BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

TUGAS SEKURITI KOMPUTER

BAB 1 PENDAHULUAN. Bab 1 Pendahuluan

BAB II LANDASAN TEORI. Citra digital sebenarnya bukanlah sebuah data digital yang normal,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

* Kriptografi, Week 13

Teknologi Multimedia. Suara dan Audio

Studi dan Analisis Teknik-Teknik Steganografi Dalam Media Audio

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

BAB II LANDASAN TEORI. Masalah keamanan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dari

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

Studi Perbandingan Metode DCT dan SVD pada Image Watermarking

DAFTAR SINGKATAN. : Human Auditory System. : Human Visual System. : Singular Value Decomposition. : Quantization Index Modulation.

Watermarking Audio File dengan Teknik Echo Data Hiding dan Perbandingannya dengan Metode LSB dan Phase Coding

BAB II. Tinjauan Pustaka dan Dasar Teori. studi komparasi ini diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Verdi Yasin, Dian

WATERMARKING PADA BEBERAPA KELUARGA WAVELET

BAB 2 LANDASAN TEORI. Beberapa teori tentang citra digital dipaparkan sebagai berikut.

CEG4B3. Randy E. Saputra, ST. MT.

BAB 2 LANDASAN TEORI

Sistem Multimedia. Materi : Audio/Suara

LAPORAN TUGAS AKHIR DIGITAL IMAGE WATERMARKING MENGGUNAKAN METODE IMAGE BLENDING. Disusun Oleh : : Ika Maulina : A

BAB I PENDAHULUAN. diakses dengan berbagai media seperti pada handphone, ipad, notebook, dan sebagainya

BAB II LANDASAN TEORI

Stenografi dan Watermarking. Esther Wibowo Erick Kurniawan

Bab 2 LANDASAN TEORI

PERBANDINGAN TEKNIK PENYEMBUNYIAN DATA DALAM DOMAIN SPASIAL DAN DOMAIN FREKUENSI PADA IMAGE WATERMARKING

BAB II. DASAR TEORI 2.1 CITRA DIGITAL

Pertemuan V SUARA / AUDIO

SUARA DAN AUDIO SUARA (SOUND)

BAB II TINJUAN PUSTAKA

SUARA DAN AUDIO SUARA (SOUND)

ijns.org Indonesian Journal on Networking and Security - Volume 5 No 3 Agustus 2016

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

SUARA DAN AUDIO. M U L T I M E D I A Universitas Gunadarma

BAB IV. ANALISIS DAN PERANCANGAN PERANGKAT LUNAK

Digital Watermarking

REPRESENTASI DATA AUDIO dan VIDEO

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

Digital Audio Watermarking dengan Fast Fourier Transform

BAB II DASAR TEORI. sebagian besar masalahnya timbul dikarenakan interface sub-part yang berbeda.

ANALISIS DIGITAL AUDIO WATERMARKING BERBASIS LIFTING WAVELET TRANSFORM PADA DOMAIN FREKUENSI DENGAN METODE SPREAD SPECTRUM

Perlindungan Hak Cipta Gambar dengan Watermarking berbasis MVQ

BAB II LANDASAN TEORI

I M M U L T I M E D I A Semester Genap 2005/2006 Fakultas Teknik Informatika Universitas Kristen Duta Wacana SUARA DAN AUDIO

Bab I Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN. perancangan dan pembuatan akan dibahas dalam bab 3 ini, sedangkan tahap

BAB I PENDAHULUAN. mengirim pesan secara tersembunyi agar tidak ada pihak lain yang mengetahui.

BAB 2 LANDASAN TEORI

STUDI DAN IMPLEMENTASI WATERMARKING CITRA DIGITAL DENGAN MENGGUNAKAN FUNGSI HASH

N, 1 q N-1. A mn cos 2M , 2N. cos. 0 p M-1, 0 q N-1 Dengan: 1 M, p=0 2 M, 1 p M-1. 1 N, q=0 2. α p =

OPTIMASI AUDIO WATERMARKING BERBASIS DISCRETE COSINE TRANSFORM DENGAN TEKNIK SINGULAR VALUE DECOMPOSITON MENGGUNAKAN ALGORITMA GENETIKA

BAB II LANDASAN TEORI

SUARA DAN AUDIO. Suara berhubungan erat dengan rasa mendengar.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

APLIKASI ALGORITMA SEMI FRAGILE IMAGE WATERMARKING BERDASARKAN PADA REGION SEGMENTATION

DAFTAR ISI. DAFTAR ISI... vii. DAFTAR GAMBAR... x. DAFTAR TABEL... xii I. PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah...

STEGANOGRAFI DENGAN METODE PENGGANTIAN LEAST SIGNIFICANT BIT (LSB)

PENERAPAN DISCRETE DAUBECHIS WAVELET TRANSFORM D A L A M W A T E R M A R K I N G C I T R A D I G I T A L

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Watermarking dengan Metode Dekomposisi Nilai Singular pada Citra Digital

AUDIO WATERMARKING DENGAN DISCRETE WAVELET TRANSFORM DAN HISTOGRAM MENGGUNAKAN OPTIMASI ALGORITMA GENETIKA

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

Menjabarkan format audio digital

BAB 1 PENDAHULUAN. kebutuhan bagi sebagian besar manusia. Pertukaran data dan informasi semakin

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ANALISA WATERMARKING MENGGUNAKAN TRASNFORMASI LAGUERRE

Teknik Watermarking dalam Domain Wavelet untuk Proteksi Kepemilikan pada Data Citra Medis

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB II DIGITISASI DAN TRANSMISI SUARA. 16Hz 20 khz, yang dikenal sebagai frekwensi audio. Suara menghasilkan

BAB II. DASAR TEORI. Digital Watermarking. Sejarah Watermarking. Penyisipan Tanda Air

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Penerapan Reversible Contrast Mapping pada Audio Watermarking

Rancang Bangun Perangkat Lunak Transformasi Wavelet Haar Level 3 Pada Least Significant Bit (Lsb) Steganography

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

AUDIO DIGITAL. Kualitas Audio Digital. Kualitas Audio ditentukan oleh Sample rate dan Bit Rate. Sample Rate

BAB 2 LANDASAN TEORI. mencakup teori speaker recognition dan program Matlab. dari masalah pattern recognition, yang pada umumnya berguna untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SUARA. Suara merupakan sinyal analog. Jenis Suara dalam Multimedia:

Grafik yang menampilkan informasi mengenai penyebaran nilai intensitas pixel-pixel pada sebuah citra digital.

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI. 2.1 Steganografi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS METODE MASKING-FILTERING DALAM PENYISIPAN DATA TEKS

PENGGUNAAN METODE LSB DALAM MELAKUKAN STEGANOGRAFI PADA MEDIA GAMBAR DIGITAL DENGAN MENGGUNAKAN MATLAB

Perbandingan Steganografi Metode Spread Spectrum dan Least Significant Bit (LSB) Antara Waktu Proses dan Ukuran File Gambar

Bab 3. Suara dan Audio. Pokok Bahasan : Tujuan Belajar : Definisi Suara

Tabel 6 Skenario pengujian 4

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN PROGRAM. linear sequential (waterfall). Metode ini terdiri dari empat tahapan yaitu analisis,

PERANCANGAN AUDIO WATERMARKING BERBASIS DISCRETE WAVELETE TRANSFORM DAN MODIFIED DISCRETE COSINE TRANSFORM DENGAN OPTIMASI ALGORITMA GENETIKA

PROTOTIPE KOMPRESI LOSSLESS AUDIO CODEC MENGGUNAKAN ENTROPY ENCODING

Studi Dan Implementasi Steganografi Pada Video Digital Di Mobile Phone Dengan DCT Modification

