BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit malaria masih merupakan masalah kesehatan bagi negara tropis/ sub-tropis, negara berkembang maupun negara maju. Pada tahun 2012, diperkirakan ada 207 juta kasus malaria di dunia. Malaria juga telah menyebabkan 627.000 kematian (dengan rentang perkiraan 473.000-789.000 kematian), sebagian besar di antaranya adalah anak-anak Afrika. Secara global, peningkatan pencegahan dan pengobatan telah menurunkan angka kematian sebesar 42% (WHO,2013). Selama tahun 2000-2011, kasus malaria dikonfirmasi mengalami penurunan sebesar 24% sedangkan kematian akibat malaria menurun 68% di Asia Tenggara. Meskipun mengalami kemajuan yang signifikan, malaria masih menjadi masalah kesehatan dan ancaman utama bagi pembangunan sosialekonomi di Asia Tenggara. Negara-negara anggota, dengan dukungan WHO, bertujuan untuk mengurangi kasus malaria dan kematian sebesar 75% pada tahun 2015 (SEARO WHO,2013). Diperkirakan beban malaria global akibat Plasmodium vivax (P. vivax) adalah 70-80 juta kasus setiap tahun. 10-20% kasus infeksi P. vivax dunia terjadi di Afrika, di sebelah selatan Sahara. Di Afrika Timur dan Selatan, jumlah kasus P. vivax sekitar 10% dari kasus malaria. Di luar Afrika, jumlah kasus P. vivax mencapai 50% dari semua kasus malaria. Sekitar 80-90% dari kasus P. vivax di luar Afrika terjadi di Timur Tengah, Asia, dan Pasifik Barat, terutama di daerahdaerah tropis, dan 10-15% di Amerika Tengah dan Selatan. Karena tingkat 1
penularan malaria rendah di sebagian besar wilayah endemis P. vivax, populasi yang terkena mempunyai sedikit kekebalan terhadap parasit ini, sehingga di wilayah tersebut infeksi P. vivax mempengaruhi orang-orang dari segala usia. Walaupun efek serangan berulang dari P. vivax pada usia kanak-kanak dan dewasa jarang langsung mematikan, dapat memiliki efek merusak yang besar pada kesejahteraan, dan pembangunan, dan pada kinerja individu, keluarga, masyarakat, dan tingkat nasional (Mendis et al., 2001). Lebih dari separuh populasi Indonesia sebanyak lebih dari 151 juta orang (61%) tinggal di daerah endemik malaria. Diperkirakan ada 30 juta kasus malaria setiap tahunnya, kurang lebih hanya 10 % saja yang mendapat pengobatan di fasilitas kesehatan. Menurut data dari fasilitas kesehatan pada 2001, diperkirakan prevalensi malaria adalah 850,2 per 100.000 penduduk dengan angka yang tertinggi 20% di Gorontalo, 13% di NTT dan 10% di Papua. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 memperkirakan angka kematian spesifik akibat malaria di Indonesia adalah 11 per 100.000 untuk laki- laki dan 8 per 100.000 untuk perempuan (Insani., 2008). Kasus malaria di Indonesia secara umum menunjukkan kecenderungan menurun, namun masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat. Annual Parasite Incidence (API) maupun Annual Malaria Incidence (AMI) menunjukkan kecenderungan penurunan selama periode 2000-2008. Di luar Jawa dan Bali, AMI tertinggi di Papua Barat yaitu sebesar 167,47 per 1000 penduduk, diikuti Nusa Tenggara Timur (104,10 ), Papua (84,74 ) dan Maluku Utara (51,42 ). Untuk wilayah Jawa dan Bali, API tertinggi adalah Provinsi Jawa Timur sebesar 0,71 per 2
1000 penduduk, diikuti Jawa Barat sebesar 0,58 per 1000 penduduk, sedangkan yang terendah adalah Provinsi Banten dan Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu masing-masing 0,03 per 1000 penduduk (Depkes, 2008). Setelah lebih dari satu abad pengembangan dan pengawasan, diperkirakan P. vivax terdistribusi lebih luas dari P. falciparum dan merupakan penyebab potensial morbiditas dan kematian di antara 2,85 milyar orang yang hidup pada risiko infeksi, yang mayoritas berada di sabuk tropis Asia Tengah dan Tenggara (Guerra et al., 2010). Di Indonesia, P.vivax dan P. falciparum masih terdistribusi secara luas di Indonesia. Keduanya merupakan penyebab infeksi malaria terbesar di Indonesia (Depkes, 2008). P. falcifarum merupakan spesies Plasmodium penyebab malaria terbesar di Indonesia diikuti oleh P. vivax, keduanya banyak tersebar di Papua, Jawa Barat dan Sumatra (Elyazar et al., 2011) Pengukuran intensitas transmisi malaria merupakan faktor yang penting untuk melakukan evaluasi