BAB I PENDAHULUAN. masih kurang berhasilnya skema- skema perhutanan sosial yang telah dilakukan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. itu merupakan suatu anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa. Menurut UU RI No.

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebagai proses perubahan

BAB I PENDAHULUAN. dalam membangun perekonomian nasional. Jumlah wisatawan terus bertambah

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. oleh semua lapisan masyarakat yang memenuhi syarat kuantitas dan kualitasnya.

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. sekelilingnya, baik dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Wiersum (1990)

BAB VII PENUTUP. memaksimalkan potensi wisata. Tahap-tahap partisipasi yang dilakukan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SUMATERA BARAT, SEBAGAI JANTUNG SUMATERA UNTUK PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI SKEMA HUTAN NAGARI DAN HKM, DAN KAITANNYA DENGAN SKEMA PENDANAAN KARBON

BAB I PENDAHULUAN. Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan). Maka kesehatan adalah dasar

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kehidupan kita. Dalam hutan terdapat banyak kekayaan alam yang

BAB I PENDAHULUAN. 1 Berdasarkan UNFPA (2003) dalam Population and Development Strategies Series

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial yang amat serius. Kemiskinan

LOMBA KARYA TULIS ILMIAH MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA TAHUN 2017

PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN DAN PENGGERAK UTAMA PEMBANGUNAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan

BAB I PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia menyebabkan munculnya. menurunnya konsumsi masyarakat. Untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Oleh Deddy Permana / Yayasan Wahana Bumi Hijau Sumatera selatan

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia mempunyai luas hutan negara berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakat

BAB I. PENDAHULUAN. dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAPPEDA Planning for a better Babel

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

LEMBAR INFORMASI JARINGAN MASYARAKAT HUTAN KORIDOR GUNUNG SALAK-HALIMUN

MENGGAPAI TARGET MDGs DALAM PROGRAM KB NASIONAL. Oleh : Drs. Andang Muryanta

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebuah komitmen untuk melibatkan masyarakat di dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sektor sosial budaya dan lingkungan. Salah satu sektor lingkungan yang terkait

BAB V RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN PRIORITAS TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN tentang Kehutanan, hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa

BAB I PENDAHULUAN. lainnya memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan masyarakat.

Kemandirian Ekonomi Melalui Sertifikasi Hutan Rakyat (Kasus. di Gunungkidul) Ir. Murbani Dishutbun Kab. Gunungkidul. 6 Februari 2009 Bogor - Indonesia

SERBA SERBI HUTAN DESA (HD)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III Tahapan Pendampingan KTH

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Palembang Tahun BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB II PERENCANAAN KINERJA

Pusat Penelitian Perubahan Iklim dan Kebijakan

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

RANCANGAN: PENDEKATAN SINERGI PERENCANAAN BERBASIS PRIORITAS PEMBANGUNAN PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2017

I. PENDAHULUAN. Sudah enam puluh sembilan tahun Indonesia merdeka, telah banyak tindakantindakan

Pelaksanaan Green Jobs di Indonesia

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016 KABUPATEN MAGETAN. INDIKATOR KINERJA Meningkatkan kualitas rumah ibadah dan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya

BAB I PENDAHULUAN. 189 negara anggota PBB pada bulan September 2000 adalah deklarasi Millenium

STRATEGI PENGUATAN KELOMPOK TANI DALAM PENGEMBANGAN USAHA NOVRI HASAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. 1 Universitas Indonesia. Analisis pelaksanaan..., Rama Chandra, FE UI, 2010.

KESIAPAN KABUPATEN MAROS MELAKSANAKAN SDGs. Ir. H. M. HATTA RAHMAN, MM (BUPATI MAROS)

PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO SINKRONISASI PRIORITAS NASIONAL DENGAN BELANJA DAERAH DALAM APBD TAHUN ANGGARAN 2013

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Medan Tahun BAB 1 PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. negara. Menurut Bank Dunia (2000) dalam Akbar (2015), definisi kemiskinan adalah

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Indonesia telah merdeka hampir mencapai 69 tahun, tetapi masalah

MENGELOLA DESA SECARA PARTISIPATIF REFLEKSI STUDI BANDING DESA MUARA WAHAU KE WILAYAH DIY. Oleh: Sri Purwani Konsultan

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

VI. GAMBARAN UMUM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT Sejarah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat

PAPARAN Rancangan Awal RPJMD Tahun Wates, 27 September 2017

DISAMPAIKAN PADA ACARA PELATIHAN BUDIDAYA KANTONG SEMAR DAN ANGGREK ALAM OLEH KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAMBI

Dinas Kesehatan balita 4 Program Perencanaan Penanggulangan

BAB I PENDAHULUAN. Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

1 PENDAHULUAN. Tabel 1. Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha, ** (Miliar Rupiah)

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo

BAB I PENDAHULUAN. merupakan prasyarat utama untuk memperbaiki derajat kesejahteraan rakyat.

