SISTEM PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN DI SUB DAS MANTING

dokumen-dokumen yang mirip
IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB 3 GAMBARAN UMUM WILAYAH

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

KONDISI UMUM BANJARMASIN

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN. Oleh Yudo Asmoro, Abstrak

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Cidokom Kecamatan Rumpin. Kecamatan Leuwiliang merupakan kawasan

Gambar 3 Peta lokasi penelitian terhadap Sub-DAS Cisangkuy

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN. wilayah kilometerpersegi. Wilayah ini berbatasan langsung dengan

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.

commit to user BAB I PENDAHULUAN

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

V. EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI HULU DAS JENEBERANG

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

III. KEADAAN UMUM LOKASI

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan,

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Ekologi Padang Alang-alang

KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

BAB IV KONDISI UMUM. Gambar 3 Peta Lokasi Sub-sub DAS Keyang, Slahung, dan Tempuran.

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Pulau Panjang (310 ha), Pulau Rakata (1.400 ha) dan Pulau Anak Krakatau (320

TINJAUAN HIDROLOGI DAN SEDIMENTASI DAS KALI BRANTAS HULU 1

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng

3. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Letak Geografis

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

DAFTAR ISI Keaslian Penelitian... 4

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian. Sungai Oyo. Dalam satuan koordinat Universal Transverse Mercator

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

MODEL USAHATANI SAYURAN DATARAN TINGGI BERBASIS KONSERVASI DI DAERAH HULU SUNGAI CIKAPUNDUNG

BAB II TINJAUAN UMUM

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak Geografis. Daerah penelitian terletak pada BT dan

TINJAUAN PUSTAKA. secara alamiah. Mulai dari bentuk kecil di bagian hulu sampai besar di bagian

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara

BAB IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI

PENDAHULLUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat

TINJAUAN PUSTAKA. Survei Tanah. potensi sumber dayanya adalah survei. Sebuah peta tanah merupakan salah satu

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis

I. PENDAHULUAN. kerusakan akibat erosi dalam ekosistem DAS (Widianto dkk., 2004). Kegiatan

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

V. GAMBARAN UMUM KECAMATAN TOSARI

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. tersebut relatif tinggi dibandingkan daerah hilir dari DAS Ciliwung.

4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

Transkripsi:

SISTEM PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN DI SUB DAS MANTING Batasan Sistem Sistem pengelolaan kawasan hutan yang dipelajari dalam penelitian ini dilaksanakan di Sub DAS Manting yang luasnya 460 ha, sesuai defenisi Sub Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Wilayah VI Malang dan Proyek Kaii Konto. Sub DAS ini terletak di bagian hulu DAS Konto Hulu yang secara geografis terletak pada 112" 27' 0" BT dan 7" 50' 40" LS, dan merupakan salah satu daerah tampung Waduk Selorejo. Secara administratif, Sub DAS Manting terletak di Desa Tawangsari Kecamatan Pujon kurang lebih 25 km arah barat laut Malang, pada ketinggian 1150 sampai 2650 meter dari muka laut. Seluruh arealnya merupakan kawasan hutan negara dan berdasarkan administrasi kehutanan, kawasan ini termasuk areal kerja RPH Pujon Lor, BKPH Pujon, KPH Malang. Peta lokasi penelitian ditunjukkan pada Gambar 14. Sebag ian besar wilayah Sub DAS Manting merupakan kawasan hutan lindung (87.79 %) dan selebihnya hutan produksi terbatas (12.21 56) yang dikelola oleh Perum Perhutani Unit I1 Malang dengan melibatkan pesanggem (penduduk disekitar hutan sebagai mitra Perum Perhutani) dalam pola tumpangsari. Analisis Kebutuhan Sistem pengelolaan kawasan hutan di Sub DAS Manting secara umum diarahkan untuk memperoleh manfaat optimal dari kawasan hutan dengan tetap memelihara kelestariannya. Secara spesifik, sistem yang dipelajari dibatasi untuk memenuhi empat kebutuhan pokok, yaitu (1) distribusi al iran sungai mendekati normal sepanjang tahun sehingga mengurangi puncak banjir di musim hujan dan meningkatkan ketersediaan

Sub DAS Manting Km Batu Km Dl 1 tar DAS Konto Hulu Sketsa Peta Jawa Timur 0 L e g e n d a --- = Batas DAS/Sub DAS = Sungai = Lokasi Penelitian (Sub DAS Manting) Skala 1 : 100 000 Gambar 14. Peta Lokasi Penelitian

40 air di musim kemarau yang penting bagi pemenuhan keperluan air domestik. Tolok ukur yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan ini adalah rasio debit aliran sungai maksimum terhadap minimumnya adalah minimum; (2) laju erosi minimum, sehingga kehilangan lapisan olah, bahan organik dan ham, yang penting bagi pertumbuhan vegetasi, dapat ditekan. Kepentingan ini juga sejalan dengan upaya pengurangan laju sedimentasi di sungai dan Waduk Selorejo. Tolok ukur yang digunakan adalah laju erosi lebih rendah atau sama dengan TSL. Nilai ini mempertimbangkan laju perkembangan tanah Andosol sesuai hasil penelitian Hardjowigeno (I 987) serta laju erosi di DAS Konto Hulu sesuai standar disain Waduk Selorejo; (3) hasil sedimen minimum. dengan tolok ukur hasil sedimen yang diperkenankan menurut standar disain Waduk Selorejo. Kebutuhan ini dikaitkan dengan jaminan keberlanjutan fungsi Waduk Selorejo sebagai peredam banjir daerah hilir, sumber energi listrik tenaga air, penyedia air irigasi serta obyek wisata; dan (4) pendapatan pesanggem yang terlibat dalam pola tompangsari adalah maksimum. Pihak-pihak yang berkepentingan dalam pemenuhan kebutuhan di atas ada- lah Perum Perhutani Unit I1 Malang, Sub Balai Rehabilitasi dan Konservasi Tanah Wilayah VI Malang, Pemerintah Daerah Tingkat 11 Kabupaten Malang serta penduduk setempat khususnya pesanggem yang terlibat smra langsung dalam kegiatan turnpangsari. Formulasi Permasalaban Masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan hutan di Sub DAS Manting (khususnya penduduk Desa Tawangsari Kecamatan Pujon) sampai saat ini masih menggantungkan sebagian hidupnya terhadap hutan. Sumberdaya hutan yang dimanfaatkan berupa kayu bangunan, kayu bakar dan rumput makanan ternak, baik untuk kebutuhan keluarga maupun untuk dijual. Kehadiran Perum Perhutani

