BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga merupakan lingkungan yang pertama ditemui oleh setiap individu dan menjadi tempat yang penting dalam perkembangan hidup seorang manusia. Keluarga menjadi struktur sosial penting karena interaksi antar anggota keluarga terjadi di dalam keluarga. Perilaku individu di dalam keluarga dapat mempengaruhi perilaku anggota keluarga lainnya. Individu dapat merasakan dirinya dicintai, diinginkan, diterima, dan dihargai di dalam keluarga (Tambunan, 2001). Keluarga yang harmonis dan bahagia merupakan harapan bagi setiap individu. Kebahagiaan suatu keluarga sangat dipengaruhi oleh adanya hubungan antara anggota keluarga yang harmonis, baik hubungan antara orangtua dan anak maupun antara anak dan saudaranya (Tambunan, 2001). Kebahagiaan keluarga dapat berubah ketika konflik mulai terjadi dalam suatu keluarga. Konflik dapat berupa konflik antara suami istri sebagai orangtua, orangtua terhadap anak, anak dengan saudara. Konflik orangtua bersifat bermusuhan, tajam, dan tidak dapat diselesaikan berhubungan dengan sifat negatif yang ditunjukkan oleh anak dan remaja. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Esmaeili, Yaacob, Juhari, dan Mansor (2011) menunjukkan bahwa anak dan remaja yang memiliki orangtua berkonflik akan memiliki masalah akademik dibandingkan dengan anak dan remaja yang memiliki orangtua tidak berkonflik. Anak dan remaja tersebut 1
2 memiliki kecenderungan dua sampai tiga kali lebih besar untuk dikeluarkan dari sekolah. Konflik antar orangtua dapat berujung pada pengambilan keputusan untuk melakukan perceraian (Tasmin, 2002). Thompson dan Rudolph (Greeff & Der Merwe, 2004) menyatakan bahwa perceraian akan mengarahkan pada perubahan komposisi keluarga, peran keluarga, hubungan antar anggota keluarga, serta adanya perubahan keadaan ekonomi keluarga. Badan Urusan Peradilan Agama (Purwadi, 2012) mencatat selama periode 2005-2010 terjadi peningkatan perceraian hingga 70%. Pada tahun 2010, terjadi kasus perceraian sebanyak 285.184 perkara, sedangkan pada tahun 2011 mencapai 320.000 perkara. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat dari 54,5% masyarakat Kota Makassar yang telah menikah, tercatat 1,95% pasangan yang telah melakukan perceraian pada tahun 2012. Tasmin (2002) menyatakan bahwa perceraian akan memberikan dampak yang kurang baik terhadap anak untuk alasan apapun, walaupun dalam beberapa kasus perceraian dianggap sebagai alternatif terbaik daripada membiarkan anak tinggal dalam keluarga yang memiliki pernikahan yang tidak baik. Orangtua yang bercerai akan lebih siap menghadapi perceraian tersebut dibandingkan anak-anak. Hal tersebut disebabkan oleh karena sebelum orangtua bercerai biasanya didahului dengan proses berpikir dan pertimbangan yang panjang, sehingga telah ada persiapan baik mental maupun fisik. Hal tersebut tidak berlaku bagi anak. Anak harus menerima keputusan yang telah dibuat oleh orangtua dan tidak memiliki bayangan mengenai hidup yang akan dijalani setelah perceraian terjadi.