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perusahaan merupakan suatu kesatuan usaha yang menghasilkan barang dan

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2016 KABUPATEN BONE BOLANGO NO SASARAN STRATEGIS INDIKATOR KINERJA TARGET

6.1. Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan

BAB VI STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan oleh program pembangunan nasional ( Propenas ) yakni di

MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS (MDGs) Diterjemahkan dari: Population and Development Strategies Series Number 10, UNFPA, 2003

PENDAHULUAN Latar Belakang

DIT. KTNL KSDI dan KKP3K

KARAKTERISTIK WILAYAH. A. Kondisi Geofisik. aksesibilitas baik, mudah dijangkau dan terhubung dengan daerah-daerah lain

PERUBAHAN RPJMD KOTA SEMARANG TAHUN

I. PENDAHULUAN. Hutan merupakan bagian penting dari negara Indonesia. Menurut angka

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian. Dewasa ini, perkembangan perekonomian serta perubahan lingkungan

BUPATI LOMBOK TENGAH RANCANGAN PERATURAN BUPATI LOMBOK TENGAH NOMOR... TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Demikian juga halnya dengan kemiskinan, dimana kemiskinan

DAFTAR ISI BAGIAN PERTAMA PRIORITAS NASIONAL DAN BAB 1 PENDAHULUAN PRIORITAS NASIONAL LAINNYA

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

RANCANGAN RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH (RKPD) KABUPATEN MALANG TAHUN 2012

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tesis ini mengangkat topik pelaksanaan Program Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Kalibiru, Kulon Progo. Alasan yang melatarbelakangi tema tersebut adalah masih kurang berhasilnya skema- skema perhutanan sosial yang telah dilakukan pemerintah selama ini, serta capaian keberhasilan HKm Kalibiru dalam mencapai tujuan Program HKm. Perhutanan sosial (Social Forestry) dianggap sebagai sebuah paradigma pengelolaan hutan alternatif yang muncul sejak diselenggarakannya Kongres Kehutanan Dunia di Jakarta tahun 1978 dengan tema Forest for People. Paradigma ini sekaligus sebagai jawaban atas kritik terhadap praktik kehutanan Indonesia yang sentralistis dan lebih menitikberatkan produksi kayu (state based dan timber based) daripada kepentingan masyarakat lokal. Beberapa program dalam bingkai Social Forestry telah diluncurkan oleh Departemen Kehutanan sejak 1985 seperti Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang dilaksanakan oleh Perhutani, HPH Bina Desa (SK Menhut 691/1991) dan Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH- SK Menhut 69/1995) yang dilaksanakan oleh HPH di Luar Jawa. Berbagai program tersebut bertujuan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dari penelusuran pustaka, secara umum program- program perhutanan sosial di Indonesia tersebut masih belum menggembirakan dan terjebak pada kegiatan rehabilitasi hutan yang bersifat keproyekan. Kemanfaatan program HPH Bina Desa Hutan dirasakan masih sangat kecil (Soetrisno, 1995:122) oleh masyarakat dan belum mencapai sasaran (Aryadi, 1996) 1

yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan, serta meningkatkan kualitas sumber daya hutan. Kartodihardjo seperti dikutip Resosudarmo (2003:214) mengungkapkan beberapa penyebab kegagalan program HPH Bina Desa itu antara lain : kebutuhan masyarakat tidak benar- benar digali melalui peran serta dalam perencanaan; hak masyarakat yang berkaitan dengan akses terhadap lahan tidak diakui; masyarakat lokal tidak pernah mendapatkan hak untuk memanen kayu secara komersial; dan pemegang HPH merasa tidak mendapatkan keuntungan apapun dari program tersebut. Sementara untuk PMDH, Subarudi (2000) menilai program tersebut gagal dilihat dari aspek fisik, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Menurutnya, ketidakberhasilan PMDH disebabkan karena dirancang tanpa persiapan yang matang dan di dalam perencanaan, pengaturan, pelaksanaan dan pemantauannya tidak melibatkan stakeholders sehingga mengalami banyak hambatan di lapangan. Sementara Aryadi (1996) mengemukakan beberapa hasil penelitian lapangan dan menemukan adanya kendala- kendala dalam pelaksanaan PMDH antara lain : pertama, studi diagnostik perencanaan dan penetapan jenis- jenis kegiatan tidak partisipatif; kedua, tidak bertumpu pada pola pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam lokal yang ada; ketiga, tidak diarahkan untuk mengembangkan pranata sosial ekonomi yang sangat esensial dalam mendukung kemandirian dan kesejahteraan masyarakat; keempat, tidak dirancang dan dilaksanakan secara terpadu dengan kegiatan pembangunan desa lainnya. Program PMDH oleh HPH di Luar Jawa di atas juga telah memasukkan kegiatan hutan kemasyarakatan di antara serangkaian proyek sosial lainnya. Akan tetapi yang terjadi HKm di sini seringkali hanyalah perkebunan skala kecil, dikerjakan oleh masyarakat desa hutan yang sebenarnya adalah buruh kontrak dan menerima upah untuk pekerjaan yang mereka lakukan. Hampir semua kajian 2

menyimpulkan bahwa dampak positif dari program ini kemungkinan bersifat jangka pendek karena hanya meningkatkan penghasilan sesaat dalam bentuk uang tunai/upah (lihat Wrangham, 2003:33). Program HKm secara resmi diluncurkan pertama kali oleh pemerintah Departemen Kehutanan pada tahun 1995, dengan SK Menteri Kehutanan nomor 622/Kpts- II/1995 tentang Pedoman Pelaksanaan Hutan Kemasyarakatan. Menurut Wrangham (2003:33-34) program tersebut memiliki masalah yang sama dengan program HKm dibawah PMDH. Ia mencontohkan Proyek Pembangunan HKm yang dilaksanakan di Sanggau, Kalimantan Barat yang didanai lembaga donor luar negeri yaitu GTZ. Meski selama beberapa tahun diklaim sebagai keberhasilan yang langka, menurutnya proyek ini mengalami berbagai masalah. Wrangham mengutip pendapat Aminuddin yang menyatakan bahwa dampak positif dari proyek tersebut tidak berkelanjutan, bahkan masyarakat meninggalkannya atau membakar pohon yang telah mereka tanam (yang pada awalnya dikerjakan seringkali hanya untuk memperoleh insentif yang disediakan oleh proyek serta mendapatkan hasil tanaman pangan yang boleh mereka tanam di antara pepohonan) sebelum pohon- pohon itu menjadi produktif. Senada dengan Wrangham, Lindayati (2003:59) berpendapat bahwa HKm kurang menarik minat penduduk desa sekitar hutan karena kebanyakan masyarakat beranggapan bahwa lahan- lahan hutan itu adalah miliknya. Dengan mengikuti program HKm, secara de facto masyarakat mengakui hutan itu sebagai Hutan Negara dan dengan begitu akan mengurangi hak mereka atas manfaat hutan. Kondisi di atas cukup beralasan jika melihat Kepmenhut 622//Kpts- II/1995 pasal 1, bahwa yang dimaksud dengan Areal Hutan Kemasyarakatan menunjuk pada kawasan hutan yang ditetapkan sebagai Hutan Kemasyarakatan. Frasa kawasan hutan mengandung makna Hutan Negara. 3

