BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. lebih. Perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW)

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

BAB II KEDUDUKAN HUKUM BILA PENANGGUNG KEHILANGAN KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN PENANGGUNGAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dirumuskan sedemikian rupa

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB II KAJIAN TEORI TENTANG PERJANJIAN PADA UMUMNYA DAN PERJANJIAN UTANG PIUTANG

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa/Bewijs en Verjaring.

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

BAB VI PERIKATAN (VERBINTENISSEN RECHT)

BAB II LANDASAN TEORI. Koperasi secara etimologi berasal dari kata cooperation, terdiri dari kata

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

BAB II TINJAUAN MENGENAI KONTRAK SECARA UMUM. Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yakni contract yang

pada Klinik Kesehatan Bersama di Jl.AR Hakim No.168 Medan. mengenai permasalahan yang telah dibahas penulis serta saran-saran atas

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal janji adalah suatu sendi yang amat penting dalam Hukum

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI. Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. Kata perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst dan

PERJANJIAN DAN PERIKATAN BAB I PENDAHULUAN. (Burgerlijk Wetboek) menggunakan istilah overeenkomst dan contract untuk pengertian yang

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. KUH Perdata, yang memiliki sifat terbuka artinya isinya dapat ditentukan oleh para

Common Law Contract Agreement Agree Pact Covenant Treaty. Civil Law (Indonesia) Kontrak Sewa Perjanjian Persetujuan Perikatan

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN PENITIPAN BARANG. Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita mendengar kata perjanjian,

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor

BAB II PROSEDUR PERALIHAN HAK GUNA USAHA MELALUI PERIKATAN JUAL BELI SEKALIGUS ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Dari rumus diatas kita lihat bahwa unsur- unsur perikatan ada empat, yaitu : 1. hubungan hukum ; 2. kekayaan ; 3. pihak-pihak, dan 4. prestasi.

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada

HUKUM PERIKATAN (VAN VERBINTENISSEN) BAB I PERIKATAN PADA UMUMNYA. Bagian 1 Ketentuan-ketentuan Umum

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, perikatan

BAB III TINJAUAN TEORITIS. landasan yang tegas dan kuat. Walaupun di dalam undang-undang tersebut. pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

BAB I PENDAHULUAN. manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

BAB II TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK DALAM PELAKSANAAN KONTRAK KEAGENAN MINYAK TANAH YANG DIBUAT ANTARA PARA AGEN DENGAN PERTAMINA

BAB I PENDAHULUAN. disanggupi akan dilakukannya, melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH TIDAK SERTA MERTA DAPAT MEMUTUSKAN HUBUNGAN SEWA MENYEWA ANTARA PEMILIK DAN PENYEWA RUMAH

Buku I mengenai Hukum Perorangan (Persoonrecht), Buku ke II mengenai Hukum Kebendaan (Zakenrecht), Buku ke III mengenai Hukum Perikatan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah :

BAB III HUTANG PIUTANG SUAMI ATAU ISTRI TANPA SEPENGETAHUAN PASANGANNYA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. pengaturan yang berbeda-beda, Buku I mengenai perorangan (personenrecht),

BERAKHIRNYA PERIKATAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN BAKU (STANDART CONTRACT) BAGI PARA PIHAK PEMBUATNYA (Tinjauan Aspek Ketentuan Kebebasan Berkontrak) Oleh:

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa

BAB III TINJAUAN TEORITIS. menjadi sebab lahirnya suatu perikatan, selain sumber lainya yaitu undangundang.jika

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN (KONTRAK) masyarakat. Istilah perjanjian berasal dari bahasa Inggris, yaitu contracts.

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PERJANJIAN BAGI HASIL

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN GADAI DAN PEGADAIAN. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA. Hubungan kerja adalah hubungan antara seseorang buruh dengan seorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN SEWA MENYEWA. Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengirim. Dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

BAB III TINJAUAN TEORITIS. ataulebih. Syarat syahnya Perjanjian menurut pasal 1320 KUHPerdata :

BAB III TINJAUAN TEORITIS. bantuan dari orang lain. Untuk itu diperlukan suatu perangkat hukum demi

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP WANPRESTASI. bahwa salah satu sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian sebab

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat

BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM. menyalin kedalam bahasa Indonesia, dengan kata lain belum ada kesatuan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari digerakan dengan tenaga manusia ataupun alam. mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan No. 15 Tahun 1985 tentang

SKRIPSI PERJANJIAN PEMBAYARAN UANG SEKOLAH SAAT PENERIMAAN SISWA BARU PADA SEKOLAH FAVORIT DI MAKASSAR OLEH BAYU AJI SASONGKO B

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBORONGAN KERJA. 1. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu; 2. Perjanjian kerja/perburuhan dan;

BAB II TINJAUAN MENGENAI PERJANJIAN PADA UMUMNYA DAN PERJANJIAN JASA BERDASARKAN BUKU III KUHPERDATA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA ANAK

BAB II FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TUNTUTAN PEMBATALAN AKTA PERJANJIAN BANGUN BAGI DI KOTA BANDA ACEH

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. Berbagai kepustakaan Indonesia menggunakan istilah overeenkomst dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI KARENA FORCE MAJEURE DALAM PERJANJIAN

BAB 2 PEMBAHASAN. Jual beli tanah..., Ni Wayan Nagining Sidianthi, FH UI, , halaman 17. Universitas Indonesia

Transkripsi:

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian Perjanjian merupakan suatu kata yang sudah tidak asing lagi bagi kita. Dengan mendengar sebuah kata perjanjian maka kita akan langsung berfikir bahwa tentang suatu hubungan perikatan yang diperbuat oleh dua belah pihak atau lebih. Perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dalam buku ke III tentang perikatan. Buku ke III KUHPerdata terdiri dari XVIII bab dan terbagi atas 2 (dua) ketentuan yaitu Bab I sampai dengan Bab IV berisikan tentang ketentuan umum tentang perikatan itu sendiri dan Bab V sampai dengan Bab XVIII berisikan tentang ketentuan khusus seperti jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, perjanjian kerja, perseroan perdata, dan seterusnya. Adapun yang dimaksudkan dengan perikatan oleh buku III B.W itu, ialah : suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Buku II mengatur perihal hubungan-hubungan hukum antara orang dengan benda (hak perbendaan). Buku III mengatur perihal hubungan-hubungan hukum antara orang dengan orang (hak-hak perseorangan), meskipun mungkin yang menjadi obyek juga suatu benda. Oleh karena sifat hukum yang termuat dalam buku III itu selalu berupa suatu tuntut-menuntut, maka isi buku III itu juga dinamakan

hukum perhutangan. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau debitur. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan prestasi, yang menurut undang-undang dapat berupa menyerahkan suatu barang, melakukan suatu perbuatan dan tidak melakukan suatu perbuatan. 8 Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Perdata, perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi diantara 2 (dua) orang atau lebih, yang terletak didalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu. Mr. Dr. H.F. Vollmar didalam bukunya Inleiding tot de Studie van het Nedderlands Burgerlijk Recht mengatakan ditinjau dari isinya ternyata bahwa perikatan itu ada selama seseorang itu (debitur) harus melakukan suatu prestasi yang mungkin dapat dipaksakan terhadap kreditur, kalau perlu dengan bantuan hakim. Dari rumus diatas kita dapat melihat bahwa unsur-unsur perikatan ada 4 (empat) yaitu 9 : 1. Hubungan hukum 2. Kekayaan 3. Pihak-pihak 4. Prestasi 1. Hubungan Hukum Hubungan hukum adalah hubungan yang menimbulkan adanya suatu hak pada satu pihak dan menimbulkan suatu kewajiban pada pihak yang lainnya, 8 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan Ke-XXXII, PT. Intermasa, Jakarta, 2005, hal.122. 9 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan,PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan I, Bandung, 2001, hal. 1.

dimana para pihak harus melaksanakan hak dan kewajiban yang ditimbulkan tersebut. Dalam hal ini jika satu pihak tidak menepati atau melanggar terhadap hubungan yang timbul tadi maka hukum dapat memaksakan agar hubungan yang timbul itu dapat dilaksanakan dengan semestinya. 2. Kekayaan Dalam melakukan perikatan haruslah mempunyai hubungan hukum dan didalam hubungan hukum ini mempunyai kriteria perikatan. Kriteria perikatan telah berubah-ubah dari masa kemasa, dahulu kriteria dalam melakukan hubungan hukum itu haruslah dapat dinilai dengan uang atau tidak. Apabila hubungan hukum itu dapat dinilai dengan uang, maka dapat dikatakan hubungan hukum itu dalam suatu perikatan. Namun kriteria perikatan itu lama kelamaan tidak dapat lagi digunakan, karena dalam masyarakat terdapat juga suatu hubungan hukum yang tidak dapat dinilai dengan uang, tetapi jika tidak dipenuhi maka tidak tercapai suatu rasa keadilan. 3. Pihak-pihak Didalam melakukan hubungan hukum haruslah terdapat pihak-pihak yang melaksanakannya minimal terdiri 2 (dua) orang atau lebih. Pihak yang berhak dan dapat memaksakan suatu prestasi atau pihak yang memberikan hutang (berpiutang) yaitu disebut sebagai pihak kreditur dan pihak yang wajib melaksanakan prestasi atau pihak yang melakukan hutang (berutang) yaitu disebut sebagai pihak debitur.

4. Prestasi (Objek Hukum) Prestasi atau objek hukum ini terdapat dalam Pasal 1234 KUHPerdata, yaitu : Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Pasal 1233 KUHPerdata mengatakan bahwa, tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan dan karena undang-undang. Dari Pasal tersebut sumber dari perikatan itu adalah perjanjian dan undang-undang. Perikatan yang timbul dari undang- undang disini yaitu perikatan yang dapat lahir antara orang/pihak yang satu dengan orang/pihak yang lainnya, tanpa orang-orang yang bersangkutan menghendakinya atau lebih tepat tanpa memperhitungkan kehendak mereka. Bahkan bisa saja terjadi, bahwa perikatan timbul tanpa orang-orang/para pihak melakukan suatu perbuatan tertentu dan perikatan bisa lahir karena kedua pihak berada dalam keadaan tertentu atau mempunyai kedudukan tertentu. 10 Pasal 1352-1353 KUHperdata membagi sumber perikatan dari undangundang dimana Pasal 1352 KUHPerdata: Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang (uit de wet ten ten gevolge van s mensen toedoen) dan Pasal 1353 KUHperdata : Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang, terbit dari perbuatan halal atau dari perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad). Perikatan yang bersumber dari undang-undang semata-mata (uit de wet allen)adalah perikatan-perikatan yang timbul oleh hubungan kekeluargaan. hal. 40. 10 J.Satrio, Hukum Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Cetakan Ketiga, Bandung, 1999,

Misalnya : Kelahiran dengan kelahiran anak maka timbul perikatan antara ayah dan anak, dimana si ayah wajib memelihara anak tersebut. Perikatan yang bersumber dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang (uit wet ten gevolge van s mensen toedoen) adalah perikatan yang timbul sebagai akibat dengan dilakukannya serangkaian tingkah laku oleh seseorang, maka undang-undang melekatkan akibat hukum berupa perikatan terhadap orang tersebut. Tingkah laku seseorang tersebut mungkin merupakan perbuatan yang menurut hukum (dibolehkan undang-undang) atau mungkin pula merupakan perbuatan yang tidak diperbolehkan undang-undang (melawan hukum). Perikatan yang lahir dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang yang menurut hukum misalnya mengurus kepentingan orang lain secara sukarela (zaakwaarneming), dimana sebagai akibatnya, undang-undang menetapkan beberapa hak dan kewajiban, yang harus mereka perhatikan seperti hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian. 11 Perikatan yang timbul dari perjanjian atau persetujuan dapat dilihat dari contoh pada Pasal 1457 yaitu jual-beli dimana suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan. Dari penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa kedua belah pihak telah sepakat untuk mengikatkan diri satu sama lain, yaitu pihak yang satu menyerahkan barang yang hendak dijual dan pihak yang satu lainnya membayarnya dengan harga yang sudah dijanjikan sehingga menimbulkan hak dan kewajiban. 11 Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit., hal. 7.

Berdasarkan pengertian tersebut dapat kita ketahui bahwa perjanjian merupakan sebagai sumber dari perikatan, karena jika kita mengadakan sebuah perjanjian maka secara tidak langsung didalamnya kita akan melakukan perikatan dengan pihak lawan dan perikatan itu sebagai hal yang harus dipenuhi dari suatu perjanjian. Suatu perikatan juga lebih besar bagian yang dikajinya daripada perjanjian, bahwa suatu perikatan itu dapat lahir dari perjanjian dan juga dari undang-undang. Ditinjau dari sudut istilah bahasa perikatan dan persetujuan juga berbeda, perikatan dalam Bahasa Belanda menggunakan istilah Verbitenis dan perjanjian atau persetujuan menggunakan istilah Overeenkomst. Berbagai kepustakaan hukum Indonesia memakai bermacam-macam istilah untuk menerjemahkan Verbitenis dan Overeenkomst, yaitu : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Subekti dan Tjiptosudibio 12 menggunakan istilah perikatan untuk Verbitenis dan persetujuan untuk Overeenkomst. 13 2. Utrecht, dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum Indonesia memakai istilah Perhutangan untuk Verbitenis, dan Perjanjian untuk Overeenkomst. 14 3. Achmad Ichsan dalam bukunya Hukum Perdata IB menerjemahkan Verbitenis dengan perjanjian dan Overeenkomst dengan persetujuan. Dari uraian diatas, untuk Verbitenis dikenal tiga istilah dalam Bahasa Indonesia, yaitu: Perikatan, Perhutangan dan Perjanjian, sedangkan untuk Overeenkomst dipakai 2 (dua) istilah yaitu Perjanjian dan Persetujuan. Verbintenis berasal dari kata kerja Verbinden yang artinya mengikat. Maka 12 Subekti dan Tjiptosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Paramita,Jakarta, 1974, hal. 291 dan 304. 13 Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, PT.Penerbit Balai Buku Ikhtiar, Cetakan V, Bandung, 1959, hal. 320 dan 621. 14 A. Ichsan, Hukum Perdata IB, PT. Pembimbing Masa, Jakarta, 1969, hal. 7 dan 14.

Verbintenis menunjuk kepada adanya ikatan atau hubungan. Hal ini sesuai dengan definisi Verbintenis sebagai suatu hubungan hukum. Atas pertimbangan tersebut penulis cenderung untuk menggunakan istilah perikatan. Overeenkomst berasal dari kata kerja Overeenkomen yang artinya setuju atau sepakat. Overeenkomst mengandung kata sepakat sesuai dengan asas konsensualisme yang dianut oleh BW. Oleh karena itu, istilah terjemahannya pun harus dapat mencerminkan asas kata sepakat tersebut. Maka berlandaskan alasan tersebut penulis menggunakan istilah persetujuan atau perjanjian. 15 Perjanjian melahirkan sebuah perikatan yang timbul karena berdasarkan persetujuan. Para pihak setuju dan menghendaki untuk melakukan perikatan satu sama lainnya, berbeda dengan perikatan yang timbul karena undang-undang yang belum tentu dikehendaki oleh para pihak. Sesuai dengan pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata yaitu suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Pasal 1313 KUHPerdata mengartikan sebuah persetujuan atau perjanjian yaitu suatu tindakan oleh satu orang atau lebih melakukan perikatan dengan orang lain. Yang dimaksud perikatan disini bukanlah sebagai perikatan yang timbul dengan sendirinya seperti yang kita temui dalam harta benda kekeluargaan. Dalam hubungan hukum kekayaan keluarga, dengan sendirinya timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orang tuanya seperti yang diatur dalam hukum waris. Lain halnya dalam perjanjian dimana hubungan hukum antara pihak yang satu dengan yang lain tidak bisa timbul dengan sendirinya. Hubungan itu tercipta 15 Moch. Chidir Ali, Pengertian-pengertian Elementer Hukum Perjanjian Perdata,Mandar Maju, Bandung, 1993, hal. 21.

oleh karena adanya tindakan hukum. Tindakan/perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi. 16 Oleh karena itu pengertian perjanjian atau Verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi. 17 Dalam perumusan Pasal 1313 KUHPerdata tersebut tidaklah dikatakan apa yang menjadi tujuan untuk perjanjian, sehingga para pihak tidak jelas tujuan untuk mengikatkan dirinya. Menurut Rutten, perjanjian adalah perbuatan hukum yang terjadi sesuai dengan formalitas-formalitas dari peraturan hukum yang ada, tergantung dari persesuaian pernyataan kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas beban pihak lain atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak secara timbal balik. 18 Menurut Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini ditimbulkan suatu perhubungan antara dua orang itu yang dinamakan perikatan. Perjanjian tersebut menerbitkan suatu perikatan antara 16 M.Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian,Cetakan Kedua, Alumni,Bandung, 1986, hal. 7. 17 Ibid, hal. 6. 18 Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Bandar Maju, Bandung, 1994, hal. 46.

dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. 19 Sedangkan menurut Dr. Wirjono SH merumuskan hukum perjanjian sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal, atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu. Disini unsur berjanji atau dianggap berjanji merupakan suatu unsur yang esensial, sedangkan bila dianut perumusan menurut hukum Barat saja unsur yang esensial adalah ikatan pihak kesatu kepada pihak yang lain untuk melakukan sesuatu, ikatan mana timbul karena persetujuan, permufakatan atau karena diatur dalam undang-undang. 20 Oleh karena itu penulis menyimpulkan pengertian perjanjian adalah suatu perbuatan atau tindakan hukum yang dilakukan berdasarkan hukum kekayaan atau hukum benda oleh satu orang atau lebih yang mana para pihak saling mengikatkan diri terhadap satu sama lainnya berdasarkan penyesuaian kehendak antara para pihak yang berisi prestasi untuk kepentingan para pihak yang disusun baik secara tertulis maupun tidak tertulis. hal. 1. 19 F.Subekti, Hukum Perdjandjian, PT. Pembimbing Masa, Cetakan Kedua, Jakarta, 1970, 20 Moch. Chidir Ali, Op.Cit., hal. 32.

B. Sahnya Perjanjian Perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum, maka dalam membuat suatu perjanjian haruslah memenuhi syarat-syarat agar terciptanya perbuatan hukum bagi para pihak yang ingin melakukannya. Dari suatu perbuatan hukum itu akan lahir akibat hukum bagi para pihak yang melakukan perjanjian tersebut dan lahirlah hak dan kewajiban. Tujuan dipenuhinya syarat-syarat suatu perjanjian agar kita dapat memaksakan hak dan kewajiban para pihak untuk melaksanakan isi perjanjian tersebut atau kita dapat meminta bantuan hakim untuk memaksakannya, tetapi jika kita tidak memenuhi syarat-syarat suatu perjanjian itu maka suatu perjanjian itu dianggap bukan perbuatan hukum dan tidak menimbulkan akibat hukum sehingga kita tidak dapat memaksakan hak dan kewajibannya. Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa suatu perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu bisa dikatakan sebagai suatu perjanjian yang sah dan sebagai akibatnya perjanjian akan mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Oleh karena itu agar keberadaan suatu perjanjian diakui oleh undang-undang (Legally concluded contract) haruslah sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang. 21 Syarat sahnya suatu perjanjian ini diatur pada Bab II Bagian Kedua Buku III di dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu : 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 21 Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 17.

3. Suatu pokok persoalan tertentu; 4. Suatu sebab yang tidak terlarang. Keempat syarat ini dibagi menjadi dua syarat pokok yaitu syarat subjektif dan syarat objektif. Syarat subjektif meliputi dua syarat pertama yaitu kesepakan mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Dikatakan sebagai syarat subjektif karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian, sedangkan dikatakan sebagai syarat objektif karena mengenai objek dari perjanjian. Syarat objektif ini meliputi dua syarat terakhir yaitu suatu pokok persoalan tertentu dan suatu sebab yang tidak terlarang. Untuk lebih jelasnya mengenai keempat syarat tersebut maka akan diuraikan secara satu persatu, yaitu : 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya Suatu perjanjian itu akan timbul jika adanya kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri satu sama lain. Maksud sepakat disini ialah adanya perjumpaan dan penyesuaian kehendak kedua belah pihak untuk mengikatkan diri satu sama lain. Tidaklah mungkin suatu perjanjian itu dapat terlaksana jika para pihak atau salah satu pihak tidak menyepakati untuk mengikatkan diri satu sama lain. Penyesuaian kehendak saja antara dua orang belum tentu dapat menimbulkan suatu perikatan, karena hukum hanya mengatur perbuatan nyata daripada manusia. Kehendak tersebut haruslah saling bertemu dan agar bisa saling bertemu haruslah dinyatakan kepada pihak tersebut dan juga dimengerti pihak tersebut. Maka inti dari kata dari sepakat adalah suatu penawaran yang diakseptir (diterima/disambut) oleh lawan janjinya. Penawaran dan akseptasi bisa datang

dari kedua belah pihak secara timbal balik. Dengan demikian suatu penawaran dan akseptasi merupakan unsur yang sangat penting untuk menentukan lahirnya perjanjian. 22 Kesepakatan para pihak ini dapat menimbulkan cacat syarat subjektif yang terbagi atas beberapa faktor yaitu : a. Kekhilafan (Kesesatan) Cacat kesepakatan yang disebabkan karena kekhilafan ini diatur dalam Pasal 1322 KUHPerdata yaitu : Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan, kecuali jika kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan. Kekhilafan tidak mengakibatkan kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai diri orang yang dengannya seseorang bermaksud untuk mengadakan persetujuan, kecuali jika persetujuan itu diberikan terutama karena diri orang yang bersangkutan. Jadi kekhilafan itu dapat membatalkan perjanjian jika mengenai hakikat barang atau objek yang menjadi pokok persetujuan dan mengenai diri orang yang ingin mengadakan persetujuan, yang mana dapat dibagikan menjadi dua macam yaitu error in persona dan error in substantia. Error in persona adalah kekhilafan atau kesesatan mengenai orang yang seharusnya diperjanjikan untuk mengadakan persetujuan, sedangkan error in substantia adalah kekhilafan mengenai sifat dari barang yang menjadi pokok persetujuan tersebut. b. Paksaan Mengenai paksaan yang dapat menimbulkan cacat pada persetujuan ini dirumuskan didalam Pasal 1323 sampai dengan Pasal 1327 KUHPerdata. Pasal 1323 berbunyi sebagai berikut : 22 J.Satrio, Op.cit., hal. 165.

Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu persetujuan mengakibatkan batalnya persetujuan yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam persetujuan yang dibuat itu. Dari rumusan Pasal diatas dapat dikatakan terdapat 3 (tiga) subyek yang melakukan pemaksaan yaitu orang yang mengadakan perjanjian tersebut, orang yang bukan mengadakan perjanjian tersebut tetapi mempunyai kepentingan dalam perjanjian tersebut dan orang yang bukan mengadakan perjanjian dan tidak mempunyai kepentingan atas perjanjian tersebut. tersebut yaitu: Pasal 1324 KUHPerdata juga menjelaskan bagaimana pengertiaan paksaan Paksaaan terjadi, bila tindakan itu sedemikian rupa sehingga memberi kesan dan dapat menimbulkan ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya, orang-orangnya, atau kekayaannya, terancam rugi besar dalam waktu dekat. Dalam mempertimbangkan hal tersebut, harus diperhatikan usia, jenis kelamin dan kedudukan orang yang bersangkutan. Dari rumusan diatas dapat dikatakan bahwa paksaan itu diberikan dengan menimbulkan aspek psikologis yang mengancam dirinya dengan berupa memberikan kekerasan atau berupa ancaman fisik yang dapat menimbulkan ketakutan baginya, sehingga ia melakukan perjanjian tersebut dibawah tekanan. Pasal 1325 dan 1326 KUHPerdata menjelaskan mengenai paksaan yang lahir dari pihak-pihak yang bukan melakukan perjanjian saja tetapi datang dari pihak keluarga seperti suami atau istri atau sanak keluarga dalam garis keatas maupun ke bawah, dan paksaan ini bukan dilandaskan karena rasa hormat saja tetapi haruslah disertai dengan adanya kekerasan. Seperti yang telah dirumuskan pada Pasal 1325 dan 1326 KUHPerdata yaitu : Pasal 1325 : Paksaan menjadikan suatu persetujuan batal, bukan hanya bila dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat persetujuan,

melainkan juga bila dilakukan terhadap suami atau istri atau keluarganya dalam garis ke atas maupun ke bawah. Pasal 1326 : Rasa takut karena hormat terhadap ayah, ibu atau keluarga lain dalam garis keatas, tanpa disertai kekerasan, tidak cukup untuk membatalkan persetujuan. c. Penipuan Cacat persetujuan yang berupa penipuan ini diatur dalam Pasal 1328 yaitu yang berbunyi : Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan, bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat. Penipuan tidak dapat hanya dikira-kira, melainkan harus dibuktikan. Jadi jika seseorang pihak melakukan tipu muslihat dan pihak yang satu lainnya melakukan perjanjian dengan tidak menggunakan tipu muslihat maka perjanjian itu dapat dikatakan batal, karena terdapat unsur kesengajaan untuk melakukan tipu muslihat sehingga perjanjian itu dapat dilaksanakan. Dalam menyatakan penipuan tidaklah dapat hanya dikatakan saja atau menuduh bahwa salah satu pihak melakukan penipuan tetapi haruslah berdasarkan pembuktian di pengadilan bahwa pihak tersebut telah melakukan penipuan. Atas dasar 3 (tiga) hal yang menyebabkan kecacatan dalam perjanjian diatas yaitu Kekhilafan (kesesatan), Paksaan dan Penipuan maka dapat diminta pembatalan perjanjian tersebut ke Pengadilan Negeri berdasarkan kewenangan relatifnya, sesuai pada Pasal 1454 KUHPerdata dengan tuntutan pembatalan suatu perikatan dalam tenggang waktu selama 5 (lima) Tahun dan waktu itu berlaku dalam hal penyesatan dan penipuan sejak sehari diketahuinya penyesatan dan penipuan tersebut sedangkan dalam hal paksaan yaitu sejak hari paksaan itu berhenti.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan Dalam membuat suatu perjanjian haruslah dibutuhkan kecakapan seseorang, maksud kecakapan seseorang ini adalah orang yang dapat melakukan perbuatan hukum. Orang yang dapat melakukan perbuatan hukum adalah orang yang mampu bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya yang menimbulkan akibat hukum sehingga ia menyandang hak dan kewajiban dan dapat dikatakan sebagai subjek hukum. Orang yang cakap melakukan perbuatan hukum ditentukan melalui batas usia dan juga tidak sehat jasmani atau rohaninya, dan ketentuan cakap melakukan perbuatan hukum ini diatur oleh undang-undang. Dalam hal melakukan perjanjian, kecakapan untuk membuat suatu perikatan diatur dalam Pasal 1330 yang mengatur tentang orang yang tidak cakap untuk membuat persetujuan, yaitu: a) Anak yang belum dewasa; b) Orang yang ditaruh di bawah pengampuan; c) Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undangundang, dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu. Oleh karena itu selain orang-orang yang tidak termasuk kriteria diatas maka mereka dapat melakukan perjanjian atau dikatakan cakap hukum. Mengenai anak yang belum dewasa diatur didalam Pasal 330 KUHPerdata yang mengatakan bahwa yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) Tahun dan tidak kawin sebelumnya dan apabila perkawinan dibubarkan sebelum umur mereka genap 21 Tahun maka

mereka tidak akan kembali berstatus belum dewasa lagi. Jadi yang dikatakan orang yang cakap hukum adalah orang yang sudah berumur 21 (dua puluh satu) Tahun atau yang belum berumur 21 Tahun tetapi sudah pernah menikah sebelumnya. Tetapi dengan adanya Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dikatakan pada Pasal 7 maka adanya perbedaan batasan yaitu pada wanita yang jika ia sudah berumur 16 Tahun maka ia dapat melakukan pernikahan sedangkan bagi pria yang sudah berumur 19 (sembilan belas) Tahun ia dapat melakukan pernikahan. Orang yang tidak cakap hukum lainnya adalah orang yang ditaruh di bawah pengampuan. Maksud dari pengampuan ini dijelaskan dalam Pasal 433 KUHPerdata yaitu setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap walaupun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya, serta seorang dewasa boleh juga ditempatkan dibawah pengampuan karena keborosannya. Jika orang yang dibawah pengampuan serta yang belum dewasa ingin melakukan perjanjian maka dapat diwakili oleh masing-masing orangtua dan pengampuannya. Pada ketentuan ketiga yaitu perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang atau seorang istri itu tidak cakap melakukan perjanjian ini telah tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 1963 dan lahirnya UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 31 Ayat (1 dan 2) yang mengatakan:

Ayat (1) : Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersaama dalam masyarakat. Ayat (2) : Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. 3. Suatu pokok persoalan tertentu Yang dimaksud dengan suatu pokok persoalan tertentu disini adalah sesuatu yang didalam perjanjian tersebut harus telah ditentukan dan disepakati. Ketentuan ini sesuai dengan yang disebutkan pada Pasal 1333 KUHPerdata bahwa barang yang menjadi obyek suatu perjanjian harus ditentukan jenisnya. Tidak menjadi halangan bahwa jumlah barangnya tidak tertentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Atau barang yang akan ada dikemudian hari juga bisa menjadi obyek dari suatu perjanjian, ketentuan ini disebutkan pada Pasal 1334 KUHPerdata ayat 1. 23 Suatu perjanjian haruslah mempunyai obyek (bepaald onderwerp) tertentu, sekurang-kurangnya dapat ditentukan bahwa objek tertentu itu dapat berupa benda yang sekarang ada dan nanti akan ada, yaitu 24 : a) Barang itu adalah barang yang dapat diperdagangkan (Pasal 1332). b) Barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum antara lain seperti jalan, umum, pelabuhan umum, gedung-gedung umum dan sebagainya tidaklah dapat dijadikan objek perjanjian. c) Dapat ditentukan jenisnya(pasal 1333). d) Barang yang akan datang (Pasal 1334). 23 Djumadi, Op.Cit., hal. 20. 24 Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit., hal. 79.

4. Suatu sebab yang tidak terlarang Suatu sebab yang tidak terlarang ini diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata yang mengatakan suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum. Jika sebab tersebut terjadi maka perjanjian itu dapat dibatalkan demi hukum. Menurut Yurisprudensi. yang ditafsirkan dengan kausa adalah isi atau maksud dari perjanjian. Melalui syarat kausa, didalam praktek maka ia merupakan upaya untuk menempatkan perjanjian di bawah pengawasan hakim. Oleh karena itu hakim dapat menguji apakah tujuan dari perjanjian itu dapat dilaksanakan dan apakah isi perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan (Pasal 1335 sampai dengan 1337 KUHPerdata). 25 Selain syarat sahnya suatu perjanjian diatas, ada beberapa teori yang menjelaskan saat lahir dan timbulnya suatu perjanjian, yaitu 26 : a) Teori kehendak (Wilstheori) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan menuliskan surat. b) Teori pengiriman (Verzendtheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan dikirim oleh pihak yang menerima tawaran. 25 Ibid, hal. 81. 26 Ibid, hal. 74.

c) Teori pengetahuan (Vernemingstheorie) mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima. d) Teori kepercayaan (Vertrouwenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan. C. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dengan terpenuhinya syarat sahnya perjanjian, maka perjanjian itu telah berlaku dan perjanjian tersebut mengikat para pihak serta harus dilaksanakan sehingga jika tidak dilaksanakan para pihak dapat memaksakan hak dan kewajiban masing-masing sesuai dengan yang tertuang dalam perjanjian. Seperti yang telah dikatakan diatas perjanjian adalah suatu perbuatan atau tindakan hukum yang dilakukan berdasarkan hukum kekayaan atau hukum benda oleh satu orang atau lebih yang mana para pihak saling mengikatkan diri terhadap satu sama lainnya berdasarkan penyesuaian kehendak antara para pihak yang berisi prestasi untuk kepentingan para pihak yang disusun baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Dari pengertian diatas terdapat kata prestasi. Pengertian prestasi disini ialah adanya kesesuaian kehendak yang dituangkan dalam perjanjian yang berisi kewajiban. Prestasi inilah yang akan menjadi hak oleh satu pihak untuk memperoleh prestasi, dan menjadi kewajiban oleh pihak yang satunya untuk melaksanakan prestasi tersebut.

Pasal 1234 KUHPerdata menyebutkan prestasi ini dapat berupa memberikan sesuatu, untuk berbuat atau untuk tidak berbuat sesuatu. Dalam hal memberikan sesuatu itu maksudnya adalah menyerahkan dan merawat benda sampai pada waktu dilakukannya penyerahan kembali, seperti dikatakan pada Pasal 1235 KUHPerdata yaitu: Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, termaktub kewajiban untuk menyerahkan barang yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang kepala rumah tangga yang baik, sampai saat penyerahan. Luas tidaknya kewajiban yang terakhir ini tergantung pada persetujuan tertentu; akibatnya akan ditunjuk dalam bab-bab yang bersangkutan. Dalam hal berbuat sesuatu diatur dalam Pasal 1239 KUHPerdata, yaitu : Tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, wajib diselesaikan dengan memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila debitur tidak memenuhinya. Dalam hal untuk tidak berbuat sesuatu diatur dalam Pasal 1242 KUHPerdata, yaitu : Jika perikatan itu bertujuan untuk tidak berbuat sesuatu, maka pihak manapun yang berbuat bertentangan dengan perikatan itu, karena pelanggaran itu saja, diwajibkan untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. Para pihak yang membuat perjanjian ini dilekatkan hak dan kewajiban sesuai dengan isi perjanjian. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau debitur. Pihak debitur dan kreditur haruslah melakukan hak mereka sesuai dengan apa yang diperjanjikan, jika tidak sesuai maka pihak kreditur dan debitur dapat memaksakan agar apa yang menjadi haknya itu dapat terlaksana yaitu dengan melalui bantuan pengadilan. Hak untuk menggugat/menuntut itu tidak hanya dimiliki oleh pihak kreditur saja, bukan

karena dia sebagai pihak berpiutang sehingga ia dapat menagih agar pihak debitur memenuhi prestasi, melainkan pihak debitur juga dapat memaksakan kehendaknya jika pihak kreditur tidak memenuhi seperti apa yang telah dijanjikan. Sebagai contoh pada perjanjian timbal balik yaitu jual beli Pasal 1457 KUHPerdata mengatakan jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan. Dalam hal ini pihak kreditur sebagai penjual dan pihak debitur sebagai pembeli. Jika pihak debitur tidak membayar seperti harga yang telah dijanjikan maka pihak kreditur dapat memaksakan dengan menuntut kepengadilan agar pihak debitur membayarnya. Pihak debitur juga dapat menggugat atau menuntut pihak kreditur apabila pihak debitur telah membayar suatu barang seperti yang telah diperjanjikan tetapi pihak kreditur tidak menyerahkan barang sesuai yang diperjanjikan, maka disini pihak debitur diberikan hak untuk menuntut atau menggugat pihak kreditur di pengadilan. Jadi pihak kreditur dan pihak debitur diberi hak untuk menuntut jika salah satu dari mereka tidak melakukan sesuai dengan yang diperjanjikan. Dari contoh jual beli diatas kedua belah pihak sama-sama dibebani obligatio/schuld yaitu kewajiban melaksanakan pemenuhan prestasi. Serta sekaligus disamping schuld masing-masing juga dibebani haftung yakni Tanggung Jawab hukum untuk memenuhi pelaksanaan prestasi kepada masingmasing pihak secara sempurna. Dari haftung inilah lahirnya akibat hak materiil dan kekuasaan menuntut yang diberikan oleh hukum kepada masing-masing pihak. Maka dalam perjanjian yang timbal-balik, schuld dan haftung itu

merupakan beban yang dipikul oleh masing-masing pihak pada waktu yang bersamaan. 27 Dalam perjanjian, kreditur mempunyai hak atas prestasi dan debitur berkewajiban utnuk memenuhi pelaksanaan prestasi, apabila pihak debitur tidak melaksanakan kewajibannya atau prestasinya maka pihak debitur telah melakukan Wanprestasi atau ingkar janji atau bisa juga disebutkan dengan kelalaian. Wanprestasi ini dilakukan apabila debitur : a. Tidak melakukan seperti apa yang telah diperjanjikan b. Melakukan seperti apa yang telah diperjanjikan tetapi tidak seperti yang diperjanjikan c. Melakukan seperti apa yang telah diperjanjikan namun pelaksanaannya terlambat atau tidak tepat waktu yang dijanjikan d. Melakukan hal yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian tersebut. Jika telah terjadi wanprestasi maka seorang kreditur dapat memilih berbagai macam kemungkinan, yaitu 28 : a. Kreditur dapat meminta pelaksanaan perjanjian, meskipun pelaksanaan ini sudah terlambat. b. Kreditur dapat meminta penggantian kerugian saja, yaitu kerugian yang dideritanya, karena perjanjian tidak atau terlambat dilaksanakan, atau dilaksanakan tetapi tidak sebagaimana mestinya. 27 M.Yahya Harahap, Op.Cit., hal. 18. 28 Subekti, Op.Cit., hal. 147.

c. Kreditur dapat menuntut pelaksanaan perjanjian disertai dengan penggantian kerugian yang diderita olehnya sebagai akibat terlambatnya pelaksanaan perjanjian. d. Dalam hal suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban timbal balik, kelalaian satu pihak memberikan hak kepada pihak yang lain untuk meminta pada hakim supaya perjanjian dibatalkan, disertai dengan permintaan penggantian kerugian. D. Berakhirnya Suatu Perjanjian Setelah syarat-syarat sahnya suatu perjanjian itu terpenuhi maka lahirlah suatu perjanjian yang mana para pihak yang mengikatkan diri tersebut haruslah melaksanakan hak dan kewajiban mereka masing-masing. Lahirnya suatu perjanjian akan menimbulkan berakhirnya atau hapusnya suatu perjanjian tersebut. Mengenai penghapusan perjanjian telah diatur didalam Pasal 1381 KUHPerdata Buku Ketiga Bab ke-iv tentang hapusnya perikatan, yaitu: 1. Karena Pembayaran Dalam kegiatan perjanjian sehari-hari, pihak debitur (berhutang) mendapatkan kewajiban untuk melakukan pembayaran setelah mendapatkan haknya, dan jika pembayaran tersebut telah dipenuhi maka perjanjian itu akan berakhir. Tetapi pembayaran disini tidak selamanya berbentuk penyerahan uang atau harta benda tetapi lebih diartikan terhadap pemenuhan kewajiban atau prestasi yang telah dibuat para pihak dalam perjanjian tersebut. Mengenai hapusnya hutang karena pembayaran ini diatur dalam Pasal 1382 sampai dengan

1403. Pihak yang mendapat kewajiban untuk melakukan pembayaran ialah pihak debitur (yang berhutang). Pihak debitur melakukan pembayaran atau pemenuhan prestasi kepada pihak kreditur (yang berpiutang). Tetapi didalam Pasal 1382 dinyatakan bahwa tidak hanya debitur saja yang dapat melakukan tetapi ada pihak-pihak lain seperti bunyi Pasal 1382 yaitu : Tiap perikatan dapat dipenuhi oleh siapa pun yang berkepentingan, seperti orang yang turut berutang atau penanggung utang. Suatu perikatan bahkan dapat dipenuhi oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan, asal pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi utang debitur, atau asal ia tidak mengambil hak-hak kreditur sebagai pengganti jika ia bertindak atas namanya sendiri. Dari pengertian Pasal 1382 diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang dapat melakukan pembayaran adalah : a) Orang yang berkepentingan dalam hal ini yaitu orang yang berhutang (Debitur); b) Orang yang dianggap sebagai penanggung utang; c) Orang ketiga yang tidak berkepentingan, dalam hal ini pihak ketiga bertindak atas nama serta melunasi hutang si debitur dan tidak mengambil hak-hak kreditur jika ia mengatasnamakan namanya sendiri.. Dalam hal orang yang menerima pembayaran ini diatur didalam Pasal 1385 KUHPerdata, yaitu : Pembayaran harus dilakukan kepada kreditur atau kepada orang yang dikuasakan olehnya, atau juga kepada orang yang dikuasakan oleh hakim atau oleh undang-undang untuk menerima pembayaran bagi kreditur. Pembayaran yang dilakukan kepada seseorang yang tidak mempunyai kuasa menerima bagi kreditur, sah sejauh hal itu disetujui kreditur atau nyata-nyata bermanfaat baginya.

Pasal 1385 KUHPerdata ini menyatakan bahwa orang yang dapat menerima pembayaran ini ada 3 (tiga) yaitu orang yang berkepentingan itu sendiri yakni si kreditur (berpiutang), orang yang telah dikuasakan atau diberi kuasa oleh sang kreditur dan orang yang telah dikuasakan oleh hakim atau undang-undang untuk menerima pembayaran untuk kreditur. 2. Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan Hapusnya perjanjian dalam hal ini diatur dalam Pasal 1404 sampai dengan Pasal 1412 KUHPerdata. Pasal 1404 menjelaskan tentang hapusnya perikatan ini sebagai berikut : Jika kreditur menolak pembayaran, maka debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai atas apa yang harus dibayarnya; dan jika kreditur juga menolaknya, maka debitur dapat menitipkan uang atau barangnya kepada pengadilan. Penawaran demikian, yang diikuti dengan penitipan, membebaskan debitur dan berlaku baginya sebagai pembayaran, asal penawaran itu dilakukan menurut undang-undang; sedangkan apa yang dititipkan secara demikian adalah atas tanggungan kreditur. Pasal 1404 diatas mengatakan bahwa jika pihak debitur ingin membayar hutangnya tetapi pihak kreditur menolak pembayaran tersebut, maka pihak debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai terhadap hutang tersebut, akan tetapi jika si kreditur menolak untuk menerimanya lagi maka sang debitur dapat menitipkan uang atau barangnya kepada pengadilan. Jadi disini debitur dapat melunasi hutangnya dengan melalui pembayaran tunai yang diikut dengan penitipan. Penitipan atau penyimpanan yang dimaksud tersebut maksudnya hanya meliputi kebendaan yang bergerak saja, oleh karena kebendaan yang tidak

bergerak memiliki bentuk dan cara penyerahan tersendiri yang berbeda dari penyerahan kebendaan bergerak, yang menurut ketentuan Pasal 512 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata cukup dengan penyerahan fisik dari kebendaan tersebut. Kebendaan tidak bergerak secara esensi tidak mungkin dapat dititipkan atau disimpan untuk diserahkan kepada kreditor. 29 3. Karena pembaharuan utang Yang dimaksud dengan pembaharuan utang atau novasi ialah adanya pergantian atau pembaharuan atas perjanjian yang lama terhadap perjanjian yang baru. Dengan diadakannya pembaharuan atas perjanjian yang baru maka sekaligus mengakhiri perjanjian yang lama tersebut. Pergantian atau pembaharuan haruslah berdasarkan persetujuan pihak-pihak yang melakukan perjanjian. Pembaharuan utang telah diatur dalam Pasal 1413 sampai dengan Pasal 1424 KUHPerdata. Pasal 1413 menjelaskan bahwa novasi dapat dilakukan dengan 3 macam, yaitu : a) Bila seorang debitur membuat suatu perikatan utang baru untuk kepentingan kreditur yang menggantikan utang lama, yang dihapuskan karenanya; b) Bila seorang debitur baru ditunjuk untuk menggantikan debitur lama, yang oleh kreditur dibebaskan dari perikatannya; c) Bila sebagai akibat suatu persetujuan baru seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, yang terhadapnya debitur dibebaskan dari perikatannya. 67. 29 Gunawan Widjaja,Hapusnya Perikatan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal.

Dari tiga macam diatas pembaharuan utang ini dapat digolongkan menjadi dua macam : a. Novasi Subjektif Novasi subjektif digolongkan pada Pasal 1413 Ayat 2 & Ayat 3 yaitu mengatur tentang subjek atau pihak yang melakukan perjanjian (kreditur dan debitur). Novasi subjektif yang terjadi karena pergantian atas debitur yang lama kepada debitur yang baru atas persetujuan ketiga belah pihak tersebut disebut subjektif pasif, sedangkan novasi subjektif yang dilakukan atas pergantian kreditur yang lama oleh kreditur yang baru disebut subjektif aktif. b. Novasi Objektif Novasi objektif ialah pembaharuan terhadap objek perjanjian tersebut yang berupa isi perjanjian dan objek prestasinya, dan bukan pembaharuan terhadap subjeknya. Novasi objektif terdapat dalam Pasal 1413 Ayat 1. 4. Karena perjumpaan utang atau kompensasi Perjumpaan utang atau kompensasi termasuk dalam hal hapusnya atau berakhirnya suatu perjanjian, jika kedua belah pihak sama-sama mempunyai utang terhadap satu sama lainnya,dimana pihak debitur mempunyai utang kepada pihak kreditur, dan pada saat itu pula pihak kreditur juga mempunyai utang kepada pihak debitur dalam jumlah yang sama sehingga mereka dikatakan sebagai perjumpaan utang. Perjumpaan utang diatur dalam Pasal 1425 sampai dengan Pasal 1435 KUHPerdata. Pasal 1427 mengatakan syarat-syarat terjadinya perjumpaan hutang ketika :

Perjumpaan hanya terjadi antara dua utang yang dua-duanya berpokok sejumlah utang, atau sejumlah barang yang dapat dihabiskan dan dari jenis yang sama, dan yang dua-duanya dapat diselesaikan dan ditagih seketika. Dapat disimpulkan syarat-syarat perjumpaan hutang, yaitu : a. Pihak-pihak yang melakukan perjanjian ini sama-sama berada dalam posisi sebagai debitur antara satu sama lainnya. b. Objeknya ini dapat dihabiskan dan dari jenis yang sama baik itu berupa uang atau barang. c. Hal yang diperjanjikan tersebut dapat ditagih seketika. 5. Karena pencampuran utang Pasal 1436 sampai dengan Pasal 1437 KUHPerdata mengatur hapusnya perjanjian karena pencampuran utang. Pasal 1436 menyebutkan pencampuran utang, yaitu : Bila kedudukan sebagai kreditur dan debitur berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran utang, dan oleh sebab itu piutang dihapuskan. Dengan rumusan ini diketahui bahwa, jika dalam perjumpaan utang terkait sekurangnya dua utang yang saling bertimbal balik, maka dalam percampuran utang hanya ada satu utang, kewajiban atau perikatan yang saling meniadakan karena berkumpulnya utang dan piutang pada satu pihak. 30 Hapusnya perjanjian karena pencampuran utang ini terjadi didalam hukum kekeluargaan seperti perkawinan dimana terdapat persatuan harta kekayaan yang disepakati oleh suami-istri, dan juga terjadi pada hukum perusahaan karena disebabkan merger (penggabungan) dan konsolidasi (peleburan). 30 Ibid, hal. 145.

6. Karena pembebasan utang Hal yang mengatur mengenai pembebasan utang diatur dalam Pasal 1438 sampai dengan Pasal 1443 KUHPerdata. Pembebasan utang ialah pembuatan pernyataan kehendak dari kreditur untuk membebaskan debitur dari perikatan dan pernyataan kehendak tersebut diterima oleh debitur. Menurut Pasal 1439 KUHPerdata, pembebasan utang itu tidak dapat dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan. Misalnya sebagaimana yang disebutkan oleh Pasal 1439 KUHPerdata, pengembalian sepucuk tanda piutang asli secara sukarela oleh kreditur, merupakan bukti tentang pembebasan hutangnya. 31 7. Karena musnahya barang yang terutang Dalam hal hapusnya perjanjian ini dilihat dari segi syarat objektif perjanjian tersebut. Musnahnya barang yang terutang diatur dalam Pasal 1444 sampai dengan 1445. Pasal 1444 menjelaskannya yaitu : Jika barang tertentu yang menjadi pokok suatu persetujuan musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang hingga tak diketahui sama sekali apakah barang itu masih ada atau tidak, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang diluar kesalahan debitur dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan meskipun debitur lalai menyerahkan suatu barang, yang sebelumnya tidak ditanggung terhadap kejadian-kejadian yang tak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga dengan cara yang sama ditangan kreditur, seandainya barang tersebut sudah diserahkan kepadanya. Debitur diwajibkan membuktikan kejadian tak terduga yang dikemukakannya. Dengan cara bagaimanapun suatu barang hilang atau musnah, orang yang mengambil barang itu sekali-kali tidak bebas dari kewajiban untuk mengganti harga. Maksud Pasal 1444 diatas yaitu musnahnya barang yang terutang dapat menjadi hapusnya perjanjian jika barang itu musnah atau hilang diluar kesalahan debitur yaitu seperti Force Majeuratau adanya keadaan yang memaksa seperti 31 Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit., hal. 143.

bencana alam sehingga barang itu menjadi musnah. Dalam hal ini pihak debitur tidak bisa lepas begitu saja, pihak debitur harus dapat membuktikan bahwa musnahnya barang tersebut dikarenakan hal-hal tersebut. 8. Karena kebatalan atau pembatalan Dalam hal kebatalan atau pembatalan sebenarnya telah dijelaskan pada bagian syarat-syarat subjektif suatu perjanjian diatas, dimana terbagi menjadi dua bagian yaitu kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Jika dua syarat ini tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan demi hukum. Seperti seorang melakukan perjanjian dengan melakukan paksaan, penipuan dan yang melakukan perjanjian dibawah umur yang telah ditentukan. Kebatalan dan pembatalan ini terdapat dalam Pasal 1446 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1456. Para pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan tuntutan kepada pengadilan sesuai dengan Pasal 1454. Pada Pasal 1446 menyatakan kebatalan perjanjian dikarenakan belum cakap seseorang dalam melakukan perjanjian, yang berbunyi : Semua perikatan yang dibuat oleh anak-anak yang belum dewasa atau orang-orang yang berada dibawah pengampuan adalah batal demi hukum, dan atas tuntutan yang diajukan oleh atau dari pihak mereka, harus dinyatakanbatal, semata-mata atas dasar kebelum dewasaan atau pengampuannya. Sedangkan mengenai cacat subyektif tentang kebatalan atau pembatalan karena kesepakatan yang dapat berupa paksaan, penipuan dan kekhilafan diatur dalam Pasal 1452 : Pernyataan batal yang berdasarkan adanya paksaan, penyesatan atau penipuan, juga mengakibatkan barang dan orang yang bersangkutan pulih dalam keadaan seperti sebelum perikatan dibuat.

9. Karena berlakunya suatu syarat pembatalan yang diatur dalam Bab I buku ini Jika suatu perjanjian telah dibuat maka para pihak yang membuat perjanian tersebut dapat membatalkan perjanjian yang telah mereka buat, dengan catatan harus disetujui oleh para pihak tersebut. Maka suatu perjanjian itu dapat berakhir karena adanya syarat pembatalan sesuai dalam Pasal 1265 Buku Ketiga Bab I, yaitu : Suatu syarat batal adalah syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat ini tidak menunda pemenuhan perikatan; ia hanya mewajibkan kreditur mengembalikan apa yang telah diterimanya, bila peristiwa yang dimaksudkan terjadi. Jadi para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut mencantumkan syarat batal dalam perjanjiannya dan apabila para-para pihak setuju untuk membatalkan perjanjian tersebut maka perikatan-perikatan dalam perjanjian itu terhapuskan dan semua kembali seperti semula. 10. Karena kadaluwarsa Pasal 1946 KUHPerdata mengartikan tentang Kadaluawarsa, yaitu : Kadaluwarsa adalah suatu sarana hukum untuk memperoleh sesuatu atau suatu alasan untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya waktu tertentu dan dengan terpenuhinya syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang. Orang yang melakukan perjanjian tetapi sudah dari lewatnya waktu yang ditentukan dan juga sesuai dengan undang-undang bahwa sudah lewat waktunya, maka perjanjian itu dapat dikatakan berakhir. Pasal 1967 dan Pasal 1975 menyatakan jangka waktu kadaluwarsa, namun jangka waktu tersebut dapat berbeda-beda jika diatur lebih lanjut oleh undang-undang. Kadaluwarsa dapat

dicegah dengan cara-cara yang telah diatur dalam Pasal 1978 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1985, sebagaimana terdapat dalam Pasal 1979 dalam hal upaya mencegah terjadinya kadaluwarsa perjanjian tersebut dengan melakukan suatu peringatan, suatu gugatan, dan tiap perbuatan berupa tuntutan hukum ke pengadilan yang berwenang.