitrat sebagai satu-satunya sumber karbon. Pada media selektif EMB koloni bakteri berwarna hijau metalik (Sojka 1981). Gambar 2 Escherichia coli. (Sumber: Anonim 2008a). 18

2.2.2. Faktor Virulensi Escherichia coli Mikroba dapat menginfeksi inang karena faktor virulensi yang dimilikinya. Faktor virulensi tersebut merupakan komponen dari mikroba patogen yang dapat menyebabkan kerusakan pada inang. Bila komponen tersebut dihilangkan akan menyebabkan mikroba kehilangan viabilitas atau kemampuan untuk hidup. Faktor virulensi tersebut dapat berupa faktor yang memperantarai kolonisasi mikroba pada inang seperti dinding sel, kapsul, vili, fimbrae, adhesin, protein pengikat maupun faktor yang merupakan produk dari mikroba yang dapat merusak sel inang berupa toksin dan enzim hidrolitik seperti enterotoksin, sitotoksin, hemolisin, dan aerobaktin (Gyles & Charles 1993). Berdasarkan karakteristik dan materi virulensinya, E. coli diklasifikasikan menjadi: - Enterotoksigenik Escherichia coli (ETEC) Enterotoksigenik Escherichia coli menggunakan fimbrae adhesi untuk mengikat sel-sel enterosit di usus halus. ETEC dapat memproduksi dua jenis protein enterotoksin yaitu heat labile toxin (LT) yang merangsang adenilat siklase sel epitel sehingga terjadi hipersekresi cairan dan elektrolit tubuh, dan heat stabile toxin (ST) yang merangsang guanilat siklase sehingga menyebabkan terjadinya akumulasi cgmp pada sel target dan menyebabkan terjadinya sekresi cairan dan elektrolit yang terus menerus ke lumen usus. - Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC) Enteropatogenik Escherichia coli menggunakan intimin sebagai adhesin untuk berikatan dengan sel usus inangnya dan bersifat invasif sehingga mampu menimbulkan respon inflamasi. - Enterohemoragik Escherichia coli (EHEC) Enterohemoragik Escherichia coli menggunakan fimbrae adhesi untuk berikatan dengan sel-sel inang. EHEC mampu menyebabkan diare berdarah tanpa disertai demam. EHEC dapat menyebabkan hemolitik uremia sindrom, gagal ginjal akut, anemia hemolitik mikroangiopatik, dan trombositopenia (Anonim 2008c). Seperti kebanyakan bakteri patogen pada permukaan mukosa, E. coli mengembangkan strategi infeksi berupa: (1) membentuk koloni pada suatu tempat 19

di permukaan mukosa, (2) menghindar dari sistem pertahanan tubuh inang, (3) multiplikasi dan (4) merusak sel inang. Salah satu karakter E. coli terpenting adalah kemampuannya untuk berkolonisasi pada permukaan mukosa usus walaupun terdapat gerakan peristaltik usus dan kompetisi dengan flora lokal untuk mendapatkan nutrisi (Sojka 1981). Seluruh galur E. coli memiliki fimbrae spesifik yang meningkatkan kemampuannya untuk membentuk koloni dan memudahkannya untuk mengadakan perlekatan pada daerah yang tidak biasa digunakan untuk kolonisasi. Jika koloni telah terbentuk, maka E. coli akan mengembangkan strategi patogeniknya, yaitu: (1) produksi enterotoksin, (2) invasi, dan (3) perlekatan intimin dengan mengadakan persinyalan membran (Sojka 1981). Escherichia coli strain K 99 mempunyai struktur vili yang mampu menghasilkan perangkat mannose resisten yang adhesive pada bakteri. Komponen utama K 99 merupakan adhesin dan melekat pada reseptornya, yaitu glikolipid gangliosida Neu5Gc-α(2-3)-Gal-β(1-4)Glc-β(1,1) ceramide. Strain ini mampu menempel pada mukosa usus pedet yang baru lahir, kemudian akan mencapai populasi yang sangat tinggi di dalam usus. Sintesis antigen K 99 tertekan oleh beberapa komponen (alanin dan glukosa) pada media kompleks. Media yang biasanya digunakan untuk mendeteksi K 99 adalah minca medium yang mengandung asam casamino, KH 2 PO 4, Na 2 HPO 4, glukosa, agar, dan air destilata. Strain 101 dari grup O menghasilkan K 99 yang paling banyak dibandingkan dengan yang diproduksi oleh strain yang lain dari grup O (Gyles & Charles 1993). Patogenitas E. coli tidak hanya tergantung pada kemampuannya untuk menghasilkan endotoksin, akan tetapi juga tergantung pada daya tahan tubuh anak sapi, jumlah kuman untuk menimbulkan penyakit, dan keadaan lingkungan usus yang memungkinkan mikroba untuk berkembang (Setiawan et al. 1983). 2.2.3. Diare Akibat Escherichia coli Pada pedet, kejadian diare akibat E. coli atau lebih sering dikenal dengan kolibasilosis merupakan penyakit yang bersifat akut dan menular dengan gejala yang khas yaitu diare dengan feses berwarna kuning keputihan. Escherichia coli dikenal sebagai penyebab diare pada anak sapi sejak pertama kali berhasil 20

