TINJAUAN PUSTAKA. Superovulasi. Perkembangan Embrio Praimplantasi

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Teknologi reproduksi manusia telah berkembang. sangat pesat pada beberapa dekade terakhir ini.

KRIOPRESERVASI DENGAN VITRIFIKASI GANDA PADA TAHAP PERKEMBANGAN ZIGOT DAN DILANJUTKAN PADA TAHAP BLASTOSIS CANDRANI KHOIRINAYA

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan Penelitian. Metode Penelitian

HASIL. Medium V3+ embrio

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh.

TINJAUAN PUSTAKA Fertilisasi

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Superovulasi Koleksi Sel Telur

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. dan sekresi kelenjar pelengkap saluran reproduksi jantan. Bagian cairan dari

I. PENDAHULUAN. memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di

I. PENDAHULUAN. Teknologi Inseminasi Buatan (IB) atau dikenal dengan istilah kawin suntik pada

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio.

BAB I. PENDAHULUAN A.

1. Perbedaan siklus manusia dan primata dan hormon yang bekerja pada siklus menstruasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pemeriksaan semen segar secara makroskopis meliputi volume, warna,

TINJAUAN PUSTAKA Sistem Reproduksi Sapi Betina Superovulasi

VIABILITAS EMBRIO MENCIT (Mus musculus albinus) SETELAH KRIOPRESERVASI GANDA DENGAN METODE VITRIFIKASI PADA TAHAP PEMBELAHAN DAN BLASTOSIS

PENDAHULUAN. Seiring bertambahnya jumlah penduduk tiap tahunnya diikuti dengan


BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik semen

PERKEMBANGAN EMBRIO PRAIMPLANTASI MENCIT

Siklus menstruasi. Nama : Kristina vearni oni samin. Nim: Semester 1 Angkatan 12

Pada rnasa kini, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk. mempercepat peningkatan populasi, produksi dan mutu ternak adalah dengan

PENDAHULUAN. kambing Peranakan Etawah (PE). Kambing PE merupakan hasil persilangan dari

PENDAHULUAN. sehingga dapat memudahkan dalam pemeliharaannya. Kurangnya minat terhadap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI

BAB III METODE PENELITIAN


Kebuntingan Hasil Transfer Blastosis Mencit yang Dibekukan dengan Metode Vitrifikasi Kriolup

ikan jambal Siam masih bersifat musiman,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Reproduksi Lele dumbo. Tabel 4 Karakteristik fisik reproduksi lele dumbo

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan protein hewani di Indonesia semakin meningkat seiring dengan


II. TINJAUAN PUSTAKA

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH LEVEL GLISEROL DALAM PENGENCER TRIS- KUNING TELUR TERHADAP MEMBRAN PLASMA UTUH DAN RECOVERY RATE SPERMA KAMBING PERANAKAN ETAWAH POST THAWING

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. domba lokal yang digunakan dalam penelitian inibaik secara makroskopis

PEMBEKUAN VITRIFIKASI SEMEN KAMBING BOER DENGAN TINGKAT GLISEROL BERBEDA

KAJIAN KEPUSTAKAAN. 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Kambing Peranakan Etawah (PE) Kambing PE adalah hasil persilangan antara Etawah dan kambing kacang.

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Evaluasi Semen Segar

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas

Pengaruh Metode Strafikasi Suhu Rendah, Krioprotektan Dan Kriopreservasi Terhadap Viabilitas Benih Rosela (Hibiscus sabdariffa L.)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang ada (Mulyono dan Sarwono, 2004). K isaran volume semen per ejakulat

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Fekunditas Pemijahan

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Brotowali (Tinospora crispa, L.) merupakan tumbuhan obat herbal dari family

OOGENESIS DAN SPERMATOGENESIS. Titta Novianti

I PENDAHULUAN. dikembangkan di Indonesia. Sistem pemeliharannya masih dilakukan secara

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

OLeh : Titta Novianti, S.Si. M.Biomed

KAJIAN KEPUSTAKAAN. dengan kambing Kacang (Devendra dan Burns, 1983). Menurut tipenya, rumpun

KAJIAN KEPUSTAKAAN. dalam saluran kelamin betina sewaktu kopulasi. Evaluasi semen segar yang telah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