BAB 2 LANDASAN TEORI

Bahan Kuliah IF4020 Kriptografi. Oleh: Rinaldi Munir. Program Studi Informatika Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB

WATERMARKI G PADA DOMAI FREKUE SI U TUK MEMBERIKA IDE TITAS (WATERMARK) PADA CITRA DIGITAL

Transkripsi:

xxi BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Audio Suara yang kita dengar sehari-hari adalah gelombang analog. Gelombang ini berasal dari tekanan udara yang ada di sekeliling kita, yang dapat kita dengar dengan bantuan gendang telinga. Gendang telinga ini bergetar, dan getaran ini dikirim dan diterjemahkan menjadi informasi suara yang dikirimkan ke otak, sehingga kita dapat mendengar suara. Komputer yang kita miliki hanya mampu mengenal sinyal dalam bentuk digital. Bentuk digital yang dimaksud adalah tegangan yang diterjemahkan dalam angka 0 dan 1, yang juga disebut dengan istilah bit. Tegangan ini berkisar mendekati 5 volt bagi angka 1 dan mendekati 0 volt bagi angka 0. Dengan kecepatan perhitungan yang dimiliki komputer, komputer mampu melihat angkaangka 0 dan 1 ini menjadi kumpulan bit-bit, dan menerjemahkan kumpulan bit-bit tadi menjadi sebuah informasi yang bernilai. Proses perubahan gelombang suara menjadi data digital ini dinamakan Analog-to-Digital Conversion (ADC), dan sebaliknya, perubahan data digital menjadi gelombang suara dinamakan Digital-to-Analog Conversion (DAC). Proses pengubahan dari tegangan analog ke data digital ini terdiri atas beberapa tahap yang ditunjukkan pada Gambar 2.1. yaitu: Membatasi frekuensi sinyal yang akan diproses dengan Low Pass Filter. Mencuplik sinyal analog ini (melakukan sampling) menjadi beberapa potongan waktu. Cuplikan-cuplikan ini diberi nilai eksak, dan nilai ini diberikan dalam bentuk data digital.

xxii Analog input Low Pass Filter at < R/2 Hz Sample at R Hz Quantize to n bits Digital output Gambar 2.1 Konversi sinyal analog ke digital Proses sebaliknya, yaitu pengubahan dari data digital menjadi tegangan analog juga terdiri atas beberapa tahap, yang ditunjukkan pada Gambar 2.2, yaitu: Menghitung data digital menjadi amplitudo-amplitudo analog. Menyambung amplitudo analog menjadi sinyal analog. Mentapis keluaran dengan Low Pass Filter sehingga bentuk gelombang keluaran menjadi lebih mulus.

xxiii Analog output Low Pass Filter at < R/2 Hz Sample and hold N bit DAC Digital input Gambar 2.2 Konversi sinyal digital ke analog. Kelebihan audio digital adalah kualitas reproduksi yang sempurna. Kualitas reproduksi yang sempurna yang dimaksud adalah kemampuannya untuk menggandakan sinyal ausio secara berulang-ulang tanpa mengalami penurunan kualitas suara. Dalam dunia audio digital, ada beberapa istilah diantaranya: 1. Jumlah kanal (channel) Yaitu jumlah kanal audio yang digunakan. Istilah penggunaan satu kanal audio disbut mono, sementara dua kanal yaitu kanal sebelah kiri dan kanan disebut stereo. Selain mono dan stereo ada juga jumlah kanal yang lebih banyak, yaitu surround. Jumlah kanal surround berkisar antara lima, tujuh bahkan lebih [4]. 2. Laju pencuplikan (sample rate) Ketika soundcard mengubah audio menjadi data digital, soundcard akan memecah suara tadi menurut nilai mnejadi ptongan-potongan sinyal dengan nilai tertentu. Proses sinyal ini bisa terjadi ribuan kali dalam satu satuan waktu. Banyaknya pemotongan dalam satu satuan waktu ini dinamakan laju pencuplikan (sample rate).

xxiv Kerapatan laju pencuplikan ini menentukan kualitas sinyal analog yang akan dirubah menjadi data digital. Makin rapat laju pencuplikan ini, kualitas suara yang dihasilkan akan makin mendekati suara aslinya. Sebagai contoh, laggu yang tersimpan dalam Compact Disc Audio memiliki sample rate 44.1 khz, yang berarti lagu ini dicuplik sebanyak 44100 kali dalam satu detik untuk memastikan kualitas suara yang hampir sama persis dengan aslinya [4]. Berikut ini Tabel 2.1 adalah contoh dari beberapa suara yang dihasilkan dengan berapa Sample Rate dari setiap suara yang dihasilkan : Tabel 2.1 Frekuensi sample dan kualitas suara yang dihasilkan Sample rate (khz) Aplikasi 8 Telepon 11,025 Radio AM 16 Kompromi antara 11,025 dan 22,05 khz 22,025 Mendekati radio FM 32,075 Lebih baik dari Radio FM 44,1 Audio Compact Disc (CD) 48 Digital Audio tape (DAT) Rentang suara yang dapat didengar oleh manusia berkisar antara frekuensi 20 Hz sampai dengan 20000 Hz, sehingga besar rentang frekuensi adalah 19980 Hz. Hukum Nyquist berlaku, maka kita harus menggunakan frekuensi sampling minimal 2 kali rentang frekuensi tadi, yaitu 2 x 19980 Hz, sehingga frekuensi sampling minimal adalah 39960 Hz. Frekuensi sampling yang mencukupi adalah 44100 Hz [4]. 3. Banyak bit dalam tiap cuplikan (Bit per sample) Cuplikan-cuplikan yang telah disebutkan tadi diambil memiliki besaran amplitudo. Besaran amplitudo inilah yang akan disimpan dalam bit-bit digital. Banyaknya bit yang dapat dipakai untuk merepresentasikan besaran amplitudo ini

xxv dinamakan bit per sample. Makin banyak bit yang dipakai untuk Rerepresentasikan besaran amplitudo, makin halus besaran amplitudo yang akan dihasilkan. Sebagai contoh, suara 8-bit memiliki 2 pangkat 8 kemungkinan amplitudo, yaitu 256, dan suara 16-bit memiliki 65536 kemungkinan amplitudo [4]. 4. Laju bit (bit rate) Laju bit atau bit rate(dengan satuan bit per detik) adalah perkalian antara jumlah kanal, frekuensi sampling (dengan satuan Hertz) dan bit per sample(dengan satuan bit). Dengan menggunakan informasi diatas, didapati bahwa bit rate yang dibutuhkan untuk menyimpan sebuah lagu stereo (dua kanal) dengan kualitas CD (frekuensi sampling 44100 Hz, 16-bit) adalah 2 x 44100 Hz x 16 = 1411200 bit per detik [4]. 2.2 Tipe Digital Audio Beberapa berkas audio memiliki beberapa tipe yang mampu dibaca oleh peranngkat computer, berikut adalah beberapa tipe berkas audio yang mungkin dari beberapa berkas dibawah ini kita bisa melihat dan menjumpainya dengan mudah. 1..aiff (.aif /.aifc ) Apple Audio Interchange File Format. Berkas diatas adalah standar berkas audio untuk perangkat Macintosh atau yang sering kita sebut Apple [4]. 2..flac (.fla ) Free Lossless Audio Coder ( FLAC ), format berkas audio yag hanya bosa digunakan oleh FLAC decoder atau encoder [4]. 3..ogg Berkas audio free ( gratis ), dan juga open source yang mendukung berbagai macam codec, yang lebih populer dengan Vorbis Codec. Berkas Vorbis sering dibandingkan dengan berkas.mp3 dalam hal