Thompson (1999) dalam Rosyadi (2010) menyimpulkan bahwa kegagalan berbagai program kehutanan yang melibatkan masyarakat di Indonesia berakar dari lemahnya upaya pemberdayaan masyarakat sehingga yang terjadi justru pemiskinan masyarakat desa hutan. Pandangan Thompson menyiratkan bahwa pelibatan masyarakat desa hutan dalam pengelolaan sumberdaya hutan perlu didukung dengan upaya peningkatan kapasitas masyarakat serta pembagian hak- hak pengelolaan yang lebih jelas. Kemudian, pada tahun 2010 Kementerian Kehutanan telah menetapkan target capaian Program Hutan Kemasyarakatan dalam Renstra Kemenhut 2010-2014 seluas 2 juta hektar sampai pada tahun 2014, atau rata- rata bertambah 400 ribu hektar per tahun. Sementara dalam Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) ditargetkan capaian luasan HKm dan Hutan Desa seluas 5 juta Ha pada tahun 2020. Menurut hitungan Kemitraan, target sebesar itu jika terpenuhi bisa menutup penurunan emisi di sektor kehutanan sebesar 14% 1, serta menurunkan angka kemiskinan masyarakat sekitar hutan sebesar 50% (seperti yang terjadi di Lampung 2 ). Program HKm adalah peluang besar bagi masyarakat miskin yang selama ini tinggal di sekitar hutan dan menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan. Melalui program ini mereka memiliki kesempatan untuk bisa memanfaatkan hutan secara berkelanjutan, baik berupa kayu maupun non kayu. Sayangnya, di lapangan program populis itu belum berjalan efektif, angka- angka realisasinya sangat jauh berada di bawah targetnya (Santoso, 2013). Sampai 1 Pemerintah menyetujui untuk menurunkan emisi karbon sampai dengan tahun 2020 sebesar 26% (sector kehutanan mendapat kuota sebesar 14% atau setara 53,8% dari target tersebut). Kemitraan.or.id 2 Menurut hasil penelitian Pusat Penelitian Kependudukan LIPI menunjukkan bahwa HKm di Sumber Jaya, Lampung mampu menurunkan angka kemiskinan sebesar 50%, sebuah angka capaian yang jauh di atas program- program pengentasan kemiskinan yang lain (http://jambi.antaranews.com/berita/302915/peneliti- phbm- lebih- ampuh- turunkan- kemiskinan akses 28 Februari 2014) 4

September 2011 kawasan hutan yang telah diverifikasi sebagai HKm baru seluas 402.596 hektar; 170.920 hektar di antaranya telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan, dan 41.330 hektar di antaranya telah dikeluarkan ijinnya (IUPHHKm) (Suharjito, 2012). Sementara Kemitraan merilis data bahwa sampai dengan bulan Juni 2012 luasan HKm baru tercapai sebesar 186.931 hektar (Kemitraan.or.id). Data terbaru 2014 yang dirilis Menteri Kehutanan, pencapaian penetapan areal cadangan HKm sebesar 209.804 hektar atau sekitar 10,49 % (lampost.com). Rendahnya capaian tersebut tentunya dapat menjadi satu catatan minus kinerja Kementerian Kehutanan dan dianggap sebagai mal administrative oleh Ombudsman (antaranews.com, mongabay.com). Di antara sedikitnya realisasi target pembangunan HKm di atas, dapat dilihat beberapa lokasi yang cukup berhasil melaksanakan, mengembangkan, dan memperoleh manfaat dari program HKm itu. Sebagai contoh di Lampung, penyelenggaraan HKm menunjukkan bahwa pola HKm berkembang secara baik dan dapat diterima masyarakat dan Pemda. Masyarakat yang melaksanakan program HKm bisa mematuhi ketentuan- ketentuan yang disyaratkan. HKm tidak hanya berkembang menjadi pelaksanaan penyelamatan hutan, tetapi juga sebuah sarana pembelajaran (watala.org). Sementara di DIY, satu kelompok yang cukup menarik yaitu Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan (KTHKm) Mandiri Dusun Kalibiru, Desa Hargowilis, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo. Kelompok ini menarik karena keberhasilannya 3 dalam mencapai tujuan HKm. Pendekatan penilaian keberhasilan 3 Dalam menilai keberhasilan implementasi Program HKm di Kalibiru, penulis merujuk pada perspektif kedua pendapat Ripley dalam Purwanto dan Sulistyatsuti (2012:68-72) yaitu perspektif What s happening?. Dalam buku tersebut menurut Ripley, keberhasilan implementasi dapat dilihat dari dua perspektif yaitu compliance dan what s happening. Perspektif compliance memahami keberhasilan implementasi dalam arti sempit yaitu sebagai kepatuhan para implementer dalam melaksanakan kebijakan yang tertuang dalam dokumen kebijakan. Perspektif ini kental dipengaruhi oleh pandangan yang melihat 5