4/18/2015 FERTILISASI BY : I GEDE SUDIRGAYASA GAMBARAN UMUM TOPIK MEKANISME

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLatihan Soal 2.1

PEMANFAATAN METODE VITRIFIKASI UNTUK KRIOPRESERVASI OOSIT MAMALIA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Karakteristik Semen Segar Domba Lokal Karakteristik. Volume (ml) 1,54 ± 0,16. ph 7,04±0,8

Vitrifikasi Blastosis Mencit dengan Metode Kriolup

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

PENGGUNAAN TELUR ITIK SEBAGAI PENGENCER SEMEN KAMBING. Moh.Nur Ihsan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang ABSTRAK

Proses-proses reproduksi berlangsung di bawah pengaturan NEURO-ENDOKRIN melalui mekanisme HORMONAL. HORMON : Substansi kimia yang disintesa oleh

PENDAHULUAN Latar belakang

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Estrus Sapi Betina Folikulogenesis

PERBAIKAN TEKNIK PEMBEKUAN SPERMA: PENGARUH SUHU GLISEROLISASI DAN PENGGUNAAN KASET STRAW

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, pengujian dan pengembangan serta penemuan obat-obatan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit


TINJAUAN PUSTAKA. Spermatophyta, subdivisio Angiospermae, kelas Dicotyledonae, ordo Malvales,

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Anatomi/organ reproduksi wanita

Proses kehamilan: Fertilisasi Nidasi (Implantasi) Plasentasi. Proses Kehamilan - 2

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK HIPOFISA SAPI TERHADAP PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM PETELUR PADA FASE AKHIR PRODUKSI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PRlNSlP KERJA PEMBEKUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN Tujuan. Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui ciri-ciri tiap fase siklus estrus pada mencit betina.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ruang Lingkup Penelitian TINJAUAN PUSTAKA. Transfer Inti Sel Somatis

PENDAHULUAN. Domba merupakan salah satu ternak penghasil daging yang banyak diminati

PEMBAHASAN Pengaruh Efek Whitten terhadap Siklus Estrus dan Perkawinan pada Mencit

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi

BIOLOGI SEL. Chapter III Membran dan Dinding Sel

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diambil berdasarkan gambar histologik folikel ovarium tikus putih (Rattus

Tugas Endrokinologi Kontrol Umpan Balik Positif Dan Negatif

BAHAN DAN METODE. Tabel 1. Subset penelitian faktorial induksi rematurasi ikan patin

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Semen Spermatozoa

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA Biologi Reproduksi Lele Dumbo

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA Superovulasi Superovulasi adalah usaha meningkatkan jumlah sel telur yang diovulasikan dengan stimulasi hormon. Superovulasi pada mencit dapat dilakukan dengan menyuntikkan hormon gonadotropin secara bertahap yaitu Pregnant Mare s Serum Gonadotropin (PMSG) dan human Chorionic Gonadotropin (hcg). Waktu yang paling tepat untuk penyuntikan hormon PMSG adalah pada pukul empat sore dan diikuti 46-48 jam kemudian dengan hcg (Ittner & Götz 2007). Mekanisme kerja hormon PMSG analog dengan Follicle Stimulating Hormone (FSH) yang berperan dalam pematangan folikel dan sedikit berperan dalam pembentukan korpus luteum. Sedangkan hormon human Chorionic Gonadotropin (hcg) bekerja analog dengan Luteinizing Hormone (LH) yang berperan dalam mempercepat proses ovulasi (Hafez et al. 2000). Respon mencit terhadap superovulasi dipengaruhi beberapa faktor antara lain strain, umur, berat badan, dosis hormon gonadotropin serta fase siklus estrus. Mencit mencapai dewasa kelamin pada umur 6 mingggu. Jumlah embrio yang dihasilkan pada perkawinan normal adalah 7-10 embrio, sedangkan setelah perlakuan superovulasi dihasilkan 20-30 embrio per individu (Rianti 2005). Hogan et al. (1994) menjelaskan bahwa secara normal perkawinan pada mencit terjadi saat pertengahan siklus gelap pada siklus 12 jam siklus terang dan 12 jam siklus gelap. Ovulasi merupakan kejadian pelontaran sel telur yang telah matang dari folikel de Graaf dan pada mencit terjadi secara spontan. Ovulasi terjadi pada pertengahan siklus gelap yaitu antara pukul 19.00-05.00. Terjadinya perkawinan dapat diamati pada keesokan paginya dengan mengamati terbentuknya masa berwarna putih kekuningan (vaginal plug) yang merupakan campuran antara plasma semen dan lendir vagina dalam lumen vagina. Perkembangan Embrio Praimplantasi Fahrudin et al. (2008) menjelaskan bahwa proses perkembangan embrional pada mamalia diawali dengan terjadinya pembuahan sel telur oleh sperma sehingga terbentuk zigot. Zigot merupakan bentuk paling awal dari perkembangan hewan dan sering disebut juga sebagai sel telur yang terbuahi. Zigot akan mengalami proses pembelahan secara mitosis yang disebut dengan istilah cleavage. Pembelahan pertama dari satu sel menjadi dua sel, masing-