xxvi kualitas. Tapi faktanya MP3 lebih dikenal secara luas sehingga sulit untuk menyarankan penggunaan.ogg files [4]. 4..wav (.wave ) WAV atau WAVE singkatan dari Waveform audio format merupakan standar format file audio untuk penyimpanan file audio dalam PC yang berbasis Microsoft dan IBM [4]. 5..MPEG layer 3 (.mp3 ) Berkas file yang sudah memenuhi standar Internasional. Sekarang berkas MP3 sudah mengandung sebuah ID3 tag yang digunakan sebagai tempat penyimpan semua informasi dari sebuah file MP3 yang termasuk didalamnya, artis, judul lagu, tahun pembuatan, dll [4]. 2.3 Format WAVE ( wav ) 2.3.1 Spesifikasi WAV WAV atau WAVE singkatan dari Waveform Audio Format merupakan standar format file audio untuk penyimpanan file audio dalam PC yang berbasis Microsoft dan IBM. WAV merupakan varian atau jenis dari format bitstream RIFF dimana datanya tersimpan di dalam Chunks dan file WAV pun kompatibel pada komputer berbasis Macintosh dan Amigo dimana menggunakan format IFF dan AIFF. Karena WAV berjalan dalam sistem Windows dan IBM maka semua data tersimpan dalam Little-Endian. Format RIFF bertindak sebagai Pembungkus pada berbagai jenis codec kompresi audio. Format ini adalah format utama dari audio dalam sistem Windows [1]. File WAVmemiliki file yang tidak terkompres yang terdapat pada format Pulse Code Modulation (PCM). Audio PCM merupakan standar file audio dalam format CD pada 44.100 samples per detik, dan setiap satu sample memiliki 16 bit. Karena PCM tidak dimampatkan, karena sifatnya yang lossless, dimana menampung seluruh track sample audio, karena itu pengguna yang profesional atau peneliti audio menggunakan format WAV sebagai format audio dengan kualitas yang maksimal. WAV yang dapat di edit dan dimanipulasi dengan mudah menggunakan bantuan perangkat lunak [4].

xxvii 2.3.2 Struktur File WAV File WAV menggunakan struktur standar RIFF yang mengelompokkan isi file (sampel format, sampel digital audio, dan lain sebagainya) menjadi Chunk yang terpisah, setiap bagian mempunyai header dan bytre data masing-masing. Header Chunk menetapkan jenis dan ukuran dari bytre data Chunk. Dengan metoda pengaturan seperti ini maka program yang tidak mengenali jenis Chunk yang khusus dapat dengan mudah melewati bagian Chunk ini dan melanjutkan langkah memproses Chunk yang dikenalnya [6]. Jenis Chunk tertentu mungkin terdiri atas sub-chunk. Chunk pada file RIFF merupakan suatu string yang harus diatur untuk tiap kata. Ini berarti ukuran total dari Chunk harus merupakan kelipatan dari 2 bytre (seperti 2, 4, 6, 8 dan seterusnya). Jika suatu Chunk terdiri atas jumlah bytre yang ganjil maka harus dilakukan penambahan bytre (extra padding bytre) dengan menambahkan sebuah nilai nol pada bytre data terakhir. Extra padding bytre ini tidak ikut dihitung pada ukuran Chunk. Oleh karena itu sebuah program harus selalu melakukan pengaturan kata untuk menentukan ukuran nilai dari header sebuah Chunk untuk mengkalkulasi offset dari Chunk berikutnya. Pada Gambar 2.3 dibawah ini, fomat file dari setiap isi audio WAVE. Gambar 2.3 Format File WAVE

xxviii Pada Gambar 2.4, adalah struktur untuk setiap Chunk RIFF pada setiap file audio WAVE. 2.3.3 Header File WAV Gambar 2.4 Struktur Chunk RIFF Header file WAV mengikuti struktur format file RIFF standar. Delapan byte pertama dalam file adalah header chunk RIFF standar yang mempunyai chunk ID RIFF dan ukuran chunk didapat dengan mengurangkan ukuran file dengan 8 bytre yang digunakan sebagai header. Empat bytre data yaitu kata RIFF menunjukkan bahwa file tersebut merupakan file RIFF. File WAV selalu menggunakan kata WAVE untuk membedakannya dengan jenis file RIFF lainnya sekaligus digunakan untuk mendefinisikan bahwa file tersebut merupakan file audio Waveform.[6] Tabel 2.2 menunjukan pada setiap audio WAVE memiliki jenis jenis Chunk RIFF, dapat dilihat seperti table dibawah ini. Tabel 2.2 Nilai Jenis Chunk RIFF

xxix 2.3.4 Chunk File WAV Ada beberapa jenis chunk untuk menyatakan file WAV. Kebanyakan file WAV hanya terdiri atas 2 buah chunk, yaitu Chunk Format dan Chunk Data. Dua jenis chunk ini diperlukan untuk menggambarkan format dari sampel digital audio. Meskipun tidak diperlukan untuk spesifikasi file WAV yang resmi, lebih baik menempatkan Chunk Format sebelum Chunk Data. Kebanyakan program membaca chunk tersebut dengan urutan di atas d an jauh lebih mudah dilakukan streaming digital audio dari sumber yang membacanya secara lambat dan linear seperti Internet. Jika Chunk Format lebih dulu ditempatkan sebelum Chunk Data maka semua data dan format harus di-stream terlebih dahulu sebelum dilakukan playback. Format Chunk RIFF untuk file WAVE dapat dilihat seperti Tabel 2.3 dibawah ini. Tabel 2.3 Format Chunk RIFF 2.3.5 Chunk Format Chunk format terdiri atas informasi tentang bagaimana suatu data Waveform disimpan dan cara untuk dimainkan kembali, termasuk jenis kompresi yang digunakan, jumlah kanal, laju pencuplikan ( sampling rate), jumlah bit tiap sampel dan atribut lainnya. Chunk format ini ditandai dengan chunk ID fmt.

xxx Setiap Chunk RIFF audio WAVE juga memiliki nilai nilai Chunk yang berbeda, pada Tabel 2.4 berikut adalah nilai nilai Chunk Format pada file WAVE. Tabel 2.4 Nilai-Nilai Chunk Format File WAV 2.3.6 Chunk Data Chunk ini ditandai dengan adanya string data. Chunk Data pada file WAV terdiri atas sampel digital audio yang mana dapat di-decode kembali menggunakan metode kompresi atau format biasa yang dinyatakan dalam chunk format WAV. Jika kode kompresinya adalah 1 (jenis PCM tidak terkompresi), maka Data WAV terdiri atas nilai sampel mentah ( raw sample value). Tabel 2.5 menunjukkan format data untuk Chunk Data file audio WAVE. Tabel 2.5 Format Data Chunk

xxxi 2.4 Format WAV PCM Jenis format WAV ini merupakan jenis file WAV yang paling umum dan hampir dikenal oleh setiap program. Format WAV PCM (Pulse Code Modulation) adalah file WAV yang tidak terkompresi, akibatnya ukuran file sangat besar jika file mempunyai durasi yang panjang. Untuk bentuk umum file audio wave mulai dari Chunk ID hingga data dapat dilihat seperti Gambar 2.5 seperti gambar dibawah ini.

