BAB 1 PENDAHULUAN. (a process of enlarging the choice of people). Indeks Pembangunan Manusia

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. bersama yang diterjemahkan sebagai kesejahteraan hidup. Secara ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan

BAB I PENDAHULUAN. kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat terealisasi, maka beberapa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Agency problem muncul ketika

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia (IPM), pembangunan manusia didefinisikan sebagai a process

BAB I PENDAHULUAN. internasional dikenal adanya tujuan posisi manusia sebagai central dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. (United Nations Development Programme) sejak tahun 1996 dalam seri laporan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada

BAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dibuat dan dipopulerkan oleh United Nations

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

PENDAHULUAN. Peningkatan kualitas pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan tersendiri dalam pembangunan manusia,hal ini karena. sistem pemerintahan menjadi desentralisasi.

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kata Kunci: PAD, Belanja Modal, DAU, IPM

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Permasalahan kemiskinan memang

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi ciri yang paling menonjol dari hubungan keuangan antara pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi juga merupakan indikator pencapaian pembangunan nasional. akan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB I PENDAHULUAN. wewenang pelaksanaan pemerintahan diserahkan kepada daerah itu sendiri secara

BAB I PENDAHULUAN. Melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) yang telah

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi pemerintahan pada daerah Indonesia di tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Competitiveness Report Seperti halnya laporan tahun-tahun sebelumnya,

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan ke arah desentralisasi. Salinas dan Sole-Olle (2009)

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat

BAB I PENDAHULUAN. perimbangan keuangan pusat dan daerah (Suprapto, 2006). organisasi dan manajemennya (Christy dan Adi, 2009).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan khususnya pembangunan manusia dapat dinilai

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah (PEMDA), Pemerintah Pusat akan

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, KETERBATASAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ABSTRAK. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Flypaper Effect.

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan daerah lain di pulau Jawa yang merupakan pusat dari pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. era baru dengan dijalankannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Krisis ekonomi di Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya

PENDAHULUAN. yang sangat besar, terlebih lagi untuk memulihkan keadaan seperti semula. Sesuai

PERKEMBANGAN DAN HUBUNGAN DANA ALOKASI UMUM (DAU), PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DAN BELANJA PEMERINTAH DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. fisik/fasilitas fisik (Rustiadi, 2009). Meier dan Stiglitz dalam Kuncoro (2010)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang UNDP (United Nations Development Programme) mendefinisikan Indeks Pembangunan manusia sebagai proses perluasan pilihan bagi penduduk (a process of enlarging the choice of people). Indeks Pembangunan Manusia mengukur pencapaian hasil pembangunan suatu daerah atau wilayah ke dalam tiga dimensi dasar pembangunan yaitu lamanya hidup, pengetahuan atau tingkat pendidikan, dan standar hidup layak. Interpretasi dari IPM dapat memberikan gambaran mengenai tingkat pembangunan manusia di suatu wilayah sebagai akibat dari kegiatan pembangunan yang dilakukan di wilayahnya. Semakin tinggi angka IPM, semakin baik pula pencapaian pembangunan manusianya (Sirusa BPS, 2015). Konsep pembangunan nasional Indonesia adalah pembangunan manusia seutuhnya yang mengutamakan pembangunan sumber daya manusia baik fisik maupun mental untuk ikut serta dalam pembangunan berkelanjutan. Indonesia telah membuat progress yang signifikan dalam pembangunan berkelanjutan. Sejak tahun 1970 sampai tahun 2010, Indonesia mampu menjadi salah satu dari 10 the biggest upward movers dalam Indeks Pembangunan Manusia menurut UNDP 2013. Usaha negara untuk mencapai Millennium Development Goals (MDGs) sangat berhasil karena Indonesia bisa mencapai beberapa tujuan yang berkaitan dengan pengurangan kemiskinan, kesehatan, dan pendidikan. 1

2 Diantara tahun 2010-2015, proporsi kehidupan masyarakat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan nasional turun dari 19% menjadi 11% (UNDP, 2013). Meskipun kemiskinan masih menumpuk di pedesaan, angka IPM di Indonesia juga cenderung membaik. Keinginan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia tidak hanya dilihat dari pertumbuhan ekonomi wilayah saja, tetapi juga harus disertai dengan pemerataan pembangunan agar semua masyarakat bisa menikmati hasil-hasil pembangunan yang ada. Marhaeni, Yati, dan Tribudhi (2008) menyatakan bahwa untuk mempercepat pembangunan manusia bisa dilakukan dengan dua hal yaitu distribusi pendapatan yang merata dan alokasi belanja publik yang memadai. Perubahan sistem pemerintahan Indonesia dari sentralisasi menjadi desentralisasi merupakan awal perubahan yang membuat pemerintah daerah memiliki wewenang yang lebih besar untuk mengurus seluruh kekayaan yang dimilikinya. Desentralisasi menurut pasal 1 ayat (7) UU Nomor 32 Tahun 2004 yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam sistem pemerintahan desentralisasi ini, ada satu kebijakan yang disebut otonomi daerah. Kebijakan ini diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan berdampak pada kenaikan IPM karena masing-masing pemerintah daerah telah diberikan wewenang untuk mengurus dan mengelola semua kekayaan yang ada di daerahnya.