HKm di Kalibiru tersebut dilihat dari dua aspek yaitu penerapan strategi perhutanan sosial dan capaian pemberdayaan masyarakat. Pertama, keberhasilan pelaksanaan HKm di Kalibiru dilihat dari penerapan strategi pengembangan perhutanan sosial yaitu kelola kawasan, kelola kelembagaan, dan kelola usaha (lihat Bab II.A. Perhutanan Sosial). Dari kriteria kelola kawasan, KTHKm Mandiri berhasil mengembalikan kondisi kawasan hutan yang semula gundul menjadi kawasan bertegakan cukup rapat dengan jenis pohon penghasil kayu dan jenis pohon serbaguna. Kondisi ini berdampak positif terhadap fungsi kawasan itu sebagai kawasan hutan lindung. Dalam laporan BPDAS SOP, potensi tegakan pohon yang ada di HKm kalibiru adalah sebanyak 22.806 batang pohon atau 79% pada kriteria 1.000 pohon per hektar. Masyarakat juga melakukan kegiatan penataan lahan secara bergotong royong seperti : penguatan terasering dengan batu, tanaman rumput, dan hijauan pakan ternak; pembagian dan penataan batas lahan andil anggota kelompok; serta pembuatan jalur- jalur inspeksi (jalan setapak) yang sebagian di antaranya dikembangkan menjadi trek wisata alam. Dari sisi kelola kelembagaan, KTHKm Mandiri berhasil menyusun dan mengaplikasikan aturan internal kelompok secara mandiri. Keberadaan aturan internal ini penting artinya bagi sebuah kelompok atau komunitas sebagai rules/seperangkat aturan main yang wajib dipatuhi oleh setiap anggotanya. Aturan itu memuat nilai- nilai, hak, kewajiban, serta sanksi yang disusun bersama, disepakati, dan kemudian dilaksanakan oleh para anggota. Upaya penguatan kelembagaan ini terbukti membawa dampak terhadap perubahan cara pandang, keberhasilan implementasi sangat ditentukan oleh persoalan pengelolaan urusan administrasi dan manajemen (ketepatan mengikuti SOP). Perspektif kedua, berusaha memahami keberhasilan implementasi dari aspek yang lebih luas dengan pertanyaan What is it achieving? And Why or What s happening? and why?. Hal ini berarti bahwa keberhasilan implementasi diukur dari keberhasilan mereka/implementer dalam merealisasikan tujuan- tujuan kebijakan yang wujud nyatanya berupa munculnya dampak kebijakan. Karena pada kenyataannya kepatuhan saja tidak cukup untuk mencapai tujuan kebijakan yang telah ditentukan atau dengan kata lain kebijakan mengalami kegagalan. 6

sikap dan perilaku anggota terhadap kawasan hutan. Jika sebelumnya masyarakat Kalibiru adalah perambah dan perusak hutan, sekarang menjadi masyarakat penjaga dan pelestari hutan. Kesadaran dan kepedulian untuk menjaga kawasan dan kelestarian hutan tumbuh dalam diri anggota kelompok tani. Dari sisi kelola usaha, KTHKm Mandiri berhasil melakukan terobosan memanfaatkan ijin definitif HKm menjadi sebuah peluang untuk meningkatkan kesejahteraan dengan tetap memperhatikan kelestarian hutan. Langkah itu adalah pemanfaatan jasa lingkungan areal HKm menjadi wisata alam dan diklaim sebagai yang pertama lahir dari program HKm. Berbekal potensi keindahan alamnya serta penambahan berbagai fasilitas yang sudah dibangun oleh masyarakat, Wisata Alam Kalibiru berhasil menarik minat kunjungan wisatawan yang ingin menikmati keindahan pemandangan dari atas perbukitan, menikmati kesejukan lingkungan dan keramahtamahan penduduk desa. Dari tahun ke tahun kunjungan wisatawan ke Wisata Alam Kalibiru mengalami peningkatan (lihat Grafik 1.1). Dusun Kalibiru secara cepat bermetamorfosa dari desa yang kurang dikenal dan terisolir menjadi desa yang cukup terkenal dan enjadi salah satu Desa Wisata andalan Kulon Progo dan DIY (Observasi Internet). Grafik 1.1. Jumlah Kunjungan Wisatawan WA Kalibiru/Bulan Tahun 2010-2012 2500 2000 1500 1000 500 0 Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Sumber : Sekretariat Wisata Alam Kalibiru 2010 2011 2012 Selain sebagai tempat wisata alam yang mengandalkan keindahan panorama alam, Wisata Alam Kalibiru juga menyediakan cottage untuk menginap pengunjung, 7