xxxii keterangan: Gambar 2.5 Format File Audio WAVE : Chunk RIFF, format yang terdapat di sini adalah WAVE dimana terdiri dari sub-chunk fmt dan data. : Sub Chunk fmt menggambarkan format dari informasi sound pada sub Chunk data : Sub Chunk data menandai ukuran dari informasi data dan berisi data sound Sebagai contoh, disini kita ambil file audio wav 72 bit yang dirubah kedalam hexadecimal. 52 49 46 46 24 08 00 00 57 41 56 45 66 6d 74 20 10 00 00 00 01 00 02 00 22 56 00 00 88 58 01 00 04 00 10 00 64 61 74 61 00 08 00 00 00 00 00 00 24 17 1e f3 3c 13 3c 14 16 f9 18 f9 34 e7 23 a6 3c f2 24 f2 11 ce 1a 0d Pada Gambar 2,6 dibawah ini adalah penjelasan dari file audio wav 72 bit diatas untuk interpretasi dari setiap nilai hexadecimal : Gambar 2.6 Intepretasi File Audio wav

xxxiii 2.5 Watermarking Watermarking merupakan suatu bentuk dari Steganography yaitu ilmu yang mempelajari bagaimana menyembunyikan suatu data pada data yang lain dan mempelajari teknik-teknik bagaimana penyimpanan suatu data (digital) ke dalam data host digital yang lain. Istilah host digunakan untuk data/sinyal digital yang ditumpangi [11]. Watermarking (tanda air) ini agak berbeda dengan tanda air pada uang kertas. Tanda air pada uang kertas masih dapat kelihatan oleh mata telanjang manusia (dalam posisi kertas yang tertentu), tetapi watermarking pada media digital disini dimaksudkan tak akan dirasakan kehadirannya oleh manusia tanpa alat bantu mesin pengolah digital seperti komputer, dan sejenisnya. Steganography berbeda dengan cryptography, letak perbedaannya adalah hasil keluarannya. Hasil dari cryptography biasanya berupa data yang berbeda dan bentuk aslinya dan biasanya datanya seolah-olah tidak beraturan (tetapi dapat dikembalikan ke bentuk semula) sedangkan hasil keluaran dari steganography ini memiliki bentuk persepsi yang sama dengan bentuk aslinya yang tentunya persepsi disini oleh indera manusia. Tetapi Watermarking ini memanfaatkan kekurangan-kekurangan sistem indera manusia seperti mata dan telinga. Dengan adanya kekurangan inilah, metoda watermarking ini dapat diterapkan pada berbagai media digital [11]. Jadi Watermarking merupakan suatu cara untuk penyembunyian atau penanaman data/informasi tertentu (baik hanya berupa catatan umum maupun rahasia) ke dalam suatu data digital lainnya, tetapi tidak diketahui kehadirannya oleh indera manusia (indera penglihatan atau indera pendengaran), dan mampu menghadapi proses-proses pengolahan sinyal digital sampai pada tahap tertentu. 2.5.1 Metode Watermarking Terdapat banyak metoda watermarking untuk citra digital yang sudah diteliti. Ada yang bekerja pada domain spasial atau waktu, dan ada yang mengalami transformasi terlebih dahulu misalnya ke domain frekuensi. Bahkan ada yang menerapkan teknologi lain seperti fraktal, spread spectrum untuk

xxxiv telekomunikasi dan sebagainya. Beberapa metoda yang pernah diteliti, diantaranya adalah: a. LSB (Least Significant Bit) Coding Metoda ini merupakan metoda yang paling sederhana tetapi yang paling tidak tahan terhadap segala proses yang dapat mengubah nilai-nilai intensitas pada citra. Metoda ini akan mengubah nilai LSB komponen luminansi atau warna menjadi bit yang bersesuai dengan bit label yang akan disembunyikan. Memang metoda ini akan menghasilkan citra rekontruksi yang sangat mirip dengan aslinya, karena hanya mengubah nilai bit terakhir dari data. Tetapi sayang tidak tahan terhadap proses-proses yang dapat mengubah data citra terutama kompresi JPEG. Metoda ini paling mudah diserang, karena bila orang lain tahu maka tinggal membalikkan nilai dari LSB-nya maka data label akan hilang seluruhnya. Pada Gambar 2.7 contoh dari watermarking untuk gambar. Gambar 2.7 Watermarking Image b. Patchwork; Metode yang diusulkan oleh Bender dimana pada metode ini dilakukan penanaman label 1 bit pada citra digital dengan menggunakan pendekatan statistik. Dalam metoda ini, sebanyak n pasang titik (ai,bi) pada citra dipilih secara acak. Brightness dari ai dinaikkan 1 (satu) dan brightness dari pasangannya bi diturunkan satu. Nilai Harapan dari jumlah perbedaan n pasang titik tersebut adalah 2n. Ketahanan metoda ini terhadap kompresi JPEG dengan parameter kualitas 75%, maka label tetap dapat dibaca dengan probabilitas kebenaran sebesar 85%. c. Pitas & Kaskalis mengusulkan metode yang hampir sama dengan metode yang diusulkan oleh Bender. Metode ini membagi sebuah citra atas dua bagian (subsets) sama besar (misalnya dengan menggunakan random generator) atau

xxxv dengan sebuah digital signature S yang merupakan pola biner dengan ukuran N x M dimana jumlah biner "1" (satu) sama dengan jumlah biner "0" (nol). Kemudian salah satu subset ditambahkan dengan faktor k (bulat positif). Faktor k diperoleh dari perhitungan variansi dari kedua subset. Verifikasi dilakukan dengan menghitung perbedaan rata-rata antara kedua subset. Nilai yang diharapkan adalah k bila ada label yang ditanamkan. Metoda ini hanya tahan terhadap kompresi JPEG dengan ratio 4:1 (faktor kualitas kira-kira lebih dari 90%). d. Caroni mengusulkan metode penyembunyian sejumlah bit label pada komponen luminansi dari citra dengan membagi atas blok-blok, kemudian setiap pixel dari satu blok akan dinaikan dengan faktor tertentu bila ingin menanamkan bit '1', dan nilai-nilai pixel dari blok akan dibiarkan bila akan menanamkan bit '0'. Untuk mendapatkan labelnya kembali, maka brightness setiap titik dari citra yang terlabel akan dikurangkan dengan citra asli. Jika ratarata dari satu blok pixel melewati suatu nilai (threshold) tertentu, maka akan dinyatakan sebagai bit '1', bila tidak maka dinyatakan sebagai bit '0'. Setelah mengalami kompresi JPEG, metoda ini dapat tahan terhadap faktor kualitas sebesar 30%. e. Metoda Cox ini menanamkan sejumlah urutan bilangan real sepanjang n pada citra N x N dengan mentransformasikan terlebih dahulu menjadi koefisien DCT Nx N. Bilangan real tersebut ditanamkan pada n koefisien DCT yang paling besar, tidak termasuk komponen DC-nya. Verifikasi menggunakan citra asli dikurangi dengan citra terwatermark. f. Randomly Sequenced Pulse Position Modulated Code (RSPPMC) yang diusulkan oleh Zhao & Koch, bekerja pada domain DCT seperti metoda Cox. Berbeda dengan metode Cox, metode ini berdasarkan prinsip format citra JPEG, membagi citra menjadi blok-blok 8 x 8 dan kemudian dilakukan transforamsi DCT, kemudian menggunakan prinsip spread spectrum (metoda frequency hopped) dan RSPPMC (Randomly Sequenced Pulse Position Modulated Code), koefisien-koefisien DCT tersebut diubah sedemikian rupa