diisolasi Jansen pada tahun 1897 dari feses anak sapi yang menderita diare (Setiawan et al. 1983). Diare pada anak sapi neonatal disebabkan oleh infeksi ETEC strain K 99 dan F 41 berasosiasi dengan somatik antigen serogroup O -9, 20, atau 101. Prevalensi kasus diare pada anak sapi di daerah sentra pengembangan sapi perah (Jawa Barat) berkisar antara 19-40%, dengan kematian pedet di bawah umur 1 bulan berkisar antara 8-19% dan dapat terjadi sepanjang tahun (Supar 2001). Mekanisme infeksi ETEC pada anak sapi dan anak babi memiliki mekanisme serupa. Enterotoksigenik E. coli akan menempel pada permukaan mukosa usus halus dengan perantaraan antigen perlekatan atau fimbrae K 88, K 99, F 41 atau 987 P. Setelah menempel, ETEC kemudian berkembang biak dan memproduksi toksin heat labile toxin (LT) atau heat stable toxin (ST). Aktifitas LT atau ST seperti halnya toksin kolera bekerja dengan menstimulasi sekresi cairan tubuh dan elektrolit secara berlebihan. Oleh karena itu, sekresi yang terjadi lebih banyak dibandingkan dengan absorpsi, sehingga terjadilah diare profus dan dehidrasi. Hal ini menyebabkan hewan yang terinfeksi cepat mati (Supar 2001). Pedet yang diare terus-menerus, akan memperlihatkan gejala klinis lemah, lesu, tidak mau menyusu, bulu di daerah perineal kotor oleh feses, mukosa mulut kering pucat kebiruan, turgor kulit jelek dan akhirnya pedet mati. Kematian akibat kolibasilosis dapat mencapai 20-50%, tergantung pada hebatnya serangan. Apabila disertai septikemia dan tidak mendapatkan perawatan dengan baik maka kematian dapat mencapai 90-100%. Menurunnya daya tahan tubuh pedet dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti stres karena kedinginan, higiene pakan, sanitasi kandang kurang baik, populasi terlalu padat, kurang intake pakan, atau tidak diberi kolostrum dan diberi susu berkualitas rendah (Setiawan et al. 1983). 2.2.4. Vaksin Escherichia coli Selama dua dekade terakhir antibiotika banyak digunakan untuk pengobatan diare akibat kolibasilosis pada anak babi atau anak sapi. Namun hasilnya kurang baik, karena kasus diare dan mortalitas tetap tinggi. Selain itu, uji sensitifitas isolat ETEC dari berbagai daerah menunjukkan adanya multipel resistensi terhadap 2-9 macam obat-obatan atau antibiotika yang sering dipakai di 21

lapangan. Disamping itu penggunaan antibiotika sebagai pengobatan atau sebagai feed additive juga akan meningkatkan residu antibiotika dalam daging. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan antibiotika tidak efektif, mahal, perlu pengawasan dan harus dikendalikan (Supar 2001). Bakteri yang resisten dapat mengancam kehidupan manusia maupun hewan karena dapat meningkatkan morbiditas penyakit dan mortalitas akibat kegagalan pengobatan. Selain itu, biaya pengobatan juga meningkat karena harus menggunakan antibiotika dosis tinggi atau lebih dari satu macam antibiotika, atau diganti dengan menggunakan antibiotika baru dengan harga yang lebih mahal (Soeripto 2002). Vaksinasi merupakan salah satu upaya untuk mencegah penyakit dan upaya yang efektif untuk pencegahan terhadap residu antibiotika dan resistensi bakteri (Soeripto 2002). Vaksinasi merupakan tindakan memasukkan antigen yang telah dilemahkan ke dalam tubuh, untuk merangsang kekebalan yang diharapkan dapat melindungi individu tersebut terhadap infeksi penyakit di alam (Tizard 2000). Vaksin dibagi menjadi vaksin aktif dan vaksin inaktif. Vaksin aktif adalah vaksin yang mengandung antigen yang sudah dilemahkan untuk menghilangkan sifat-sifat virulensinya. Vaksin inaktif adalah vaksin yang berisi antigen yang sudah diinaktifkan (dimatikan) tetapi masih memiliki sifat imunogenitas. Vaksin dapat berisi satu jenis antigen yang disebut vaksin monovalen atau dapat pula berisi beberapa jenis antigen atau disebut vaksin polivalen. Pemberian imunisasi kepada hewan rentan dengan memberikan antibodi yang diperoleh dari hewan lain (hewan donor) yang telah diberi imunisasi secara aktif disebut dengan imunisasi pasif. Salah satu contohnya adalah melalui pemberian kolostrum induk kepada anaknya (Tizard 2000). Pencegahan kolibasilosis dengan vaksin ETEC menjadi sangat penting artinya dengan semakin meluasnya multipel resistensi ETEC terhadap antibiotika yang sering dipakai pada peternakan dan tingginya residu dalam produk hasil ternak. Selain itu, pemberian vaksin dapat memberikan daya lindung optimal, dan merupakan cara yang lebih aman, layak, dan efisien (Supar 2001). 22