5 masing anak hasil pembelahan disebut blastomer. Masing-masing blastomer selanjutnya akan membelah menjadi 4, 8, 16 sel dan seterusnya. Sel-sel blastomer akan saling menyatu dan menjadi kompak, bergerombol berbentuk seperti anggur, maka embrio tahap ini disebut morula. Pada tahap morula sel bagian tengah akan memadat dibandingkan sel bagian luar. Hubungan antar sel pada sel-sel bagian dalam terjadi melalui gap junction, sedangkan sel-sel permukaan melalui tight junction. Tight junction diyakini menjadikan sel-sel pada daerah permukaan lebih permeabel dibandingkan selsel sebelah dalam. Terbentuknya tight junction pada sel-sel permukaan akan merangsang akumulasi cairan dalam morula. Akumulasi cairan ini terjadi karena konsentrasi ion di bagian dalam meningkat sehingga air akan masuk ke dalam embrio, dan mulai membentuk rongga yang disebut blastosul. Embrio yang sudah memiliki rongga blastosul disebut blastosis. Sel-sel blastomer pada blastosis akan terus bermitosis dan akumulasi cairan akan semakin bertambah. Sel-sel bagian dalam blastosis akan saling berkomunikasi melalui gap junction membentuk inner cell mass (ICM), sedangkan sel-sel di bagian permukaan yang berkomunikasi dengan tight junction akan menjadi trofoblas. Trofoblas memproduksi enzim proteolitik yang berfungsi untuk menipiskan zona pelusida, sehingga zona pelusida mudah pecah. Adanya pertambahan jumlah sel, akumulasi cairan dan melemahnya zona pelusida menyebabkan zona pelusida pecah dan embrio keluar dari zona pelusida. Proses ini disebut hatching (menetas). Selanjutnya embrio tanpa zona ini (hatched) akan berkomunikasi dengan endometrium untuk proses implantasi. Tahapan dan waktu pembelahan embrio disajikan pada Tabel 1. Kecepatan pembelahan embrio sangat bervariasi pada spesies hewan. Pada mencit dan mamalia lainnya kecepatan pembelahan tergantung dari strainnya, namun secara umum akan menghabiskan waktu 3.5 hari untuk perkembangan dari mulai tahap pembelahan sel (cleavage) sampai dengan tahap blastosis (Kispert & Gossler 2004).

6 Tabel 1 Tahapan dan waktu perkembangan embrio mencit Tahap Perkembangan Embrio Waktu (Jam) 1 sel 0-20 2 sel 24 4 sel 48 8 sel 52 Morula 72 Blastosis 96 Blastosis hatched Implantasi 120 Sumber : Theiler (1989). Vitrifikasi Pembekuan (kriopreservasi) telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari teknologi reproduksi berbantuan (Assisted Reproductive Technology, ART). Penelitian dasar dan aplikatif selama ini telah menghasilkan beberapa prosedur kriopreservasi embrio. Berdasarkan prosedur pendinginan dan konsentrasi krioprotektan yang digunakan, dikenal metode konvensional dengan pembekuan lambat (conventional slow freezing), pembekuan cepat (ultra rapid freezing) dan metode vitrifikasi. Metode konvensional membutuhkan biaya yang relatif mahal karena menggunakan mesin pendingin yang dapat diprogram (program freezer machine) untuk mengatur pendinginan secara bertahap. Selain itu, metode ini juga melibatkan proses pembekuan bertahap dengan menekankan pentingnya proses seeding. Seeding merupakan proses inisiasi pembentukan kristal es ekstraseluler dengan menyentuhkan forceps dingin pada bagian luar straw. Laju pendinginan yang lambat menyebabkan tingginya peluang terbentuknya kristal es yang bersifat letal bagi sel (Boediono 2005). Terbentuknya kristal es intraseluler dapat menyebabkan kerusakan membran, organel sel dan hilangnya kemampuan embrio untuk tumbuh setelah proses pembekuan. Penggunaan metode slow freezing untuk kriopreservasi embrio tahap blastosis pada semua spesies termasuk manusia, memberikan hasil yang kurang memuaskan karena terjadi penurunan viabilitas, ketidakstabilan bentuk dan kemampuan implantasi setelah dilakukan thawing (Lane et al. 1999). Pengembangan metode kriopreservasi pada dasarnya memiliki tujuan mekanisme yang sama yaitu terjadinya dehidrasi osmotik dari sel sebelum penyimpanan dalam nitrogen cair dan melindungi sel terhadap pengaruhpengaruh merugikan dari toksisitas kimia dan pembekuan intraseluler. Kunci