3 Salah satu aspek penting dalam otonomi daerah ini adalah masalah desentralisasi fiskal. Pemerintah pusat wajib menjamin sumber keuangan daerah sebagai akibat dari pendelegasian wewenang ini (Ardiansyah, Ari, dan Widiyaningsih, 2014). Pemerintah pusat tidak boleh lepas tangan dan tetap memberikan bantuan kepada setiap pemerintah daerah. Jika terjadi kesenjangan kemampuan keuangan antardaerah, maka bisa mengakibatkan kesenjangan pada pembangunan antardaerah. Sumber keuangan yang diberikan pemerintah pusat kepada daerah berupa dana perimbangan yang meliputi Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH). Pendistribusian dana perimbangan diharapkan bisa mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antardaerah. Penelitian yang dilakukan Devkota (2013) di Nepal menemukan bahwa desentralisasi fiskal bisa mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Sumber pembiayaan daerah yang lain adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kuncoro (2007) menjelaskan bahwa PAD hanya mampu membiayai belanja pemerintah daerah paling tinggi sebesar 20% saja. PAD bisa menjadi salah satu komponen untuk mengukur tingkat kemandirian daerah. Masing-masing Pemda harus meningkatkan kemandiriannya dengan mengoptimalkan potensi pendapatannya dan meningkatkan pelayanan publiknya. Melalui desentralisasi fiskal pemerintah daerah diharapkan lebih mampu menggali sumber-sumber keuangannya, khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya melalui PAD.

4 Kebijakan pemerintah daerah dalam mengalokasikan belanja daerah juga harus disesuaikan dengan pendapatan yang dimiliki. Belanja daerah yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat umum harus mendapat proporsi yang lebih besar seperti belanja untuk penyediaan fasilitas umum, misalnya jalan, jembatan, gedung sekolah, belanja modal untuk sarana transportasi dan alat-alat angkutan, belanja modal buku/perpustakaan, dan lain-lain. Peningkatan alokasi belanja modal bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena mereka bisa lebih menikmati manfaat dari pembangunan daerah. Bukan tidak mungkin produktivitas mereka akan bertambah karena pekerjaan mereka didukung dengan infrastruktur yang memadai. Tidak logis jika pendapatan daerah lebih banyak digunakan untuk belanja rutin pemerintah daerah (Abimanyu, 2005). Data realisasi APBD provinsi dan kabupaten/kota memiliki pola realisasi yang sama dengan APBD secara nasional yaitu terjadi pelampauan realisasi pendapatan dan tidak tercapainya realisasi belanja. Kemenkeu memperlihatkan data terbaru tahun 2015 jika belanja pegawai masih mendominasi struktur belanja daerah dengan rata-rata dari tahun 2010 sampai 2014 sebesar 43,75 persen, sedangkan porsi belanja modal rata-rata hanya 23,92 persen. Kecilnya porsi belanja modal di daerah berlanjut hingga tahun ini karena realisasi belanja APBD provinsi rata-rata hingga 30 Juni 2015 hanya 25,9 persen dan realisasi belanja APBD kabupaten/kota rata-rata tidak lebih dari 24,6 persen. Jumlah tersebut dianggap kurang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi (DJPK, 2015).

