1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kematian mendadak hingga saat ini masih menjadi penyebab utama kematian. WHO menjelaskan bahwa sebagian besar kematian mendadak dilatarbelakangi oleh penyakit kardiovaskuler dan penyebab utama dari kematian ini adalah penyakit jantung koroner. Komplikasi yang paling memungkinkan dari penyakit jantung koroner adalah gagal jantung. Individu yang menderita gagal jantung akan mengalami penurunan toleransi terhadap aktivitas fisik, penurunan kualitas hidup dan rentang hidupnya memendek (Kowalak, 2013: 175) Menurut, Dr Marc Eckstein (University of Southern California, Los Angeles), kompresi dada adalah lebih utama dan jangan dihentikan selama minimal 2 menit, baru diberi napas buatan dan cara ini akan jauh lebih baik. Tujuan RJP adalah mempertahankan agar jantung dan otak tetap mendapatkan aliran darah. Hasil studi yang dilakukan di Airport Chicago dan Las Vegas didapatkan angka keberhasilan mencapai 50 sampai 74% bagi penderita yang mengalami cardiac arrest dan segera mendapatkan RJP dan defibrilasi (tindakan mekanis listrik dengan alat defibrilator, sehingga ritme jantung kembali normal), tindakan RJP dan defibrilasi tersebut mereka lakukan dalam waktu yang sangat cepat, yaitu sekitar 3-5 menit setelah kejadian cardiac arrest. World Health Organization (WHO) pada tahun 2004 melakukan survey yang menyimpulkan bahwa, diperkirakan 17,1 juta orang meninggal (29% dari jumlah kematian total) karena penyakit jantung dan pembuluh darah. Dari kematian 17,1 juta orang tersebut, diperkirakan 7,2 juta kematian disebabkan oleh penyakit jantung 1
2 koroner. Kasus penyakit jantung koroner meningkat pada negara maju dan negara berkembang dan diperkirakan pada tahun 2020 kasus penyakit jantung koroner sudah mencapai 82 juta kasus. Lebih dari 60% beban kasus penyakit jantung koroner secara global terjadi di negara berkembang (Mackay, 2004:13) Di Indonesia, menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) yang dilakukan oleh Balitbangkes pada tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi nasional penyakit jantung koroner sebesar 1,5%, sedangkan prevalensi untuk kejadian henti jantung mendadak belum didapatkan. Namun hasil Riset Kesehatan Dasar (2007) menunjukkan data bahwa kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung mendapatkan porsi 4,6% dari 4.552 mortalitas dalam 3 tahun. Sedangkan data yang diperoleh dari WHO pada tahun 2002 di Indonesia sudah terjadi 220 372 kasus kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung (WHO, 2014: 1) Untuk mengurangi angka kematian akibat henti jantung, maka dibutuhkan penatalaksanaan yang tepat dalam penanganan pasien henti jantung. Salah satu penanganan yang dikembangkan adalah Resusitasi Jantung Paru (RJP). Resusitasi Jantung Paru telah diperkenalkan sejak tahun 1960. Selama kurun waktu 40 tahun sejak diperkenalkannya, RJP modern telah banyak perubahan dan perkembangan (Pratondo &Iktavianus, 2012). Hingga saat ini RJP merupakan penatalaksanaan yang sangat vital dalam kasus henti jantung. American Heart Asociation menyebutkan bahwa kejadian henti jantung dapat terjadi di mana saja, penanganan RJP pada saat kejadian dapat membantu mengurangi risiko kematian. Henti jantung dapat sangat mematikan, namun ketika RJP dan defibrilasi dapat diberikan secepatnya, dalam banyak kasus jantung dapat berdenyut kembali (AHA, 2012) Resusitasi Jantung Paru sejak awal kemunculannya sudah di pelajari oleh petugas kesehatan khususnya petugas medis, namun saat ini masyarakat umum
3 sudah mulai diberikan pelatihan Resusitasi Jantung Paru. Pemberian pelatihan pada masyarakat umum ditujukan agar masyarakat dapat melakukan pertolongan pada seseorang yang membutuhkan RJP, jika kejadian berada di sekitar mereka. Di rumah sakit petugas kesehatan khususnya dokter, perawat, dan bidan wajib memiliki kualifikasi RJP yang dibuktikan dengan sertifikasi Basic Cardiac Life Support (BCLS). Selain itu dapat dipastikan bahwa petugas kesehatan baik dokter maupun perawat yang bertugas di unit khusus seperti UGD dan ICU memiliki kualifikasi BCLS (KARS, 2011:75-78). Consensus on Resuscitation Science, 2005 merekomendasikan bahwa bila ada pasien dengan henti jantung di atas tempat tidur harus memasukkan papan dibawah pasien untuk mendapatkan permukaan yang rata dan datar untuk pijat jantung. Namun penyisipan dari papan adalah memakan waktu dan dapat mempengaruhi hasil RJP itu sendiri (Perkins et al, 2006:7). Efektifitas pijat jantung untuk resusitasi jantung paru dipengaruhi oleh posisi penolong terhadap pasien. Di rumah sakit pijat jantung biasanya dilakukan dengan berdiri disamping tempat tidur pasien, berdiri dengan menggunakan bangku kecil atau footstep dan berlutut diatas tempat tidur disamping pasien. Posisi berlutut diatas tempat tidur disamping pasien atau posisi berdiri dengan menggunakan bangku kecil/ footstep akan mendapatkan kedalaman dan jumlah kompresi yang efektif dan memberikan ketepatan posisi saat RJP (Perkins et al, 2006:9). Posisi penolong saat melakukan RJP dapat menentukan rangkaian tindakan RJP yang diberikan harus guideline AHA 2010 yang sangat mementingkan kualitas dari pijat jantung. Hands only CPR adalah tidakan resusitasi yang hanya melakukan pijat jantung saja tanpa melakukan rescue breathing.