program-program penanggulangan penyakit, untuk melihat tingkat endemisitas suatu wilayah serta meunjukkan besaran penduduk yang beresiko tinggi untuk terjangkit penyakit malaria. Pemetaan transmisi malaria di seluruh dunia menjadi prasyarat untuk mendapatkan perkiraan yang reliabel terhadap beban penyakit global dan untuk merencanakan, melaksanakan strategi pengendalian dan pencegahan. Upaya pengendalian malaria harus dapat dimonitor keberhasilannya dengan melihat perubahan intensitas transmisi antara sebelum dan sesudah pelaksanaan program, untuk menilai dampak kegiatan. Pengukuran antibodi dinilai dapat digunakan untuk memperkirakan transmisi malaria karena tinggi rendahnya kadar antibodi tergantung pada paparan 3
gigitan nyamuk yang terinfeksi P. falciparum (Drakeley et al., 2005, Sarr et al., 2007, Fowkes et al., 2010) dan P. vivax (Wipasa et al., 2010). Pemeriksaan serologi dapat digunakan untuk mengetahui fluktuasi antibodi di setiap orang selama periode pengamatan, mengetahui hubungan antara titer antibodi dengan insidensi malaria, serta dapat digunakan untuk memprediksi transmisi malaria. Marker serologi telah dibuktikan dapat digunakan untuk memperkirakan transmisi malaria di daerah endemis di Tanzania yaitu dengan menggunakan MSP-1, MSP-2 dan AMA-1 P. falciparum (Drakeley et al., 2005). Di Indonesia penelitian tentang stratifikasi daerah endemis malaria menggunakan parameter serologi juga sudah mulai dilakukan dalam beberapa tahun terakhir ini melalui penelitian serologis oleh konsorsium transmisi malaria (Malaria Transmission Consortium). Dalam penelitian payung ini protein MSP-1 dan AMA-1 P.falciparum dan P.vivax dipakai sebagai antigen dalam uji ELISA untuk mengevaluasi profil antibodi anti malaria, yaitu dengan melihat fluktuasi seroprevalensi bulanan pada penduduk di 2 wilayah endemis malaria di Purworejo dan Lampung. Sebagian dari sampel darah yang terkumpul telah dilakukan uji ELISA dengan menggunakan antigen MSP-1 dan AMA-1 P.falciparum, dan hasil sementara yang diperoleh telah dapat memberikan gambaran bahwa seroprevalensi bulanan dari Purworejo berkisar antara 5-35% dan dari Lampung berkisar antara 20-55% sesuai dengan tingkatan endemisitas kedua daerah tersebut (Supargiyono et al., 2013). Hasil pemeriksaan mikroskopis sediaan apus darah menunjukkan bahwa penularan malaria di Purworejo dan Lampung terjadi secara musiman. Transmisi 4
malaria di Purworejo meningkat antara bulan November 2008 sampai dengan Januari 2009, sedangkan pada bulan lainnya sangat rendah. Di Lampung, transmisi mencapai puncak antara bulan Desember 2008 sampai dengan Februari 2009, dan transmisi antara bulan Mei 2009 sampai dengan Agustus 2009 relatif rendah. Sedangkan kasus di Purworejo pernah ditemukan pada bulan Februari dengan prevalensi sebesar 1,76, sedangkan di Lampung didapatkan prevalensi sebesar 23 pada bulan November 2008 dan 24 pada bulan Januari dan Februari 2009 (Supargiyono et al.,2013). Dalam penelitian di atas, profil antibodi anti MSP-1 dan AMA-1 P. falcifarum di Purworejo dan di Lampung sudah diketahui namun belum mencakup gambaran profil profil antibodi anti MSP-1 dan AMA-1 P. vivax di Purworejo dan di Lampung. Oleh karena itu diperlukan data tentang karakteristik respon antibodi anti MSP-1 dan AMA-1 P.vivax yang ada di daerah endemis rendah di Purworejo dan daerah endemis sedang di Lampung pada saat transmisi tinggi dan rendah. 5
B. Perumusan Masalah Berdasarkan permasalahan diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana seroprevalensi antibodi anti MSP-1 dan AMA-1 P. vivax pada berbagai kelompok usia penduduk daerah endemis rendah di Kabupaten Purworejo dan daerah endemis sedang di Kabupaten Lampung Selatan pada saat transmisi rendah dan transmisi tinggi? 2. Bagaimanakah gambaran rerata titer antibodi terhadap protein MSP-1 dan AMA-1 P. vivax pada berbagai kelompok usia penduduk daerah endemis rendah di Kabupaten Purworejo dan daerah endemis sedang di Kabupaten Lampung Selatan pada saat transmisi rendah dan transmisi tinggi. 3. Bagaimanakah hubungan antara rerata titer antibodi terhadap protein MSP-1 dan AMA-1 P. vivax dengan usia penduduk usia penduduk daerah endemis rendah di Kabupaten Purworejo dan daerah endemis sedang di Kabupaten Lampung Selatan pada saat transmisi rendah dan transmisi tinggi. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui karakteristik respon antibodi terhadap protein MSP-1 dan AMA-1 P. vivax pada penduduk di daerah endemis rendah di Kabupaten Purworejo dan daerah endemis sedang di Kabupaten Lampung Selatan pada saat transmisi tinggi dan rendah. 6