Komposisi vaksin ETEC untuk pengendalian kolibasilosis pada anak sapi terdiri dari ETEC K 99, F 41, K 99 F 41 tergolong dalam serogroup O -9, 20, 101. Galur antigen vaksin enteropatogenik E. coli (EPEC) untuk pengendalian disentri dapat disatukan dengan antigen ETEC. Pemakaian vaksin tidak aktif mengandung beberapa jenis antigen yang tidak bersifat negatif diantara individu komponen antigen sehingga tidak saling menghambat dalam pembentukan antibodi (Supar 2001). Aplikasi pemberian vaksin kepada induk sapi yang sedang bunting periode kering kandang secara intramuskular atau subkutan. Vaksin serupa diinjeksikan kembali pada saat 2 minggu sebelum induk sapi diperkirakan partus. Anak sapi kemudian diberi kolostrum induk segera setelah dilahirkan karena antibodi terhadap antigen fimbrae (IgG) sangat tinggi di dalam kolostrum sampai hari ke-5 post partus. Sesudah itu konsentrasi IgG mengalami penurunan, sedangkan konsentrasi IgA meningkat (Supar 2001). 2.3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik atau physical examination (PE) merupakan suatu tindakan memeriksa keadaan hewan untuk menemukan tanda-tanda klinis suatu penyakit. Hasil pemeriksaan ini akan dicatat dalam catatan medis (rekam medis) yang akan membantu dalam penegakan diagnosa dan perencanaan perawatan. Umumnya, pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi tindakan pemeriksaan status kesehatan umum seperti penghitungan frekuensi nadi dan denyut jantung, penghitungan frekuensi nafas, pengukuran temperatur tubuh, pengamatan terhadap mukosa, turgor kulit, dan keadaan penting lain kondisi hewan misalnya frekuensi rumen pada ruminansia (Kelly 1984; Anonimus 2007). 2.3.1. Temperatur Tubuh Temperatur tubuh merupakan temperatur tubuh bagian dalam atau sering disebut dengan temperatur inti (Guyton & Hall 1997). Temperatur tubuh bagian dalam hewan dapat diukur dengan menggunakan termometer yang dapat mengindikasikan keseimbangan antara produksi panas dan pengeluaran panas (Kelly 1984). 23

Pusat pengaturan temperatur tubuh (termoregulasi) terletak di hipotalamus. Fungsi dari pusat pengatur temperatur tubuh adalah mempertahankan agar temperatur tubuh selalu dalam keadaan normal dan konstan. Temperatur tubuh normal merupakan kondisi optimal untuk berlangsungnya semua proses fisiologis atau metabolisme di dalam tubuh seperti berdenyutnya jantung, proses pernafasan, pencernaan dan lain-lain (SchÖnbaum & Peter 1991). Temperatur rektum dianggap dapat mewakili temperatur tubuh dan paling sedikit dipengaruhi oleh perubahan temperatur lingkungan sehingga lebih stabil dibandingkan dengan tempat lain. Temperatur tubuh hewan diukur dengan cara memasukkan termometer ke dalam rektum. Menurut Kelly (1984),temperatur rektal normal sapi perah dewasa berkisar antara 37.8-39.2 C. Menurut Rosenberger (1979), temperatur tubuh normal sapi perah dipengaruhi oleh umur hewan, dimana temperatur hewan muda akan lebih tinggi dibandingkan dengan hewan dewasa. Temperatur dan kondisi lingkungan juga mempengaruhi temperatur tubuh, dimana temperatur lingkungan yang meningkat pada siang hari dapat meningkatkan temperatur tubuh 0.5-1 C. Aktifitas tubuh hewan seperti banyak bergerak atau setelah makan, dapat meningkatkan temperatur tubuh akibat metabolisme yang meningkat. Fungsi dan status reproduksi hewan seperti estrus, kebuntingan, dan partus juga mempengaruhi temperatur tubuh hewan. Panas tubuh dihasilkan dari hasil metabolisme yang berasal dari dalam tubuh. Energi dari pakan akan diubah dalam bentuk panas yang akan disebarkan ke lingkungan dan ke seluruh permukaan tubuh. Apabila temperatur lingkungan melebihi temperatur tubuh hewan dan hewan terpapar oleh radiasi panas, maka hewan akan berusaha melawan panas tersebut. Begitu juga jika hewan terpapar oleh sinar matahari langsung atau berada di dekat dengan benda padat yang lebih hangat dibandingkan dengan temperatur tubuhnya. Panas tubuh akan hilang menuju lingkungan sekitar melalui pemancaran dari permukaan tubuh menuju objek yang lebih dingin (Cunningham 2002). Apabila temperatur tubuh terlalu panas, maka sistem regulasi temperatur akan mengaktifkan tiga mekanisme untuk menurunkan temperatur tersebut, dengan cara : 24

