BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia tercipta sebagai mahluk indvidu dan juga sebagai mahluk sosial. Manusia merupakan mahluk individu karena secara kodrat manusia memiliki keunikan dan karakteristik yang berbeda antara manusia yang satu dengan manusia yang lain, sekalipun manusia tersebut manusia kembar yang lahir secara bersamaan dari seorang ibu yang sama pula. Sebagai mahluk sosial, manusia hidup berdampingan dengan manusia-manusia lainnya. Dalam kehidupan sosialnya manusia tidak terlepas dari peranan atau saling ketergantungan dengan manusia lainnya dan manusia selalu berinteraksi dan berkomunikasi antara satu sama lainnya. Kegiatan berkomunikasi menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dalam berkomunikasi manusia dapat mengetahui isi lingkungan di sekitarnya maupun mengetahui semua yang ada pada dirinya. Selain itu, dengan berkomunikasi manusia mampu memenuhi beragam kebutuhan hidupnya. Sehingga, kegiatan berkomunikasi menjadi kebutuhan yang sangat mendasar bagi manusia. Menurut Harold D. Lasswell salah seorang peletak dasar ilmu komunikasi lewat ilmu politik, ada tiga fungsi dasar yang menjadi penyebab manusia berkomunikasi antara lain: (1) Hasrat manusia untuk mengontrol 1
lingkungannya. Melalui komunikasi manusia dapat mengetahui peluangpeluang yang ada untuk dimanfaatkan, dipelihara dan menghindar pada hal-hal yang mengancam alam sekitarnya. Melalui komunikasi manusia dapat mengetahui suatu kejadian atau peristiwa. Bahkan melalui komunikasi manusia dapat mengembangkan pengetahuannya, yakni belajar dari pengalamannya, maupun melalui informasi yang mereka terima dari lingkungan sekitarnya. (2) Upaya manusia untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Proses kelanjutan suatu masyarakat sesungguhnya tergantung bagaimana masyarakat itu bisa beradaptasi dengan lingkungannya. Penyesesuaian di sini bukan saja terletak pada kemampuan manusia memberi tanggapan terhadap gejala alam seperti banjir, gempa bumi, dan musim yang memengaruhi perilaku manusia, tetapi juga lingkungan masyarakat tempat manusia hidup dalam tantangan. Dalam lingkungan seperti ini diperlukan penyesuaian, agar manusia dapat hidup dalam suasana yang harmonis. (3) Upaya untuk melakukan transformasi warisan sosialisasi. Suatu masyarakat yang ingin mempertahankan keberadaannya, maka anggota masyarakatnya dituntut untuk melakukan pertukaran nilai, perilaku, dan peranan. Misalnya bagaimana orang tua mengajarkan tatakrama bermasyarakat yang baik kepada anak-anaknya. Bagaimanakah sekolah difungsikan untuk mendidik warga negara. Bagaimana media massa menyalurkan hati nurani khalayaknya, dan bagaimana pemerintah dengan kebijaksanaan yang dibuatnya untuk mengayomi kepentingan anggota masyarakat yang dilayaninya (Cangara, 2007:2). 2
Ketiga fungsi ini menjadi patokan dasar setiap individu dalam berhubungan dengan sesama sebagai mahluk sosial. Oleh kerena itu fungsi komunikasi dalam kehidupan manusia sangat berperan penting dalam kehidupan manusia, baik tua maupun muda, besar maupun kecil, pria maupun wanita, dan normal maupun tidak normal. Bentuk nyata fungsi ketiga dari fungsi komunikasi yang dipaparkan oleh Harold D. Lasswell adalah pendidikan. Pendidikan memiliki peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat atau bernegara. Dengan pendidikan, negara mampu mencerdaskan kehidupan warga negaranya sesuai yang diamanatkan Undang- Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 yang menyatakan bahwa: Setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan. Dengan demikian negara menjamin bagi seluruh warga negaranya memiliki hak dan kesempatan dalam bidang pendidikan. Seperti yang telah kita ketahui, manusia secara individu memiliki karakteristik dan keunikan yang berbeda antara satu dengan lainnya. Selain itu manusia juga terlahir dengan kondisi yang berbeda-beda seperti terlahir dengan keadaan normal maupun abnormal. Manusia abnormal terdiri dari beragam ketidaknormalan manusia pada umumnya. Di antaranya adalah, tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, autistik, dan kelainan perkembangan ganda. Ketidaknormalan tersebut juga bisa dikatakan cacat dan memiliki karakteristik kecacatan yang berbeda-beda antara satu sama lainnya. Istilah untuk menunjuk kepada peserta didik atau siswa dengan kondisi abnormal pada umumnya disebut Anak Luar Biasa (ALB) atau juga bisa 3
disebut Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) atau special need. Istilah ini digunakan untuk menghindari konotasi negatif dari kelainan khusus yang diderita oleh siswa (Delphie, 2006:1). Fenomena anak berkebutuhan khusus ini sangat menarik dipelajari, hal ini disebabkan anak berkebutuhan khusus mempunyai kemampuan atau perilaku terbatas dibandingkan dengan anak-anak normal pada umumnya. Salah satunya adalah komunikasi. Sehingga komunikasi antara guru dan anak berkebutuhan khusus dalam proses belajar mengajar berbeda dengan anak normal pada umumnya. Untuk memfasilitasi kebutuhan akan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, Pemerintah mendirikan sekolah khusus yang dinamakan Sekolah Luar Biasa (SLB). Sekolah Luar Biasa ini dikelompokkan menjadi beberapa kelompok sesuai ketunaan yang diderita oleh para siswa. Yaitu di antaranya : 1. SLB-A : Sekolah untuk tunanetra (anak yang mengalami hambatan penglihatan) 2. SLB-B : Sekolah untuk tunarungu (anak yang mengalami hambatan pendengaran) 3. SLB-C : Sekolah untuk tunagrahita (anak yang mengalami retardasi mental) 4. SLB-D : Sekolah untuk tunadaksa (anak yang menalami cacat tubuh) 5. SLB-E : Sekolah untuk tunalaras (anak yang mengalami penyimpangan emosi dan sosial) 6. SLB-F : Sekolah untuk autis 4
