II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sejarah Perkembangan Puyuh Beberapa ratus tahun yang lalu di Jepang telah diadakan penjinakan terhadap burung puyuh. Mula-mula ditujukan untuk hewan kesenangan dan untuk kontes burung. Selain di Jepang, penjinakan burung puyuh liar itu di lakukan juga di Korea, Cina dan Taiwan. Beberapa hasil penjinakan itu dibawa ke Jepang. Pengembangbiakan dan seleksi yang dilakukan secara bertahap sehingga dapat menghasilkan suatu strain tersendiri yang sering dikenal dengan nama Coturnix coturnix Japonica. Bibit ini sudah tersebar dibeberapa negara antara lain, di Amerika, Eropa, beberapa negara Asia, juga di Indonesia. Burung puyuh ini menjadi semakin populer dan digemari karena telur dan dagingnya sebagai bahan makanan yang bergizi dan lezat, juga baik sebagai hewan percobaan untuk berbagai penelitian dan sebagai bidang ilmu pengetahuan. Burung puyuh merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang tinggi, ukuran tubuhnya relatif kecil dan berkaki pendek. Burung puyuh merupakan burung liar yang pertama kali diternakan di Amerika Serikat pada tahun 1870. Burung puyuh yang dipelihara di Amerika disebut dengan Bob White Quail, Colinus Virgianus sedangkan di China di sebut dengan Blue Breasted Quail, Coturnix Chainensis (Tetty,2002). Masyarakat Jepang, China, Amerika dan beberapa negara Eropa telah mengkonsumsi telur dan dagingnya karena burung puyuh bersifat dwiguna. Burung puyuh terus dikembangkan keseluruh penjuru dunia, sedangkan di Indonesia burung puyuh mulai dikenal dan diternakan sejak tahun 1979 (Progressio, 2000)
9 Burung puyuh yang dipelihara di Indonesia diantaranya Coturnix coturnix Japonica, Coturnix chainensi atau Bluebreasted quai, Turnix susciator, Arborophila Javonica, dan Rollus roulroul yang di pelihara sebagai burung hias karena memiliki jambul yang indah (Helinna dan Mulyantono, 2002). Burung puyuh liar yang khusus ada di Indonesia, biasanya disebut gemak, termasuk dalam genus Turnix yang jauh berbeda dengan Coturnix. Di dunia terdapat 3 species burung puyuh, yaitu Turnix yang berasal dari keluarga Turnicidae serta Arborophila dan Coturnix yang berasal dari keluarga Phasianidae. Cara membedakan puyuh keluarga Turnicidae dan Phasianidae adalah keluarga Turnicidae memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil, jari kakinya berjumlah tiga dan semuanya mengarah kedepan, berbeda dengan keluarga Phasianidae yang jumlah jarinya empat yaitu tiga menghadap kedapan dan satu jari menghadap ke belakang. Contoh Turnicidae adalah Turnix suscitator atau puyuh tegalan, Turnix sylvatica atau puyuh kuning, dan Turnix maculosta atau puyuh punggung hitam. Sementara itu, yang termasuk keluarga Phasianidae antara lain Arborophila javonica atau puyuh gonggong, Arborophila brunneopectus, Arborophila orientalis, Arborophila rubrirostris atau puyuh paruh merah, Rollulus roulroul atau puyuh mahkota Coturnix coturnix japonicam, dan Coturnix chinensis (Agus, 2002)
10 2.2 Taksonomi Burung Puyuh 2.2.1. Klasifikasi ilmiah burung puyuh Kingdom Filum Subfilum Kelas Ordo Family Subfamili Genus : Animalia : Chordata : Vertebrata : Aves : Galliformes : Phasianidae : Perdicinae : Coturnix Spesies : Coturnix coturnix (Lineaus 17) Coturnix japonica Coturnix coromondelica Coturnix chinensis Masing-masing memiliki ciri khas yang berbeda satu dengan yang lain yaitu habitat yamg berbeda diantaranya di kawasan Asia-Eropa, dan Jepang. Habitat berupa padang rumput. Vegetasi tinggi lebih disukai, sementara tepi hutan dihindari. 2.3 Sifat Kuantitatif Unggas Sifat kuantitatif penting artinya di bidang peternakan. Sifat-sifat kuantitatif selain dipengaruhi oleh genotipnya juga di pengaruhi oleh lingkungan. Dalam bidang peternakan unggas sifat-sifat yang penting adalah yang ada hubungan dengan produksi, misalnya bobot badan, bobot tetas, produksi telur, dan umur