mengadakan acara seperti outbond training, high rope games, camping, olah raga alam bebas, down hill cycling, pengamatan satwa, dan lain- lain. Adanya variasi kegiatan wisatawan di dusun ini merangsang kreatifitas masyarakat dalam mengemas dan memberikan pelayanan terhadap tamu dan pengunjung. Beberapa di antaranya adalah usaha warung- warung di lokasi wisata, jasa catering, layanan parkir, penginapan/homestay, gula semut, dan masih banyak peluang yang bisa digali dan digarap oleh masyarakat seperti pembuatan kerajinan dan oleh- oleh. Dengan demikian, wisata alam HKm ini secara langsung maupun tidak langsung mampu mendongkrak kegiatan ekonomi warga. Ini menjadi salah satu bukti keberhasilan Kalibiru dari sisi kelola usaha di samping usaha ternak bergulir dan usaha simpan pinjam. Kedua, keberhasilan HKm Kalibiru dilihat dari aspek pemberdayaan masyarakat sesuai tujuan utama program HKm ini. Pemberdayaan secara sederhana adalah pemberian daya (power) kepada yang tidak berdaya (powerless). Pada konteks program HKm ini, maka masyarakat sekitar hutan diberikan ijin pemanfaatan hutan oleh negara sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan. Kesejahteraan tersebut dapat berupa kesejahteraan secara ekonomi, politik, sosial budaya, dan lingkungan (Aina, 2007). Dari hasil observasi, studi literatur dan wawancara secara ringkas keberhasilan- keberhasilan program HKm di Kalibiru penulis sajikan dalam tabel di bawah ini 4. 4 Referensi indikator keberhasilan pemberdayaan masyarakat yang digunakan dalam tesis ini mengadopsi tesis Aina (2007). Indikator Kesejahteraan Politik : tersedianya kesempatan bagi masyarakat untuk berkreasi dan mengeluarkan pedapatnya dalam berbagai forum. Indikator Kesejahteraan Ekonomi : tersedianya wadah dalam kegiatan peningkatan perekonomian masyarakat dan adanya peningkatan pendapatan masyarakat yaitu berupa finansial. Indikator Kesejahteraan Sosial : dapat dilihat dari perubahan pola pikir masyarakat menjadi lebih maju dan adanya peningkatan kwalitas masyarakat. Peningkatan kwalitas masyarakat dapat dilihat dari tingkat pengetahuan dan kemampuan masyarakat dalam berorganisasi. Indikator Kesejahteraan Budaya : terciptanya kelestarian nilai- nilai budaya yang dimiliki masyarakat desa yakni gotong royong, guyub dan tolong menolong. Hal ini akan menghasilkan kesejahteraan berupa terciptanya rasa aman dan terciptanya rasa 8

Tabel 1.2 Hasil- hasil Pemberdayaan Program HKm di Kalibiru Ekonomi Sosial Budaya Politik Lingkungan Kemudahan mencari pakan ternak (HMT) (Kamijan,Parjan) Pemeliharaan ternak jadi lebih mudah (Parjan) Akses terhadap usaha ternak terbuka (Parjan) Mengurangi urbanisasi, pemuda betah tinggal di rumah dan mengelola wisata alam (Kamijan) Meningkatkan kerukunan warga Meningkatkan kesadaran dan pengetahuan berorganisasi Terbukanya saluran informasi dan komunikasi masyarakat (Kamijan) Ada forum- forum pertemuan warga Berani mengungkapkan ide dan gagasan (Kamijan) Kegiatan penanaman berhasil (Parjan) Keamanan hutan terjaga(nangsir) Tegakan hutan makin rapat (Nangsir) Peningkatan kepemilikan ternak masyarakat (Parjan) Mendapat hasil empon- empon (Kamijan) Kesempatan kerja di desa terbuka (petugas retribusi, operator game, penjaga parkir (Parjan, Kamijan) Peluang usaha bertambah. (Warung, penginapan, catering, kelapa muda, pengolahan empon- empon) (Parjan) Jumlah kunjungan wisata meningkat dari tahun ke tahun (Data WA Kalibiru) Dusun semakin dikenal masyarakat sebagai pasar, menguntungkan secara ekonomi (Dishut KP, Internet) Mudah menjual hasil pertanian (Tumiranto) Mendapat alat pengolah hasil pertanian, ada nilai tambah (Kamijan, Tumiranto) Mudah mengakses modal koperasi/hutang (Parjan) Memperkuat kelembagaan masyarakat (Kamijan, Pendamping) Terjaganya semangat kegotongroyongan Aman dan nyaman dalam memanfaatkan lahan (Parjan) Menambah wawasan teknis kehutanan dan pertanian melalui studi banding, pembinaan dan pelatihan (Parjan) Meningkatkan kemandirian masyarakat (Pendamping) Perubahan cara hidup dari perambah menjadi penjaga dan pelestari hutan (Kamijan,Parlan) Saling kontrol antar kelompok dalam pemanfaatan hutan (Parlan) Adanya jaringan internet Wi Fi (Kamijan) Terbuka wawasan dengan interaksi wisatawan (Nangsir) Masyarakat berani dan makin terbiasa berhadapan dengan pihak luar (Parjan, Tumiranto) Terbuka jaringan kerjasama dengan pihak luar desa (Tumiranto,Parjan) Ada komunitas HKm (lingkar) memperkuat posisi tawar terhadap pihak luar (Kamijan, Tumiranto) Saling kontrol dalam keamanan dan pengelolaan lahan sekitar (Parlan) Kelompok makin dikenal pemerintah, semakin mendapat perhatian dan fasilitasi (Pendamping, Parjan) Kehidupan politik masyarakat semakin dinamis, berani memperjuangkan hak (Pendamping) Aktualisasi kreatifitas masyarakat (Nangsir, Pendamping) Punya kekuatan hukum, surat kekancingan dalam memanfaatkan hutan (Parjan) Mandor hutan tidak berani lagi main kayu (Parjan) Satwa berdatangan (Nangsir, Kamijan) Mulai bermunculan mata air (Kamijan, Parlan) Kondisi udara (iklim mikro) lebih sejuk (Parlan) Penataan dan penguatan terasering (Parjan) Mengurangi erosi air Resiko bencana longsor berkurang (Dinas Kehutanan KP) Kembalinya fungsi lindung kawasan hutan Kelestarian hutan terjaga Ada lembaga untuk menabung/arisan (koperasi. (Observasi) Kesadaran berkoperasi bertambah Kekompakan dalam menindak anggota yang "nakal"(parjan) Adanya bagi hasil dari pendapatan wisata alam (Parjan) Kegiatan kesenian semakin bergairah menunjang desa wisata Komitmen kuat terhadap aturan bersama (Nangsir) Motivasi membuka kegiatan lain selain mamanfaatkan hutan (Kamijan) Kesadaran untuk selalu berproses/belajar (Pendamping) Terbukanya hak- hak masyarakat (Pendamping) nyaman dalam interkasi sosial. Indikator Kesejahteraan Ekologi : terjaganya kelestarian lingkungan (hutan). 9