Vasodilatasi. Pada hampir semua area tubuh akan terjadi vasodilatasi dengan kuat. Hal tersebut disebabkan oleh hambatan dari pusat simpatis pada hipotalamus posterior yang menyebabkan vasodilatasi. Vasodilatasi pembuluh darah tersebut akan meningkatkan perpindahan panas ke kulit, sehingga panas akan dilepaskan. Berkeringat. Peningkatan temperatur akan menyebabkan tubuh mengaktifkan mekanisme berkeringat, sehingga panas tubuh akan dilepaskan melalui evaporasi. Penurunan pembentukan panas. Apabila terjadi peningkatan temperatur maka mekanisme pembentukan panas dalam tubuh seperti menggigil dan termogenesis kimia akan dihambat. Apabila temperatur tubuh terlalu dingin, maka sistem termoregulasi akan mengaktifkan reaksi : Vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Hal tersebut terjadi karena adanya rangsangan pada pusat simpatis hipotalamus posterior. Vasokonstriksi akan menyebabkan terjadinya perpindahan panas ke kulit berkurang sehingga kehilangan panas dapat dicegah. Piloereksi. Rangsangan simpatis akan menyebabkan otot erektor pili pada folikel rambut akan berkontraksi sehingga akan membentuk lapisan tebal isolator udara yang akan mencegah pelepasan panas dari tubuh. Peningkatan pembentukan panas. Mekanisme tubuh yang akan meningkatkan pembentukan panas adalah menggigil, rangsangan simpatis pembentuk panas dan sekresi tiroksin. Ketiga hal tersebut akan meningkatkan metabolisme basal tubuh sehingga panas akan terbentuk (SchÖnbaum & Peter 1991; Guyton & Hall 1997). Pemancaran panas terjadi melalui pergerakan udara atau air yang menjadi lebih hangat oleh tubuh, penguapan sekresi respirasi, keringat atau saliva dan penghantaran pada permukaan yang lebih dingin karena tubuh hewan bersentuhan. Panas juga bisa hilang melalui urin dan feses. Pemindahan panas di dalam tubuh dilakukan oleh pergerakan di dalam sistem sirkulasi, jantung dan pembuluh darah (Cunningham 2002). 25

Hipertermia terjadi apabila temperatur tubuh berada di atas titik kritis temperatur tubuh hewan yang menunjukkan terjadinya kelebihan penyerapan panas atau peningkatan produksi panas dan pengurangan pengeluaran panas. Pada saat hewan mengalami hipertermia, terjadi pula peningkatan frekuensi jantung, frekuensi nafas, pulsus yang melemah, salivasi dan berkeringat. Apabila temperatur mencapai lebih dari 41 C maka dapat terjadi dyspnea, kolaps, konvulsi, dan koma (Rosenberger 1979; Kelly 1984). Demam terjadi apabila temperatur tubuh berada di atas kisaran normal (Rosenberger 1979; Kelly 1984). Demam merupakan pertanda terangsangnya sistem pertahanan tubuh akibat adanya infeksi atau benda asing yang dapat membahayakan tubuh seperti bakteri, virus, jamur, parasit, dan protein/ substansi asing. Di dalam tubuh senyawa-senyawa tersebut akan bertindak sebagai pirogen eksogen yang kemudian akan merangsang sel-sel petahanan tubuh seperti granulosit, monosit dan makrofag untuk mengeluarkan senyawa yang disebut sebagai pirogen endogen. Pusat termoregulasi di hipotalamus sangat peka terhadap senyawa pirogen endogen ini, sehingga senyawa pirogen endogen mampu mempengaruhi hipotalamus untuk meningkatkan set point yang akan disesuaikan tubuh (Lorenz & Larry 1987; Hellon et al. 1991). 2.3.2. Sistem Sirkulasi Sistem kardiovaskular merupakan suatu sistem sirkulasi atau alat transpor darah yang terdapat di dalam tubuh yang terdiri dari jantung dan sistem pembuluh yang berperan dalam peredaran darah. Jantung merupakan suatu struktur muskular berongga yang bentuknya kerucut. Dasarnya mengarah ke dorsal atau kraniodorsal dan melekat pada struktur-struktur torasik lainnya dengan perantaraan arteri-arteri besar, vena dan kantung perikardial. Puncak atau apeks jantung mengarah ke ventral dan sepenuhnya bebas tak terikat di dalam perikardium (Frandson 1992). Jantung berfungsi sebagai pompa yang akan memompakan darah ke seluruh jaringan tubuh dengan tekanan tertentu. Sedangkan pembuluh darah merupakan saluran yang mendistribusikan dan mengarahkan darah dari jantung ke semua bagian tubuh dan mengembalikannya ke jantung. Kualitas sistem 26