11 bertelur pertama. Sifat-sifat kuantitatif selain dipengaruhi oleh genotipnya juga di pengaruhi oleh lingkungan. Beberapa sifat kuantitatif yang bernilai ekonomis adalah bobot badan, panjang paha (femur), panjang betis (tibia), panjang shank (tarsomotatarsus) dan lingkar shank (Mansjoer,1985). Sifat kuantitatif atau yang biasa disebut sebagai sifat objektif, yaitu sifat yang muncul dari banyak pasangan gen. Individu yang memiliki sifat kuantitatif tertentu tidak mudah di kelompokan antara yang rendah dan yang memiliki produksi tinggi. Pada sifat kuantitatif, ukuran-ukuran tubuh mempunyai korelasi yang besar dan positif, oleh karena itu sering di gunakan dalam seleksi ternak. Sifat kuantitatif adalah sifat yang dapat diukur pada seekor ternak unggas baik untuk sifat produksi seperti ukuran morfologi tubuh, daya tahan, dan juga untuk sifat reproduksi seperti bertelur (Murtdjo, 1992). Noor (2008) menyatakan sifat kuantitatif di kontrol oleh banyak pasangan gen yang bersifat aditif. 2.4 Seleksi Seleksi merupakan suatu proses perubahan baik dari dalam maupun luar yang dilakukan terhadap suatu kelompok atau populasi yang menimbulkan kenaikan mutu genetik (Reddy, 1996). seleksi adalah perubahan nilai rata-rata fenotipe dari generasi berikutnya, sebagai akibat dari adanya seleksi terhadap populasi. Respon seleksi (R) juga merupakan kenaikan mutu genetik ternak, sehingga sering pula dinyatakan dengan simbol, yang melambangkan perubahan dari nilai genetik (G) (Hardjosubroto, 1994). Respon seleksi menjelaskan suatu perubahan antargenetik yang linier, diikuti dengan penurunan respon sampai batas seleksi tercapai. Penurunan respon selanjutnya muncul karena adanya random drift dalam populasi terbatas ketika pengaruh dominan
12 muncul. Respon seleksi dan batas seleksi sangat tergantung pada intensitas seleksi, struktur genetik dalam populasi, dan lingkungan tempat seleksi dilakukan (Reddy, 1996). 2.5. Perbandingan Puyuh Seleksi dan Non Seleksi Seleksi merupakan suatu proses perubahan baik dari dalam maupun luar yang dilakukan terhadap suatu kelompok atau populasi yang menimbulkan kenaikan mutu genetik (Reddy, 1996). Burung puyuh hasil seleksi tentu akan jauh lebih baik kualitasnya bila dibandingkan dengan burung puyuh non seleksi. Puyuh seleksi dan non seleksi jelas akan memberikan perbedaan yang sangat nyata seperti yang dilihat secara kasat mata atau nampak dari bagian luar tubuhnya. Bobot tubuh (lebar dada, panjang tubuh), bentuk muka (mata, paruh), kaki (panjang), dan bahkan warna bulu pada puyuh non seleksi dihasilkan kualitas yang jauh berbeda. Hal ini karena saat proses perkawinan terjadi rekombinasi gengen tertentu, dimana gen yang membawa sifat tidak bagus bertemu dengan gen bersifat yang tidak bagus, bisa gen yang bersifat buruk bertemu dengan gen bersifat baik, atau bisa juga gen bersifat baik bertemu dengan gen bersifat baik (Hardjosubroto, 1994). Gen yang baik tentu yang sangat diharapkan yang akan berpengaruh terhadap sifat kuantitatif dan kualitatif dari ternak puyuh tersebut. Metode seleksi yang digunakan pada penelitian ini adalah seleksi individu. Hal ini karena penelitian ini berkaitan pengukuran sifat-sifat kuantitatif burung puyuh jantan lokal dengan burung puyuh jantan hasil seleksi. Cara seleksi dalam penelitian ini dengan cara melihat karakteristik dari tiap-tiap individu secara eksterior (Hardjosubroto, 1994).