Tambahan penghasilan dari usaha alternatif lahan hutan (lebah madu, kroto) (Parjan, Tumiranto) Masyarakat bisa mendapatkan rencekan (kayu bakar) (Kamijan) Kesadaran bahwa bantuan karitatif (BLSM, raskin, BLT) tidak menyelesaikan akar masalah (Kamijan, Parjan) Terbentuknya Kelompok Tani HKm Partisipasi warga dalam perencanaan kegiatan HKm Kemudahan dalam mamanfaatkan air (Kamijan) Sumber : Dari berbagai sumber (diolah) Partisipasi dalam pembangunan lokal Geliat masyarakat Kalibiru dalam mengelola HKm itu telah mendapat pengakuan dan apresiasi berbagai pihak. HKm Kalibiru sering menjadi lokasi tujuan studi banding dari berbagai daerah yang berminat untuk mengembangkan HKm maupun wisata alam, seperti dari Papua, Jawa Barat, Kalimantan Timur, dan Sumatera Utara. Kelompok Tani HKm Mandiri berhasil meraih beberapa prestasi di antaranya Juara I Lomba Perintis Lingkungan Tingkat DIY tahun 2011 sekaligus sebagai wakil dari DIY ke tingkat nasional tahun 2012, Juara III HKm Terbaik dari 42 HKm di DIY tahun 2010. Kalibiru juga berhasil naik peringkat dari Juara Harapan III Lomba Desa Wisata se- DIY tahun 2012 menjadi Juara I Lomba Desa Wisata se- DIY tahun 2013 (portal.jogjaprov.go.id) dan berhak mewakili DIY pada event serupa di level nasional pada Juli 2014 berkat ikon Wisata Alam Hutan Kemasyarakatannya itu. Keberhasilan- keberhasilan di atas menarik penulis untuk mengetahui lebih jauh mengenai bagaimana implementasi program HKm di Kalibiru. Keberhasilan Kalibiru sebagai salah satu pemegang ijin HKm menjadi sangat penting untuk ditelusuri dan didokumentasikan agar menjadi inspirasi bagi proses belajar dan tolok ukur positif bagi para pihak yang terlibat dalam pengembangan HKm, terutama pihak pemerintah untuk mendorong percepatan realisasi target HKm, dan bagi masyarakat lokal sekitar hutan daerah lain yang sedang berencana, berjuang, dan yang sudah memperoleh ijin HKm di seluruh Indonesia. 10