xxxvi sehingga akan mengandung informasi 1 bit dari label, seperti dipilih tiga koefisien untuk disesuaikan dengan bit label yang ingin ditanamkan. Contohnya untuk menanamkan bit '1' ke dalam suatu blok koefisien DCT 8 x 8, koefisien ketiga dari ketiga koefisien yang terpilih harus diubah sedemikian rupa sehingga lebih kecil dari kedua koefisien lainnya. 2.5.2 Aplikasi Watermarking Watermarking sebagai suatu teknik penyembunyian data pada data digital lain dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan seperti: a. Tamper-proofing, adalah watermarking digunakan sebagai alat untuk mengidentifikasikan atau alat indikator yang menunjukkan tinta digital (host) telah mengalami perubahan dan aslinya. b. Feature location, adalah menggunakan metoda Watermarking sebagai alat untuk identifikasikan isi dan data digital pada lokasi-lokasi tertentu, seperti contohnya penamaan objek tertentu dari beberapa objek yang lain pada suatu citra digital. c. Annotation/caption, adalah Watermarking hanya digunakan sebagai keterangan tentang data digital itu sendiri. d. Copyright-Labeling, adalah Watermarking dapat digunakan sebagai metoda untuk penyembunyikan label hak cipta pada data digital sebagai bukti otentik kepemilikan karya digital tersebut. 2.5.3 Trade-Off Watermarking Semua aplikasi watermarking tersebut menuntut hal- hal (parameter) yang berbeda dalam penerapan metode watermarking. Parameter-parameter yang perlu diperhatikan dalam penerapan metode watermarking adalah: 1. Bitrate adalah jumlah data yang akan disembunyikan. 2. Robustness adalah ketahanan terhadap proses pengolahan sinyal. 3. Invisibly adalah nilai penyembunyian data.

xxxvii Pada Gambar 2.8 dapat dilihat siklus parameter dalam watermarking. Gambar 2.8 Trade-Off Watermarking Terdapat suatu trade-off diantara kedua parameter (bitrate dan robustness) tersebut dengan invisibly (tidak tampak). Bila diinginkan robustness yang tinggi maka bitrate akan menjadi rendah, sedangkan akan semakin visible, dan sebaliknya semakin invisible maka robustness akan menurun. Jadi harus dipilih nilai-nilai dan parameter tersebut agar memberikan hasil yang sesuai dengan kita inginkan (sesuai dengan aplikasi). Hubungan invisibility dengan robustness dapat diterangkan sebagai berikut: misalkan suatu data asli diubah (ditambah atau dikurangi) sesedikit mungkin dengan maksud memberikan efek invisible yang semakin tinggi, maka dengan adanya sedikit proses pengolahan digital saja, perubahan tadi akan berubah hilang. Dengan demikian dikatakan robustness rendah, tetapi invisibility tinggi. 2.6 Domain Penerapan Watermarking Watermarking dalam penerapannya terhadap data digital, dapat diterapkan pada berbagai domain. Maksudnya penerapan watermarking pada data digital seperti text, citra, video dan audio, dilakukan langsung pada jenis data digital tersebut (Misalnya untuk citra dan video pada domain spasial, dan audio pada domain waktu) atau terlebih dahulu dilakukan transformasi ke dalam domain yang lain. Berbagai transformasi yang dikenal dalam pemrosesan sinyal digital seperti: a. FFT (Fast Fourier Transform) b. DCT (Discrete Cosine Transform) c. Wavelet Transform, dan sebagainya.

xxxviii Penerapan watermarking pada berbagai domain dengan berbagai transformasi turut berbagai mempengaruhi parameter penting dalam watermarking bitrate invisible, dan robustness). 2.6.1 Watermarking Pelabelan Hak Cipta Masalah Hak Cipta dari dahulu sudah menjadi hal yang utama dalam segala ciptaan manusia, ini digunakan untuk menjaga originalitas atau kreatifitas pembuat akan hasil karyanya. Hak cipta terhadap data-data digital sampai saat ini belum terdapat suatu mekanisme atau cara yang handal dan efisien, dikarenakan adanya berbagai faktor-faktor tadi (faktor-faktor yang membuat data digital banyak digunakan). Beberapa cara yang pernah dilakukan oleh orang-orang untuk mengatasi masalah pelabelan hak cipta pada data digital, antara lain: 1. Header Marking; dengan memberikan keterangan atau informasi hak cipta pada header dari suatu data digital. 2. Visible Marking; merupakan cara dengan memberikan tanda hak cipta pada data digital secara eksplisit. 3. Encryption; mengkodekan data digital ke dalam representasi lain yang berbeda dengan representasi aslinya (tetapi dapat dikembalikan ke bentuk semula) dan memerlukan sebuah kunci dari pemegang hak cipta untuk mengembalikan ke representasi aslinya. 4. Copy Protection; memberikan proteksi pada data digital dengan membatasi atau dengan memberikan proteksi sedemikian rupa sehingga data digital tersebut tidak dapat diduplikasi. Cara-cara tersebut diatas memiliki kelemahan tersendiri, sehingga tidak dapat banyak diharapkan sebagai metoda untuk mengatasi masalah pelabelan hak citpa ini. Contohnya: 1. Header Marking: Dengan menggunakan software sejenis Hex Editor, orang lain dengan mudah membuka file yang berisi data digital tersebut, dan menghapus informasi yang berkaitan dengan hak cipta dan sejenisnya yang terdapat di dalam header file tersebut.

xxxix 2. Visible Marking: Penandaan secara eksplisit pada data digital, memang memberikan sejenis tanda semi-permanen, tetapi dengan tersedianya software atau metoda untuk pengolahan, maka dengan sedikit ketrampilan dan kesabaran, tanda yang semi-permanen tersebut dapat dihilangkan dari data digitalnya. 3. Encryption: Penyebaran data digital dengan kunci untuk decryption tidak dapat menjamin penyebarannya yang legal. Maksudnya setelah data digital terenkripsi dengan kuncinya yang telah diberikan kepada pihak yang telah membayar otoritas (secara legal), maka tidak dapat dijamin penyebaran data digital yang telah terdekripsi tadi oleh pihak lain tersebut. 4. Copy Protection; Proteksi jenis ini biasanya dilakukan secara hardware, seperti halnya saat ini proteksi hardware DVD, tetapi kita ketahui banyak data digital saat ini tidak dapat diproteksi secara hardware (seperti dengan adanya Internet) atau dengan kata lain tidak memungkinkan dengan adanya proteksi secara hardware. Perbedaan dari gambar yang di-watermarking ataupun tidak dapat dilihat seperti Gambar 2.9 dibawah ini. Gambar 2.9 Perbedaan Watermarking Dengan demikian, kita memerlukan suatu cara untuk mengatasi hal yang berkaitan dengan pelanggaran hak cipta ini, yang memiliki sifat-sifat seperti: 1. Invisible atau inaudible; Tidak tampak (untuk data digital seperti citra, video, text) atau tidak kedengaran (untuk jenis audio) oleh pihak lain dengan menggunakan panca indera kita (dalam hal ini terutama mata dan telinga manusia). 2. Robustness; Tidak mudah dihapus/diubah secara langsung oleh pihak yang