3 McIntosh, Burke, Dour, dan Gridley (2009) menyatakan bahwa dampak perceraian akan dirasakan berbeda berdasarkan tugas perkembangan dan tahap perkembangan sosial emosi individu. Anak berusia dibawah tiga tahun akan memengaruhi kelekatan terhadap orangtua yang secara tidak langsung akan membuat anak merasa tidak aman. Pada anak usia di atas tiga tahun sebelum memasuki masa sekolah belum terlalu memahami makna perceraian yang dilakukan oleh orangtua dan cenderung akan merasakan takut ditinggalkan oleh orangtua. Pada anak usia sekolah, anak mulai dapat sedikit memahami perceraian yang dilakukan oleh orangtua. Anak usia sekolah akan memiliki kecenderungan untuk memihak hanya pada salah satu orangtua. Pada anak yang telah memasuki masa remaja, anak telah memahami perceraian yang terjadi pada orangtua. Anak akan merasakan rasa sakit hati dan menyimpan kemarahan atas perceraian orangtua. Perceraian pada orangtua akan mengakibatkan anak usia remaja akan memiliki hubungan yang lebih dekat dengan teman sebaya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Agnes (2009) menyatakan bahwa keluarga akan terus memengaruhi perkembangan anak hingga dewasa. Saat yang terpenting dalam proses menuju kedewasaan adalah masa remaja. Alim (2010) menyatakan bahwa, anak yang sudah menginjak remaja dan mengalami perceraian orangtua lebih cenderung mengingat konflik dan stres yang mengitari perceraian tersebut. Anak akan merasakan konflik sampai sepuluh tahun kemudian. Anak-anak juga akan merasa kecewa dengan keadaannya yang tumbuh dalam keluarga yang tidak utuh. Sebagai salah satu kota dengan tingkat perceraian yang tinggi, peneliti telah melakukan penelitian terdahulu terhadap remaja dengan orangtua yang bercerai
4 pada bulan Juli tahun 2011 di Kota Makassar dan terungkap bahwa subjek DD menjadi anak yang lebih suka berdiam diri di dalam kamar. Selain hal tersebut, subjek bergaul dengan teman yang mengenalkannya pada obat-obatan terlarang serta minuman keras. Subjek terhitung pernah melakukan percobaan bunuh diri hingga tiga kali pasca perceraian orangtuanya. Sejak orangtuaku bercerai saya lebih suka tinggal dalam kamar kalau di rumah. Saya jarang ada di rumah, lebih sering keluar sama teman-teman. Kalau sama teman-teman biasanya saya suka minum-minum, bahkan dulu pernah juga saya coba narkoba. Dan yang lebih parah saya pernah coba bunuh diri pake obat nyamuk cair. Hal tersebut di atas juga didukung oleh Alim (2010) yang menyatakan bahwa anak korban perceraian berusia remaja lebih rentan masuk dan terperangkap masalah obat-obatan dan kenakalan remaja. Esmaeili, et.al., (2011) melakukan penelitian untuk melihat bagaimana perceraian berdampak pada prestasi akademik remaja di sekolah. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa konflik orangtua pasca bercerai berhubungan negatif dengan prestasi akademik remaja. Responden yang melaporkan tingginya konflik yang terjadi diantara orangtua responden yang bercerai juga melaporkan rendahnya prestasi akademik remaja di sekolah. Yu, Petit, Landsford, dan Dodge (2010) melakukan penelitian mengenai konflik dan perceraian orangtua dapat memengaruhi hubungan antara orangtua dan anak. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa konflik dan perceraian akan merusak hubungan orangtua dan anak. Hasil penelitian yang serupa juga ditunjukkan oleh Ge, Natsuaki, Neiderhiser, dan Reiss (2009) bahwa kedekatan orangtua dengan anak berhubungan negatif dengan adanya gejala depresi pada remaja. Semakin baik hubungan orangtua dengan anak, maka semakin tidak ada gejala depresi pada remaja. Hubungan orangtua dan anak akan menjadi rusak
5 karena adanya perceraian orangtua seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Yu, et.al., (2010) di atas. Kondisi-kondisi emosi pada anak tersebut timbul akibat rasa sakit yang diakibatkan oleh perceraian orangtua. Rasa sakit yang ada pada diri individulah yang kemudian menjadi pemicu ketidakstabilan emosi. Anak akan mengembangkan rasa kebencian pada kejadian, ataupun pihak-pihak yang menimbulkan rasa sakit tersebut. Distres emosional akibat transgresi merupakan jalan bagi timbulnya perasaan tertekan dan emosi negatif yang melahirkan perilaku negatif pula. Seperti yang dikemukakan oleh Hetherington (2003) bahwa akibat langsung yang timbul dari perceraian adalah distres emosional (internalizing disorders) dan masalah perilaku (externalizing disorders) seperti kemarahan, kebencian, kecemasan, serta munculnya perilaku yang negatif. Perceraian dianggap sebagai kejadian buruk yang terjadi dalam rentang kehidupan individu. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Chung dan Emery (2010) menunjukkan bahwa anak dari keluarga yang bercerai memiliki kecenderungan untuk lebih menarik diri, memengaruhi keadaan fisik, kecemasan serta menunjukkan gejala depresi jika dibandingkan dengan anak dari keluarga utuh. Hal tersebut tidak berarti bahwa semua remaja dengan orangtua yang bercerai akan otomatis berkembang secara negatif, ada pula anak yang dapat berkembang secara positif sebagai proses dari terbentuknya resiliensi. Carroll (2005) menyatakan bahwa resiliensi merupakan suatu konsep yang berisi harapan dan optimisme. Resiliensi pada anak akan berkembang apabila mendapatkan perlakuan yang positif dari orang dewasa di sekitar anak serta dari keadaan lingkungan yang positif. Burr dan Mutchler (1999) menjelaskan bahwa
6 didalam struktur masyarakat terdapat dua jenis keluarga, yaitu keluarga luas (extended family) dan keluarga inti (nuclear family). Keluarga luas terdiri dari nenek, kakek, paman, bibi, dan individu lainnya yang masih terikat hubungan darah, sedangkan keluarga inti hanya terdiri dari ibu, bapak, dan anak. Indonesia termasuk salah satu negara yang menganut sistem keluarga luas, sehingga dukungan sosial yang diterima dari keluarga besar dapat memberikan dampak yang positif bagi anak dengan orangtua yang bercerai. Hal tersebut ditunjukkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Ruswahyuningsih (2013) yang menunjukkan bahwa remaja dengan orangtua bercerai dapat bangkit dari rasa keterpurukan dengan melakukan banyak aktivitas serta mendapatkan dukungan sosial dari salah satu orangtua, keluarga besar, teman-teman, dan individu di sekitar tempat tinggal. Murphy (Karatas dan Cakar, 2011) menyatakan bahwa resiliensi merupakan bagaimana individu dapat bertahan dengan tekanan dan bagaimana bangkit dari rasa trauma dan depresi. Resiliensi terdiri dari perkembangan kearah positif, dimana individu akan maju ke masa depan dengan penuh harapan untuk hidup dengan harmonis. Resiliensi diperlukan oleh anak yang memiliki orangtua yang bercerai, karena anak yang berasal dari orangtua yang bercerai akan merasakan banyak dampak yang negatif. Reich, Zautra, & Hall (2010) menyatakan bahwa resiliensi diperlukan pada individu yang merasa kehilangan sosok yang dicintai. Keputusan bercerai yang diambil oleh orangtua membuat anak akan merasakan kehilangan yang teramat dalam. Resiliensi memberikan manfaat pada individu yang merasa kehilangan tersebut agar dapat beradaptasi dengan keadaan yang tidak menyenangkan. Resiliensi dapat memberikan kekuatan bagi anak yang merasa kehilangan salah
7 satu figur orangtua. Resiliensi juga dapat memberikan kontribusi terhadap kesehatan mental individu. Resiliensi dapat membantu individu yang mengalami konflik untuk dapat memiliki kemampuan beradaptasi terhadap konflik tersebut serta mampu melakukan penyelesaian masalah dengan baik. Hal tersebut didukung dari pernyataan Grotberg (2004) yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat membantu terbentuknya resiliensi adalah adanya kekuatan dalam diri (internal), mendapatkan dukungan dari luar diri (eksternal), serta memiliki keterampilan dalam melakukan penyelesaian masalah. Resiliensi remaja terhadap perceraian yang dilakukan oleh orangtua dapat ditunjukkan dengan melakukan pengalihan perhatian ke arah positif terhadap konflik yang terjadi diantara orangtua baik sebelum bercerai, maupun pasca perceraian. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan DF remaja 17 tahun pada wawancara awal yang dilakukan peneliti pada tanggal 22 November 2013 di Kota Makassar yang menyatakan bahwa subjek mengalihkan perasaan marah dan kecewa terhadap konflik orangtua yang berujung perceraian ke arah yang lebih positif, yaitu dengan cara lebih aktif pada kegiatan sekolah dan menyelesaikan tugas-tugas sekolah dengan baik. Sebagai hasil, DF yang sebelumnya tidak terlalu menonjol dalam prestasi belajar dapat mencapai peringkat kedua di kelas. Waktu mami sama papi sering bertengkar di rumah, saya lebih suka menghabiskan waktu di luar rumah terutama di sekolah karena keadaan rumah membuat saya merasa malas berada di rumah. Kalaupun berada di rumah, saya lebih senang menyendiri di kamar. Dan waktu saya habiskan dengan belajar dan mengerjakan PR. Malah setelah terjadi perceraian mami sama papi ranking saya naik jadi ranking 2, padahal sebelumnya saya gak ranking di kelas. Berdasarkan kontradiksi dari hasil penelitian terdahulu dengan temuan pada penetelian pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti, maka peneliti tertarik untuk
