BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pola penyakit yang masih banyak diderita oleh masyarakat adalah penyakit infeksi dan salah satunya adalah penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS). Selain itu, pada waktu yang bersamaan juga terjadi peningkatan penyakit tidak menular. Dengan demikian telah terjadi transisi epidemiologi sehingga Indonesia menghadapi beban ganda pada waktu yang bersamaan (double burdens) (Depkes RI, 2006). Penyakit IMS merupakan masalah besar dalam kesehatan masyarakat di negara berkembang, dimana penyakit IMS membuat individu rentan terhadap infeksi HIV. Cara penularan penyakit IMS yaitu melalui hubungan seksual dan diikuti dengan perilaku yang menempatkan individu dalam risiko mencapai HIV, seperti mereka berperilaku bergantian pasangan seksual, dan tidak konsisten menggunakan kondom (Badan Narkotika Nasional, 2004). IMS sering juga disebut penyakit kelamin, yaitu penyakit-penyakit yang sebagian besar ditularkan melalui hubungan seks atau hubungan kelamin. Sebelum dikenal sebagai IMS, jenis penyakit ini sudah cukup lama dikenal dengan sebutan penyakit kelamin (venereal disease) yang berasal dari kata Venus (dewi cinta). Saat itu penyakit kelamin yang dikenal baru sifilis (syphilis) dan gonore (gonorrhea), sedangkan istilah IMS baru dikenal setelah ditemukannya jenis penyakit kelamin selain kedua jenis di atas. IMS dikenal pula dengan sebutan Penyakit Akibat
Hubungan Seksual (PHS) atau Sexually Transmitted Diseases (STD) (Dirjen PPM&PLP Depkes RI, 2003). Pada dasarnya setiap orang yang sudah aktif secara seksual dapat tertular IMS. Namun yang harus diwaspadai adalah kelompok berisiko tinggi terkena IMS yaitu orang yang suka berganti-ganti pasangan seksual dan orang yang punya satu pasangan seksual, tetapi pasangan seksualnya suka berganti-ganti pasangan seksual (Dirjen PPM&PLP Depkes RI, 2003). Kelompok yang tergolong risiko tinggi terkena penyakit menular seksual (PMS), antara lain kelompok umur 20-34 tahun pada laki-laki dan usia: 16-24 tahun pada wanita. Remaja putri secara biologis tampak lebih mudah terinfeksi PMS dibandingkan wanita yang lebih dewasa karena secara biologis sel-sel organ reproduksi belum matang. Hubungan seksual pada remaja meningkatkan kerentanan terhadap IMS (Komisi Penanggulangan AIDS, 2007). Meskipun belum ada data yang akurat tentang jumlah penderita penyakit IMS, beberapa hal yang menunjukkan tingginya kasus IMS adalah jumlah kasus HIV/AIDS yang berkembang dimasyarakat, khususnya melalui praktek pelacuran, pergaulan bebas serta perilaku masyarakat lainnya. Menurut data UNAIDS (United National Joint Program on HIV AIDS ) tahun 2006 menyebutkan jumlah orang yang hidup dengan HIV tercatat 39.5 juta jiwa. Jumlah ini meningkat lebih dari 2.9 juta jiwa dibandingkan pada tahun 2004. Negara berkembang merupakan tempat yang paling banyak jumlah kasus HIV/AIDS, ini
terlihat bahwa dari seluruh kasus HIV, 90 % terjadi pada negara berkembang seperti Thailand, India, Myanmar dan China bagian Selatan, sedangkan negara negara industri yang lebih maju telah menekan laju infeksi HIV di negaranya (Depkes RI, 2006) Untuk kasus HIV/AIDS di Indonesia, sampai dengan akhir september 2006 telah menyebar ke 32 provinsi dari 33 provinsi di Indonesia dengan jumlah 6.987 orang (KPA Nasional, 2006). Di Sumatera Utara jumlah kumulatif HIV/AIDS sampai dengan tahun 2007 adalah berjumlah 1.017 kasus, dan berdasarkan jenis kelamin jumlah penderita HIV/AIDS di Sumatera Utara adalah laki-laki 784 jiwa, perempuan 147 jiwa, dan tidak diketahui 86 kasus (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2007). Pemerintah pada saat ini sudah membuat program penanggulangan HIV/AIDS di kabupaten/kota, dimana ada 6 (enam) program yang dilaksanakan yaitu (1) Program Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) sebagai upaya Komunikasi Perubahan Perilaku (KPP) atau Behavior Change Communication (BCC), (2) Program Kondom 100%, (3) Program penanganan IMS, (4) Program Harm Reduction, (5) Program Voluntary Conseling and Testing (VCT) yaitu jumlah dan mutu pelayan untuk konseling dan testing sukarela, serta (6) Program perawatan, pengobatan dan dukungan pada ODHA (KPA Nasional 2006). Salah satu program tersebut yang juga merupakan kerjasama antara pemerintah dan LSM yang sangat populer di seluruh Indonesia dan sampai saat ini terus dikembangkan adalah program pelayanan klinik IMS dan VCT.