kardiovaskular dapat digambarkan berdasarkan banyaknya jantung berdenyut dalam satu menit yang disebut dengan frekuensi jantung (Cunningham 2002). Beberapa faktor yang mempengaruhi frekuensi jantung normal adalah jenis hewan, karena tiap hewan memiliki frekuensi jantung normal yang berbedabeda. Ukuran tubuh hewan juga mempengaruhi frekuensi jantung. Hewan yang berbadan kecil memiliki pulsus lebih frekuen dibandingkan dengan individu dalam satu spesies namun berbadan lebih besar. Faktor berikutnya yaitu umur, dimana hewan umur muda akan memiliki pulsus yang lebih frekuen. Kondisi tubuh juga sangat mempengaruhi frekuensi pulsus. Pada hewan yang diberi exercise atau aktifitas yang banyak akan menaikkan frekuensi jantung melebihi normal (Kelly 1984). Jenis kelamin juga turut menjadi faktor yang mempengaruhi frekuensi jantung normal. Hewan betina akan memiliki pulsus yang lebih frekuen dibandingkan dengan hewan jantan. Hewan yang sedang bunting tua akan memiliki pulsus yang frekuen, dan akan semakin meningkat pada saat partus. Beberapa faktor lain yang dapat meningkatkan frekuensi denyut jantung adalah laktasi, gerak atau aktifitas tubuh, posisi hewan, terkejut, pada saat mencerna pakan atau pada saat suhu lingkungan menjadi terlalu panas atau terlalu dingin (Kelly 1984). Pengamatan terhadap frekuensi jantung dihitung secara auskultasi dengan menggunakan stetoskop yang diletakkan tepat di atas apeks jantung pada dinding dada sebelah kiri, atau dengan merasakan pulsus hewan pada pembuluh darah arteri coxygea di bagian sisi rektal atau di bawah ekor pada ruminansia besar seperti sapi. Frekuensi denyut jantung normal pada sapi dewasa adalah 55 80 kali per menit, sedangkan frekuensi denyut jantung anak sapi dapat mencapai 100 120 kali per menit. Frekuensi denyut jantung sapi betina yang sedang bunting dapat meningkat hingga 15-40%, dan untuk sapi laktasi akan meningkat hingga 10% (Kelly 1984). Kecepatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi dikendalikan oleh impuls dari sistem saraf otonom. Serabut-serabut saraf simpatis mencapai jantung dari dua saraf vagus, dan serabut-serabut simpatis ke jantung datang dari daerah yang disebut dua stellate ganglia dari sistem saraf simpatis. Stimulasi saraf vagus 27

cenderung untuk menghambat kerja jantung dengan menurunkan daya kontraksi dari otot jantung, kecepatan kontraksi, dan kecepatan konduksi impuls di dalam jantung. Setelah perubahan-perubahan itu, arus darah melalui arteri koroner berkurang. Rangsangan simpatis meningkatkan aktivitas jantung, kecepatan konduksi impuls, dan arus darah koroner (Frandson 1992). Rangsangan parasimpatis memungkinkan jantung beristirahat lebih lama pada saat tubuh secara relatif tidak aktif. Namun stimulasi simpatis meningkatkan aktifitas jantung untuk mensuplai banyak darah untuk otot-otot bergaris lintang, hati, dan otak karena peningkatan aktifitas fisik atau ketika seekor hewan sedang mengalami stres (Frandson 1992). 2.3.3. Sistem Respirasi Pernafasan bertujuan untuk mempertahankan konsentrasi O 2, CO 2 dan ion hidrogen dalam cairan tubuh, sehingga fungsi jaringan dapat terus berlangsung. Pengaturan fungsi pernafasan diperlukan untuk mempertahankan keadaan tersebut. Fungsi pernafasan diatur oleh medulla oblongata dan pons yang merupakan pusat pernafasan. Di dalam substansi retikularis medulla oblongata terdapat pengaturan inspirasi dan ekspirasi yang mengatur irama dasar pernafasan. Sedangkan pusat pneumotaksik dan pusat apneumotaksik yang mempengaruhi kecepatan dan irama pernafasan terdapat di dalam pons (Frandson 1992). Pernafasan terjadi melalui dua proses, yakni pernafasan luar (eksterna) dan pernafasan dalam (interna). Pernafasan luar merupakan absorbsi O 2 dan pembuangan CO 2 dari tubuh secara keseluruhan, sedangkan pernafasan dalam merupakan pertukaran gas antara sel-sel dan medium cair (Frandson 1992). Udara atau gas yang masuk (inspirasi) dan udara yang keluar (ekspirasi) pada saluran pernafaan disebut juga volume tidal. Respiratory rate adalah jumlah inspirasi dan ekspirasi yang dilakukan dalam setiap menitnya. Volume tidal dan respiratory rate (frekuensi pernafasan) akan menghasilkan volume pernafasan per menit (minute volume). Pernafasan yang lebih dangkal akan menurunkan volume tidal dan pernafasan yang dalam akan meningkatkan volume tidal (Frandson 1992; Ganong 2002). 28

