BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sepsis 2.1.1. Definisi Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi sebagai manifestasi proses inflamasi imunologi karena adanya respon tubuh yang berlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme (Guntur, 2007). Sepsis merupakan puncak dari interaksi yang kompleks antara mikroorganisme penyebab infeksi, imun tubuh, inflamasi, dan respon koagulasi (Hotchkiss et.al., 1999). Untuk mencegah timbulnya kerancuan, disepakati standarisasi terminologi. Pada bulan Agustus 1991, telah dicapai konsensus oleh ACCP/SCCM yang menghasilkan beberapa pengertian di bawah ini, antara lain: 1. Infeksi, respon inflamasi akibat adanya mikroorganisme pada jaringan yang seharusnya steril. 2. Bakteriemia, adanya bakteri hidup dalam darah. 3. Systemic Inflammatory Response Syndrome (sindroma reaksi inflamasi sistemik = SIRS), merupakan reaksi inflamasi masif sebagai akibat dilepasnya berbagai mediator secara sistemik yang dapat berkembang menjadi disfungsi organ atau Multiple Organ Dysfunction (MOD). 4. Sepsis, yaitu keadaan SIRS yang disertai dengan positif infeksi. 5. Severe sepsis (sepsis berat), sepsis disertai disfungsi organ, yaitu kelainan hipotensi (tekanan sistolik <90mmHg atau terjadi penurunan >40mmHg dari keadaan sebelumnya tanpa disertai penyebab dari penurunan tekanan darah yang lain). Hipoperfusi atau kelainan perfusi ini meliputi timbulnya asidosis laktat, oligouria atau perubahan akut status mental. 6. Syok septik, sepsis dengan hipotensi walaupun sudah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat tetapi masih didapatkan gangguan perfusi jaringan. 7. Multiple Disfunction Organ Syndrome (MODS).
2.1.2. Etiologi dan Faktor Risiko Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram negatif. Dengan persentase 60-70% kasus menghasilkan berbagai produk yang dapat menstimulasi sel imun sehingga terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi. Sepsis sampai syok septik secara klasik telah diakui penyebabnya adalah bakteri gram negatif, tetapi mungkin juga disebabkan oleh mikroorganisme lain, gram positif, jamur, virus bahkan parasit. Timbulnya syok septik dan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) sangat dipengaruhi oleh bakteriemia gram negatif. Syok terjadi pada 20%-35% penderita bakteriemia gram negatif (John, 1994). 2.1.3. Patofisiologi Ketika jaringan terinfeksi, terjadi stimulasi pelepasan mediatormediator inflamasi termasuk di antaranya sitokin. Sitokin terbagi menjadi sitokin pro-inflamasi dan sitokin anti-inflamasi. Sitokin yang termasuk pro-inflamasi seperti TNF, IL-1, dan interferon γ, bekerja membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang menyebabkan infeksi. Sedangkan sitokin anti-inflamasi yaitu IL-1-reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, dan IL-10, bertugas untuk memodulasi, mengoordinasi atau merepresi terhadap respon yang berlebihan. Keseimbangan dari kedua respon ini bertujuan untuk melindungi dan memperbaiki jaringan yang rusak dalam proses penyembuhan (Chamberlain, 2004). Namun ketika keseimbangan tersebut hilang, maka respon pro-inflamasi akan meluas menjadi respon sistemik. Respon sistemik ini meliputi kerusakan endotelial, disfungsi mikrovaskuler, dan kerusakan jaringan akibat gangguan oksigenasi, serta kerusakan organ akibat gangguan sirkulasi. Sedangkan, konsekuensi dari kelebihan respon anti-inflamasi adalah alergi dan immunosupresi. Kedua proses ini dapat mengganggu satu sama lain sehingga menciptakan kondisi ketidakharmonisan imunologi yang merusak (Chamberlain, 2004). Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1. Patogenesis Sepsis (Chamberlain, 2004) Skema patogenesis sepsis secara umum dapat dilihat di gambar atas (gambar 2.1). Penyebab tersering sepsis adalah bakteri, terutama gram negatif. Ketika bakteri gram negatif menginfeksi suatu jaringan, dia akan mengeluarkan endotoksin dengan lipopolisakarida (LPS) yang secara langsung dapat mengikat antibodi dalam serum darah penderita sehingga membentuk lipopolisakarida antibodi (LPSab). LPSab yang beredar di dalam darah akan bereaksi dengan perantara reseptor CD14+ dan akan bereaksi dengan makrofag dan mengekspresikan imunomodulator (Chamberlain, 2004). Jika penyebabnya adalah bakteri gram positif, virus, atau parasit, mereka dapat berperan sebagai superantigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag yang berperan sebagai antigen processing cell yang kemudian ditampilkan sebagai Antigen Presenting Cell (APC). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari Major Histocompatibility Complex (MHC). Antigen yang bermuatan MHC akan berikatan dengan CD4+ (Limfosit Th1 dan Limfosit Th2) dengan perantara T-cell Reseptor (Chamberlain, 2004). Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis, maka terjadi aktivasi
sistem komplemen dan sitokin (gambar 2.2). Limfosit T akan mengeluarkan substansi dari Th1 dan Th2. Th1 yang berfungsi sebagai immodulator akan mengeluarkan IFN-γ, IL2, dan M-CSF (Macrophage Colony Stimulating Factor), sedangkan Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, IFN-g, IFN 1β, dan TNF α yang merupakan sitokin pro-inflamantori. IL-1β yang merupakan sebagai imunoregulator utama juga memiliki efek pada sel endotelial termasuk di dalamnya terjadi pembentukkan prostaglandin E2 (PG-E2) dan merangsang ekspresi intercellular adhesionmolecule-1 (ICAM-1) yang menyebabkan neutrofil tersensitisasi oleh Granulocyte Monocyte-Colony Stimulating Factor (GM-CSF) mudah mengadakan adhesi. Neutrofil yang beradhesi akan mengeluarkan lisosim yang menyebabkan dinding endotel lisis sehingga endotel akan terbuka dan menyebabkan kebocoran kapiler. Neutrofil juga membawa superoksidan yang termasuk ke dalam radikal bebas (nitrat oksida) sehingga memengaruhi oksigenisasi pada mitokondria sehingga endotel menjadi nekrosis dan terjadilah kerusakan endotel pembuluh darah. Adanya kerusakan endotel pembuluh darah menyebabkan gangguan vaskuler dan hipoperfusi jaringan sehingga terjadi kerusakan organ multipel (Chamberlain, 2004). Gambar 2.2. Aktivasi Komplemen dan Sitokin pada Sepsis (Chamberlain, 2004) Hipoksia sendiri merangsang sel epitel untuk melepaskan TNF-α, IL-8, dan IL-6 yang dapat menimbulkan respon fase akut dan peningkatan permeabilitas epitel. Setelah terjadi reperfusi pada jaringan iskemik, terbentuklah Reactive Oxygen Specific (ROS) sebagai hasil metabolisme xantin dan hipoxantin oleh xantin oksidase, dan hasil metabolisme asam amino yang turut menyebabkan Universitas Sumatera Utara
kerusakan jaringan. ROS penting bagi kesehatan dan fungsi tubuh yang normal dalam memerangi peradangan, membunuh bakteri, dan mengendalikan tonus otot polos pembuluh darah. Namun, bila dihasilkan melebihi batas kemampuan proteksi antioksidan seluler, maka dia akan menyerang isi sel itu sendiri sehingga menambah kerusakan jaringan (gambar 2.3) dan bisa menjadi disfungsi organ multipel yang meliputi disfungsi neurologi, kardiovaskuler, respirasi, hati, ginjal dan hematologi (Chamberlain, 2004). Gambar 2.3. Sepsis menyebabkan suatu kematian organ (LaRosa dan Steven, 2010) Sepsis akan mengaktifkan tissue factor yang memproduksi trombin yang merupakan suatu substansi proinflamasi. Trombin akhirnya menghasilkan suatu gumpalan fibrin di dalam mikrovaskular. Sepsis selain mengaktifkan tissue factor, juga mengganggu proses fibrinolisis melalui pengaktivan IL-1 dan TNF-α dan memproduksi suatu plasminogen activator inhibitor-1 yang kuat menghambat fibrinolisis. Sitokin pro-inflamasi juga mengaktifkan Activated Protein Cell (APC) dan antitrombin. Protein C sebenarnya bersirkulasi sebagai zimogen yang inaktif tetapi karena adanya trombin dan trombomodulin, dia berubah menjadi enzymeactivated protein C. Sedangkan APC dan kofaktor protein S mematikan produksi trombin dengan menghancurkan kaskade faktor Va dan VIIIa sehingga tidak terjadi suatu koagulasi. APC juga menghambat kerja plasminogen activator inhibitor-1 yang menghambat pembentukan plasminogen menjadi plasmin yang
sangat penting dalam mengubah fibrinogen menjadi fibrin (Vervloet, Thijs, dan Hack, 1998) Gambar 2.4. Sepsis menyebabkan gangguan koagulasi (LaRosa dan Steven, 2010) Semua proses ini menyebabkan kelainan faktor koagulasi (gambar 2.4) yang bermanisfestasi perdarahan yang dikenal dengan koagulasi intravaskular diseminata yang merupakan salah satu kegawatan dari sepsis yang mengancam jiwa (LaRosa dan Steven, 2010). 2.1.4. Diagnosis Menurut Griffiths dan Iain (2009), berdasarkan tanda klinis seperti yang telah disebutkan di atas, maka untuk menyatakan seseorang mengalami sepsis adalah bila ditemukan adanya positif infeksi dan terdapat dua atau lebih gejala umum sebagai berikut: 1. Hipertermia > 38 C atau hipotermia < 36 C; 2. Takikardia > 90 kali/menit; 3. Takipnea > 20 kali/menit atau PaCO 2 < 4,3 kpa; 4. Neutrofilia > 12 x 10-9 1-1 atau neutropenia < 4 x 10-9 1-1. Sedangkan untuk Nilai Tanda Vital dan Variabel Laboratorium untuk Diagnosis SIRS sesuai usia pada anak-anak, dibagi berdasarkan tabel 2.1 berikut: Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Nilai Tanda Vital dan Variabel Laboratorium untuk Diagnosis SIRS (Goldstein et al., 2005) Denyut jantung (denyut/menit) Hitung Leukosit (leukosit x Tekanan Darah Sistolik Kelompok Frekuensi Usia pernapasan Takikardi Bradikardi 10 3 /mm 3 ) (mmhg) 0 hari- > 180 < 100 >50 >34 <65 1 minggu 1 minggu >180 <100 >40 >19,5 atau <5 <75 1 bulan 1 bulan >180 <90 >34 >17,5 atau < <100 1 tahun 5 2-5 tahun > 140 TA > 22 >15,5 atau <6 <94 6-12 tahun > 130 TA > 18 >13,5 atau <105 <4,5 13 hingga > 110 TA > 14 >11 atau <4,5 <117 <18 tahun Keterangan: TA tidak ada keterangan 2.1.5. Prognosis Walaupun insidensi sepsis meningkat, semakin berkembang ilmu pengetahun, maka tingkat mortalitas akan terbukti semakin menurun setiap tahunnya. Namun ternyata, angka kejadiannya masih cukup tinggi. Pada penelitian yang dilakukan secara kohort mengenai sepsis, mortalitasnya adalah 24,4%. Usia merupakan faktor risiko bebas yang menentukan angka kesembuhan dan kematian dari kondisi sepsis ini. Pada pasien kategori bayi-anak, semakin muda usia maka survival ratenya akan semakin kecil, sebaliknya pada pasien kategori dewasa, semakin tinggi usia maka angka mortalitas akan semakin tinggi yaitu 27,7% berbanding 17,7% (LaRosa dan Steven, 2010). 2.2 Acinetobacter sp. Acinetobacter sp. adalah genus gram negatif koko-basil dan cenderung membentuk kristal bewarna violet pada pewarnaan Gram. Oleh karena itu, spesies ini sering salah diidentifikasikan sebagai bakteri gram positif. Ia merupakan spesies non-motil dan menghasilkan oksidase negatif dan tersebar luas di alam baik pada air yang jernih, maupun permukaan tanah (Webster,2000). Mereka mampu bertahan hidup pada permukaan benda mati yang basah dan kering dalam waktu yang cukup lama (3 hari sampai dengan 5 bulan) dan sering ditemukan
dalam lingkungan rumah sakit (misalnya kantong ventilator atau ambu dan penyaring ventilasi) (Kamer, Schwobke, dan Kampf, 2006). Normalnya, bakteri ini merupakan flora normal kulit yang berkolonisiasasi di kavitas oral, traktus respiratorius, dan traktus gastrointestinal. Tetapi, dalam pasien immunocompromised, Acinetobacter baumannii mampu menyebabkan infeksi yang mengancam jiwa. Rute transmisi dari bakteri ini mencakup kontaminasi tindakan medik berupa peralatan pernapasan, intubasi, dan ventilasi. Dan organisme ini juga menunjukkan tingkat yang relatif luas resistensi terhadap antibiotika. (Sunenshine, 2007). 2.3. Faktor Faktor yang Memengaruhi Kejadian Kematian pada Penderita Sepsis 2.3.1. Faktor demografi Adapun faktor demografi yang memengaruhi kejadian kematian pada penderita sepsis adalah sebagai berikut: a. Usia Sebuah studi mengenai hubungan variasi penyakit dengan faktor usia akan memberikan gambaran tentang penyakit tersebut. Hal ini disebabkan karena usia menjadi faktor sekunder yang harus diperhitungkan dalam mengamati perbedaan frekuensi penyakit terhadap variabel lainnya. Selain itu, frekuensi penyakit menurut usia akan behubungan dengan adanya perbedaan tingkat paparan, perbedaan dalam patogenesis, serta perbedaan dalam pengalaman suatu penyakit (Nugroho, 2012). b. Jenis Kelamin Adanya perbedaan secara anatomis, fisiologis dan sistem hormonal akan menyebabkan terjadinya perbedaan frekuensi penyakit menurut jenis kelamin. Perbedaan frekuensi ini dapat pula disebabkan terjadinya perbedaan peran kehidupan dan perilaku laki-laki dan perempuan dalam masyarakat seperti perbedaan pekerjaan, kebiasaan, dan lain-lain (Nugroho, 2012). c. Alamat Perbedaan frekuensi terhadap suatu penyakit karena pengaruh tempat tinggal dapat terjadi karena adanya perbedaan dalam hal letak geografis, Universitas Sumatera Utara
administrasi, keadaan urban maupun keadaan kultural, perbedaan ruang lingkup, dan perbedaan dalam sistem pelayanan kesehatan terutama dalam tingkat kesehatan primer (lingkungan sekitar tempat tinggal pasien) (Nugroho, 2012). 2.3.2. Faktor yang Memengaruhi Adapun faktor lain yang memengaruhi kejadian kematian pada penderita sepsis adalah sebagai berikut: a. Banyaknya Penyakit Primer Penyakit primer yang diderita tentu sangat berpengaruh terhadap keadaan sepsis yang dialamai pasien. Dan setiap pasien dapat memiliki lebih dari satu penyakit primer, seperti penyakit pada sistem respiratorius, sistem saraf pusat, dan traktus urinarius (Dewi, 2011). b. Lama Perawatan Lama perawatan atau yang biasa disebut dengan Length of Stay (LOS) adalah durasi waktu seseorang ketika dirawat di rumah sakit dalam hitungan hari, terhitung mulai dari pasien masuk dan dirawat sampai pasien tersebut keluar dari rumah sakit. Adanya LOS yang semakin panjang maka risiko terjadinya paparan sumber infeksi pada pasien akan semakin tinggi (Nugroho, 2012). c. Tindakan Medik (Pengunaan Ventilator) Infeksi oleh karena kuman di rumah sakit terutama disebabkan oleh infeksi berupa dari pemasangan kateter urin, infeksi jarum infus, infeksi saluran nafas, infeksi kulit, infeksi dari luka operasi dan septikemia. Dan beberapa faktor yang berperan dalam meningkatkan komplikasi kanula intravena dapat berupa jenis kateter, ukuran kateter, pemasangan melalui vena seksi, kateter yang terpasang lebih dari 72 jam, kateter yang dipakai di bawah tungkai, tidak mengindahkan prinsip antisepsis, cairan infus yang hipertonik dan darah transfusi karena merupakan media pertumbuhan mikroorganisme, peralatan tambahan pada tempat infus untuk pengaturan tetes obat, dan manipulasi yang terlalu sering pada kanula. Kolonisasi kuman pada ujung kateter merupakan awal infeksi tempat infus dan bakteriemia. Selain itu banyaknya prosedur pemeriksaan penunjang dan terapi seperti biopsi, endoskopi, kateterisasi, intubasi dan tindakan pembedahan juga
meningkatkan risiko infeksi (Nugroho, 2012). Acinetobacter baumannii sering ditemukan dalam lingkungan rumah sakit (misalnya kantong ventilator atau ambu dan penyaring ventilasi) (Webster, 2000). d. Derajat Sepsis Tingkat derajat sepsis sebelumnya tentu sangat berpengaruh terhadap angka kejadian kematian pada penderita sepsis itu sendiri. Pengkategorian derajat sepsis ini terbagi dua, yaitu derajat sepsis buruk dan derajat sepsis tidak buruk. Derajat sepsis tidak buruk/sepsis biasa seperti SIRS yang memiliki hasil positif infeksi. Sedangkan, sepsis berat ialah sepsis yang disertai dengan MODS/MOF (Multi Organ Failure), hipotensi, oliguri, bahkan anuria (Nugroho, 2012). Universitas Sumatera Utara