Salah satu kewenangan wajib dalam penyelenggaraan pemberantasan penyakit menular yang ditetapkan Departemen Kesehatan dan menjadi salah satu indikator Standar Pelayanan Minimal (SPM) adalah jumlah kasus IMS yang ditangani atau diobati. Oleh karena itu pengembangan program penanggulangan IMS di setiap daerah sangat diharapkan (Depkes RI, 2003). Konsep penanggulangan penyakit IMS pertama kali dikembangkan di Provinsi Jawa Timur. Pemerintah pusat menunjuk pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk mempelopori dan memperkenalkan Klinik IMS untuk kemudian bisa diterapkan di daerah atau Provinsi lainnya di Indonesia (Raharjo, 2005). Kendala yang dialami pemeritah Provinsi Jawa Timur saat pertama kali mendirikan klinik IMS di daerah Putat Jaya (kompleks lokalisasi) terbesar di Indonesia Timur adalah penerimaan oleh masyarakat sekitarnya. Banyak tantangan yang harus dilalui petugas dalam memberikan pelayanan, seperti, pasien yang tidak membayar biaya pemeriksaan, dianggap menjatuhkan nilai jual pasien yang berprofesi sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial) dan berbagai kendala lainnya yang berkaitan dengan karakteristik masyarakatnya (Lumintang, 2005). Dibentuknya klinik IMS di daerah, bukan berarti pemerintah melegalkan keberadaan prostitusi, sehingga harus memfasilitasi pembentukan sebuah klinik. Akan tetapi lebih didorong atas pesan moral pada individu. Setelah pesan moral dilakukan, dengan memberikan penyuluhan bahaya penyakit seks, pencegahan, dan yang terakhir langkah pengobatan. Langkah terakhir itu, harus dilakukan pemerintah
terkait dengan fungsi sosialnya, yakni menyediakan tempat kesehatan secara khusus, dan bukan berbentuk klinik umum lagi. Ini dimaksudkan agar orang lebih mudah mengenali dan terarah. Klinik IMS diharapkan mampu mencegah penularan penyakit seks di masyarakat dan sekaligus merupakan upaya pemerintah dalam membantu mencegah penularan penyakit IMS seperti HIV/ AIDS (Raharjo, 2005). Kabanjahe sebagai ibu kota Kabupaten Karo merupakan salah satu kota yang sering digunakan sebagai jalur lalulintas menuju ke beberapa kabupaten di wilayah Provinsi Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam sehingga kota ini sering pula dijadikan sebagai tempat persinggahan (transit). Selain itu, kota Berastagi sebagai daerah tujuan wisata sehingga sering di kunjungi masyarakat dari daerah lain di Indonesia maupun mancanegara. Dengan masuknya orang luar ke Kabupaten Karo disamping masyarakat di Kabupaten Karo juga sering berpergian ke daerah lain dan apabila orang-orang tersebut melakukan hubungan seks yang tidak aman maka berpeluang terjadinya penularan penyakit IMS maupun HIV/AIDS. Orang yang mengidap IMS memiliki risiko yang lebih besar untuk terinfeksi HIV, karena luka yang terbuka memberikan jalan masuk bagi HIV. HIV terutama ditularkan lewat hubungan seks, karena itu HIV juga termasuk jenis IMS. Menurut Komisi Penanggulangan AIDS (2007), penderita IMS mempunyai risiko 2-9 kali lebih besar untuk tertular HIV dibandingkan dengan bukan penderita. Oleh karena itu program penanggulangan IMS meliputi pengamatan penyakit, penemuan, pengobatan dan pencegahan ditingkatkan di semua daerah (Sasongko, 2007).