5 Secara nasional, porsi dana perimbangan masih dominan setiap tahunnya, tetapi laju peningkatannya lebih rendah dibandingkan dengan laju peningkatan PAD. PAD terus mengalami peningkatan dimana rata-rata peningkatannya dari tahun 2009-2013 sebesar 22,4%, sedangkan rata-rata peningkatan dana perimbangan dari tahun 2009-2013 sebesar 11,1%. Kondisi ini ternyata belum sesuai dengan peningkatan IPM pada setiap kabupaten/kota di Indonesia (BPS, 2015). Pemerintah daerah harus segera menyesuaikan penggunaan anggaran belanjanya, sehingga pendapatan daerah bisa semaksimal mungkin dimanfaatkan untuk belanja yang langsung berdampak pada peningkatan pelayanan publik. Besarnya jumlah realisasi belanja yang masih belum terserap menunjukkan jika daerah belum mampu mengejar peningkatan belanja pada saat terjadi tambahan pendapatan yang cukup signifikan yang berasal dari transfer ke daerah maupun peningkatan penerimaan pajak daerah. Daerah juga perlu memperbaiki kinerja pengelolaan keuangan di daerahnya dan memperbaiki kualitas belanjanya, sehingga dapat fokus pada upaya peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan publik, bukan hanya sekadar penyerapan belanja untuk keperluan aparatur (DJPK, 2014). Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang juga merasakan dampak dari desentralisasi fiskal ini. Biro Keuangan Provinsi Jawa Tengah menyatakan bahwa realisasi belanja dan pendapatan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah masih rendah di triwulan I tahun 2015. Penyerapan realisasi pendapatan lebih cepat dibandingkan dengan realisasi belanja di

6 triwulan ini, sehingga Pemerintah Provinsi Jawa Tengah berada dalam kondisi surplus sebesar Rp 1,39 triliun. Seluruh komponen pada pos belanja langsung juga mengalami peningkatan realisasi dibandingkan tahun sebelumnya kecuali untuk belanja modal yang mengalami realisasi lebih rendah dibandingkan tahun 2014 (KEKR, 2015). Secara keseluruhan di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah total PAD maupun dana transfer dari pemerintah pusat dan provinsi yang dialokasikan ke setiap kabupaten/kota yang ada di Jawa Tengah semakin besar, namun apabila dibandingkan dengan alokasi belanja modal pada kabupaten/kota tersebut di setiap tahun tidak selalu bertambah naik. Berikut tabel yang menggambarkan kenaikan/(penurunan) PAD, DAU, DAK, IPM, dan alokasi belanja modal pada beberapa kabupaten dan kota di Jawa Tengah: Tabel 1.1 PERSENTASE KENAIKAN DAN PENURUNAN PAD, DAU, DAK, ALOKASI BELANJA MODAL, DAN IPM No Kabupaten/Kota Tahun Anggaran Kenaikan/(Penurunan) dari Tahun Sebelumnya PAD DAU DAK ABMO D IPM 1 Banjarnegara 2013 4.99 12.04 2.59 29,39 (11,2) 2 Banyumas 2013 27.36 13.71 (33.84) 8,02 (6,37) 3 Cilacap 2013 41.61 13.19 23.39 9,03 (8,30) 4 Demak 2013 31.18 11.98 (6.13) 56,34 (6,62) 5 Kudus 2013 19.81 12.83 (10.52) 139,48 (2,8) 6 Magelang 2013 40.03 10.14 (58.40) 47,72 (9,9) 7 Pati 2013 3.29 12.95 (9.38) 6,95 (10) 8 Kota Pekalongan 2013 25.27 10.68 28.00 (16,2) (5,6) 9 Kota Salatiga 2013 36.38 10.02 (38.64) 36,61 3,14 10 Kota Semarang 2013 18.77 12.50 (79.25) 24,83 0,89

7 Ada banyak penelitian terdahulu yang membahas mengenai pengaruh pendapatan daerah terhadap kualitas pembangunan manusia. Soejoto, Waspodo, dan Suyanto (2015) melakukan penelitian berkaitan dengan kebijakan desentralisasi fiskal dalam mendorong pembangunan manusia Indonesia yang mengambil sampel penelitian 3 kabupaten/kota di setiap provinsi di Indonesia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa secara umum dana desentralisasi, pertumbuhan ekonomi, belanja publik, dan penurunan populasi kemiskinan berpengaruh positif signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia, sehingga kenaikan dana desentralisasi sebagai dana penyeimbang antardaerah bisa digunakan untuk membiayai belanja daerah. Xie, Zou, dan Davoodi (1999) melakukan penelitian empiris dengan menerapkan model ekonomi di Amerika yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal memengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan keberadaan pembagian belanja antarpemerintah daerah konsisten dengan maksimalisasi pertumbuhan. Christy dan Adi (2009) melakukan penelitian tentang hubungan antara Dana Alokasi Umum, belanja modal, dan kualitas pembangunan manusia dengan mengambil sampel kabupaten/kota di Jawa Tengah tahun 2004-2006. Mereka menyatakan bahwa Dana Alokasi Umum mempunyai pengaruh positif terhadap belanja