41 Unit I1 makin meningkatkan kepentingan hutan sebagai suatu sistem bio-ekonomi melalui pemanfaatan sebagian arealnya sebagai hutan produksi serta keterlibatan penduduk setempat (pesanggem) yang dapat memperoleh tambahan pendapatan dari hasil panen tanaman semusim dalam pola tumpangsari. Pertambahan jumlah penduduk yang menyebabkan terjadinya perkembangan yang cukup pesat dalam kegiatan sosial maupun kegiatan ekonomi kemasyarakatan, makin meningkatkan peluang ketergantungan terhadap hutan. Untuk itu pada tahun t9wan dikenalkan kegiatan ekonomi baru berupa usaha ternak sapi perah yang dikelola oleh Koperasi Susu KOPSAE yang salah satu sasarannya adalah mengurangi ketergantungan penduduk terhadap kawasan hutan. Ditunjang oleh keterbatasan iahan usaha serta ketidakstabilan harga hasil panen tanaman semusim, maka usaha ternak sapi perah berkembang dengan laju yang cukup pesat. Namun, hasil pengamatan menunjukkan bahwa sasaran pengurangan ketergantungan terhdap kawasan hutan melalui kegiatan ini belum dapat tercapai malahan sebaliknya. Ini disebabkan karena perkembangan usaha ini makin meningkatkan kebutuhan rumput makanan ternak dan kayu bakar yang hampir seluruhnya bersumber dari hutan. Berdasarkan uraian di atas maka dapat diidentifikasi permgsalahan pokok yang menjadi sumber kerusakan kawasan hutan di Sub DAS Manting adalah intensifnya pengambilan kayu bakar dan rumput makanan ternak oleh penduduk yang bermukim disekitar hutan. Perubahan yang terjadi adalah kerusakan struktur vegetasi hutan dari hutan rapat dengan penutupan tajuk iebih 80 % rnenjadi hutan jarang dengan penutupan tajuk kurang 50 % dan semak. Perubahan ini terjadi seluas 86 % dari luas hutan sebelumnya, meliputi 65 % berubah menjadi hutan jarang dan 2 1 % menjadi semak. Perubahan kondisi hidroorolog is yang terjadi akibat pengurangan dan kerusakan kawasan hutan ini antara lain (1) meningkatnya rasio debit aliran Sungai

Manting secara nyata hanya dalam waktu yang relatif pendek yaitu dari 7.% pada tahun 1987 menjadi 14.44 pada tahun 1989, (2) kontribusi areal terhadap kasil air sekitar 8 kali lebih tinggi dibanding Sub DAS lain di wilayah hulu dan 3 kali lebih tinggi dari nilai rataan daerah aliran Wduk Selorejo, dan (3) hasil sedimen terjadi sebesar 4 kali lebih tinggi dari nilai rataan daerah aliran Waduk Selorejo (diolah dari data Suharto, 1989; Proyek Kali Konto, 1991). Fenomena ini mengimp4 ikasikan bahwa respon hidroorologi Sub DAS Manting meningkat oleh penurunan kualitas kawasan hutannya. Identifikasi Sistern Hasil identifikasi sistem pengelolaan kawasan hutan di Sub DAS Manting dituangkan dalam bentuk diagram lingkar sebab akibat seperti yang diskemakan pada Gambar 3 dan diagram kotak hitamnya pada Gambar 4. Diagram alir pada Gambar 3 secara umum menunjukkan bahwa pemanfaatan kawasan hutan di Sub DAS Manting akan meningkatkan pendapatan baik di pihak Perhutani maupun pesanggem. Namun demikian karena pemanfaatan ini terkait dengan kegiatan manipulasi sumberdaya khususnya vegetasi penutup dan tanah maka secara langsung atau tidak langsung juga akan rnempengaruhi perilaku hidroorologi kawasan ini. Dengan pola pengelolaan yang tepat melalui pengaturan pemanfaatannya, diharapkan akan diperoleh tambahan pendapatan yang layak tanpa menimbulkan dampak negatif yang berarti terhadap kondisi hidroorologisnya. Diagram kotak hitam pada Gambar 4 menunjukkan bahwa sistem pengelolaan kawasan hutan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan yang diinginkan berupa rasio debit aliran sungai minimum, laju erosi dan hasil sedimen minimum serta pendapatan (dibatasi pada pendapatan pesanggem dalam pola tumpangsari) yang maksimum. Kebutuhan ini dapat dicapai dengan manipulasi masukan kebijakan 42

melalui pengaturan pemanfaatan kawasan hutan serta tindakan pengelolaan yang diperlakukan terhadap tanah dan tanaman. Melalui managemen pengedali, keluaran sistem yang tidak diinginkan akan dikendalikan dan akan memberikan sejumlah informasi penting dalam pengelolaan melalui pengaturan masukan kebijakan. Dalam pemenuhan keluaran yang diiginkan maka sistem pengelolaan melibatkan tiga sub sistem, masing-masing Sub Sistem Hidrologi, Sub Sistem Erosi- Sedimentasi dan Sub Sistem Ekonomi. Struktur model diskemakan pada Gambar 2 dan karakteristik masing-masing sub sistem dijelaskan dalam uraian bexikut. Sub S'im Hidrologi Sub Sistem Hidrologi dirancang untuk memenuhi kebutuhan distribusi aliran mendeicati normal sepanjang tahun. Masukan utama sub sistem ini adalah unsur iklim meliputi curah hujan dan unsur cuaca, dan respon hidmlogi sebagai kelsub siem ini sangat ditentukan oleh kondisik fisik daerah alirannya. Curah Hujan. Gambaran keadaan curah hujan diperoleh dengan menganaiisis data curah hujan yang terukur di 5 stasion penakar hujan yang tersebar dalam wilayah Sub DAS Manting (Gambar 15). Di bagian hilir terdapat 2 stasion tipe Hellman skala harian, bagian huiu 2 stasion tipe Hellman SIC& bubm clan bagian tengah 1 stasion tipe SIAPIVU otomattis skata 15 menitan. Analisis data curah hujan dengan metode Poligon Thiessen memberikan rataan curah hujan tahunan selama tiga tahun (1987-1989) sebesar 2089 mm. Nilai ini sebanding dengan rataan curah hujan yang terukur di stasion terdekat di Pujon periode 1950-1988 sebesar 2113 mm serta di beberapa stasion lainnya di kawasan DAS Konto Hulu seperti di Batu, Kedungrejo, Gunung Butak, Ngantang dan Gunung Srandil, berkisar 2 114 mm. Curah hujan yang tinggi terjadi pada bulan Oktober sampai Mei dan tertinggi bulan kmber. Curah hujan rendah terjadi pada bulan Juni sampai

Gambar 15. Peta Lokasi Stasion Hidrometeorologi di Sub DAS Manting

September dan terrendah bulan September. Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson (1951) maka wilayah Sub DAS Manting tergolong kedalam tipe hujan B dengan 2 bulan kering dan 8 bulan basah. Rataan curah hujan dan hari hujan harian periode bulan Nopember 1988 sampai Oktober 1989 disajikan pada Tabel Lampiran 1 dan rataan serta pola hujan bulanannya pada Tabel 1 dan Gambar 16. Pada periode ini Sub DAS Manting menerima curah hujan sebesar 2581 mm dengan 172 hari hujan. Curah hujan yang tinggi pada periode ini terjadi pada bulan Nopember sampai Mmet dengan ratarata 336.8 mm. 45-1 1. Curah Hujan dan Hari Hujan Bulanan Periode Bulan Napember 1988 sampai Oktober 1989 di Sub DAS Manting Curah Hujan (mm) Hari Hujan (hari 1 Jumlah 2581.8 172 Sumber: Stasion Penakar Hujan di Sub DAS Manting

CURAH HUJAN (MM) - - - -. - - - -- 111 i - --- 1 I I I I CURAH HUJAN I / 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0 1 1 1 2 BULAN KE- HARl HUJAN (HARI) - 1 2 3 4 5 6 7 8 9 l O l l 1 2 BULAN KE- Gambar 16. Pola Hujan (a) dan Hari Hujan Bulanan (b) Periode Bulan Nopember 1 988 sampai Oktober 1989 di Sub DAS Manting

Unsur Cuaca. Masukan unsur cuaca digunakan untuk menduga besarnya evvtranspirasi potensial, yaitu komponen penting yang menentukan kehilangan air di atas Sub DAS. Data unsur cuaca yang meliputi suhu udara, kelembaban relatif udara, lama penyinaran matahari dan kecepatan angin, diperoleh dari Stasion Kl imatologi Manting, di Tawangsari. Besaran unsur cuaca yang terukur pada periode bulan Nopember 1988 sampai Oktober 1989 ditunjukkan pada Tabel 2. Rataan suhu udara yang terukur di Sub DAS Manting relatif rendah yaitu bedcisar 19.77 "C dengan variasi yang tidak besar. Suhu udara tertinggi terukur pada bulan Nopember sebesar 20.50 OC dan terrendah pada bulan Agustus sebesar 18.53 OC. Rendahnya suhu udara di wilayah ini dapat difahami karena terletak pada ketinggian 1175 m sampai 2000 m di atas muka laut (Braak, 1977). Kelembaban udara rata-rata 76.96 %, tertinggi pada bulan Mei sebesar 80.76 % dan terrendah bulan September sebesar 69.75 %. Lama penyinaran matahari rata-rata 4.06 jamlhari, tertinggi pada bulan Oktober sebesar 6.07 jamlhari dan terrendah bulan Pebruari 2.15 jamlhari. Kecepatan angin berkisar 1.5 1 mldetik, tertinggi pada bulan Pebruari sebesar 1.85 mldetik dan terrendah pada bulan Juni 1.15 mldetik. Secara umum, ketiga unsur cuaca tersebut juga tidak memperlihatkan variasi bulanan yang menyolok. Kondisi Hidrologis. Sungai Manting mengalir dari utara ke selatan, berhulu di komplek Pegunungan Andjosmoro dan bermuara di Desa Tawangsari. Aliran sungainya bersatu dengan Sungai Kali Konto di Desa Ngabab. Panjang sungai utamanya sekitar 3.6 km dengan gradien sungai rata-rata 49 %. Sungai ini termasuk tipe perennial yang mengalirkan airnya sepanjang musim. Sub DAS Manting mempunyai bentuk paralel dengan nilai faktor bentuk (perbandingan luas Sub DAS dengan luas lingkaran kelitingnya) sebesar 0.4. Ciri

Tabel 2. Besaran Unsur Cuaca Periode Bulan Nopember 1988 sampai Oktober 1989 di Sub DAS Manting Suhu Kelembaban Lama Kecepa t an Bulan Ke- Udara Udara Penyinaran Angin (OC) (%) (jam/hari) (m/dtk) Rat aan 19.77 76.96 4.06 1.51 Sumber: Stasion Klimatologi Manting, Thwangsari. ini mengimplikasikan bahwa air hujan yang jatuh di atas Sub DAS membutuhkan waktu yang relatif lama untuk sampai pada titik keluaran. Kerapatan drainase (indek yang menunjukkan jumlah anak sungai dalam Sub DAS) dipcroleh sebesar 1.8 yang berarti bahwa aliran sungainya mengalir cukup cepat dan tidak tergenang untuk jangka waktu yang lama. Rataan debit aliran bulanan selama periode 1987 sampai 1989 diperoleh sebesar 0.193 m3/detik. Selama periode tersebut, debit aliran maksimum dicapai sebesar 0.655 m3/detik yang terjadi pada bulan Pebruari 1989 dan minimum 0.035 m3/detik pada bulan September 1987. Rataan debit aliran Sungai Manting periode tahun 1987 sampai 1989 ditunjukkan pada Gambar 17.

- DEBIT ALIRAN SUNGAI (M31DTK) -- - -- A -- -- -- - 0.5, I - - - - 0.4 1, 4 0.3 { 1 M \\ w-2. '. 0.1 =-. i --- 0 j 4 DEBIT ALIRAN SUNOAI I _- -. -- -_ -- -- - -- -'\ -T- -- - T---T- -- -- 7- I --I- 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 BULAN Gambar 17. Rataan Debit Aliran Sungai Manting Periode Mun 1987 sampai 1989 Fluktuasi aliran Sungai Manting meningkat selama tiga periode pengukuran. Pada tahun 1987 rasio debit aliran maksimum terhadap minimumnya tercatat sebesar 7.96 dan rasio debit aliran maksimum terhadap rata-ratanya 2.14. Pada tahun 1988 rasio debit aliran maksimum terhadap minimumnya meningkat sebesar 8.67 % dan tahun 1989 meningkat 67.39 %. Sementara itu, rasio debit aliran maksimum terhadap rata-ratanya meningkat sebesar 5.61 % pada tahun 1988 dan 23.83 % pada tahun 1989. Respon hidrologis ini diduga berkaitan dengan perubahan penutupan Man selama periode tersebut. Pada tahun 1988 (Nopember), sekitar 30 ha areal semak dibuka menjadi areal tumpangsasi. Perubahan ini menyebabkan peningkatan rasio debit aliran maksimum terhadap minimumnya (tercatat pada tahun 1989) sebesar 1.8 kali serta rasio debit aliran maksimum terhadap rataratanya 1.2 kali lebih tinggi dari pada nilai yang terukur sebelumnya.

Sub Sistem Erosi-Sedimentasi Sub Sistem Erosi-Sedimentasi dirancang untuk memenuhi keluaran laju erosi dan sedimentasi minimum sesuai disain standar yang diinginkan. Masukan utama sub sistem ini meliputi sifat hujan, topografi, sifat-sifat tanah, tipe penutupan dan teknologi pengelolaan lahan. Sifat Hujan. Data curah hujan sebagai masukan sub sistem ini meliputi rataan curah hujan bulanan, hari hujan dan curah hujan maksimum selama 24 jam setiap bulan, yang digunakan untuk menduga besarnya erosivitas hujan. Gambaran umurn keadaan curah hujan telah ditunjukkan pada uraian sebelumnya. Rataan curah hujan tahunan diperoleh sebesar 2089 mm dengan rataan bulanan pada musim penghujan (bulan Nopember sampai Maret) sebesar 282.15 mm dengan hari hujan 19.6 hari, dan musim kemarau (April sampai Oktober) sebesar 78.05 mm dengan hari hujan 10.6 hari. Curah hujan bulanan tertinggi terukur pada bulan Desember 351.80 mm dan terrendah bulan September 21.18 mm. Rataan curah hujan maksimum harian selama musim hu@ diperoleh sebesar 46.24 mm dan musim kemarau 25.74 mm. Curah hujan maksimum tertinggi pada musim hujan terjadi pada bulan Januari sebesar 54.35 mm dan musim kemarau pada bulan Mei sebesar 33.32 mm. Topografi. Wilayah Sub DAS Manting umumnya merupakan daerah agak curam sampai sangat curam dengan lereng lebih 15 sampai lebih 100 % (Gambar 18). Klasifikasi areal menurut kelas lereng (Tabel 3) menunjukkan bahwa sebagian besar wilayahnya berlereng lebih dari 40 %, meliputi areal 76.7 % dari luas wilayah Sub DAS Manting. Daerah curam sampai sangat curam menyebar di bagian hulu dan tengah dan hanya sebagian kecil berlereng landai sampai agak curam yaitu di daerah lembah dan pinggiran sungai.

Gainbar 17. Peta Kelas Lereng Sub DAS Manting

Tabel 3. Klasifikasi Kelas Lereng Sub DAS Manting Unit Peta Bentuk Wilayah Lereng Luas Persentase (%) (ha) (% A Datar 0-8 - - B Landai 8-15 - - C Agak Curam 15-25 23.5 5.1 D Curam 25-40 69.9 15.2 E Sangat Curam > 40 366-6 79.7 Sumber: Perh itungan Planimetris Peta Topografi Sub DAS Manting Skala 1 : 20.000. Hasil analisis Peta Topografi skala 1 : 20 000 memberikan nilai rataan panjang lereng berkisar 168.87 m dengan panjang maksimum 252 m clan minimum 42 m. Rataan kemiringan lereng diperoleh berkisar 81.54 % dengan kemiringan maksimum 165 % dan minimum 14 %. Tanah. Ciri geologis dan geomorforlogis kawasan Sub DAS Manting secara nyata dipengaruhi oleh aktivitas vulkanis dan orogenetis. Pengaruh yang paling kuat adalah aktivitas vulkanis Gunung Andjamoro di bagian utara yang merupakan komplek gunung api berumur tua yang diperkirakan terbentuk pada Pleistocene tengah atau atas. Wilayah ini juga dipengaruhi oleh aktivitas Gunung Api Kembar Butak dan Gunung Kawi dibagian selatan. Kawasan ini meliputi daerah aiiran lava tebal dan ekstensif dari komposisi basaltik sampai menengah yang meliputi batuan geanticline tersier tua (Van Bemmelen, 1949). SeIain itu, batuan andesitik yang rapuh dan melapuk maupun hasil sortasi bahan batu apung (pumice) kasar sebagai bahan induk tanah ini, membentuk tanah yang menunjukkan sifat fisik dan kimia yang tergolong baik. Secara umum, pembentukan tanah di wilayah ini dipengaruhi oleh prosesproses pelapu kan, transformasi, pencucian dan iluviasi. Adanya perbedaan dalam

bentang lahan menyebabkan terbentuknya zone-zone tanah geografis yang memperlihatkan pola tanah yang spesifik. Di zone dengan bentang lahan bergunung (curam sampai sangat curam) yang meliputi bagian hulu dan tengah Sub DAS terbentuk tanah Andosol. Didataran antar vulkanik dan lembah aluvial terbentuk tanah Kambisol. Di bagian hulu Sub DAS ini nampak pengaruh orogenetis yang intensif yang memungkinkan terbentuknya tanah Litosol dalam bentang Andosol. Luas dan sebaran macam tanah di wilayah ini ditunjukkan pada Tabel 4 dan Gambar 19. Tabel 4. Sebaran Jenis Tanah di Sub DAS Manting Unit Peta Jenis Tanah (PPT) Luas (ha) Persentase (t) MS/SS Andosol+Litosol MS /NE Mollik Andosol HS/Net Andik Cambisol A1 /SA Litik Andosol Sumber: Pengukuran Planimetris Peta Tanah Sub DAS Manting Skala 1 : 20.000 Sifat-sifat tanah yang berkembang di Sub DAS Manting disajikan pada Tabel Lampiran 2 dan Tabel 5. Tanah Andosol yang berkembang di bagian hulu Sub DAS ini diklasifikasikan lebih lanjut sebagai Mollik Andosol (Eutrandeptt Eutropept) dari Seri Ngebrong. Tanah ini mempunyai tekstur berlempung, kejenuhan basa tinggi, ph tanah sedang sampai netral, mempunyai horison gelap dengan kandungan bahan organik serta porositas tinggi.

Gainbar 19. Peta Tanah Sub DAS Manting

Tabel 5. Sifat Fisik dan Kimia Tanah di Sub DAS Manting Sifat Tanah Mollik Litik Andosol Andik Andosol Andosol Litosol Kambisol PH. Bahan organik (%) Tekstur - debu (%I - liat (%) - pasir halus (%I - pasir kasar (%) Permeabilitas (cm/jam) Bobot isi (c~/cm~) Porositas (%) - Lapisan A (% Vol) - Lapisan B (% Vol) Tanah Kambisol yang berkembang di bagian hilir diklasifikasikan sebagai Andik Kambisol (Eutrandept) dari seri Jombok. Tanah ini juga berkembang dari abu volkan melalui evolusi Andosol. Pada proses ini, terjadi tmsformasi mineral liat di mana mined alofan terhidrasi dan berubah menjadi halosit dan mineral kristalin lainnya yang menyebabkan sifat andosolnya berkurang. Secara umum, tanah ini dicirikan oleh bobot isi yang sedikit lebih tinggi, kandungan bahan orga- nik lebih rendah serta kandungan liat lebih tinggi dari tanah Andosol (Unibraw, 1984; 1985).

Tanah Litosol dalam bentang Andosol (dominan Andawl, Eutrandept) ber- kembang di bagian hulu pada daerah dengan bentuk wilayah yang curam sampai sangat curam. Perkembangan tanah ini diduga dipercepat oleh penghanyutan lapis- an tanah atas melalui proses erosi karena terkupasnya penutup lahan baik secara alami maupun oleh gangguan manusia yang berlangsung daiam jangka waktu yang lama. Proses ini menyebabkan makin tipisnya solum tanah. Pemanfaatan Lahan dan Vegetasi. Bentuk pemanfaatan lahan di kawasan Sub DAS Manting meliputi hutan alam seluas 69.26 % dari seluruh wilayah Sub DAS, selebihnya semak 18.13 %, hutan tanaman 5.54 % dan tumpangsari 6.67 96. Hutan alam yang ada di wilayah ini merupakan kawasan hutan lindung yang ditumbuhi oleh sejumlah jenis pohon terutama dari farnili Fagaceae dan Mymccae~ Jenis yang dominan antara lain pasang (Lithocarpus sp.), meranak (Cust~nopsis acuminatissirna), jamuju (Podocarpus imbricatus), kesek (Engekrdia spicatu), kebek (Ficus grossu fariodes), gani tr i (Efaeocalpus obtusus), bimo (Eugenia sp.) dan gintungan (Itea macrophylla). Areal semak didominasi oleh jenis kirinyu (Eupatorim palescens dan E. riparium), waung (Lantana camara) dan celing (Rubus sp.). Secara bertahap lahan semak direboisasi menjadi hutan tanamm oleh Perum Perhutmi dengan pola tumpangsari (agrof~~estri). Pada pola ini dilakukan penanaman kombinasi tanaman kehutanan, tanaman penguat teras, hortikultura dtln berbagai jenis tanaman semu- sim, dengan meiibatkan masyarakat setempat sebagai pesanggem. Tanaman kehutanan yang diusahakan adalah damar (Agathis loranthifolia) yang ditanam pada jarak tanam 6 m x 2 m di atas teras. Pada jarak 1.5 m dari larikan tanaman damar ditanam tanaman penguat teras dari jenis lemuran (Cestrum elegans) dengan jarak tanam 3 m x 0.5 m. Di antara larikan tanaman penguat teras 56

ditanam tanaman kayu bakar jenis kaliandra (Calliundra spp.) dengan jarak tanam 3 m x 2 m dan di antara larikan tanaman penguat teras ditanam tanaman hortikultufa jenis advokat (Persea sp.) dengan jarak tanam 6 m x 6 m. Bidang olah antara larikan tanaman penguat teras d i tanam i tanaman semusim seperti bubis (Brarsica oleracea), wortel (Daucus carota), bawang prei (Allium porum), lombok besar (Capsicum annuum) dan jagung (Zea mays) dengan pola tumpangsari (Gambar 20). Selama periode 10 tahun yaitu dari tahun 1979-1989 terjadi perubahan pola penggunaan lahan (Tabel 6). Pada tahun 1984 terjadi pengurangan luas hutan alam tak terganggu (penutupan tajuk 50-100 %) seluas 22.73 ha, yang berubah menjadi hutan alam terganggu (penutupan tajuk 20-50 %) seluas 8 ha dan semak 27.88 ha. Areal tumpangsari berkembang menjadi areal hutan tanaman umur 1-5 tahun seluas 2.44 ha dan umur 6-10 tahun 17.17 ha. Areal tumpangsari yang efektif pada periode ini adalah 0.28 ha. Pada tahun 1989 tidak terjadi perubahan pada areal hutan alam. Perubahan yang terjadi adalah sebagian semak dibuka menjadi areal tumpangsari seluas 30.68 ha dan sebagian hutan tanaman telah berumur 6-10 tahun meliputi 11.05 ha dan umur lebih 10 tahun 14.43 ha. Selain perubahan luas hutannya, kawasan hutan di Sub DAS Manting juga telah mengalami degradasi. Berdasarkan atas kriteria ketertutupan tajuk, luas bidang dasar dan volume tegakan yang dikemukakan oteh RIN (1984), maka 37.59 % kawasan hutannya tergolong kategori degradasi tinggi (kelas D), 19.66 % kategori sedang (kelas C) dan 12.02 % kategori ringan sampai talc terganggu (kelas A dan B). Gambaran kondisi Sub DAS Manting berdasarkan tingkat degradasi hutannya ditunjukkan pada Gambar 21 dan Tabel 7. Pada tingkat degradasi berat struktur vegetasi hutan sangat terbuka, terdapat celah yang cukup besar dengan luas bidang dasar antara 15-30 mz per ha serta tingkat penutupannya antara 20-40 %. Tingkat ini ditandai dengan kerusakan

I Keterangan: = Tanaman pokok, damar 6 m x 2 m, 833 pohon/ha Q = Tanaman kayu bakar, kaliandra 3 m x 2 m, 1650 pohon/ha * = Tanaman hortikultura, alpokat 6 m x 6 m, 278 @n/ha + = Tanaman penguat teras, lemuran 3 m x 0.5 m = tanaman semusim n I Gambar 20. Pola Tanam Tumpangsari di Sub DAS Manting yang cukup berat oleh kegiatan penebangan yang berlangsung sejak lama. Roses ini menyebabkrrn terjadinya suksesi alamiah di mana celah yang ada ditumbuhi oleh jenis semak dan rumput. Berdasarkan hasil anrtlisis terhadap bentuk pemanfaatan clan tingkat degradasi hutannya, diperoleh tipe penutupan dan pemanfaatan lahan Sub DAS Manting seperti yang disajikan pada Tabel 8 dan Gambar 22 dan visualisasi setiap bentuk pemanfaatan lahan ditunjukkan pada Gambar 23. Struktur hutan alam yang tidak terganggu yang diidentifikasi sebagai hutan berpenutupan tajuk 82-88 % (kelas degradasi A dan B) dikategorikan sebagai hutan rapat sementara hutan alam terganggu berpenutupan 39-40 % (kelas C dan D) dikategorikan sebagai hutan jarang.

Tabel 6. Perubahan Penggunaan Lahan di Sub DAS Manting Periode Tahun 1979 sampai 1989 Pemanfaatan Lahan 1979 1984 1989 Luas Luas Luas (ha) (%) (ha) (%) (ha) (%I. Hutan alam tak terganggu penutupan tajuk 50-100 k 291.18 63.30 268.45 58.36 268.45 58.36 Hutan alam terganggu penutupan tajuk 20-50 % 42.04 9.14 50.04 10.88 50.04 10.88 Semak penutupan tajuk 0-5 % Semak penutupan tajuk 5-20 % Hutan tanaman umur 1-5 tahun. Hutan tanaman Umur 6-10 tahun Hutan tanaman Umur > 10 tahun Sumber: Perhitungan Planimetris Peta Penggunaan Lahan Sub DAS Manting Skala 1 : 20 000 Semak yang berpenutupan tajuk 5-20 % yang didominasi oleh Eupatorium palescens di kategor i kan sebagai semak rapat serta penutupan kurang 5 % sebagai semak jarang. Selanjutnya, areal hutan tanaman dibedakan berdasarkan umur po- hon dengan asumsi bahwa struktur vegetasi dan tingkat ketertutupan tajuknya akan berbeda sesuai perbedaan umur. Tanaman yang berumur lebih 10 tahun dikategori- kan sebagai hutan tanam tua dan kurang 10 tahun sebagai hutan tanaman muda.

Gambar 2 1. Peta Degradasi Hutan di Sub DAS Manting

Tabel 7. Tingkat Degradasi Kawasan Hutan di Sub DAS Manting Penutup Bidang Volume Luas Unit Peta status Tajuk Dasar Te akan (m2/ha) (m /ha) (ha) it) (% 3 A Hutan tak terganggu 88 63 397 - - B Degradasi ringan 82 57 359 - - C Degradasi sedang 4 7 4 0 252 90.66 19.66 D Degradasi berat 3 9 2 5 158 172.94 37.59 S Semak 0 11 68 85.18 18.52 N Tidak dispesifikasi - - - 56-16 12.21 Jumlah Sumber: RIN (1984). Tabel 8. Tip Penutupan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan di Sub DAS Mgnting -- Unit Peta Penutupan - -- Dekripsi Areal F2 Hutan Hutan yang relatif tidak terganggu, penutupan rapat tajuk 82-88 %, luas bidang dasar 57-63 m2/ha, volume tegakan 359-397 m3/ha, didominasi jenis j amu ju (Podocarpus imbricatus) dan bimo (Eugenia sp. F1 Hutan Hutan tergangp, penutupan 39-47 t,luas bidang j arang dasar 25-40 m /ha volume tegakan 152-252 m3/ha didominasi jenis pasang (Lithocarpus sp.) dan kesek (Enqelhardia spica ta) Semak rapat Semak j arang fiutan tan. muda Hut an tan. tua Tumpangsari Sumber: RIN (1984). S e w dengan penutupan 5-20 % dan didominasi j enis kir inyu (Eupa torium pal escens) Semak dengan penutupan kurang 5 t didominasi jenis kirinyu (Eupatoriuftt palescens) Hutan tanaman berumur kurang dari 10 tahun j enis damar (Aga this loranthifolia) Hutan tanaman berumur lebih dari 10 tahun jenis damar (Agathis loranthifolia) Areal campuran (agroforestri) antara tanaman kehutanan (damar) dan tanaman semusim.

Gambar 22. Peta Tipe Penutupan dan Pelnanfaatan Kawasan Hutan di Sub DAS Manting

$ - <. Keterangan: F2 = hutan rapat, F1 = hutan jarang, S2 = semak rapat, S 1 = semak jarang, D2 = hutan tanaman (damar) tua, -.. D I = hutan tanaman muda, dan TU = tumpangsari. 5- = '..? - -.. -,- amb bar^ 23. Visualisasi Bentuk Pemanfeetan Lahan di Sub DAS h4'pnting :.,

Pengelolaan tanaman dan Tindakan Konservasi. Penanaman tanaman kehutanan dan semusim dilakukan di atas teras bangku dengan tanaman penguat teras jenis lemuran (Cestrum elegans). Tampingan teras ditumbuhi oleh remejun (Eupatorium riparium) dan ada sebagian kecil pesanggem menanaminya dengan rumput gajah (Pennisetum purpureum) untuk keperluan makanan ternak. Dasar bagian dalam teras berfungsi sebagi saluran pembuangan. Namun demikian, karena kurangnya pemeliharaan maka kemiringan teras tidak dapat dipertahankan sehingga dibeberapa tempat terlihat tanda-tanda erosi pada permukaan bidang teras. Saluran pembuangan antar teras umumnya terdapat pada batas penggarapan tanpa dilengkapi dengan gebalan rumput dan bangunan terjunan air. Saluran pembuangan ini juga digunakan sebagai jalan setapak menuju ke Iahan garapan sehingga memudahkan terjadinya pengikisan dasar saluran. Penggunaan mulsa sisa tanaman belum dilakukan sepenuhnya karem diperuntukkan sebagai makanan ternak. Dibeberapa tempat dapat dijumpai pangkasan daun iemuran yang ditempatkan di antara larikan tanaman semusim. Sedirnentasi. Dalam penelitian ini, proses sedimentasi ditctapkm sebagai lanjutan proses erosi dan dihitung menurut konsep nisbah limpah dimen. Dengan demikian data ctasar yang dipertimbangkan meliputi k n y a laju emi, tipe penutupan lahan dan Iuas daerah aliran. Gambar 24 memperlihatkan gambatan hasil sedimen di Sub DAS Manting yang dihitung menurut teknik sedimenz rating curve. Dari hasil analisis diperoleh dugaan hasil sedimen (suspended load dan bedlood) periode bulan Nopember 1988 sampai Oktober 1989 sebesar 5724 tonltahun setara 1.75 mm (diolah dari data Suharto, 1989). Selama periode tersebut hasil sedimen tertinggi terjadi pada bulan Pebruari 1989 sebesar 1302 ton dan terendah bulan September 43.68 ton. Rataan hasil sedimen musim hujan terjadi sebesar 773 ton dan musim kemarau 181.2 ton. 64

SEDIMEN (TON) - 0 i* - SEDIMEN - ( 0 I I I I 1 I I 1 I I 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0 1 1 1 2 BULAN KE- Sub Sistem Ekonomi. Gambar 24. Pola Sedimentasi di Sub DAS Manting Periode Bulan Napember 1988 sampai Oktober f 98!3 Sub Sistem ekonomi dalam penelitian ini mengadisis sejiuh msrra k-i- busi pendapatan yang diterirna pesanggem terhadap penciapatan totalnya dan mene- lusuri pola pengelolaan yang dapat meningkatkan tambahan pendqatannya dari pola turnpangsari. Analisis ini ditunjang oleh aspek kependudukan dan tipe kegiat- an ekonomi d&un masyankat, karena erat kaitannya dengan keberadaan kawasan hutan. Kependudukan. Desa Ittwangsari yang tuasnya 1426.03 ha, dihuni 4749 jiwa penduduk dengan kepadatan 1 155 jiwa/km2. Jumlah ini meliputi 5 1.34 1 pria dan 48.66 % wanita. Desa ini terdiri dari 1070 rumah tangga dengan rata-rata 4 jiwa tiap rumah tangga. Gambaran keadaan kependudukan Desa Tawangsari ditun- jukkan pada Tabel 9.

Tabel 9. Keadaan Kependudukan Desa Tawangsari No. Perihal Jumlah Persentase (j iwa) (%I 1. Penduduk 4 749 100.00 Pria 2 438 51.34 Wanita 2 311 48.66 Umur > 15 tahun 3 085 64.96 2. Tingkat Pendidikan Penduduk usia sekolah 4 230 100.00 Sekolah Dasar 2 967 70.14 Sekolah Lanjutan Pertama 827 19.55 Sekolah Lanjutan Atas 285 6.74 Akademi 2 9 0.68 Perguruan Tinggi 10 0.23 Tidak/belum sekolah 112 2.66 Sumber: Monografi Desa 'lhwangsari Penduduk yang berusia di atas 15 tahun (usia kerja produktif yang sesuai di Desa lhwangsari) berjumlah 3085 jiwa. Dari jumlah ini 33.37 % dian~tanya be- lum mempunyai pekerjaan tetap. Tingkat pendidikan penduduk masih tergolong rendah di mana sebagian besar hanya sampai pada tinglcat sekolah dasar. Pendu- duk yang berpendidikan minimat sekolah lanjutan atas hanya 7.66 % dari jumlah penduduk usia sekdrtk. Mata Penatharim. Dari 66.65 % penduduk yang sudah mempunyai pekerjaan tetap, sekitar 76.85 4% bekerja sebagai petani. Sebagian yang memiliki lahan garapan sendiri (36.96 4%) dan lainnya sebagai penggarap dan buruh tani (Tabel 10). Nampak bahwa kesempatan kerja diluar pertanian sangat terbatas. Sebagian besar wilayah Desa Tawangsari merupakan kawasan hutan negara yaitu me1 iputi luas 71.16 % sementara has lahan pertanian yang dapat digarap hanya 24.88 % dari luas desa (Tabel 11). Jika dibandingkan dengan jumlah

Tabel 10. Jenis Mata Pencaharian Penduduk Desa Tawangsari No. Jenis Mata Penaharian Jumlah Persentase (j iwa) (a) Petani pemilik 760 Petani penggarap 330 Buruh tani 490 Peternak 275 Kerajinadindustri kecil 5 Dagang, jasa dan pegawai 196 Tanpa peker j aan tetap 1 029 Jumlah Usia Kerja Produktif 3 085 100.00 Sumber: Monografi Desa Tawangsari Tabel 1 1. Penggunaan Lahan Desa 'lttwangsari No. Penggunaan Lahan Luas Persentase (ha) (t) 1. Perumahan/pekarangan 2. Sawah berpengairan. 3. Perkebunan rakyat 4. Ladang/tegalan 5. Hutan negara 6. Penggunaan lain Jumlah Sumber: Monografi Desg Tawangsari penduduk yang bekerja dibidang pertanian diperoleh rasio luas lahan terhadap petani sebesar 0.32 yang berarti setiap keluarga petani menggantungkan hidupnya pada lahan seluas 0.32 ha atau rata-rata 0.08 ha untuk setiap jiwa keluarga petani. Ini merupakan indikasi terhadap pengusahaan lahan garapan yang sangat intensif, sekaligus merupakan ancaman terhadap gangguan kawasan hutan.

Bentuk mata pencaharian lain yang penting bagi penduduk selain bertani adalah pengusahaan ternak sapi perah. Sekitar 8.91 % penduduk terlibat dalam usaha ini dengan pemilikan sapi rata-rata 4 ekor/kk peternak. Usaha ini dikoordinir oleh Koperasi Susu SAE (KOPSAE) Pujon, yang berkembang di Tawangsari sejak tahun 1980. Sapi yang umum dipelihara adalah jenis Friese Holland dengan produksi susu rata-rata 4500-5000 liter per satu masak laktasi. Produksi susu perah per hari yang dicapai berkisar 10 sampai 15 liter dengan harga Rp. 500.- per liter. Sebagian penduduk Desa Tawangsari terlibat sebagai pesanggem dalam pola tumpangsari yang dilaksanakan oleh Perum Perhutani. Keterlibatan pesanggem dituangkan dalam bentuk kontrak kerja selama 2 tahun yang dapat diperpanjang bila diperlukan. Dua tujuan pokok yang ingin dicapai adalah (1) pemenuhan kebutuhan sehari-hari petani sekitar hutan terutarna yang tidak mempunyai lahan garapan, dan (2) terpeliharanya keamanan hutan dari ganggum masyarakat di sekitar hutan. Keuntungan bagi pihak Perhutani adalah (1) biaya pelaksmaan murah karena tanpa menggaji tenaga kerja, (2) tanaman pokok tidak menderita akibat persaingan dengan semak, dan (3) residu pupuk yang digunakan dalarn mengeloh tanaman semusim akan menyuburkan tanaman pokok. Keuntungan di pihak pesanggem adalah pemenuhan akan kekurangan lahan garapan serta peningkatan pendapatan mereka slam dalam masa kontrak, termasuk kebutuhan kayu Mar dan makanan ternak. Dalam program ini -em diberi kesempatan mengelola lahan di antara tanaman pokok sebagai imbalan penanaman, pemeliharaan dan bila perlu penanaman kembali atau penyulaman tanaman pokok. Pesanggem terdiri dari penduduk yang bermukim disekitar hutan, terutarna yang tidak mempunyai lahan garapan, yang dipilih oleh mantrilmandor Perum Perhutani setelah berkonsultasi dengan Kepala Desa setempat.

Jenis tanaman semusim yang umum ditanam oleh pesangem antara lain kubis, sawi, wortel, bawang prei, lombok besar dan jagung, yang ditanam menurut pola tanam berurutan selama tiga musim tanam dalam setahun. Beberapa pola umum urutan tanaman ditunjukkan pada Gambar 25, mengikuti pola ketediaan air tanah. Jenis-jenis tanaman semusim tersebut secara umum mempunyai kesesuaian dengan ketinggian tempat, iklim serta kondisi tanah setempat (Sunaryo, 1990; Soemarno, 1991). Kelembagaan. Bentuk kelembagaan dalam arti organisasi managemen yang erat kaitannya dengan keberadaan kawasan hutan di Sub DAS Manting dan DAS Konto Hulu adalah Perum Perhutani yang berwewenang melakukan kegiatan pengelolaan hutan negara dengan pola reboisasi. Di Jawa, pengelolaan hutan negara telah dirasakan memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi perekonomian keluarga penduduk (pesanggem) yang bermukim di sekitar hutan melrlui suatu kerjasama yang dituangkan dalam kontrak (kontrak tumpangsari). Karena itu, kontrak merupakan suatu bentuk institusi yang mengatur transaksi ekonomi pada taraf operasional (Tatuh, 1992). Masyarakat Desa Tawangsari terlibat dafam kelompok-kelompok sosial dalam wujud organisasi, seperti kelompok Petani Pernakai Air, Kontak Tani, Pelestari Sumberdaya Alam dan Koperasi Peternak. Bentuk kelembagaan sosial ini cukup efektif namun masih sangat terbatas pada kegiatan teknis usahatani dan usaha ternak. Kelompok organisasi peternak nampak berkembang Mih maju karena dibina secara intensif oleh Koperasi Susu Kopsae di Pujon. Selain itu, juga ditunjang oleh harga yang relatif stabil, pemasaraan hasil dirasakan lebih baik dibanding dengan hasil tanaman pertanian dan nilai pendapatan yang diperoleh dari sektor ini cukup tinggi.

CH/ETA/SURPLUS (MM) - -.-.--.- r SUHU (o C) - 1 50 - -- -1 I T I I -+ CURAH HUJAN 1 1 / 400,v 4-1.t 300 f ', SUHUUDARA 200 -( loo - 3 " " " C * * ".&- " p * EVAPOTRAS.AKTUAL O- SURPLUS AIR \ I b \/."'-,Q I 0 I 1 I I I I 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0 1 1 1 2 BULAN KE- Kubis Kubis + Bawang Bawang Prei Prei Kubis Lombok Wrtel Kubis Wortel Jagung Sawi Kubis Kubi i Gambar 25. Jadwal dan Bentuk Pola Tanam yang Umum di Sub DAS Manting Periode Bulan Nopember 1988 sampai Oktober 1989