7 keberhasilan tidak terlepas dari pengoptimalan masing-masing tahap prosedur yang digunakan dalam hubungannya dengan ukuran, permeabilitas, dan sifat fisiologis awal sel tersebut. Dengan demikian keseluruhan prosedur tersebut dapat mempertahankan sel (Rall 1992). Upaya modifikasi metode pembekuan terus dilakukan sebagai alternatif kriopreservasi metode konvensional slow freezing, antara lain dengan metode pembekuan cepat (rapid dan ultra rapid freezing) sampai pada metode vitrifikasi di mana pembentukan kristal es dihindari pada saat pembekuan. Rall dan Fahy (1985) melaporkan bahwa metode vitrifikasi lebih efektif, cepat, sederhana dan lebih murah tanpa menggunakan alat pembekuan khusus. Vitrifikasi adalah pembekuan sel ataupun embrio yang dilakukan secara cepat pada nitrogen cair bersuhu -196 C sehingga diharapkan sel dan lingkungan sekitarnya di dalam medium kriopreservasi berubah menjadi vitreus atau glassy state. Keunggulan prosedur vitrifikasi adalah mampu mengeliminasi secara total pembentukan kristal es baik secara intraseluler maupun ekstraseluler, protokol lebih sederhana dan waktu pengerjaan yang lebih singkat. Liebermann et al. (2002) melaporkan bahwa metode ini dapat diaplikasikan secara luas pada embrio mamalia. Tujuan vitrifikasi adalah menyimpan embrio dalam waktu lama dengan cara menghentikan aktivitas metabolismenya yang dilakukan pada suhu -196ºC dalam nitrogen cair. Dengan metode ini sebagian besar air di dalam sel dikeluarkan sebelum terjadi pembekuan intraseluler dan digantikan dengan krioprotektan, sehingga pada saat pembekuan tidak terjadi kristal es (Rall & Fahy 1985). Banyak faktor yang mempengaruhi keefektifan dan keberhasilan vitrifikasi, antara lain: (1) Jenis dan konsentrasi krioprotektan yang digunakan; (2) Suhu larutan vitrifikasi yang digunakan saat memapar sel; (3) Lama waktu yang digunakan dalam memapar sel pada krioprotektan sebelum dicelupkan dalam nitrogen cair; (4) Jenis wadah yang digunakan untuk vitrifikasi, karena ukuran permukaan pemaparan mempengaruhi laju pendinginan dan (5) Kualitas sel dan jaringan yang divitrifikasi. Hemi-straw Banyak metode vitrifikasi yang dikembangkan sebagai pertimbangan atas toksisitas krioprotektan dan menghindari terbentuknya kristal es, antara lain metode konvensional dan minimalis krioprotektan. Pada metode vitrifikasi