xl tidak bertanggung jawab, dan tidak mudah terhapus/terubah dengan adanya proses pengolahan sinyal digital, seperti kompresi, filter, pemotongan dan sebagainya. 3. Trackable; Tidak menghambat proses penduplikasian tetapi penyebaran data digital tersebut tetap dapat dikendalikan dan diketahui. Teknik watermarking tampaknya memiliki ketiga sifat-sifat diatas, karena faktorfaktor invisibility dan robustness dapat kita atur, dan data yang ter-waterma rk dapat diduplikasi seperti layaknya data digital. Watermarking sebagai metoda untuk pelabelan hak cipta dituntut memiliki berbagai kriteria (ideal) sebagai berikut agar memberikan unjuk kerja yang bagus: 1. Label Hak Cipta yang unik mengandung informasi. 2. Pembuatan, seperti nama, tanggal, atau sebuah kode hak cipta seperti halnya ISBN (International Standard for Book Notation) pada buku-buku. 3. Data ter-label tidak dapat diubah atau dihapus (robustness) secara langsung oleh orang lain atau dengan menggunakan software pengolahan sinyal sampai tingkatan tertentu. 4. Pelabelan yang lebih dari satu kali dapat merusak data digital aslinya, supaya orang lain tidak dapat melakukan pelabelan berulang terhadap data yang telah dilabel. Berbagai pengolahan sinyal digital yang mungkin dilakukan terhadap berbagai tipe data digital, antara lain untuk citra adalah: Filter (seperti blur), konversi DA/AD, crop (pemotongan), scaling, rotasi, translasi, kompresi lossy (contohnya JPEG), konversi format, perubahan tabel warna. Untuk video, kompresi lossy (contohnya MPEG), konversi format, konversi DA/AD. Dan untuk audio adalah :crop, filter, equalisasi, kompresi lossy (contohnya MP3), konversi sample rate, format, konversi DA/AD, pengaruh Echo, Noise, dan sinyal lain. 2.7 Proses Watermarking Proses-proses yang secara umum dilakukan pada penyisipan label pada file data

asli (data original) dengan pemasukan sebuah kunci (key) adalah seperti Gambar 2.10 yang menunjukkan proses watermarking hingga pesan tersembunyi. xli Gambar 2.10 Proses Watermarking Pada gambar proses watermarking diatas, terdapat komponen key atau lebih populer dengan password, key ini digunakan untuk mencegah penghapusan secara langsung oleh pihak tak bertanggung jawab dengan menggunakan metoda enkripsi yang sudah ada. Sedangkan ketahanan terhadap proses-proses pengolahan lainnya, itu tergantung pada metoda watermarking yang digunakan. Tetapi dari berbagai penelitian yang sudah dilakukan belum ada suatu metoda watermarking yang ideal bisa tahan terhadap semua proses pengolahan digital. Biasanya masing-masing penelitian menfokuskan pada hal hal tertentu yang dianggap penting. Penelitian dibidang watermarking ini masih terbuka luas dan semakin menarik, salah satunya karena belum ada suatu standar yang digunakan sebagai alat penanganan masalah hak cipta ini. Sistem watermarking terdapat 3 sub-bagian yang membentuknya yaitu: a. Penghasil Label Watermark b. Proses penyembunyian Label c. Menghasilkan kembali Label Watermark dari data yang ter-watermark. Terdapat kontraversi antara beberapa penelitian mengenai masalah: 1. Label Watermark harus panjang atau hanya memberitahu ada tidaknya watermark pada data digital yang ter-watermark. Maksudnya bila label yang panjang, maka kita dapat mendapatkan informasi tambahan dari data

xlii yang ter-watermark tersebut, sedangkan sebaliknya hanya diperoleh ada tidaknya (ada atau tidak ada) watermark dalam data ter-watermark. 2. Cara menghasilkan kembali (ekstrasi atau verifikasi) label watermark tersebut apakah diperlukan data digital aslinya, atau tidak. Dari hasil penelitian memberikan hasil bahwa verifikasi dengan menggunakan data aslinya akan memberikan performansi yang lebih baik dibandingkan dengan cara yang tanpa menggunakan data asli. Dan cara ini dapat digunakan untuk menangani masalah pengakuan kepemilikan oleh beberapa orang. Gambar 2.11 Proses Ekstrak dengan Data Asli Gambar 2.12 Proses Ekstrak tanpa Data Asli Gambar 2.11 proses ekstraksi data ter-label (hasil proses watermarking) dibandingkan dengan data asli berupa teks maupun citra yang menghasilkan data label berupa data yang disisipkan (label). Sedangkan Gambar 2.12 proses ekstraksi data ter-label (hasil proses watermarking) dibandingkan tanpa data asli berupa teks maupun citra yang menghasilkan data label berupa data yang disisipkan (label). Label watermark adalah sesuatu data/informasi yang akan kita masukkan ke dalam data digital yang ingin di-watermark. Ada 2 jenis label yang dapat digunakan: 1. Label Text yaitu label watermark dari teks biasanya menggunakan nilai-nilai ASCII dari masing-masing karakter dalam text yang kemudian dipecahkan atas bit-per-bit, kelemahan dari label ini adalah, kesalah pada satu bit saja akan

xliii menghasilkan hasil yang berbeda dengan text sebenarnya. 2. Label non teks berupa logo atau citra atau suara; Berbeda dengan label text, kesalahan pada beberapa bit masih dapat memberikan persepsi yang sama dengan aslinya oleh pendengaran maupun penglihatan kita, tetapi kelemahannya adalah ukuran data yang cukup besar. Berikut bentuk pelabelan watermarking dengan teks maunpun nonteks, seperti Gambar 2.13. Teks dan non teks Gambar 2.13 Jenis Label pada saat Watermarking 2.7.1 Teknik Watermarking dengan Metode RSPPMC Pada metode ini dilakukan watermarking pada citra digital. Metoda watermarking yang dicoba pada dasarnya menerapkan metode Randomly Sequenced Pulse Position Modulated Code (RSPPMC), yakni watermarking dilakukan pada domain frekuensi (DCT) dengan dilakukan sedikit perubahan. Perubahan yang dilakukan sebagai perbandingan dengan RSPPMC yang asli, yakni verifikasi label watermarking melibatkan citra asli, dimana pada RSPPMC proses verifikasi tidak menggunakan citra asli [5]. Metoda RSPPMC seperti berikut: 1. Pembagian citra atas blok-blok 8 x 8, dan pemilihan blok secara pseudo random. 2. Blok terpilih ditransformasikan dengan DCT. Pemilihan 2 nilai koefisien DCT untuk dikodekan sebagai bit 1(high) atau bit 0 ( low).

xliv Contohnya: Koefisien pertama = koefisien kedua + nilai konstan untuk bit 1 (high). Sebaliknya untuk bit 0, dilakukan pengurangan Inverse DCT terhadap blok yang telah di-encode. 3. Ulangi proses yang sama untuk seluruh bit label. Sedangkan metoda yang dilakukan sebagai perbandingan dengan metode RSPPMC adalah pengkodean bit 1 dan bit 0 tidak dilakukan dengan membandingkan kedua nilai koefisien DCT tersebut, tetapi dengan menambahkan kedua nilai tersebut dengan satu koefisien tertentu yang sama, dan pada waktu verifikasi, dibandingkan dengan citra aslinya. Sedangkan pada RSPPMC, proses verifikasi tidak menggunakan citra asli, tetapi berdasarkan perbandingan nilai koefisien yang telah diubah pada saat proses embeding. Pada eksperimen ini dilakukan uji ketahanan (robustness) terhadap beberapa proses pengolahan citra digital yang umum seperti: 1. Konversi Format Gambar 2. Dilakukan percobaan perubahan format gambar JPEG ke TIFF, BMP dan PCX dan kemudian dibalikkan kembali ke JPEG, dan label dapat dibaca dengan sempurna. Hal ini dikarenakan format gambar TIFF dan PCX menggunakan proses kompresi yang sejenis dengan JPEG yaitu dengan DCT. Demikian juga dengan metoda watermarking ini menggunakan DCT. Sedangkan BMP merupakan format citra yang tidak dikompresi. 3. Kompresi JPEG 4. Sedangkan untuk proses kompresi lossy (JPEG) bisa mencapai 30% dengan ketepatan 100%, hal ini cukup bagus bila dibandingkan dengan metoda-metoda yang dilakukan pada domain spasial, yang mampu tahan terhadap kompresi berkisar 75% -90%. Metoda ini sebenarnya hampir sama dengan metoda yang dibuat oleh Zhao, tetapi kami perbaiki dengan menambahkan perbandingan dengan image asli sehingga bisa mencapai quality factor yang lebih rendah (sebelumnya cuma 50%). 5. Blurring (sejenis low pass filter) Juga dilakukan salah satu jenis lowpass