4 Data yang kami peroleh dari RS Wava Husada bahwa dalam bulan Juli September 2014 angka kematian pada ruang khusus (UGD dan ICU) sebesar 71 kejadian. Dengan kualifikasi BCLS yang dimiliki petugas (perawat) pada ruang khusus, maka 70 kejadian kematian diantaranya telah mendapatkan penatalaksanaan Resusitasi Jantung Paru sebelum dinyatakan meninggal oleh dokter. Dari 71 kematian, 1 kasus di dalamnya tidak mendapatkan RJP, hal ini dikarenakan kasus tersebut termasuk dalam indikasi DNR (Do Not Resuscitation). Dari data diatas menunjukkan angka kematian pasien di UGD dan ICU sangat tinggi, dan penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian mengenai Ketepatan Posisi Penolong Saat RJP terhadap Keberhasilan RJP Pada Pasien Cardiac Arrest. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran terhadap pencapaian optimal penatalaksanaan Resusitasi Jantung Paru yang ditunjang oleh ketepatan posisi penolong. 1.2 RumusanMasalah Apakah terdapat hubungan antara ketepatan posisi penolong saat melakukan resusitasi jantung paru dengan keberhasilan resusitasi jantung paru pada pasien cardiac arrest? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum dari penelitian ini adalah : Untuk mengetahui hubungan ketepatan posisi penolong saat resusitasi jantung paru terhadap keberhasilan melakukan resusitasi jantung paru
5 1.3.2 Tujuan Khusus dari penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi ketepatan posisi penolong saat resusitasi jantung paru 2. Mengidentifikasi keberhasilan resusitasi jantung paru. 3. Mengetahui hubungan ketepatan posisi penolong saat RJP terhadap keberhasilan RJP. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat dari segi teoritis : 1. Mengembangkan ilmu dalam keperawatan tentang keefektifan, ketepatan posisi, teknik serta skill dalam melakukan resusitasi jantung paru 2. Pengawasan dan memungkinkan revisi tentang prosedur pelaksanaan resusitasi jantung paru baik di Rumah Sakit maupun di Institusi Pendidikan. 3. Mengajak dan mengevaluasi institusi, tenaga kesehatan dan lembaga pendidikan untuk menerapkan standart resusitasi jantung paru dengan baik dan benar. 1.4.2 Manfaat penelitian dari segi praktisi adalah : 1. Memberikan manfaat pada peneliti, Rumah Sakit dan institusi lain dalam menerapkan tindakan resusitasi jantung paru dengan posisi dan teknik yang benar. 2. Keberhasilan resusitasi jantung paru akan menyelamatkan nyawa dan meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit. 1.5 Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang menunjang 1.5.1 Persepsi perawat tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan Resusitasi Jantung Paru di RSUP Dr. Kariadi Semarang (Pratondo, 2013) menyimpulkan bahwa Ketersediaan alat tanpa disertai kesiapan untuk
6 digunakan menurunkan response time perawat dalam memberikan resusitasi pada pasien yang mengalami cardiac arrest. Kompetensi perawat menguasai panduan resusitasi jantung paru dan kolaborasi dengan dokter menentukan kualitas resusitasi yang diberikan kepada pasien. Penghentian resusitasi jantung paru dengan mempertimbangkan durasi resusitasi jantung paru dan kondisi pasien dilakukan untuk memberikan kesempatan pada klien untuk meninggal dengan tenang. Penanganan pasca resusitasi setelah pasien stabil perlu persiapkan sebagai penangganan berkelanjutan dari resusitasi jantung paru 1.5.2 Penelitian lain yang berjudul Gambaran tingkat pengetahuan perawat tentang bantuan hidup dasar di RSUD Ciawi Bogor (Sugianto, 2013) menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki tingkat pengetahuan kurang tentang resusitasi jantung paru. Hasil penelitian mendapatkan bahwa tingkat pengetahuan resusitasi jantung paru berdasarkan karakteristik usia menunjukkan responden pada kelompok usia dewasa tengah memiliki tingkat pengetahuan yang lebih baik. Tingkat pengetahuan responden berdasarkan jenis kelamin didapatkan bahwa responden laki-laki lebih banyak yang memiliki tingkat pengetahuan baik dibandingkan responden perempuan. Responden yang pernah mengikuti pelatihan resusitasi jantung paru memiliki tingkat pengetahuan yang lebih baik. Tingkat pengetahuan tentang resusitasi jantung paru berdasarkan masa kerja didapatkan bahwa responden yang memiliki masa kerja lebih lama memiliki tingkat pengetahuan baik. 1.5.3 Penelitian yang lain yang berjudul Keberhasilan Tindakan Resusitasi Jantung Paru Otak di Ruang Resusitasi (Yukti & Raharjo: 2007). Pasien henti jantung sering ditemui di unit penanganan gawat darurat. Penanganannya
7 memerlukan tindakan resusitasi jantung paru (RJP) yang tepat dan adekuat. Dari beberapa kepustakaan diketahui bahwa angka keberhasilannya kecil. Tindakan anestesi sering menyebabkan gangguan fungsi organ vital, dan bahkan dapat menyebabkan henti jantung. Untuk penanganan henti jantung PPDS Anestesiologi dan Reanimasi dibekali dengan pengetahuan dan ketrampilan tindakan RJP. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai berapa besar keberhasilan tindakan RJP yang dilakukan PPDS Anestesiologi dan Reanimasi di ruang Resusitasi. Data dikumpulkan secara retrospektif berdasarkan catatan laporan harian di ruang resusitasi dari bulan September sampai dengan bulan Desember 2007. Setelah memenuhi kriteria inklusi pasien henti jantung ditelusuri apakah ROSC (Return of Spontaneous Circulation) atau tidak setelah dilakukan tindakan RJP. Hubungan antara lama RJP pada penderita yang ROSC dengan yang tidak ROSC, dan hubungan antara umur dengan terjadinya ROSC diuji dengan Mann-Whitney test. Hubungan antara gambaran EKG saat henti jantung, lama henti jantung, tempat terjadinya henti jantung dan diagnosis dengan terjadinya ROSC, diuji dengan Chi-square test. Dari data yang terkupul selama 4 bulan ditemukan terdapat 220 pasien henti jantung di ruang resusitasi, 34 pasien tidak dilakukan RJP karena DNR. Setelah dilakukan RJP, 53 pasien ROSC (28,5%). Pasien meninggalkan ruang resusitasi dalam keadaan hidup sebanyak 3 pasien (1,4%). Median lama RJP yang dilakukan pada pasien yang ROSC lebih singkat dibandingkan dengan yang tidak ROSC (10 menit dan 20 menit). Median umur pasien dengan ROSC lebih muda dibandingkan yang tidak ROSC. Gambaran EKG VF dan VT 100% mengalami ROSC. Lama henti jantung lebih dari 10 menit paling kecil untuk terjadinya ROSC. Pasien yang
8 mengalami henti jantung di ruang resusitasi paling banyak yang mendapatkan ROSC. Pasien henti jantung yang didiagnosis noncardiac mendapatkan ROSC yang lebih tinggi dibandingkan dengan diagnosis cardiac, dan yang paling kecil adalah yang didiagnosis trauma. Keberhasilan tindakan RJP di ruang resusitasi adalah 28,5%. Terdapat perbedaan yang bermakna antara median lama RJP antara yang ROSC dengan yang tidak ROSC. Terdapat perbedaan yang bermakna antara gambaran EKG yang shockable dan yang tidak shockable untuk terjadinya ROSC. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara diagnosis, lama henti jantung dan tempat terjadinya henti jantung dengan terjadinya ROSC. Angka harapan hidup pasien henti jantung yang ROSC di ruang resusitasi sebesar 1,4%.