8 modal serta belanja modal berpengaruh signifikan terhadap kualitas pembangunan manusia. Penelitian yang dilakukan Ardiansyah et al (2014) juga mengambil sampel kabupaten/kota di Jawa Tengah tahun 2010-2012. Mereka menemukan jika Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia, Dana Alokasi Umum berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia, Dana Alokasi Khusus berpengaruh negatif signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah, serta Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus berpengaruh signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Oktora dan Pontoh (2013) menganalisis hubungan antara Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus terhadap belanja modal pemerintah daerah Kabupaten Tolitoli Provinsi Sulawesi Tengah dan menemukan bahwa PAD dengan belanja modal memiliki hubungan yang kurang erat karena PAD memiliki porsi rendah dalam pendapatan daerah, DAU memiliki hubungan yang sangat erat dengan belanja modal, sedangkan DAK memiliki hubungan yang erat dengan belanja modal. Penelitian lain tentang Indeks Pembangunan Manusia juga dilakukan di Jawa Timur oleh Lugastoro (2013) dan menunjukkan bahwa rasio PAD dan DAK terhadap belanja modal berpengaruh positif signifikan terhadap IPM, sedangkan variabel DAU berpengaruh negatif signifikan. Rasio DBH terhadap belanja modal menjadi satu-satunya variabel yang tidak signifikan memengaruhi IPM

9 dan pertumbuhan ekonomi sebagai variabel kontrol menjadi variabel dengan pengaruh paling dominan terhadap IPM. Beberapa penelitian di luar negeri juga dilakukan untuk mengetahui dampak dari desentralisasi fiskal dan kebijakan belanja pemerintah daerah. Penelitian di China dilakukan oleh Jia, Guo, dan Zhang (2014) yang menggunakan data fiskal dari tahun 1997-2006. Mereka menunjukkan bahwa desentralisasi belanja mampu meningkatkan belanja pemerintah dan berakibat pada alokasi dana yang lebih besar untuk belanja modal konstruksi dan alokasi yang lebih kecil untuk belanja pendidikan dan administrasi. Udoh, Afangideh, dan Udeaja (2015) menganalisis dampak desentralisasi fiskal, khususnya desentralisasi belanja di Nigeria tahun 1980-2012. Hasilnya menunjukkan jika desentralisasi belanja di Nigeria memengaruhi pembangunan manusia. Sifat dan pola desentralisasi belanja di Nigeria mendorong pengelolaan sumber daya yang tidak efisien dengan peningkatan belanja pemerintah daripada mendorong keefektifan belanja dalam pelayanan publik. Berdasarkan beberapa penelitian diatas, dapat disimpulkan jika seharusnya pendapatan daerah yang tinggi mampu meningkatkan belanja modal daerah yang pada akhirnya bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum melalui peningkatan IPM. Dari beberapa penelitian terdahulu diatas, peneliti mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Ardiansyah et al (2014) dan Christy dan Adi (2009). Peneliti akan meneliti pengaruh dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus terhadap kualitas pembangunan

10 manusia pada kabupaten dan kota di Jawa Tengah tahun anggaran 2010-2013. Di Indonesia, popularitas pembangunan manusia masih kalah bersaing dengan pertumbuhan ekonomi (BPS, 2015). Selain itu, peneliti memilih Provinsi Jawa Tengah sebagai objek penelitian karena di provinsi ini pola penyerapan realisasi pendapatannya masih lebih besar dibandingkan dengan realisasi belanja dan proporsi belanja modal masih di bawah belanja pegawai. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan permasalahan yang ada pada penelitian terdahulu, masalah dalam penelitian ini adalah masih rendahnya proporsi belanja modal di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah. Seharusnya penggunaan belanja modal dioptimalkan untuk meningkatkan pelayanan publik yang baik, yang pada akhirnya dapat mendorong pembangunan manusia. Sepanjang pengamatan peneliti, riset yang menggunakan belanja modal sebagai variabel mediasi juga masih jarang dilakukan. Oleh karena itu, pertanyaan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal? 2. Apakah Dana Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal? 3. Apakah Dana Alokasi Khusus berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal? 4. Apakah belanja modal berpengaruh terhadap Kualitas Pembangunan Manusia?

11 5. Apakah Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap Kualitas Pembangunan Manusia? 6. Apakah Dana Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap Kualitas Pembangunan Manusia? 7. Apakah Dana Alokasi Khusus berpengaruh positif terhadap Kualitas Pembangunan Manusia? 8. Apakah belanja modal memediasi pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Kualitas Pembangunan Manusia? 9. Apakah belanja modal memediasi pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Kualitas Pembangunan Manusia? 10. Apakah belanja modal memediasi pengaruh Dana Alokasi Khusus terhadap Kualitas Pembangunan Manusia? 1.3. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah yang telah disebutkan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Memperoleh bukti empiris terkait pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap alokasi belanja modal pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. 2. Memperoleh bukti empiris terkait pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap alokasi belanja modal pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah.

12 3. Memperoleh bukti empiris terkait pengaruh Dana Alokasi Khusus terhadap alokasi belanja modal pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. 4. Memperoleh bukti empiris terkait pengaruh belanja modal terhadap Kualitas Pembangunan Manusia pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. 5. Memperoleh bukti empiris terkait pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Kualitas Pembangunan Manusia pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. 6. Memperoleh bukti empiris terkait pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Kualitas Pembangunan Manusia pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. 7. Memperoleh bukti empiris terkait pengaruh Dana Alokasi Khusus terhadap Kualitas Pembangunan Manusia pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. 8. Memperoleh bukti empiris terkait pengaruh mediasi dari belanja modal dalam hubungan antara PAD dan Kualitas Pembangunan Manusia pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. 9. Memperoleh bukti empiris terkait pengaruh mediasi dari belanja modal dalam hubungan antara DAU dan Kualitas Pembangunan Manusia pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah.

13 10. Memperoleh bukti empiris terkait pengaruh mediasi dari belanja modal dalam hubungan antara DAK dan Kualitas Pembangunan Manusia pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik untuk praktisi maupun untuk akademisi dalam penelitian serupa selanjutnya. 1. Bagi Akademisi Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pemahaman tentang Pendapatan Asli Daerah, dana perimbangan, belanja modal, dan kualitas pembangunan manusia sehingga bisa dijadikan acuan untuk penelitian serupa di periode mendatang. 2. Bagi Pemerintah Daerah Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dan referensi tentang dampak pendapatan daerah dan belanja modal terhadap kualitas pembangunan manusia. Pemerintah daerah diharapkan bisa mengambil kebijakan penyusunan dan penggunaan anggaran pendapatan daerah dan alokasi belanja dengan tepat. Pendapatan dan belanja daerah harus diprioritaskan untuk meningkatkan pembangunan manusia dengan menyediakan sarana prasarana yang dapat menunjang kesejahteraan penduduk seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, dan lain-lain.

14 1.5. Orisinalitas Penelitian Penelitian tentang pengaruh pendapatan daerah, belanja modal, dan kualitas pembangunan manusia telah dilakukan oleh beberapa peneliti antara lain seperti: Soejoto, Waspodo, dan Suyanto (2015), Xie, Heng-fu Zou, dan Davoodi (1999), Christy dan Adi (2009), Ardiansyah, Ari, dan Widiyaningsih (2014), Oktora dan Pontoh (2013), dan Adi (2006). Peneliti akan meneliti pengaruh dari PAD, DAU, dan DAK terhadap kualitas pembangunan manusia di kabupaten dan kota di Jawa Tengah tahun anggaran 2010-2013. Perbedaan antara penelitian yang dilakukan penulis dengan penelitian sebelumnya yaitu: 1. Penulis menambahkan variabel belanja modal sebagai variabel mediasi karena pengaruh PAD, DAU, dan DAK terhadap peningkatan kualitas pembangunan manusia yang ditandai dengan kenaikan IPM akan lebih berarti melalui alokasi belanja modal daerah (Setyowati dan Suparwati, 2012). Di era otonomi saat ini pemerintah daerah harus semakin mengutamakan dan meningkatkan pelayanan dasar kepada masyarakat,sehingga proporsi belanja modal menjadi variabel yang penting untuk peningkatan pelayanan tersebut. 2. Penulis menggunakan data tahun 2010-2013. Melalui range tahun yang lebih lama, penulis ingin melihat trend dari belanja modal dan trend IPM kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Untuk rentang waktu jangka panjang, kemungkinan ada pengaruh yang signifikan dari belanja modal terhadap Indeks Pembangunan Manusia.

15 1.6. Sistematika Penulisan Skripsi ini disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, orisinalitas penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Bab ini berisi tentang teori yang digunakan dalam penelitian, penelitian terdahulu, kerangka pemikiran, dan perumusan hipotesis. BAB III : METODE PENELITIAN Bab ini berisi tentang ruang lingkup penelitian, populasi dan sampel, jenis dan sumber data, definisi operasional dan pengukuran, metode pengujian data dan pengujian hipotesis. BAB IV : ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN Bab ini berisi tentang hasil analisis data dan pembahasan hasil penelitian. BAB V : PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan hasil penelitian, keterbatasan dari penelitian yang dilakukan, serta saran untuk pihak yang berkepentingan.