8 melakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai resiliensi anak berusia remaja terhadap perceraian yang dilakukan oleh orangtua. B. Perumusan Masalah Perceraian merupakan hal yang dapat terjadi dalam suatu rumah tangga. Perceraian akan diiringi oleh konflik yang terjadi baik sebelum maupun setelah terjadinya perceraian. Pasangan suami istri yang telah memiliki anak akan memiliki konflik yang lebih besar jika dibandingkan dengan pasangan yang belum memiliki anak. Hal tersebut disebabkan oleh karena anak dari hasil pernikahan merupakan individu yang akan sangat merasakan dampak dari perceraian yang dilakukan oleh orangtua. Orangtua yang bercerai akan merasa lebih siap menghadapi perceraian dibandingkan anak, karena telah diawali dengan pemikiran yang matang sebelumnya. Tidak demikian dengan anak yang harus menerima keputusan orangtua untuk bercerai. Dampak perceraian akan dirasakan berbeda oleh masing-masing anak. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh masa perkembangan individu. Anak usia dini belum terlalu memahami makna dari perceraian orangtua. Berbeda halnya dengan anak yang telah memasuki masa sekolah dan remaja, dimana anak telah mulai memahami makna perceraian yang dilakukan oleh orangtua. Pada masa remaja, anak cenderung akan menyimpan rasa marah dan kecewa kepada orangtua yang melakukan perceraian. Tidak semua remaja akan merasakan terpuruk dan sedih berkepanjangan dengan perceraian orangtua. Salah satu cara untuk mereda perasaan yang tidak menyenangkan adalah dengan melakukan resiliensi.
9 Resiliensi merupakan kemampuan individu untuk dapat bertahan dengan tekanan serta kemampuan untuk bangkit dari rasa trauma dan depresi ke arah yang lebih positif. Resiliensi dapat dilakukan dengan adanya kemauan dari dalam diri serta mendapatkan dukungan yang positif dari lingkungan sekitar. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana dinamika psikologis remaja dengan orangtua yang bercerai untuk mencapai resiliensi? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan pertanyaan penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran dinamika psikologis remaja dengan orangtua bercerai untuk mencapai resiliensi. D. Manfaat penelitian Manfaat penelitian ini ditinjau dari dua hal, yaitu: 1. Manfaat Teoretis: a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi ilmiah mengenai resiliensi pada remaja yang memiliki orangtua bercerai. b. Menjadi referensi ilmiah dalam ruang lingkup Psikologi Perkembangan. 2. Manfaat Praktis: a. Memberikan informasi baru mengenai kajian yang berhubungan dengan kajian penelitian. b. Memberikan informasi bagi remaja mengenai proses resiliensi dalam menghadapi perceraian orangtua.
10 E. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Beberapa hasil penelitian yang ditemukan oleh peneliti sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Esmaeili, et.al., (2011) melakukan penelitian untuk melihat bagaimana perceraian berdampak pada prestasi akademik remaja di sekolah. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa responden yang melaporkan tingginya konflik yang terjadi diantara orangtua responden yang bercerai juga melaporkan rendahnya prestasi akademik remaja di sekolah. 2. Chung dan Emery (2010) melakukan penelitian mengenai risiko dan rasa sakit hati pada remaja korban perceraian di Korea. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa remaja dari keluarga yang bercerai menunjukkan lebih menarik diri, komplain somatik, kecemasan dan gejala depresi jika dibandingkan dengan anak dari keluarga utuh. 3. Civitcy, Civitcy, dan Fiyakali (2009) melakukan penelitian mengenai rasa kesepian yang dirasakan oleh remaja dengan orangtua yang bercerai dibandingkan dengan remaja dengan orangtua utuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja dengan orangtua bercerai lebih menunjukkan rasa kesepian jika dibandingkan dengan remaja yang memiliki orangtua utuh. 4. Choi, Gibson, dan Kim (2013) melakukan penelitian mengenai bagaimana resiliensi yang dilakukan oleh remaja korban kekerasan di Korea. Hasil penelitian menunjukkan bahwa resiliensi dapat membantu remaja bertahan dan melakukan adaptasi terhadap perasaan yang tidak menyenangkan pasca kekerasan.
11 5. Ruswahyuningsih (2013) melakukan penelitian mengenai bagaimana resiliensi pada remaja Jawa. Penelitian tersebut dilakukan pada beberapa remaja di Jawa dengan mengaitkan budaya Jawa dengan cara remaja dalam melakukan resiliensi. Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya yang berhubungan dengan kondisi remaja pasca perceraian orangtua dan resiliensi, maka keaslian dari penelitian ini adalah penulis ingin melihat bagaimana anak berusia remaja tetap berkembang secara positif pasca perceraian orangtua.