xlv filter (proses blurring), dan dihasilkan error bit rate < 12.5%. Tampak dari hasil diatas bahwa proses verifikasi dengan melibatkan citra asli memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan proses verifikasi tanpa melibatkan citra asli. Selain itu, keuntungan lain dengan terlibatnya citra asli adalah dapat digunakan untuk mengatasi masalah proses pengolahan citra seperti rotasi, croping, translasi dan sebagainya. Dengan adanya citra asli tersebut, maka citra asli tersebut dapat digunakan sebagai referensi untuk dilakukan preprocessing (proses awal) sebelum proses verifikasi, misalnya bagian yang hilang dari citra yang terpotong dapat disisipi dengan bagian dari citra asli. Gambar 2.14 menunjukkan verifikasi watermarking dengan kuantisasi. Gambar 2.14 Hasil Verifikasi Watermarking (tanpa citra asli) dengan kuantisasi Dari hasil percobaan diatas, dapat dilihat ada satu jenis citra (sonic.jpg) yang memberikan hasil yang kurang memuaskan, hal ini dikarenakan banyak bagian dari citra yang berwarna sama (hitam & putih) sehingga proses watermarking (baik dengan RSPPMC maupun hasil modifikasinya) pada blok pixel yang hitam tersebut. Dalam menggunakan metoda RSPPMC, sebelumnya koefisien DCT dilakukan kuantisasi (seperti halnya pada kompresi JPEG), tapi disini dilakukan kuantisasi terhadap nilai konstan untuk semua koefisien DCT. Kuantisasi ini dimaksud untuk mengantisipasi proses kompresi JPEG. Dengan adanya kuantisasi ini (dapat dilihat pada grafik diatas) dapat memberikan hasil yang le bih baik dibandingkan tanpa kuantisasi, tetapi menimbulkan efek kotakkotak pada citra. Pengolahan digital dan masih terbuka suatu kesempatan besar untuk perkembangan-perkembangan lebih lanjut. Diatas telah dibicarakan aplikasi watermarking pada data digital seperti citra, video dan audio, sebenarnya masih ada penelitian pada data seperti text digital, maupun pada fax.

xlvi Pada dasarnya metoda watermarking memanfaatkan kelemahan-kelemahan pada sistem penglihatan manusia (Human Visual System) maupun sistem pendengaran manusia (Human Auditory System). Pemahaman yang baik akan karakteristik dari sistem penglihatan manusia dan sistem pendengaran manusia akan menghasilkan metoda yang baik untuk watermarking. Agar watermarking sebagai proses pelabelan hak cipta pada data digital dapat berfungsi dengan baik, juga diperlukan adanya suatu badan internasional yang mencatat semua hasil karya yang terdaftar. Badan internasional tersebut sebagai suatu badan hukum yang berkuasa untuk menentukan siapa yang memang merupakan pemilik aslinya berdasarkan terdaftar tidaknya sebuah hasil karya atas nama seseorang. Tanpa adanya suatu badan internasional tersebut, sebaik apapun metoda watermarking yang ada, masalah hak cipta ini tidak dapat diatasi sepenuhnya. Karena kepada siapa kita harus menuntut, dan menjadi penengah dalam persoalan ini, serta apa bukti bahwa data tersebut memang milik orang ini dan bukan milik orang lain. 2.8 Transformasi Sinyal Transfomasi sinyal adalah dengan menghitung konvolusi sebuah sinyal dengan sebuah jendela modulasi pada setiap waktu dengan setiap skala yang diinginkan. Dimana jendela modulasi, yang mempunyai skala fleksibel, disebut induk wavelet atau fungsi dasar wavelet. Dalam transformasi sinyal digunakan istilah translasi dan skala. Translasi adalah lokasi jendela modulasi saat digeser sepanjang sinyal, berhubungan dengan informasi waktu. Skala berhubungan dengan frekuensi, skala tinggi (frekuensi rendah) berhubungan dengan informasi global dari sebuah sinyal, sedangkan skala rendah (frekuensi tinggi) berhubungan dengan informasi detil[2]. Transformasi sinyal secara matematika dapat didefinisikan sebagai berikut :

xlvii Dimana: γ (s,τ) adalah fungsi sinyal setelah transformasi s adalah skala τ (translasi) sebagai dimensi baru f(t) sinyal asli sebelum transformasi adalah fungsi dasar wavelet dengan * menunjukkan konjugasi kompleks. Dan inversi dari transformasi sinyal secara matematika dapat didefinisikan pada persamaan 2.1 sebagai berikut:... (2.1) Fungsi dasar wavelet ψ s,τ (t) dapat didesain sesuai kebutuhan untuk mendapatkan hasil transformasi yang terbaik. Fungsi dasar wavelet secara matematika dapat didefinisikan pada persamaan 2.2 sebagi berikut: (2.2). faktor digunakan untuk normalisasi energi pada skala yang berubah-ubah. 2.8.1 Metode Discret Cosine Transform (DCT) Cara melakukan perpindahan dari domain koordinat ke domain frekuensi yaitu dengan menggunakan Discrete Cosinus Transform (DCT), transformasi ini dikenal luas untuk pemrosesan citra secara digital. Pada dasarnya DCT merupakan suatu transformasi one-to-one mapping dari suatu array yang terdiri dari nilai pixel menjadi komponen-komponen yang terbagi berdasarkan frekuensinya. Mengabaikan efek pembulatan angka pada proses transformasi dapat dibalik kembali sehingga transformasi pembalikan ini dikenal dengan Inverse Discrete Cosinus Transform (IDCT).

xlviii Dua komponen penting dalam algoritma ini adalah: 1. Posisi atau blok mana yang akan dilakukan embedding. Pemilihan blok citra yang akan disisip dilakukan dengan sebuah kunci inisial untuk menghasilkan sederetan pseudo-random sehingga dapat ditentukan blokblok mana yang dipilih. 2. Pelaksanaan penyisipan itu sendiri, yaitu pelaksanan steganografi terhadap blok yang terpilih dengan mengubah sepasang koefisien DCT dari blok tersebut. Dengan adanya pembagian atas empat sub-band tersebut maka algoritma ini dapat menanamkan paling banyak empat buah penyisip yang berbeda tanpa mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Pembagian ini menyediakan satu sub-band sebagai public stego sisanya merupakan secret stego. Setiap blok yang terpilih akan dikodekan sebuah bit stego ke dalamnya, dengan algoritma sebagai berikut: 1. Nilai-nilai piksel dalam sebuah blok ditransformasi dengan DCT. 2. Mekanisme pendeteksian tepian (edge) diterapkan untuk menghindari distorsi pada host data yang disisip. 3. Sepasang koefisien DCT (a,b) dipilih berdasarkan sub-band yang diinginkan. 4. Koefisien yang terpilih dilakukan kuantisasi. 5. Menggunakan koefisien tersebut untuk menentukan daerah-daerah yang cocok untuk penanaman penyisip. 6. Nilai bit yang akan ditanamkan adalah bila ingin mengkodekan bit 1 maka a b + d, sebaliknya bila ingin mengkodekan bit 0 maka a + d b, dimana d merupakan tingkat noise yang dapat diatur-atur untuk menghindari efek degradasi kualitas pada sinyal aslinya dan juga meningkatkan robustness. 7. Koefisien yang telah diganti dikalikan dengan nilai kuantisasi sebelumnya, kemudian blok tersebut dilakuan inverse DCT. Demikian seterusnya sampai seluruh blok yang terpilih dilakukan hal yang serupa dari langkah pertama sampai langkah ketujuh.