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Karo (Agustus 2008) menunjukkan kasus HIV/AIDS yang dilaporkan tercatat sebanyak 74 kasus, di mana sebagian besar pekerjaan dari penderita adalah supir. Jumlah tersebut merupakan akumulasi tahun 2007 sampai bulan Agustus 2008, dimana tahun 2007 ditemukan kasus HIV/AIDS sebanyak 20 orang dan sampai Agustus 2008 sebanyak 74 orang. Menurut Ramadhan (2008), kasus HIV/AIDS merupakan fenomena gunung es, dimana kasus yang terdata hanya sekitar 10% dari penderita HIV/AIDS yang sesungguhnya. Dari jumlah kasus HIV/AIDS di Kabupaten Karo yang terdata sebanyak 74 orang, maka diperkirakan jumlah penderita yang sebenarnya sebanyak 740 orang. Mengacu Sasongko (2007) bahwa penderita IMS mempunyai resiko 2 9 kali lebih besar untuk tertular HIV, maka dari jumlah perkiraan penderita HIV/AIDS di Kabupaten Karo sebanyak 740 orang dapat diperkirakan jumlah masyarakat yang menderita IMS sebanyak 1.400 6.660 orang. Dari data profil kesehatan Kabupaten Karo tahun 2007 bahwa jumlah penderita IMS yang berobat ke seluruh puskesmas sebanyak 135 orang, sedangkan jumlah penderita IMS yang berobat ke sarana kesehatan lain belum terdata oleh karena itu jumlah penderita IMS yang sesungguhnya belum dapat diketahui secara pasti. Puskesmas Kabanjahe sebagai salah satu unit pelayanan kesehatan di Kota Kabanjahe, melaksanakan kegiatan/pelayanan tambahan dengan membentuk Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS). Berdasarkan data Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe menunjukkan bahwa jumlah pasien baru sejak berdiri pada bulan Maret 2008 sampai Januari 2009 sebanyak 113 orang, secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1.1 berikut:
Tabel 1.1. Jumlah Pasien Baru Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe Maret tahun 2008 sampai Januari tahun 2009 No Bulan Jumlah Pasien Baru 1 Maret 4 2 April 6 3 Mei 9 4 Juni 10 5 Juli 12 6 Agustus 10 7 September 11 8 Oktober 13 9 November 11 10 Desember 12 11 Januari 15 Jumlah 113 Sumber: Puskesmas Kabanjahe, 2008 Berdasarkan Tabel 1.1 diketahui bahwa kunjungan pasien ke Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe sebagai sarana pelayanan bagi penderita IMS yang baru didirikan di tingkat puskesmas sudah dimanfaatkan oleh masyarakat. Walaupun sampai saat ini terlihat ada respons masyarakat untuk memanfaatkan klinik IMS Puskesmas Kabanjahe namun masih rendah apabila dibandingkan dengan besarnya resiko yang tertular pada masyarakat sebagaimana perkiraan di atas. Pada awal berdirinya, Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe dikunjungi oleh pasien yang sebagian besar berasal dari wilayah Kecamatan Kabanjahe dan Kecamatan Berastagi. Namun saat ini sudah ada yang berasal dari wilayah kecamatan lain, seperti Kecamatan Laubaleng, Kecamatan Merek, Kecamatan Kutabuluh maupun kecamatan lainnya yang ada di Kabupaten Karo.
Frekuensi kunjungan pasien ke Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe yang paling banyak hanya kunjungan sekali 74,62%, sedangkan yang melakukan kunjungan ulang sebanyak 25,38%. Berdasarkan prosedur tetap (protap) pengelolaan klinis IMS (Depkes RI, Usaid dan FHI, 2007), meliputi (a) anamnesis, (b) pemeriksaan fisik, (c) pemeriksaan laboratorium, (d) pengobatan segera, langsung dan tepat, konseling dan tindak lanjutnya bagi setiap pasien. Dari uraian prosedur tetap tersebut diketahui bahwa proses pengobatan pasien penyakit IMS harus dilakukan secara berkelanjutan, dengan demikian harus dilakukan ulang ke sarana kesehatan. Berdasarkan jenis kelamin pasien Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe umumnya adalah perempuan 86,5% dan laki-laki 13,5%. Hampir sama dengan jenis kelamin pasien penderita IMS yang berkunjung ke Puskesmas Berastagi yaitu 84,2% perempuan dan 15,8% laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesadaran perempuan untuk memeriksakan kesehatannya, dalam hal ini yang terkait dengan infeksi menular seksual, lebih tinggi daripada tingkat kesadaran laki-laki. Jenis penyakit yang paling banyak diderita pasien adalah servisitas (44%), Bacterial Vaginosis (34%), candidiasis (10%), sedangkan sifilis lanjut, uretritis, procitis dan cancroid masing-masing 3%. Hal ini menunjukkan persentase tertinggi penyakit IMS yang diderita pasien adalah servisitas. Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Karo No.38 tahun 2001 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan, ditetapkan biaya pelayanan kesehatan rawat
jalan di puskesmas meliputi: biaya karcis Rp. 1.000, biaya obat standar Rp.5.000, dan biaya pemeriksaan laboratorium Rp. 5.000 untuk sekali pelayanan. Menurut Raharjo (2005), faktor-faktor yang memperlambat upaya mengurangi risiko penyebaran PMS adalah kurangnya akses penderita IMS ke sarana pelayanan kesehatan, waktu buka klinik dan lokasi klinik yang tidak strategis, keterbatasan biaya dalam membeli kondom di apotek, toko lain atau klinik, kurangnya rasa percaya diri, staf klinik yang memiliki sikap negatif terhadap kegiatan seks dan penggunaan alat kontrasepsi atau karena ada larangan. Hasil penelitian Iswarati & Prihyugiarto (2005) menyimpulkan bahwa pasien berasal dari keluarga dengan tingkat kesejahteraan menengah ke atas lebih banyak mengetahui tentang penyakit IMS dibanding keluarga miskin. Pasien berumur lebih tua, tinggal di perkotaan, dan berpendidikan lebih tinggi lebih banyak yang rnengetahui penyakit IMS dibanding pasien berumur lebih muda, tinggal di pedesaan, dan berpendidikan lebih rendah. Mengacu kepada penelitian tersebut dapat dijelaskan bahwa karakteristik masyarakat berpengaruh terhadap pengetahuan tentang penyakit menular serta tingkat pengetahuan masyarakat tersebut akan mendorong atau tidak untuk melakukan tindakan pencegahan, seperti melakukan pemeriksaan atau konsultasi ke pelayanan kesehatan yang menyediakan pelayanan IMS seperti Klinik IMS. Menurut Lewin dalam Notoatmodjo (2005), ada empat variabel kunci yang terlihat di dalam tindakan seseorang untuk melawan atau mengobati penyakitnya, yakni kerentanan yang dirasakan terhadap suatu penyakit, keseriusan yang dirasakan,
manfaat yang diterima dan rintangan yang dialami dalam tindakannya melawan penyakitnya dan hal-hal yang memotivasi tindakan tersebut. Berdasarkan pendapat tersebut dibuat suatu model yang disebut model kepercayaan kesehatan (The health belief model). Sementara Anderson (1995) menggambarkan model pemanfaatan pelayanan yang berupa determinan yang memengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan, dimana pada model ini terdapat tiga katagori utama dalam pelayanan kesehatan, yakni : karakteristik predisposisi, karakteristik kemampuan dan karakteristik kebutuhan. Berdasarkan uraian di atas sehubungan dengan upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit IMS maka perlu dilakukan penelitian tentang karakteristik dan motivasi pasien terhadap memanfaatkan pelayanan Klinik IMS di Puskesmas Kabanjahe. 1.2. Perumusan Masalah Dari besarnya peluang terjadinya penularan penyakit IMS dan telah tingginya kasus HIV/AIDS pada masyarakat di Kabupaten Karo, maka keberadaan Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe sangat diharapkan pemanfaatannya oleh masyarakat sebagai sarana pelayanan kesehatan untuk pencegahan dan penanggulangan penyakit IMS termasuk HIV/AIDS. Mengingat masih rendahnya pemanfaatan klinik IMS Puskesmas Kabanjahe dibandingkan dengan besarnya risiko yang diperkirakan tertular pada masyarakat, sehingga perlu diketahui faktor-faktor apa dari pasien
tersebut yang berpengaruh terhadap pemanfaatan klinik IMS dimaksud, maka permasalahan penelitian adalah : bagaimana pengaruh karakteristik predisposisi (demografi, struktur sosial, keyakinan terhadap pelayanan), karakteristik kemampuan dan karakteristik kebutuhan serta motivasi pasien (intrinsik dan ekstrinsik) terhadap pemanfaatan pelayanan Klinik IMS di Puskesmas Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2009? 1.3. Tujuan Penelitian Untuk menganalisis pengaruh karakteristik predisposisi (demografi, struktur sosial, keyakinan terhadap pelayanan), karakteristik pendukung kemampuan dan karakteristik kebutuhan serta motivasi pasien (intrinsik dan ekstrinsik) terhadap pemanfaatan pelayanan Klinik IMS Puskesmas Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2009. 1.4. Hipotesis Ada pengaruh karakteristik predisposisi (demografi, struktur sosial, keyakinan terhadap pelayanan), karakteristik kemampuan dan karakteristik kebutuhan serta motivasi pasien (intrinsik dan ekstrinsik) terhadap pemanfaatan pelayanan Klinik IMS di Puskesmas Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2009. 1.5. Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas Kabanjahe dalam upaya meningkatkan pelayanan kesehatan bagi penderita IMS.
2. Sebagai bahan masukan bagi tenaga kesehatan di Puskesmas Kabanjahe yang terlibat langsung dalam penanganan penderita IMS untuk dapat memberikan pelayanan yang optimal. 3. Sebagai sarana dan wahana bagi peneliti dalam mengembangkan pengetahuan tentang kebijakan dalam penanggulangan penyakit menular.