Masuk dan keluarnya udara dari atmosfer ke dalam paru-paru dimungkinkan oleh peristiwa mekanik pernafasan inspirasi dan ekspirasi. Pada masa inspirasi paru-paru akan mengembang, sedangkan pada masa ekspirasi paruparu akan menguncup. Pernafasan dapat dilakukan dengan sengaja dan reflektoris (spontan). Pernafasan spontan ditimbulkan oleh rangsangan yang ritmis neuromotoris yang menginervasi otot-otot pernafasan. Rangsangan ini secara keseluruhan tergantung kepada impuls-impuls syaraf otak. Pernafasan berhenti bila medulla spinalis dipotong melintang di atas nervus phrenicus (Frandson 1992; Ganong 2002). Pernafasan yang dalam dan cepat disebabkan oleh stimulasi pusat respirasi untuk meningkatkan ventilasi pulmoner dan pertukaran gas melintasi membran respirasi. Hal ini diatur secara neurogenik dan humorokimia yang melibatkan input saraf kolateral dari korteks motor otak, umpan balik dari otot dan proprioreseptor persendian seperti pada waktu latihan fisik, dan faktor humorokimia dari CO 2 darah, dan konsentrasi ion H + (Frandson 1992; Ganong 2002). Pernafasan terjadi secara pendek dan cepat bila hewan terkejut, takut atau kepanasan. Frekuensi pernafasan merupakan salah satu indikator yang tepat bagi status kesehatan hewan ternak. Frekuensi pernafasan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu ukuran tubuh, umur hewan, aktifitas fisik, kegelisahan, suhu lingkungan, kebuntingan, adanya gangguan pada saluran pencernaan, kondisi kesehatan hewan, dan posisi hewan (Kelly 1984). Pernafasan akan dipercepat bila hewan terkejut, setelah banyak bergerak atau dalam keadaan demam. Penyakit pada paru-paru, penyakit jantung, obstruksi pada jalan hawa sebelah atas dan keadaan dimana pernafasan menyebabkan kesakitan (misalnya pleuritis, peritonitis) dan pada anemia juga menyebabkan percepatan pernafasan. Sedangkan pernafasan yang diperlambat jarang terjadi. Pada beberapa penyakit otak, stenosis jalan hawa sebelah atas dan pada uremia kadang-kadang menyebabkan perlambatan pernafasan. Frekuensi nafas sapi dewasa normal adalah 10 30 kali per menit, sedangkan anak sapi dalam masa pertumbuhan memiliki frekuensi nafas normal 15 40 kali per menit (Kelly 1984). Parameter yang perlu diperhatikan dalam 29

pemeriksaan sistem pernafasan adalah kecepatan pernafasan (inspirasi/menit), tipe pernafasan, ritme atau irama dan dalamnya pernafasan (intensitas) (Ganong 2002). 30

III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kandang Hewan Percobaan yang dikelola Unit Pelayanan Teknis Hewan Laboratorium (UPT Helab) Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung mulai bulan Juni hingga Oktober 2007. 3.2. Alat dan Bahan 3.2.1. Hewan Coba Hewan percobaan yang digunakan untuk penelitian ini adalah dua ekor induk sapi betina jenis Friesian Holstein (FH) pada periode awal kering kandang dan berada pada laktasi 2-3. Selama penelitian, induk sapi dipelihara dan dijaga status kesehatannya. Pakan diberikan dua kali sehari berupa hijauan, konsentrat, dan ampas tahu pada pagi dan sore hari serta pemberian air minum secara ad libitum. Sebelum diberi perlakuan, induk sapi diberi obat cacing dan multivitamin. 3.2.2. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan untuk penelitian ini adalah kapas, syringe, termometer, pengukur waktu, dan stetoskop. Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah vaksin E. coli polivalen, immunomodulator, obat cacing, multivitamin, dan alkohol 70%. 3.3. Desain Penelitian 3.3.1. Pemberian Vaksin Escherichia coli Pemberian vaksin dilakukan pada kedua ekor sapi. Vaksin yang diberikan adalah vaksin E. coli polivalen dengan kandungan sel bakteri enterotoksigenik E. coli K 99, F 41 dan K 99, F 41 (serogroup O 9, 101 ), verotoksigenik E. coli (serogroup O 157 ), formalin 0.02% dan alhidrogel 1.5%. Pemberian vaksin dilakukan sebanyak tiga kali yaitu pada 8, 6 dan 4 minggu sebelum induk sapi diperkirakan partus. Vaksinasi diberikan secara injeksi intra muskular dengan dosis 5 ml/ekor. 31

Sebelum pemberian vaksin, induk sapi diberi imunomodulator (Inmun Air ) selama tiga hari berturut-turut dengan dosis 1 mg/kg bobot badan per oral. 3.3.2. Pemeriksaan Status Present Pemeriksaan status present dilakukan pada 3 hari sebelum hingga sesudah vaksinasi pertama, kedua, dan ketiga. Parameter yang diamati meliputi temperatur tubuh (rektal), frekuensi jantung, dan frekuensi nafas. Data yang diperoleh pada hari ketiga hingga 1 hari sebelum vaksinasi kemudian dirata-ratakan untuk digunakan sebagai data normal individu. Pengukuran temperatur tubuh (rektal) dilakukan dengan menggunakan termometer yang dimasukkan ke dalam rektum selama sekitar 2-3 menit. Frekuensi respirasi diamati dengan cara menghitung nafas selama 15 detik yang dilihat melalui gerakan abdomen. Hasil yang didapat kemudian dikalikan empat untuk mendapatkan frekuensi nafas per menit. Penghitungan frekuensi jantung dihitung menggunakan stetoskop yang diletakkan pada dinding dada bagian sebelah kiri selama 15 detik kemudian hasil yang diperoleh dikalikan empat. 32

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Temperatur Tubuh Peningkatan temperatur tubuh dapat dijadikan indikator terjadinya peradangan di dalam tubuh atau demam. Menurut Kelly (1984), temperatur normal tubuh sapi dewasa berkisar antara 37.8-39.2 C. Gambaran temperatur tubuh induk sapi yang divaksinasi E. coli disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 3, 4, dan 5. Tabel 1 Temperatur tubuh induk sapi yang diberi vaksin E. coli Waktu Pengamatan Temperatur ( C) Vaksinasi I Vaksinasi II Vaksinasi III Sapi 1 Sapi 2 Sapi 1 Sapi 2 Sapi 1 Sapi 2 Pra vaksinasi 38.2 38.3 38.2 38.1 38.7 38.4 Hari ke-0 vaksinasi 38.4 38.5 38.6 38.3 37.8 38.6 1 hari post vaksinasi 39.1 38.7 37.8 38.2 37.8 37.8 2 hari post vaksinasi 39.1 38.3 38.2 38.3 38.4 38.3 3 hari post vaksinasi 38.6 38.1 38.3 38.6 38.5 38.5 Temperatur tubuh sapi 1 sebelum vaksinasi pertama adalah 38.2 C dan temperatur tubuh sapi 2 adalah 38.3 C. Temperatur tubuh sapi 1 mengalami peningkatan 1.8% dari 38.4 C pada hari ke-0 sebelum vaksinasi pertama menjadi 39.1 C pada hari pertama dan kedua setelah vaksinasi pertama. Peningkatan ini mendekati batas atas nilai normal temperatur tubuh menurut Kelly (1984) yaitu 39.2 C. Menurut Hellon et al. (1991), pirogen eksogen seperti bakteri, jamur atau virus yang masuk ke dalam tubuh dapat menyebabkan terjadinya peningkatan suhu tubuh. Pirogen eksogen akan bekerja sebagai antigen yang mempengaruhi sistem imun sehingga tubuh akan memproduksi sel darah putih lebih banyak untuk meningkatkan kekebalan tubuh melawan antigen. Menurut Lorenz & Larry (1987), pirogen eksogen akan merangsang neutrofil, monosit, dan eosinofil untuk melepaskan zat yang disebut pirogen endogen yang akan mempengaruhi 33

termoregulatori set point dalam hipotalamus melalui kerja monoamin, prostaglandin, dan siklik AMP. Untuk mencapai set point temperatur baru yang meningkat di dalam hipotalamus, tubuh akan merespon dengan melakukan peningkatan produksi panas melalui peningkatan metabolisme pada hati dan sel-sel tubuh dan penghematan panas melalui vasokontriksi pembuluh darah. Seperti peningkatan temperatur tubuh yang terjadi pada sapi 1, sapi 2 juga mengalami peningkatan temperatur tubuh sebesar 0.5% dari 38.5 C pada hari ke-0 vaksinasi menjadi 38.7 C pada hari pertama setelah vaksinasi. Temperatur tubuh sapi 1 kemudian menurun setelah hari kedua vaksinasi menjadi 38.6 C pada hari ketiga setelah vaksinasi pertama. Sementara pada sapi 2, temperatur tubuh sudah menurun pada hari kedua setelah vaksinasi pertama menjadi 38.3 C dan menjadi 38.1 C pada hari ketiga setelah vaksinasi. Menurut Tizard (2000), antigen akan dieliminasi dan difagosit oleh sel-sel pertahanan tubuh. Hal ini mengakibatkan berkurangnya atau hilangnya pirogen eksogen sehingga terjadi penurunan pelepasan pirogen endogen pula. Menurut Lorenz & Larry (1987), bila pirogen eksogen telah mampu dihilangkan, maka termostat hipotalamus akan diatur kembali menjadi temperatur normal dan temperatur tubuh akan diturunkan melalui vasodilatasi pembuluh darah, penurunan metabolisme dan peningkatan pengeluaran panas. Temperatur tubuh sapi 1 sebelum vaksinasi kedua adalah 38.2 C, kemudian menurun 1.3% dari 38.6 C pada hari ke-0 sebelum vaksinasi kedua menjadi 37.8 C pada hari pertama setelah vaksinasi kedua. Temperatur tubuh sapi 1 kemudian meningkat menjadi 38.2 C pada hari kedua setelah vaksinasi kedua dan menjadi 38.3 C pada hari ketiga setelah vaksinasi kedua. Temperatur tubuh sapi 2 sebelum vaksinasi kedua adalah 38.1 C dan menurun 0.3% dari 38.3 C pada hari ke-0 sebelum vaksinasi kedua menjadi 38.2 C pada hari pertama setelah vaksinasi kedua. Temperatur tubuh sapi 2 kemudian meningkat pada hari kedua setelah vaksinasi kedua menjadi 38.3 C dan menjadi 38.6 C pada hari ketiga setelah vaksinasi kedua. Perubahan temperatur tubuh yang terjadi pada 34

vaksinasi kedua ini relatif stabil dan masih berada dalam kisaran normal menurut Kelly (1984). Gambar 3 Temperatur tubuh induk sapi yang diberi vaksin E. coli pertama Gambar 4 Temperatur tubuh induk sapi yang diberi vaksin E. coli kedua Gambar 5 Temperatur tubuh induk sapi yang diberi vaksin E. coli ketiga 35

Menurut Guyton & Hall (1997), tubuh memiliki kemampuan khusus untuk mengenali antigen atau bahan asing tertentu. Sistem imun akan memproduksi antibodi untuk melawan antigen seperti bakteri. Antibodi ini kemudian melekat pada membran bakteri sehingga membuat bakteri akan rentan terhadap fagositosis, dan dengan bantuan komplemen C3b akan terjadi proses opsonisasi terhadap antigen. Hal ini menyebabkan pada saat tubuh terpapar antigen yang sama akan menimbulkan respon antibodi yang jauh lebih cepat dan lebih kuat. Ini menjelaskan mengapa pada vaksinasi kedua tidak terjadi peningkatan temperatur yang tinggi setelah vaksinasi seperti pada vaksinasi pertama, karena antigen yang muncul telah dikenali oleh tubuh melalui molekul Major Histocompability Complex (MHC) yang terletak dipermukaan makrofag sehingga antigen dapat direspon oleh tubuh dengan lebih cepat. Demikian pula pada vaksinasi ketiga, temperatur tubuh sapi 1 dan sapi 2 relatif stabil dan tidak mengalami peningkatan seperti pada saat setelah vaksinasi pertama. Temperatur tubuh sapi 1 sebelum vaksinasi ketiga adalah 38.7 C dan temperatur tubuh sapi 1 pada hari pertama setelah vaksinasi ketiga tidak mengalami perubahan dari hari ke-0 sebelum vaksinasi ketiga yaitu 37.8 C. Temperatur tubuh sapi 1 kemudian meningkat pada hari kedua setelah vaksinasi ketiga menjadi 38.4 C dan menjadi 38.5 C pada hari ketiga setelah vaksinasi ketiga. Temperatur tubuh sapi 2 sebelum pemberian vaksinasi ketiga adalah 38.4 C dan mengalami penurunan 2.1% dari 38.6 C pada hari ke-0 sebelum vaksinasi menjadi 37.8 C pada hari pertama setelah vaksinasi ketiga. Temperatur tubuh sapi 2 kemudian meningkat menjadi 38.3 C pada hari kedua setelah vaksinasi ketiga dan menjadi 38.5 C pada hari ketiga setelah vaksinasi ketiga. Perubahan yang terjadi pada vaksinasi ketiga ini masih berada dalam kisaran normal temperatur tubuh menurut Kelly (1984), dan tidak terjadi peningkatan atau penurunan temperatur tubuh yang signifikan. Menurut Kelly (1984), beberapa faktor yang dapat meningkatkan temperatur tubuh secara fisiologis antara lain pada saat setelah makan, aktifitas (latihan/exercise) berlebih, partus (melahirkan), dan pada saat suhu lingkungan sekitar tinggi. Sedangkan menurut Rossenberger (1987), faktor-faktor yang 36