Dalam bingkai yang lebih luas, capaian sekecil apapun seperti keberhasilan program HKm di Kalibiru sangat penting artinya dalam mendukung Penurunan Kemiskinan 5 dan Kelestarian Lingkungan Hidup seperti yang tercantum dalam RPJMN 2010-2014 6 dan Target Millenium Development Goals 7, serta dalam kerangka penurunan emisi karbon (REDD+). Sebagaimana konsep yang selalu diyakini oleh para aktivis lingkungan think globally act locally. B. Rumusan Permasalahan Berangkat dari latar belakang di atas, maka dirumuskan pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini, yaitu : Mengapa implementasi program Hutan Kemasyarakatan di Dusun Kalibiru berhasil?. Untuk lebih memperdalam uraian maka disusun pertanyaan turunannya sebagai berikut : 1. Bagaimana proses implementasi program HKm di Kalibiru? 2. Apa faktor- faktor yang bekerja pada implementasi program HKm di Kalibiru? 5 Data BPS menyebutkan bahwa dari seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah 219,9 juta jiwa, sekitar 48,8 juta jiwa atau 12% tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan. Dari 48,8 juta jiwa penduduk yang tinggal di dalam dan sekitar hutan tersebut, 10,2 juta jiwa atau 25% diantaranya tergolong dalam kategori miskin (Hakim, 2010) 6 11 Kebijakan Prioritas Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II 1) Reformasi birokrasi dan tata kelola; 2)Pendidikan; 3) Kesehatan; 4)Penanggulangan kemiskinan; 5) Ketahanan pangan; 6) Infrastuktur; 7) Iklim investasi dan iklim usaha; 8)Energi; 9) Lingkungan hidup dan pengelolan bencana;10)daerah tertinggal, terdepan, terluar dan pasca konflik; 11) Kebudayaan, kreatifitas dan inovasi teknologi. 7 Millennium Development Goals (MDGs) adalah Deklarasi Milenium hasil kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari 189 negara PBB yang mulai dijalankan pada September 2000, berupa delapan butir tujuan untuk dicapai pada tahun 2015 yaitu : 1) Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; 2) Mencapai pendidikan dasar untuk semua; 3) Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; 4) Menurunkan angka kematian anak; 5) Meningkatkan kesehatan ibu; 6) Memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya; 7) Memastikan kelestarian lingkungan hidup; dan 8) Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan (http://id.wikipedia.org/wiki/tujuan_pembangunan_milenium akses 22 Januari 2014). 11

C. Lingkup Penelitian Lingkup penelitian ini adalah proses implementasi kebijakan HKm di Kalibiru dan faktor apa saja yang turut berperan dalam keberhasilan implementasi program HKm di Kalibiru tersebut. D. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah : 1. Mengetahui proses implementasi Program HKm di Kalibiru. 2. Mengetahui faktor- faktor yang berpengaruh terhadap implementasi Program HKm di Kalibiru. E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis, yaitu : 1. Secara teoritis, dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan baik pada ilmu Administrasi Publik maupun pada ilmu Kehutanan, serta menambah wawasan bagi penulis. 2. Secara praktis, dapat dijadikan sebagai bahan acuan maupun masukan dalam upaya melakukan perbaikan terhadap upaya pemberdayaan masyarakat lokal khususnya dalam kerangka pengelolaan hutan kemasyarakatan. F. Sistematika Penulisan Tesis ini dibagi dalam beberapa bab untuk memperjelas alur tulisan. Tesis diawali Pendahuluan di Bab I yang menyajikan latar belakang penelitian yaitu keberhasilan pelaksanaan program HKm di Kalibiru, kemudian rumusan 12

permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan tesis. Pada Bab II penulis memaparkan kerangka teori yang terkait dengan tema penelitian yang diangkat yaitu kebijakan Social Forestry (Hutan Kemasyarakatan) dan implementasi kebijakan. Dari kedua topik teori sebagai dasar untuk menyusun kerangka pikir penelitian ini, yaitu faktor- faktor yang bekerja dalam implementasi kebijakan HKm di Kalibiru dan disajikan dalam sub bab terakhir Bab II ini. Bab III menyajikan metode penelitian yang digunakan, tata cara penelitian, dan analisa data yang dilaksanakan. Pada Bab IV penulis menyajikan deskripsi umum lokasi penelitian, serta sejarah pengelolaan hutan di Kalibiru. Pada Bab V disajikan proses implementasi program HKm secara kronologis. Sementara pembahasan dan analisa hasil penelitian dipaparkan pada Bab VI, diikuti kesimpulan dan saran pada Bab VII. 13