8 konvensional, embrio dikemas dalam straw ukuran 0.25 ml untuk selanjutnya didinginkan secara cepat langsung dalam nitrogen cair. Namun pada kenyataannya, ketebalan dan bahan dari straw yang digunakan akan mempengaruhi proses pendinginan dan pencairan secara cepat sehingga diduga masih dapat menyebabkan terbentuknya kristal es intraseluler. Sedangkan pada metode vitrifikasi minimalis krioprotektan, volume krioprotektan yang digunakan minimum sehingga dapat menurunkan pengaruh osmosis dan toksisitas (Boediono 2005). Memperkecil volume krioprotektan dapat dilakukan dengan menggunakan wadah khusus selama proses vitrifikasi. Jenis wadah yang digunakan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keefektifan dan keberhasilan vitrifikasi. Penggunakan wadah tersebut bertujuan untuk memperoleh laju pendinginan yang tinggi. Beberapa metode menggunakan wadah seperti open pulled straw (OPS; Vajta et al. 1998; Chen et al. 2000a,b; Hurtt et al. 2000; Oberstein et al. 2001), flexipet-denuding pipette (FDP; Liebermann et al. 2002), micro-drops (Papis et al. 2000), electron microscope copper grids (EM; Hong et al. 1999; Chung et al. 2000; Park et al. 2000), hemi-straw system (Vandervorst et al. 2001; Vanderzwalmen et al. 2003), nylon mesh (Matsumoto et al. 2001), cryoloop (Lane et al. 1999; Oberstein et al. 2001; Yeoman et al. 2001; Batan et al. 2009) dan cryotop (Murakami et al. 2011). Wadah yang digunakan pada penelitian ini adalah modifikasi hemi-straw yang menggunakan straw 0.25 ml yang telah disayat bagian ujungnya, sehingga volume krioprotektan yang digunakan minimum dan proses pendinginan dapat berjalan lebih cepat. Wadah ini awalnya dikembangkan oleh Vandervorst et al. (2001) dengan menempatkan embrio dan sedikit krioprotektan (< 1.0 µl) diatas straw yang telah disayat bagian ujungnya sepanjang 1 cm. Dengan demikian, embrio langsung dicelupkan dalam nitrogen cair dengan posisi vertikal sehingga didapatkan derajat pendinginan yang cukup tinggi. Krioprotektan Keberhasilan vitrifikasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah jenis dan konsentrasi krioprotektan. Krioprotektan adalah zat kimia yang dibutuhkan pada proses kriopreservasi dan berfungsi untuk melindungi sel dari pengaruh buruk yang dapat bersifat letal bagi sel pada saat proses pembekuan atau pendinginan (Liebermann et al. 2002). Selain dapat melindungi sel,

9 krioprotektan juga dapat menimbulkan kerusakan pada sel akibat sifatnya yang toksik (Fahy 1986; Fahy et al. 1990). Boediono (2005) mengelompokkan krioprotektan menjadi dua, berdasarkan sifat krioprotektan terhadap permeabilitas membran sel, yaitu: (1) krioprotektan yang dapat masuk ke dalam sel (permeable cryoprotectants), misalnya etilen glikol (EG), dietilen glikol, gliserol, 1.2-propanediol (PROH) dan dimetilsulfoksida (DMSO); (2) krioprotektan yang tidak dapat masuk ke dalam sel (permeable cryoprotectants), misalnya polivinilpirolidon (PVP), protein (susu, kuning telur, albumin, serum), karbohidrat seperti gula (glukosa, sukrosa, trehalosa, manosa, rafinosa). Penggunaan krioprotektan pada proses kriopreservasi umumnya mengkombinasikan lebih dari satu krioprotektan intraseluler (bersifat permeabel) dan juga menambahkan krioprotektan ekstraseluler (bersifat non-permeabel). Hal ini bertujuan untuk mengurangi efek toksik krioprotektan. Etilen glikol, dimetilsulfoksida, dan gliserol merupakan krioprotektan yang banyak digunakan dalam proses kriopreservasi (Liebermann et al. 2002). Menurut Dattena et al. (2004) penggunaan krioprotektan dengan permeabilitas yang tinggi, seperti etilen glikol dan dimetilsulfoksida, secara tunggal atau kombinasi dapat mengurangi kerusakan sel akibat pembekuan dan mengurangi tahapan pemaparan. Penggunaan etilen glikol sebagai larutan dasar vitrifikasi sangat efektif untuk membekukan berbagai tahap perkembangan embrio (Kasai et al. 1990; Miyake et al. 1993; Mukaida et al. 2003). Etilen glikol mempunyai kemampuan masuk dan keluar sel yang lebih cepat dibandingkan dengan gliserol. Hal ini disebabkan oleh berat molekul etilen glikol lebih kecil dibandingkan dengan gliserol. Selain karena kemampuan etilen glikol yang mudah menembus masuk dan keluar sel dalam waktu yang lebih singkat, toksisitas etilen glikol juga lebih kecil jika dibandingkan dengan gliserol sehingga mempengaruhi ketahanan hidup embrio yang lebih tinggi (Rusiyantono et al. 2000).