2. Tujuan Khusus a. Mengetahui seroprevalensi antibodi anti MSP-1 dan AMA-1 P. vivax pada berbagai kelompok usia penduduk daerah endemis rendah di Kabupaten Purworejo dan daerah endemis sedang di Kabupaten Lampung Selatan pada saat transmisi rendah dan transmisi tinggi. b. Mengetahui rerata titer antibodi terhadap protein MSP-1 dan AMA-1 P. vivax pada berbagai kelompok usia penduduk daerah endemis rendah di Kabupaten Purworejo dan daerah endemis sedang di Kabupaten Lampung Selatan pada saat transmisi rendah dan transmisi tinggi. c. Mengetahui korelasi antara peningkatan titer antibodi terhadap protein MSP-1 dan AMA-1 P. vivax dengan usia pada penduduk daerah endemis rendah di Kabupaten Purworejo dan daerah endemis sedang di Kabupaten Lampung Selatan pada saat transmisi rendah dan pada saat transmisi tinggi. D. Keaslian Penelitian 1. Steward, et al (2009) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa respon antibodi dapat digunakan untuk mengevaluasi kecenderungan transmisi malaria secara temporal. Pada penelitian ini dilakukan pengujian terhadap penggunaan marker serologis pada daerah endemis malaria sedang dan rendah dengan mengunakan antigen protein MSP-1 dan AMA-1 P. falciparum. Dari penelitian ini diketahui bahwa sero-conversion rates (SCR) berkorelasi kuat dengan gold standard pengukuran transmisi 7
malaria, yaitu Entomological Innoculation Rate (EIR). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pendekatan serologis untuk estimasi intensitas transmisi malaria dapat dilakukan dengan mudah, murah dan cepat untuk memonitor kegiatan pengendalian malaria. 2. Penelitian Cook et al (2010) berorientasi pada transmisi malaria di daerah kepulauan dan bertujuan untuk memanfaatkan parameter serologis untuk memonitor dan mengevaluasi program pemberantasan malaria pada daerah yang mempunyai insidensi rendah. Pengukuran dilakukan dengan antigen MSP-1 dan AMA-1 P. falcifarum dan P. vivax di Vanuatu ini menunjukkan hasil individu seropositif di Tanna adalah 9.4% dan 12.4% MSP-1 19 dan AMA-1 P. falcifarum serta 12.6% dan 5.0% untuk MSP-1 19 dan AMA-1 P. vivax. 3. Penelitian yang dilakukan oleh Lee et al (2003) yang mengukur antibodi anti circumsporozoite protein (CSP) P. vivax yang diukur dengan ELISA menunjukkan bahwa data epidemiologi berupa seroprevalensi di 5 daerah penelitian sama dengan insidensi tahunan pada daerah tersebut. Pada penelitian ini juga didapatkan perbedaan seroprevalensi berdasarkan umur. 4. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung yang tergabung dalam Malaria Transmision Corsortium (MTC) yang mencoba melihat parameter serologi untuk memperkirakan transmisi malaria di daerah endemis yaitu di Purworejo dan Lampung. Data awal yang diperoleh dari pemeriksaan serologis sampel bulanan secara ELISA menunjukkan bahwa prevalensi seropositif individu dari penduduk di Purworejo berkisar antara 8
5-35% dibandingkan dengan prevalensi seropositif individu dari penduduk di Lampung yang berkisar antara 20-55% (Supargiyono et al., 2013). 5. Penelitian ini akan dilakukan untuk mempelajari respon antibodi terhadap protein permukaan merozoit MSP-1 dan AMA-1 P. vivax pada penduduk di daerah endemis rendah dan daerah endemis sedang di Purworejo dan Lampung. E. Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi tentang seroprevalensi antibodi anti merozoit dalam tubuh hospes menurut kelompok umur yang dapat dipakai sebagai prediktor insidensi malaria di daerah endemis rendah dan sedang. 2. Memberikan informasi dalam rangka penyusunan program Dinas Kesehatan Kabupaten Purworejo dan Lampung Selatan dalam dalam penyusunan metode epidemiologi malaria dengan serologi yang lebih cepat untuk evaluasi transmisi malaria di daerah endemis malaria rendah dan sedang. 9