7. SLB-G : Sekolah untuk tunaganda (anak yang mengalami lebih dari satu hambatan). (http://www.gizikita.depkes.go.id,2011) Dalam penelitian ini, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian pada para siswa tunagrahita. Tunagrahita adalah salah satu cacat pada manusia yang terletak kepada kelemahan inteligensinya. Inteligensi merupakan fungsi yang kompleks yang dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mempelajari informasi dan situasi-situasi kehidupan baru, belajar dari pengalaman masa lalu, berpikir abstrak, kreatif, dapat menilai secara kritis, menghindari kesalahan - kesalahan, mengatasi kesulitan-kesulitan, dan kemampuan untuk merencanakan masa depan (Somantri, 2006:105). Anak tunagrahita memiliki semua kelemahan akan hal tersebut. Menurut Crocker (1983, dalam Poerwanti, 2000:169) menyatakan bahwa retardasi mental apabila jelas terdapat inteligensi yang rendah yang disertai adanya kendala dalam penyesuaian perilaku dan gejala timbul pada masa perkembangan di bawah usia 18 tahun. Anak ini tidak dapat mengikuti pendidikan sekolah biasa, karena cara berpikirnya yang terlalu sederhana, daya tangkap dan daya ingatnya rendah, demikian pula dengan pengertian bahasa dan berhitungnya sangat lemah. Sehingga dari pemaparan tersebut sudah jelas bahwa anak tunagrahita memerlukan perlakuan khusus dalam kegiatan belajar mengajar dengan lembaga pendidikan khusus pula. Yaitu SLB-C seperti yang telah disebutkan di atas. 5
Dalam kegiatan belajar mengajar komunikasi menjadi aspek yang sangat fundamental dalam upaya mentransformasikan materi pembelajaran yang diberikan oleh guru terhadap siswanya. Komunikasi dalam proses belajar mengajar antara guru dengan siswa normal umumnya, tentu berbeda, dengan komunikasi dalam proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru terhadap siswa penyandang tunagrahita. Oleh sebab itu, bisa dikatakan guru lebih mudah memberikan pembelajaran terhadap siswa normal dari pada siswa dengan permasalahan ketunagrahitaannya. Dengan permasalahan-permasalahan yang ada terhadap anak tunagrahita terutama dalam segi berkomunikasi, peneliti menunjuk Yayasan Bina Asih kota Bondowoso sebagai tempat penelitian. Yayasan Bina Asih yang beralamatkan di jalan Ahmad Yani No. 64 AB Kecamatan Bondowoso, Kabupaten Bondowoso, Provinsi Jawa Timur, yang menyelenggarakan pendidikan untuk berbagai Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang mencangkup berbagai jenjang pendidikan dari TKLB, SDLB, SMPLB hingga SMALB. Sekolah khusus untuk menangani anak tunagrahita pada yayasan ini tidak berbeda dengan Sekolah Luar Biasa lainnya, Yaitu SLB-C. Karena klasifikasi tunagrahita dibedakan menjadi tiga tingkatan berdasarkan nilai skor intelegensinya, maka tunagrahita dibagi menjadi tunagrahita ringan, tunagrahita sedang dan tunagrahita berat, SLB-C Bina Asih merupakan sekolah yang menangani siswa tunagrahita ringan. Selain SLB-C, SLB Bina Asih juga terdapat SLB-C1. D yang menangani siswa penyandang tunagrahita dengan klasifikasi sedang dan sebagian penyandang tunadaksa. Dalam proses belajar 6
mengajar, guru mengaplikasikan program intruksional yang disebut Individualized Educational Program (IEP). Di mana, dalam proses belajar mengajar dengan pendekatan program ini, komunikasi yang ditekankan adalah komunikasi interpersonal dalam upaya untuk menyampaikan materi pembelajaran kepada siswanya. Dengan fenomena proses komunikasi tersebut, peneliti ingin meneliti tentang komunikasi interpersonal guru dengan siswa penyandang tunagrahita klasifikasi sedang dalam proses belajar mengajar. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka rumusan masalah penelitian ini yaitu; bagaimana komunikasi interpersonal antara guru dengan siswa penyandang tunagrahita klasifikasi sedang dalam proses belajar mengajar di SLB-C1. D Bondowoso? C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui bagaimana komunikasi interpersonal antara guru dengan siswa penyandang tunagrahita klasifikasi sedang dalam proses belajar mengajar di SLB-C1. D Bondowoso. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademis Adapun manfaat akademis penelitian ini antara lain: 7
a) Mengembangkan ilmu pengetahuan terutama ilmu komunikasi yang berkaitan dengan komunikasi interpersonal guru dengan siswa tunagrahita klasifikasi sedang dalam proses belajar mengajar. b) Memberikan referensi tambahan terkait dengan penelitian komunikasi interpersonal guru dengan siswa penyandang tunagrahita klasifikasi sedang dalam proses belajar mengajar. 2. Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi peneliti dalam menambah wawasan terkait komunikasi interpersonal guru dengan siswa penyandang tunagrahita klasifikasi sedang. Selain itu, dengan dilakukannya penelitian ini, peneliti dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada SLB-C1 Bondowoso mengenai gambaran proses komunikasi antara guru dengan siswa tunagrahita, sehingga dapat membantu para guru untuk dapat berkomunikasi dengan lebih efektif dengan siswanya. 8