BAB I PENDAHULUAN. memiliki konsep diri dan perilaku asertif agar terhindar dari perilaku. menyimpang atau kenakalan remaja (Sarwono, 2007).

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, biasaya. perubahan penampilan pada orang muda dan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku asertif, disadari atau tidak remaja akan kehilangan hak-hak pribadi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 KonteksMasalah

BAB I PENDAHULUAN. kurang memahami apa yang sebenarnya diinginkan oleh dirinya.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. memasuki masa dewasa (Rumini, 2000). Berdasarkan World Health. Organization (WHO) (2010), masa remaja berlangsung antara usia 10-20

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. serta kebutuhan memungkinkan terjadinya konflik dan tekanan yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan suatu periode yang disebut sebagai masa strum and drang,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dibicarakan, karena akibat negatif yang sangat mengkhawatirkan yang akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendapatnya secara terbuka karena takut menyinggung perasaan orang lain. Misalnya

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan yang diarahkan pada peningkatan intelektual dan emosional anak

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO masa remaja merupakan masa peralihan dari masa. anak-anak ke masa dewasa. Masa remaja adalah masa perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diah Rosmayanti, 2014

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. psikis, maupun secara sosial (Hurlock, 1973). Menurut Sarwono (2011),

BAB I PENDAHULUAN. 1

BAB I PENDAHULUAN. mulai bergabung dengan teman seusianya, mempelajari budaya masa kanakkanak,

BAB I PENDAHULUAN. Nilai-nilai keagamaan yang diajarkan, di pesantren bertujuan membentuk

ASERTIVITAS DALAM PEMILIHAN STUDI LANJUT SISWA KELAS XII SMA DITINJAU DARI PERSEPSI TERHADAP POLA ASUH ORANGTUA NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. Manusia senantiasa membutuhkan kehadiran orang lain untuk berinteraksi

H, 2016 HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU BULLYING

BAB 1 PENDAHULUAN. perilaku agresi, terutama di kota-kota besar khususnya Jakarta. Fenomena agresi

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang menghadapi

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP PENGEDALIAN PERILAKU AGRESIF PESERTA DIDIK KELAS X SMK PGRI 3 KEDIRI TAHUN PELAJARAN 2014/2015 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. baik dari faktor luar dan dalam diri setiap individu. Bentuk-bentuk dari emosi yang

BAB I PENDAHULUAN. Keterlibatan Belajar Siswa, (Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2011), 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Alrefi, 2014 Penerapan Solution-Focused Counseling Untuk Peningkatan Perilaku Asertif

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS ORANG TUA DAN KEMANDIRIAN DENGAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN MASALAH PADA REMAJA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah kesehatan jiwa tidak lagi hanya berupa gangguan jiwa yang berat

BAB I PENDAHULUAN. definisikan sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke dewasa. Remaja

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. meneruskan perjuangan dan cita-cita suatu negara (Mukhlis R, 2013). Oleh karena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latarbelakang. mengalami krisis moral para pelajar. Problematika siswa saat ini mencoreng dunia

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. fisik seperti sakit perut, jantung berdebar, otot tegang dan muka merah. Lalu

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KEMAMPUAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berbicara tentang siswa sangat menarik karena siswa berada dalam kategori

BAB I PENDAHULUAN. perubahan emosi, perubahan kognitif, tanggapan terhadap diri sendiri

BAB I PENDAHULUAN. dan lain sebagainya yang semuanya menyebabkan tersingkirnya rasa

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa remaja berlangsung proses-proses perubahan secara biologis,

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (Santrock,

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan. Menurut World Health Organization (2010) remaja. merupakan suatu tahap perkembangan dari masa anak-anak menuju masa

I. PENDAHULUAN. berkembang melalui masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa hingga. Hubungan sosial pada tingkat perkembangan remaja sangat tinggi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar

BAB 1 PENDAHULUAN. Kenakalan remaja adalah perilaku jahat secara social pada anak-anak dan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di sekolah, potensi individu/siswa yang belum berkembang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

KAITAN ANTARA POLA ASUH PERMISIF DENGAN PERILAKU ASERTIF

BAB I PENDAHULUAN. bersosialisasi dengan baik terhadap orang lain. bersosialisasi dengan orang lain, baik itu keluarga, teman, ataupun guru di

BAB I PENDAHULUAN. Remaja dalam arti adolescence (Inggris) berasal dari kata latin adolescere tumbuh ke

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara

POLA ASUH ORANG TUA DAN PERKEMBANGAN SOSIALISASI REMAJA DI SMA NEGERI 15 MEDAN

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. dalam Friz Oktaliza, 2015). Menurut WHO (World Health Organization), remaja adalah penduduk dalam rentang usia tahun, menurut

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang sering digambarkan sebagai masa yang paling indah dan tidak

EMOSI NEGATIF SISWA KELAS XI SMAN 1 SUNGAI LIMAU

I. PENDAHULUAN. Keluarga adalah sekelompok individu yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak

BAB I PENDAHULUAN. kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2007). Masa remaja (adolescence)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan tempat utama dimana seorang anak tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. tingkah laku sehingga menimbulkan penderitaan dan terganggunya fungsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diharapkan oleh kelompok sosial, serta merupakan masa pencarian identitas untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN AKTUALISASI DIRI ANAK USIA PRASEKOLAH DI TK ABA 31 NGALIYAN SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Remaja sebagai sebuah tahapan dalam kehidupan seseorang yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mental yang terjadi antara masa kanak-kanak dan dewasa. Transisi ini melibatkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan bebas, sumber daya manusia yang diharapkan adalah yang

POLA ASUH ORANG TUA PADA REMAJA YANG MEMILIKI PERILAKU MEROKOK DI SMPN I MOJOANYAR JABON MOJOKERTO

BAB I PENDAHULUAN. Pengembangan karakter manusia sebagai makhluk sosial. membutuhkan manusia lainnya untuk berinteraksi.

BAB I PENDAHULUAN. memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya. pergolakan dalam dalam jiwanya untuk mencari jati diri.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk berpikir, kemampuan afektif merupakan respon syaraf simpatetik atau

GAYA PEMECAHAN MASALAH YANG DIMILIKI SISWA SMA NEGERI I PARONGPONG BANDUNG. Cesarina Silaban Dosen Akademi Perawatan Surya Nusantara Pematangsiantar.

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku asertif, dalam hal ini teknik yang digunakan adalah dengan Assertif

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

Bagi sebagian orang yang baru berangkat dewasa bahkan yang sudah. melewati usia dewasa, remaja adalah waktu yang paling berkesan dalam hidup

BAB I PENDAHULUAN. etimologis, remaja berasal dari kata Latin adolensence yang berarti tumbuh atau

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode

BAB I PENDAHULUAN. untuk berinteraksi dengan teman-teman, guru, dan yang lainnya. Sekolah juga merupakan

BAB I PENDAHULUAN. banyak anak yang menjadi korban perlakuan salah. United Nations Children s

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Wangi Citrawargi, 2014

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siswa SMA berada pada usia remaja yaitu masa peralihan antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis. Dengan adanya perubahan fisik dan psikologis ini, remaja harus memiliki konsep diri dan perilaku asertif agar terhindar dari perilaku menyimpang atau kenakalan remaja (Sarwono, 2007). Masalah yang dihadapi individu pada masa remaja awal relatif sama dengan masalah yang dhadapi pada masa remaja akhir. Perbedaanya terletak pada cara individu menghadapi masalah yang dihadapi. Jika pada masa remaja awal individu sering memperlihatkan rasa marah, sering sangat sedih dan kecewa, maka pada remaja akhir hal yang demikian tidak lagi sering nampak. Umumnya individu memasuki masa remaja akhir mampu menghadapi permasalahan dengan lebih tenang dan matang. Ketenangan dan kematangan dalam menghadapi kekecewaan ditunjang oleh adanya kemampuan berpikir logis dan relistis serta kemampuan untuk menguasai perasaan (Agustiana, 2012). Konsep diri adalah pandangan seseorang terhadap dirinya sendiri, dengan memiliki konsep diri yang positif maka akan mempunyai pengetahuan yang luas tentang diri, pengharapan yang realistis dan harga diri yang tinggi, sehingga implikasinya tidak takut dengan situasi baru yang ada

pada diri remaja, kreatif, punya ide sendiri, bertanggung jawab atas tindakannya. Sedangkan perilaku asertif adalah pengungkapan diri secara terbuka, tegas dan bebas atas perasaan positif dan negatif maupun tindakan mempertahankan hak mutlak dengan tetap memperhatikan perasaan orang lain. Dengan memiliki perilaku asertif maka remaja akan mampu untuk mengungkapkan perasaannya tanpa menyakiti orang lain sehingga tidak menimbulkan perilaku menyimpang (Potter dan Perry, 2005). Kenakalan remaja kini meningkat, banyaknya aksi para remaja terutama pelajar sangatlah memprihatinkan. Aksi brutal pelajar yang tidak melihat dampak di akhir inilah yang sangat membahayakan, sudah banyak korban jiwa yang disebabkan karena salah sasaran ataupun karena musuh. Mereka tidak pernah memikirkan apa dampak dari perbuatan yang mereka lakukan. Mereka hanyalah mengandalkan emosi mereka, memang pada usia remaja jiwa emosionalnya sangatlah tinggi, suka salah paham, dan lain-lain. Biasanya bentrok atau tawuran antar pelajar terjadi karena para siswa yang beda sekolahan saling ejek mengejek yang salah satu dari mereka tidak terima dan akhirnya terjadilah perselisihan (Sarwono, 2007). Data akhir tahun 2014 yang dihimpun Polda Metro Jaya menunjukan kasus kenakalan remaja mengalami peningkatan cukup signifikan yaitu sebesar 36,66 %. Pada tahun 2013 kenakalan remaja tercatat ada 30 kasus, sementara tahun 2014 terjadi 41 kasus. Kenakalan remaja di Indonesia memang seolah tidak terbendung lagi. Hampir setiap hari ada saja masalah yang dilakukan anak remaja usia sekolah di antaranya perkelahian dan

bullying antara pelajar sampai kekerasan dan pembunuhan. Polda Metro Jaya juga mengungkapkan banyaknya kenakalan remaja disebabkan karena ajakan para pelajar lain yang negatif dan lingkungan yang mendukung untuk melakukan kejahatan sehingga dibutuhkan perilaku asertif yang baik. Perilaku asertif sangat penting bagi remaja awal, karena apabila seorang remaja tidak memiliki keterampilan untuk berperilaku asertif atau bahkan tidak dapat berperilaku asertif, disadari ataupun tidak, remaja awal ini akan kehilangan hak-hak pribadi sebagai individu dan cenderung tidak dapat menjadi individu yang bebas dan akan selalu berada dibawah kekuasaan orang lain. Alasan seorang remaja awal tidak dapat berperilaku asertif adalah karena mereka belum menyadari bahwa mereka memiliki hak untuk berperilaku asertif (Awaluddin, 2008). Tidak semua individu dapat berperilaku asertif. Hal ini disebabkan karena tidak semua anak remaja laki-laki maupun perempuan sadar bahwa mereka memiliki hak untuk berperilaku asertif. Banyak pula anak remaja yang cemas atau takut untuk berperilaku asertif, atau bahkan banyak individu selain anak remaja yang kurang terampil dalam mengekspresikan diri secara asertif. Hal ini mungkin mendapatkan pengaruh dari konsep diri, latar belakang budaya keluarga, pola asuh orang tua, jenis kelamin, pengaruh teman sebaya atau bahkan lingkungan. Perilaku asertif berbeda dengan perilaku agresif, karena dalam berperilaku asertif, kita dituntut untuk tetap menghargai orang lain dan tanpa melakukan kekerasan secara fisik maupun

verbal. Sedangkan perilaku agresif cenderung untuk menyakiti orang lain apabila kehendaknya tidak dituruti (Zulkaida, 2006). Perilaku asertif dibutuhkan oleh remaja awal, terlebih apabila seorang remaja awal berada dalam lingkungan yang kurang baik seperti lingkungan perokok atau pecandu narkoba, pada satu sisi seorang remaja tidak ingin kehilangan teman dan pada sisi lainnya seorang remaja tidak ingin terjerumus pada hal-hal negatif (Awaluddin, 2008). Proses pembentukan perilaku asertif tidak terlepas dari pengaruh lingkungan tempat tinggal baik itu dari keluarga khususnya orang tua maupun masyarakat sekitar. Komponen pertama dan utama yang diperlukan dalam penanaman perilaku asertif adalah orang tua. Hal tersebut dikarenakan orang tua merupakan figur utama yang paling dekat dengan kehidupan seseorang pada saat masa anak-anak (Sari, 2007). Hasil penelitian Marini dan Andriani (2005) menunjukan bahwa asertif remaja dengan pola asuh demokrasi lebih tinggi daripada remaja dengan pola asuh permasif dan otoriter. Orangtua yang menerapkan pola asuh demokrasi membuat suatu tuntutan sesuai dengan kematangan dan menetapkan batas-batas yang wajar. Pada saat yang sama mereka menunjukan kehangatan, kasih sayang dan mendengarkan keluhan anak dengan sabar. Sehingga anak akan menunjukan perkembangan emosional, kognitif dan sosial yang positif. Namun jika orang tua memberikan pola asuh yang salah terhadap anaknya maka secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap prilaku

asertif, hal tersebut maka akan merugikan bagi remaja itu sendiri. Penelitian yang dilakukan Tarkhan, Bazleh dan Sheikmahmoudi (2012) menyimpulkan kurangnya perilaku asertif menyebabkan ekspresi seperti berbohong, sanjungan, dan konflik non-nyata mengancam cara berfikir seseorang. Cacat pada kemampuan sosial dan kurangnya perilaku asertif membahayakan kesehatan mental seseorang seperti terjadi kecemasan, ketidakmampuan, dan tidak adanya konsep diri, sehingga menyebabkan depresi dan penyakit psikosomatik dan kurangya kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. Jika remaja berperilaku asertif, maka bisa menyatakan kebutuhannya secara jujur, langsung, dan berusaha menghargai hak pribadi dan orang lain. Ketika masalah timbul, remaja yang berperilaku asertif akan menghadapi masalah yang timbul dan berusaha mengatasinya. Cara mengatasi masalah secara asertif dilakukan dengan cara pengungkapan yang jujur, langsung, tidak berusaha menjauhi, dan tetap menghargai hak pribadi maupun diri sendiri. Perilaku ini menghasilkan suatu evaluasi terhadap diri sendiri yang menyenangkan yang dapat mendorong terjadinya persetujuan terhadap diri sendiri yang bisa jadi dapat meningkatkan rasa percaya diri (Muhammad, 2003). Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan di SMA Negeri 1 Salem Kabupaten Brebes diketahui bahwa perilaku siswa sangat beragam. Informasi yang diberikan oleh guru bimbingan dan konseling bahwa perilaku siswa di SMA Negeri 1 Salem variatif. Pada saat kegiatan

bimbingan dan konseling, ada siswa yang berani terbuka menyampaikan permasalahan yang dihadapinya, namun lebih banyak yang bersikap pasif. Hasil wawancara dengan 10 orang siswa dengan menanyakan tentang keberanian menolak ajakan teman diperoleh jawaban 2 siswa (20,0%) menyatakan berani, 4 siswa (40,0%) menyatakan tidak berani dan 4 siswa (40,0%) menyatakan kadang-kadang berani. Pertanyaan tentang bangga terhadap dirinya sendiri dan menerima kritikan dan pujian dari orang lain diperoleh jawaban 4 siswa (40,0%) menyatakan sering dan 6 siswa (60,0%) menyatakan kadang-kadang. Sedangkan untuk pola asuh orang tua, diperoleh jawaban 3 siswa (30,0%) menyatakan bahwa orang tuanya selalu mendidik dan menasehati anaknya, 3 siswa (30,0%) menyatakan bahwa orang tuanya galak dan harus menuruti kemauan orang tuanya, sedangkan 4 siswa (40,0%) menyatakan bahwa orang tuanya memberikan kebebasan pada anaknya bahkan tidak memberikan pengawasan. Kondisi tersebut menunjukan bahwa di SMA Negeri 1 Salem banyak sekali siswa yang bersikap pasif dan juga rentan terjadi kenakalan remaja. Kenakalan remaja timbul bukan hanya dari diri sendiri tetapi bisa juga karena pola asuh orang tua yang salah. Berdasarkan kondisi tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Hubungan Konsep Diri dan Pola Asuh Orang Tua dengan Perilaku Asertif Siswa SMA Negeri 1 Salem Kabupaten Brebes Tahun 2016.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas maka peneliti merumuskan rumusan masalah yaitu Apakah ada hubungan konsep diri dan pola asuh orang tua dengan perilaku asertif siswa SMA Negeri 1 Salem Kabupaten Brebes tahun 2016?. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan konsep diri dan pola asuh orang tua dengan perilaku asertif siswa SMA Negeri 1 Salem Kabupaten Brebes tahun 2016. 2. Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk: a. Mengetahui karakteristik responden pada siswa SMA Negeri 1 Salem Kabupaten Brebes Tahun 2016. b. Mengetahui konsep diri pada siswa SMA Negeri 1 Salem Kabupaten Brebes Tahun 2016. c. Mengetahui pola asuh orang tua pada siswa SMA Negeri 1 Salem Kabupaten Brebes Tahun 2016. d. Mengetahui perilaku asertif pada siswa SMA Negeri 1 Salem Kabupaten Brebes Tahun 2016. e. Mengetahui hubungan konsep diri dengan perilaku asertif siswa SMA Negeri 1 Salem Kabupaten Brebes tahun 2016.

f. Mengetahui hubungan pola asuh orang tua dengan perilaku asertif siswa SMA Negeri 1 Salem Kabupaten Brebes tahun 2016. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti Mendapat pengalaman langsung dalam melakukan penelitian, seperti dalam menerapkan pengetahuan teori ke dalam praktek serta memperdalam pengetahuan tentang perilaku remaja, khususnya tentang perilaku asertif. 2. Bagi Remaja Untuk memahami dan menerapkan perilaku asertif ke kehidupan sehari-hari dan tidak merasa ragu maupun takut lagi untuk berperilaku asertif. 3. Bagi Keperawatan Untuk menambah materi perkuliahan dan menambah pengetahuan tentang perilaku asertif khususnya di keperawatan komunitas dan keperawatan jiwa. E. Keaslian Penelitian Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini yaitu : 1. Danik Rinawati (2009) Judul : Hubungan konsep diri dan perilaku asertif dengan kenakalan remaja di SMA Negei 9 Malang.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan konsep diri dan perilaku asertif dengan kenakalan remaja. Rancangan penelitian yang digunakan adalah deskriptif dan korelasional. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI sebanyak 199 siswa, sampel penelitian berjumlah 76 orang siswa diambil menggunakan taknik random sampling. Hasil penelitiannya yaitu (1) banyak sekali (89,47%) siswa yang memiliki konsep diri tinggi, sedikit sekali siswa yang memiliki konsep diri sangat tinggi (6,58%) dan cukup (3,95%). (2) banyak sekali (81,58%) siswa yang memiliki perilaku asertif tinggi dan sedikit sekali (18,42%) siswa yang memiliki perilaku asertif cukup tinggi. (3) Banyak (60,53%) siswa yang cukup nakal, sedikit (36,84%) siswa yang tidak nakal dan sedikit sekali (2,63%) siswa yang nakal. (4) ada hubungan negatif antara konsep diri dengan kenakalan remaja di SMA N 9 malang. (5) ada hubungan negatif antara perilaku asertif dengan kenakalan remaja di SMA N 9 malang. (6) ada hubungan antara konsep diri dengan perilaku asertif. Perbedaan penelitian ini yaitu variabel terikat kenakalan remaja. Persamaan penelitian yaitu sama-sama meneliti perilaku asertif, pengumpulan data menggunakan kuesioner. 2. Ibtisam Salimatun Nuha (2012) Judul : Hubungan perilaku bullying dengan perilaku asertif pada santriwati. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara perilaku bullying dengan perilaku asertif. Penelitian menggunakan jenis penelitian

kuantitatif korelasional. Penelitian dilakukan 117 santriwati asrama IV Ainusyam PPDU Jombang. Pengambilan sampel yang digunakan adalah sampling populasi. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara perilaku bullying dengan perilaku asertif pada santriwati Asrama IV Ainusyam PPDU Jombang. Nilai koefisien dengan (r) = (- 0,663), probabilitas kesalahan (p) = 0,005. Hal ini berarti semakin tinggi perilaku asertif siswa maka semakin rendah kemungkinan melakukan bullying demikian juga sebaliknya, semakin rendah perilaku asertif maka semakin tinggi kemungkinan melakukan perilaku bullying. Sumbangan efektif perilaku bullying terhadap perilaku asertif sebesar 0,9%, sisanya 99,1% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti. Perbedaan penelitian ini yaitu teknik pengambilan sampel. Persamaan penelitian yaitu sama-sama meneliti perilaku asertif, pengumpulan data menggunakan kuesioner. 3. Maria Ulfa (2013). Judul : Hubungan pola asuh demokratis orang tua, konsep diri dan penyesuaian sosial dengan perilaku asertif siswa SMK Muhammadiyah 1 Sleman Yogyakarta. Hasil analisis data menunjukkan (1) hubungan antara pola asuh demokratis dengan konsep diri sebesar β=0,841 (p 0,01), menunjukkan adanya hubungan yang signifikan. Hal tersebut menunjukkan hubungan ada langsung (direct) antara pola asuh demokratis dengan konsep diri,

dengan demikian model tersebut menggambarkan tingginya pola asuh demokratis orangtua akan mempengaruhi konsep diri. (2) hubungan antara pola asuh demokratis dengan penyesuaian sosial sebesar β=0,528 (p 0,01), menunjukkan adanya hubungan yang signifikan. Hal tersebut menunjukkan hubungan ada langsung (direct) antara pola asuh demokratis dengan penyesuaian sosial, dengan demikian model tersebut menggambarkan bahwa tingginya pola asuh demokratis orangtua akan mempengaruhi penyesuaian sosial. (3) hubungan antara konsep diri dengan perilaku asertif sebesar β=0,487 (p 0,01), menunjukkan adanya hubungan yang signifikan. Perbedaan dengan penelitian ini yaitu pada variabel bebas dan terikat, yaitu tentang penyesuaian sosial. Persamaan penelitiannya yaitu pada teknik pengambilan sampel yaitu random sampling.