xlix 2.9 Wavelet Teori wavelet adalah suatu konsep yang relatif baru dikembangkan. Kata Wavelet sendiri diberikan oleh Jean Morlet dan Alex Grossmann diawal tahun 1980-an, dan berasal dari bahasa Prancis, ondelette yang berarti gelombang kecil. Kata onde yang berarti gelombang kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris menjadi wave, lalu digabung dengan kata aslinya sehingga terbentuk kata baru wavelet. 2.9.1 Transformasi Wavelet Transformasi wavelet dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu continue wavelet transform (CWT) dan Discret Wavelet Transform (DWT). Sampai sekarang transformasi Fourier mungkin masih menjadi transformasi yang paling populer untuk pemrosesan sinyal digital. Transformasi Fourier memberi informasi frekuensi dari sebuah sinyal, tapi tidak informasi waktu yaitu tidak dapat diketahui di mana frekuensi itu terjadi. Karena itulah transformasi Fourier hanya cocok untuk sinyal stationari yaitu sinyal yang informasi frekuensinya tidak berubah menurut waktu. Untuk menganalisa sinyal yang frekuensinya bervariasi di dalam waktu, diperlukan suatu transformasi yang dapat memberikan resolusi frekuensi dan waktu disaat yang bersamaan yang biasa disebut Analisys Multi Resolusion (AMR). AMR dirancang untuk memberika resolusi waktu yang baik dan resolusi frekuensi yang buruk pada frekuensi tinggi suatu sinyal, serta resolusi frekuensi yang baik dan resolusi waktu yang buruk pada frekuensi rendah suatu sinyal. Pendekatan ini sangat berguna untuk menganalisa sinyal dalam aplikasiaplikasi praktis yang memang memiliki lebih banyak frekuensi rendah [2]. Transformasi wavelet adalah suatu AMR yang dapat merepresentasikan informasi waktu dan frekuensi suatu sinyal dengan baik. Transformasi wavelet menggunakan sebuah jendela modulasi yang fleksibel, ini yang paling membedakannya dengan transformasi Fourier waktu-singkat (STFT), yang merupakan pengembangan dari transformasi Fourier. STFT menggunakan jendela modulasi yang besarnya tetap, ini menyebabkan dilema karena jendela yang sempit akan memberikan resolusi frekuensi yang buruk dan sebaliknya jendela yang lebar akan menyebabkan resolusi waktu yang buruk [2].

l Skala dalam tranformasi wavelet adalah melakukan perenggangan dan pemampatan pada sinyal. Efek dari skala tranformasi wavelet dapat dilihat pada Gambar 2.15, semakin kecil faktor skala akan menghasilkan induk wavelet yang semakin mampat. Gambar 2.15 Faktor Skala Wavelet 2.9.1.1 Transformasi Wavelet Kontinu (Continue Wavelet Transform) Cara kerja continue wavelet transform (CWT) adalah dengan menghitung konvolusi sebuah sinyal dengan sebuah jendela modulasi pada setiap waktu dengan setiap skala yang diinginkan. Jendela modulasi yang mempunyai skala fleksibel inilah yang biasa disebut induk wavelet atau fungsi dasar wavelet. Dalam transformasi wavelet digunakan istilah translasi dan skala, karena istilah waktu dan frekuensi sudah digunakan oleh transformasi Fourier. Translasi adalah lokasi jendela modulasi saat digeser sepanjang sinyal, berhubungan dengan informasi waktu. Skala berhubungan dengan frekuensi, skala tinggi (frekuensi rendah) berhubungan dengan informasi global dari sebuah sinyal, sedangkan skala rendah (frekuensi tinggi) berhubungan dengan informasi detil [2]. 2.9.1.2 Transformasi Wavelet Diskrit (Discrete Wavelet Transform) Dibandingkan dengan CWT, transformasi wavelet diskrit (DWT) dianggap relatif lebih mudah diimplementasikan. Prinsip dasar dari DWT adalah bagaimana cara mendapatkan representasi waktu dan skala dari sebuah sinyal menggunakan teknik pemfilteran digital dan operasi sub-sampling. Sinyal pertama-tama dilewatkan pada rangkaian filter high-pass dan low-pass, kemudian setengah dari

li masing-masing keluaran diambil sebagai sample melalui operasi sub-sampling. Proses ini disebut sebagai proses dekomposisi satu tingkat [2]. Keluaran dari filter low-pass digunakan sebagai masukkan di proses dekomposisi tingkat berikutnya. Proses ini diulang sampai tingkat proses dekomposisi yang diinginkan. Gabungan dari keluaran-keluaran filter high-pass dan satu keluaran filter low-pass yang terakhir, disebut sebagai koefisien wavelet, yang berisi informasi sinyal hasil transformasi yang telah terkompresi. Berkat operasi sub-sampling yang menghilangkan informasi sinyal yang berlebihan, transformasi wavelet telah menjadi salah satu metode kompresi data yang paling handal. Transformasi wavelet diskrit merupakan pentransformasian sinyal diskrit menjadi koefisien-koefisien wavelet yang diperoleh dengan cara menapis sinyal menggunakan dua buah tapis yang berlawanan. Kedua tapis yang dimaksud adalah: 1. Tapis pererata atau penyekala atau disebut tapis lolos rendah (low pass filter, LPF). 2. Tapis detil atau tapis lolos tinggi (high pass filter, HPF). Tapis lolos rendah mewakili fungsi basis (fungsi penyekala), sedangkan tapis detil mewakili wavelet. Untuk mempermudah penamaan, ditetapkan tanggapan impuls tapis hk = ck dan gk = dk dimana ck dan dk hanya menyatakan koefisienkoefisien keluaran transformasi wavelet yaitu koefisien aproksimasi (keluaran tapis low-pass) dan koefisien detil (keluaran tapis high-pass) berturut-turut. Oleh karena itu, penapisan dua kanal ini dapat diekspresikan dengan: (2.3) (2.4)..

lii Kedua persamaan di atas merupakan proses konvolusi diikuti down-sampling dengan faktor 2. Interpretasi atas persamaan diatas akan diberikan sebagai berikut. Persamaan (2.3) menyatakan konvolusi antara tapis low-pass dengan runtun sinyal diskrit yang menghasilkan aproksimasi. Sedangkan persamaan (2.4) menyatakan konvolusi antara tapis high-pass dengan runtun sinyal diskrit yang menghasilkan detil pada level j. Setelah pasangan operasi ini dilaksanakan, koefisien-koefisien tapis digeser kekanan sejauh 2 cuplik untuk mengimplementasikan desimasi dengan faktor 2. Selanjutnya bagian aproksimasi digunakan kembali sebagai vektor masukan pengganti sinyal. Proses ini diulangi untuk semua skala. 2.9.1.3 Transformasi Wavelet Multi Level Secara sederhana transformasi wavelet multilevel dapat didefinisikan sebagai model transformasi wavelet diskrit yang mentransformasikan suatu data secara berulang-ulang [2]. Algoritma dari transformasi wavelet multilevel adalah sebagai berikut: a. Data mula-mula ditransformasikan menggunakan DWT, yang menghasilkan koefisien aproksimasi dan detil. b. Koefisien aproksimasi ditransformasikan lagi menggunakan DWT sehingga menghasilkan koefisien transformasi aproksimasi dan detil kedua. c. Jika panjang level adalah tiga maka pentransformasian dilakukan secara berulang-ulang sebanyak tiga kali (ulangi langkah 2 sampai panjang level sama dengan tiga). Panjang level maksimum transformasi wavelet multilevel dari suatu sinyal adalah sebagai berikut: