BAB II KAJIAN PUSTAKA. pembelian impulsif, salah satunya adalah model stimulus organism response

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. terbentuk sebelum memasuki toko. Bisa juga dikatakan suatu desakan hati yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Emotional States and Mehrabian-Russell Model. sehingga muncul paradigma Stimulus Organism Response (S-O-R) dari

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Menurut Mowen dan Minor (2002:10), impulse buying didefinisikan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. ditunjukkan oleh konsumen dalam mencari, membeli, menggunakan,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. atau e-commerce juga terus berkembang. Dengan demikian lebih mempermudah

BAB 1 PENDAHULUAN. kompleksitas dan berbagai tekanan yang dihadapi perusahaan meningkat. Globalisasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. mengoperasikan telepon genggam dengan spesifikasi yang jauh lebih bagus

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan dituntut untuk lebih cerdas mempertahankan pasarnya dalam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Sebagian besar konsumen Indonesia memiliki karakter unplanned.

BAB I PENDAHULUAN UKDW. bertahan dan memenangkan persaingan di dalam bisnis ritel. bisnis yang melakukan penambahan nilai terhadap produk-produk dan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Promosi adalah suatu komunikasi informasi penjual dan pembeli yang bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. yang ingin berbelanja dengan mudah dan nyaman. Meningkatnya retail modern

BAB I PENDAHULUAN. produk atau jasa untuk menarik simpatik masyarakat. Banyaknya usaha-usaha

BAB 1 PENDAHULUAN. tujuannya mereka terus memperjuangkan tujuan lama, atau tujuan pengganti.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari bahasa Yunani hedone yang diartikan sebagai pleasure atau kenikmatan.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kegiatan pemasaran tidak bisa terlepas dari aktifitas bisnis yang bertujuan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. konsepsi yang dinamis yang terus-menerus berubah sebagai reaksi terhadap

BAB II KERANGKA TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. semakin banyaknya pusat-pusat perbelanjaan seperti department store, factory

BAB I PENDAHULUAN. Pemasaran sensorik (sensory marketing) didefinisikan oleh Krishna (2012) sebagai

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. dalam keadaan pembuatan keputusan secara cepat tanpa memikirkan akibat

BAB I PENDAHULUAN. melewati tiga tahap yang berbeda namun berhubungan yang harus dilalui, tahap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. karena adanya ransangan yang menarik dari toko tersebut (Utami, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan harus mampu memenuhi permintaan konsumen yang semakin hari

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI. Peroses pengambilan keputusan merupakan suatu psikologis dasar yang

BAB VI HUBUNGAN PELANGGAN

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam memprediksikan perilaku pembelian konsumen terhadap suatu

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa contoh bentuk pusat perbelanjaan modern seperti minimarket,

II. LANDASAN TEORI. Pemasaran sebagai proses sosial dan manajerial dimana individu atau kelompok

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS. Sinaga (2006) mengatakan bahwa pasar modern adalah pasar yang dikelola

I. PENDAHULUAN. Saat ini, teknologi telah memegang peranan yang signifikan dalam kehidupan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penentuan Pokok Bahasan

BAB II LANDASAN TEORI. Produk merupakan salah satu aspek penting dalam variabel marketing mix.

BAB I - PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perkembangan jumlah pengguna internet di Indonesia saat ini sedang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

LINGKUNGAN TOKO SEBAGAI STIMULUS PEMBELIAN TIDAK TERENCANA (THE IMPACT OF STORE ENVIRONMENT ON IMPULSE BUYING BEHAVIOR)

BAB I PENDAHULUAN. Bab I menjelaskan mengenai fenomena penelitian beserta variabel -variabel yang

BAB I PENDAHULUAN. (JBE), hlm Dani Mohamad Dahwilani, Pertumbuhan Ritel Indonesia Peringkat 12 Dunia,

BAB I PENDAHULUAN. selera konsumen dan perubahan yang terjadi pada lingkungan sekitarnya.

BAB 1 PENDAHULUAN. macam kegiatan pemasaran yang tidak lepas dari perilaku konsumen.

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat diikuti dengan. berkembangnya kebutuhan masyarakat menyebabkan perubahan gaya hidup pada

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Perubahan cepat dalam teknologi informasi telah mengubah budaya

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. beberapa staff seperti customer service dan tenaga sales counter. Pembelian biasanya

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bab II menjelaskan tentang landasan teori yang digunakan sebagai dasar

BAB 1. aktivitas pejualan barang atau jasa yg dilakukan secara langsung untuk memenuhi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. memenuhi kebutuhan dan keinginan melalui proses pertukaran. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. beredar memenuhi pasar, mengakibatkan perusahaan berlomba-lomba

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN KONSEPTUAL DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. telepon genggam (telgam) atau handphone (HP) atau disebut pula adalah

BAB V PENUTUP. 1. Fashion Involvement secara signifikan mempengaruhi Impulse Buying. keterlibatan konsumen terhadap produk fashion maka akan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menangkap dimensi penting untuk pelanggan ritel. Dabholkar et al. (1996) dan kelengkapan barang yang dijual,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sekunder dan tersier. Semua kebutuhan tersebut dipenuhi melalui aktivitas

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan kebutuhan konsumen yang bervariasi memberikan peluang bagi para pelaku bisnis terutama di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sehingga, pemasar dapat memproduksi barang dan jasa yang sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN. bidang. Melihat kondisi tersebut pebisnis semakin dituntut untuk menggunakan

BAB II TELAAH TEORITIS. Dalam telaah teoritis, dibahas landasan teori dan penelitian terdahulu

BAB 1 PENDAHULUAN. Berikut adalah perkembangan mall yang ada di Surabaya berdasarkan kanalsatu.com: Tabel 1.1 Perkembangan Mall di Surabaya

BAB 2 TINJAUAN TEORI DAN HIPOTESIS. konsumen melakukan dan apa yang mereka lakukan. Schiffman dan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sebagai media pemasaran yang dikenal dengan internet marketing atau e- menjadi masalah yang berarti bagi dunia pemasaran.

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan usaha dalam bidang ritel dalam perkembangannya sangat

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dewasa ini telah membawa pengaruh yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. tergantung pada perilaku konsumennya (Tjiptono, 2002). konsumen ada dua hal yaitu faktor internal dan eksternal.

BAB I PENDAHULUAN. inovasi desainer muda yang semakin potensial, tingkat perekonomian yang

I. PENDAHULUAN. Perkembangan jaman yang semakin modern menyebabkan banyaknya. pembangunan toko ritel yang berkonsep swalayan. Beberapa tahun terakhir,

BAB I PENDAHULUAN. dengan strategi masing-masing dalam mendapatkan konsumen yang diharapkan akan

10 c. Persepsi sikap terhadap penggunaan (attitude) d. Persepsi minat perilaku (behavioral intention to use) Persepsi pengguna terhadap manfaat teknol

BAB 1 PENDAHULUAN. bisnis ritel modern, khususnya di bidang fashion agar dapat memenangkan

BAB I PENDAHULUAN. dan aktivitas gaya hidup (misalnya Lury, 1996; Bayley dan Nancarrow, 1998

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Kotler & Amstrong (2012) E-commerce adalah saluran online yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. suatu perusahaan dalam usahanya untuk mengembangkan, mendapatkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. usaha organisasi atau perusahaan dalam mendesain, promosi, harga dan distribusi

BAB V PENUTUP. Didasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada. bab IV, maka dapat diambil kesimpulan bahwa :

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dewasa ini perkembangan ekonomi di Indonesia meningkat sangat

Transkripsi:

13 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Teori Stimulus Organism Respons (SOR) Berbagai teori telah diusulkan untuk menjelaskan secara perilaku pembelian impulsif, salah satunya adalah model stimulus organism response (SOR) (Parboteeah et al., 2009). Pembelian impulsif biasanya dikonseptualisasikan sebagai perilaku reaksioner yang melibatkan respon langsung terhadap rangsangan disajikan dalam lingkungan ritel (Smith dan Sivakumar, 2004). Teori stimulus organism response (SOR) yang dikemukakan oleh Mehrabian dan Russell (1974) dalam Jang dan Young (2009) menunjukkan pengaruh antara stimulus lingkungan eksternal terhadap perilaku individu. Model SOR menunjukkan rangsangan eksternal (stimulus) menyebabkan konsumen untuk membuat evaluasi (organism), yang pada akhirnya menyebabkan perilaku (response). Model SOR juga menggambarkan mekanisme bagaimana elemen lingkungan mempengaruhi keadaan internal dan mempengaruhi perilaku individu. Elemen lingkungan memberikan rangsangan eksternal (stimulus) kepada individu untuk melakukan evaluasi sampai akhirnya melakukan suatu perilaku atau tindakan. Model SOR telah diterapkan oleh beberapa peneliti untuk menjelaskan pembelian impulsif secara online seperti yang dilakukan oleh Madhavaram dan Laverie (2004) serta Parboteeah et al. (2009). Pada konteks belanja offline, konsumen dapat berinteraksi langsung dengan produk yang sebenarnya

14 sedangkan, belanja online harus dimediasi melalui situs web. Pengalaman dengan situs web secara keseluruhan lebih relevan dan dekat dengan perilaku pembelian akhir, bukan dari fitur spesifik dari situs web (Shen dan Khalifa, 2012). Pada penelitian ini, yang menjadi dorongan (stimulus) adalah atribut produk pakaian. Rangsangan berupa atribut produk pakaian seperti keragaman pilihan, harga, dan atribut sensori produk mempengaruhi individu untuk melakukan evaluasi (organism) dengan melakukan web browsing hedonism. Web browsing hedonism nantinya diharapkan menghasilkan pengaruh emosi dari pembeli untuk mendorong mereka melakukan tindakan (response) berupa pembelian secara impulsif secara online. 2.2 Perilaku Pembelian Impulsif Pembelian impulsif didefinisikan sebagai pembelian yang belum direncanakan terlebih dahulu, memainkan peran penting dalam penjualan suatu ritel (Muruganantham dan Bhakat, 2013). Pembelian impulsif biasanya terjadi ketika seorang konsumen merasakan motivasi yang kuat yang berubah menjadi keinginan untuk membeli barang langsung (Tirmizi et al., 2009). Stren (1962) dalam Muruganantham dan Bhakat (2013) mengkatagorikan pembelian impulsif dalam empat kelompok, yaitu: a) Pembelian impulsif murni (Pure impulse buying) Pembelian impulsif murni terjadi pada pembelian baru yang menghancurkan pola pembelian normal. Pada Pembelian impulsif murni, individu sebelumnya tidak berniat untuk membeli suatu barang.

15 b) Pembelian impulsif pengingat (Reminder impulse buying) Pembelian impulsif pengingat terjadi ketika ingatan seorang konsumen akan suatu produk menjadi rendah atau membutuhkan barang ketika dia melihat di toko atau teringat iklan tentang suatu barang dan keputusan sebelumnya untuk membeli. Individu secara spontan memutuskan untuk membeli barang yang didasarkan pada pengalaman atau ingatan sebelumnya. c) Pembelian impulsif saran (Suggestion impulse buying) Pembelian impulsif saran terjadi ketika seorang konsumen melihat produk untuk pertama kalinya di toko dan kemudian terbayang kebutuhan untuk hal itu. Individu melihat produk pada rak atau etalase kemudian memutuskan untuk membelinya. d) Pembelian impulsif terencana (Planned impulse buying) Pembelian impulsif terencana terjadi ketika seorang konsumen memasuki toko dengan niat untuk membeli barang tertentu, namun membeli barangbarang lainnya juga bisa terjadi tergantung pada promosi penjualan. Individu pergi ke toko dengan pembelian yang sudah direncanakan tetapi juga mempertimbangkan pembelian lainnya. Mirip dengan konteks belanja di ritel konvensional, penelitian terbaru menemukan bahwa pembelian impulsif juga menjadi perhatian penting dalam konteks belanja online (Ling dan Yazdanifard, 2015). Verhagen dan Dolen (2011) menunjukkan bahwa 40 persen dari pembelian online dapat dikaitkan dengan pembelian impulsif. Hal tersebut dipicu oleh faktor situasional belanja impulsif secara online dikarenakan kemudah akses serta kesempatan untuk akses promosi

16 harga barang yang lebih murah. Pembelian impulsif terjadi ketika orang-orang mendapat dorongan yang membuat mereka melakukan pembelian yang tidak diinginkan, tidak bisa dicerminkan, langsung melakukan pembelian, dan sering merasa terpanggil untuk membeli produk (Park et al., 2011). Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa pembelian impulsif merupakan adanya motivasi yang kuat untuk melakukan pembelian yang tidak direncanakan secara spontan dengan karakteristik dalam pengambilan keputusannya dilakukan dalam waktu yang relatif cepat dan adanya keinginan untuk memiliki secara cepat. 2.3 Web browsing hedonism Secara sederhana browsing dapat diartikan sebagai kegiatan menjelajah, menelusuri, atau mencari. Kegiatan browsing sebagai tahap awal dalam proses pembelian impulsif memiliki beberapa pengertian dari sejumlah penelitian terdahulu. Beatty dan Ferrell (1998) dalam Madhavaram dan Laverie (2004) mengemukakan kegiatan pencarian (browsing) di dalam toko, seperti memeriksa barang dagangan dengan tujuan mencari informasi ataupun rekreasi mempengaruhi keputusan pembelian konsumen. Browsing merupakan kegiatan berselancar di internet (Lumintang, 2012). Kegiatan ini dianalogikan seperti berjalan-jalan di suatu toko atau mall sambil melihat-lihat produk yang ada tanpa membeli apapun. Verhagen dan Dolen (2011) menyatakan browsing adalah pemeriksaan barang dagangan di toko untuk tujuan rekreasi dan mencari informasi tanpa ada niat untuk membeli. Web browsing merupakan suatu tahapan

17 ketika konsumen mencari suatu informasi dan membuat pilihan melalui internet (Park et al., 2011). Pengumpulan informasi eksternal ini merupakan kegiatan yang dapat menentukan konsumen apakah mereka ingin membeli atau tidak membeli produk melalui internet. Web browsing hedonism, lebih fokus pada pemenuhan motivasi hedonis yang mengacu untuk memenuhi perilaku konsumsi dalam rangka mencari hal-hal baru, fantasi, hiburan, dan kesenangan. Manfaat motivasi hedonis adalah pengalaman dan emosional bagi pelanggan (Park et al., 2011). Lingkungan secara online mendorong seseorang untuk mengeksplorasi kesenangan (Huang, 2005). Kemudian pada konteks online, nilai hedonis berdiri sebagai penilaian secara keseluruhan dari manfaat pengalaman dan fantasi. Bahkan, konsumen yang melakukan pembelian untuk rekreasi atau hiburan mengharapkan tingkat tinggi nilai hedonis (Nurmikko, 2011). Konsumen yang mengunjungi ritel online tidak hanya untuk mengumpulkan informasi dan membeli produk, tetapi mereka juga mencoba untuk memenuhi kebutuhan pengalaman dan emosi (Kim, 2008). Berdasarkan beberapa uraian tentang web browsing hedonism tersebut dapat dijelaskan bahwa web browsing hedonism merupakan perasaan emosional yang dirasakan konsumen atau pengunjung situs dari pengalaman pencarian informasi atau hiburan di suatu situs yang bersifat mencari suatu hal yang baru, fantasi dan kesenangan.

18 2.4 Atribut Produk Pakaian Atribut produk merupakan unsur-unsur pada suatu produk yang dipandang penting oleh konsumen dan dijadikan dasar pengambilan keputusan pembelian (Tjiptono, 2008). Hal yang hampir sama juga dinyatakan Hasan (2008), atribut produk yang setidaknya penting dipandang konsumen untuk dijadikan dasar pengambilan keputusan pembelian adalah merek, kemasan, labeling, garansi, dan pelayanan. Atribut-atribut produk tersebut sangat berpengaruh terhadap reaksi pelanggan akan suatu produk. Atribut produk merupakan karakteristik dari produk atau jasa yang menghasilkan kemampuan untuk memuaskan yang dinyatakan atau tersirat pada kebutuhan konsumen (Kotler dan Amstrong, 2012). Berarti atribut produk merupakan karakteristik yang melekat pada suatu produk atau jasa yang dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan pembelian oleh konsumen. Beberapa studi sebelumnya mengidentifikasi bahwa atribut produk pakaian sangat penting bagi konsumen dalam pengambilan keputusan pembelian. Suatu studi mengungkapkan bahwa konsumen di Amerika Serikat mempertimbangkan atribut seperti gaya, dan kain membuat keputusan pembelian pakaian (Eckman et al., 1990 dalam Bennur dan Jin, 2013). Pernyataan tersebut juga didukung oleh Miller et al. (2005), yakni konsumen Amerika Serikat mempertimbangkan atribut seperti gaya pakaian, bahan kain, dan warna yang ditemukan menjadi acuan dalam keputusan pembelian. Studi lain yang menemukan harga dan kualitas menjadi atribut penting yang mempengaruhi pembelian pakaian konsumen di Cina (Dickson et al., 2004). Konsumen Taiwan

19 lebih mempertimbangkan atribut seperti, warna, kualitas, kandungan serat, merek, dan kenyamanan dalam keputusan pembeliannya (Wang dan Heitmeyer, 2005). Pentingnya atribut pakaian tertentu, seperti gaya, harga, dan merek dalam pengambilan keputusan pembelian pakaian pada remaja (Burger dan Herbst, 2002). Atribut produk berperan penting dalam keputusan pembelian pakaian pada wanita (North et al., 2003). Atribut produk tertentu di situs mendorong perilaku browsing konsumen kemudian menyebabkan perilaku pembelian impulsif. Atribut produk seperti harga dan keragaman pilihan berpengaruh terhadap nilai hedonis (Irani dan Hanzaee, 2011). Atribut produk pada sebuah situs web adalah stimulus penting untuk mempromosikan web browsing karena konsumen tidak bisa mencoba atau menyentuh pakaian dalam konteks belanja online. 2.4.1. Keragaman pilihan produk Keragaman produk atau variasi produk merupakan suatu unit tersendiri dalam suatu merek atau lini produk yang dapat dibedakan berdasarkan ukuran, harga, penampilan atau atribut lainnya (Tjiptono, 2008). Mclior dan Rays (2008) dalam Park et al. (2011) menyatakan variasi produk merupakan berbagai macam pilihan produk dan barang pelengkap yang disediakan dalam suatu ritel atau toko. Jadi dapat dijelaskan bahwa keragaman pilihan produk merupakan macam-macam pilihan lini produk yang disediakan suatu ritel atau toko berdasarkan ukuran, penampilan serta ciri yang lain.

20 Keragaman pilihan produk penting bagi konsumen karena memberikan kesempatan bagi konsumen untuk membandingkan, membedakan dan memilih diantara beberapa solusi potensial yang dapat memenuhi kebutuhan konsumen. Keragaman merchandise atau produk di suatu ritel bertujuan agar para konsumen dimanjakan dengan banyaknya pilihan (Tinjung dan Herlina, 2012). Ritel harus menawarkan keberagaman yang cukup untuk memuaskan kebutuhan dan harapan konsumen, tetapi tidak terlalu banyak sehingga membingungkan konsumen dan akhirnya menurunkan niat pembelian konsumen (Utami, 2010). Pembelian berdasarkan mencari keragaman (variety-seeking) juga termasuk dalam bidang pengalaman (Mowen dan Minor, 2002). Mencari keragaman mengacu pada kecenderungan konsumen untuk secara spontan membeli merek produk baru meskipun mereka terus mengungkapkan kepuasan mereka dengan merek yang lama. Pembelian berdasarkan mencari keragaman diklasifikasikan sebagai bersifat pengalaman, karena pembelian tersebut dilakukan untuk mempengaruhi perasaan. Apabila konsumen merasa jenuh, mereka akan merasa di bawah optimal, dengan membeli merek baru mereka mencoba untuk membuat diri mereka menjadi lebih baik. 2.4.2 Kebijakan Harga Kebijakan harga menjadi salah satu elemen penting bagi perusahaan untuk menarik minat konsumen untuk membeli produk yang ditawarkan. Harga merupakan salah satu atribut penting yang dievaluasi oleh konsumen, dan manajer perlu benar-benar menyadari peran harga tersebut dalam pembentukan sikap

21 konsumen (Mowen dan Minor, 2002). Harga sebagai atribut produk atau jasa yang paling sering digunakan oleh sebagian besar konsumen untuk mengevaluasi produk (Sumarwan, 2004). Bagi sebagian besar konsumen Indonesia yang masih berpendapatan rendah, harga adalah faktor utama yang dipertimbangkan dalam memilih produk maupun jasa. Hal tersebut membuat konsumen sangat sensitif terhadap harga. Berarti kebijakan harga merupakan sejumlah satuan mata uang yang ditetapkan oleh perusahaan terhadap suatu produk sebagai bahan evaluasi bagi konsumen untuk mendapatkan suatu produk. Secara historis, harga telah menjadi faktor utama yang mempengaruhi pilihan pembeli, meskipun faktor selain harga juga dianggap penting. Namun, harga masih tetap menjadi salah satu elemen yang paling penting dalam menentukan pembelian konsumen yang dapat meningkatkan pangsa pasar dan profitabilitas suatu perusahaan (Kotler dan Armstrong, 2012). Konsumen menganggap bahwa berbelanja merupakan suatu permainan pada saat tawarmenawar harga, atau pada saat konsumen mencari tempat pembelanjaan yang menawarkan diskon, obralan, ataupun tempat berbelanja dengan harga yang murah (Utami, 2010). Konsumen dengan motivasi hedonis lebih peka terhadap informasi harga, dan sangat penting untuk menentukan browsing hedonis dan pembelian impulsif secara online (Park et al., 2011). Harga produk di ritel online biasanya lebih murah dibandingkan ritel konvensional karena sebagian besar ritel online tidak mengenakan pajak penjualan kepada konsumen (Sirhindi, 2010). Dengan harga produk lebih murah dapat memicu pembelian impulsif secara online.

22 2.4.3 Atribut sensori produk Atribut sensori produk merupakan suatu karakteristik seperti penampilan, bau, rasa, tekstur dan suara yang terdapat pada suatu produk yang bisa dirasakan oleh panca indera, seperti penglihatan, penciuman, pengecapan, sentuhan dan pendengaran (Meilgaard et al., 2006). Atribut sensori produk digunakan sebagai stimulus kepada sistem sensori konsumen yang nantinya dijadikan sebagai acuan dalam keputusan pembelian suatu produk. Atribut sensori yang dijadikan pertimbangan konsumen dalam pembelian pakaian adalah ketika konsumen melihat tampilan dan menyentuh tesktur dari pakaian tersebut. Penampilan produk sering digunakan sebagai dasar keputusan untuk membeli atau mengkonsumsi suatu produk (Meilgaard et al., 2006). Pernyataan tersebut didukung oleh McCorkle (1990) dalam Park et al. (2011) menjelaskan bahwa tampilan pakaian seperti bahan kain, warna, dan desain merupakan kriteria utama untuk pembelian pakaian. Selain penampilan produk, penting untuk disadari bahwa pembelian pakaian mencakup banyak isyarat sensori yang menjadi aktif ketika menyentuh dan mencoba. Menyentuh dan mencoba merupakan faktor-faktor yang meningkatkan pembelian impulsif (Peck dan Childers, 2003). Lebih lanjut dijelaskan bahwa sentuhan yang membangkitkan perasaan menyenangkan, gairah, stimulasi sensorik dan fantasi konsumen. Terdapat perbedaan pengaruh atribut sensori pada pembelian pakaian di ritel konvensional dengan ritel online. Belanja di ritel konvensional pelanggan secara fisik dapat melihat, menyentuh, dan mencoba produk. Sedangkan, belanja

23 di ritel online konsumen hanya bisa melihat produk secara visual tanpa bisa menyentuh dan mencobanya. Konsumen hanya bisa memanfaatkan informasi atribut sensori produk secara visual, seperti warna, desain, dan bahan sebagai pertimbangan dalam membeli pakaian secara online (Kim dan Knight, 2007).