PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PRAKTEK PEMBERIAN ASI SERTA STATUS GIZI BAYI USIA 4-12 BULAN DI PERDESAAN DAN PERKOTAAN

dokumen-dokumen yang mirip
PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PRAKTEK PEMBERIAN ASI SERTA STATUS GIZI BAYI USIA 4-12 BULAN DI PERDESAAN DAN PERKOTAAN

TINJAUAN PUSTAKA. ASI Formula Susu Sapi Formula Susu Kedelai (kalori)

PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PRAKTEK ASI EKSLUSIF SERTA STATUS GIZI BAYI USIA 4-12 BULAN DI PEDESAAN DAN PERKOTAAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

Karya Tulis Ilmiah. Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan Diploma III Gizi. Disusun Oleh: MUJI RAHAYU J.

BAB 1 PENDAHULUAN. Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif adalah pemberian ASI tanpa makanan dan

ARTIKEL ILMIAH. Disusun Oleh : TERANG AYUDANI J

BAB I PENDAHULUAN. The World Health Report Tahun 2005 dilaporkan Angka Kematian Bayi Baru

BAB I PENDAHULUAN. penuh perjuangan bagi ibu yang menyusui dan bayinya (Roesli, 2003).

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. (Depkes RI, 2003) dengan harapan pada tahun 2010 AKB di Indonesia turun

BAB I PENDAHULUAN. makanan dan minuman lain atau disebut dengan ASI Eksklusif dapat memenuhi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam peningkatan kualitas

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU BERSALIN DENGAN PELAKSANAAN INISIASI MENYUSUI DINI DIKAMAR BERSALIN PUSKESMAS PUTRI AYU KOTA JAMBI TAHUN 2013

Immawati, Ns., Sp.Kep.,A : Pengaruh Lama Pemberian ASI Eklusif

BAB 1 PENDAHULUAN. pemberian (ASI) masih jauh dari yang diharapkan. Menurut Survei Demografi

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dahulu Air Susu Ibu merupakan makanan yang terbaik untuk bayi, karena

BAB I PENDAHULUAN. protein, laktosa dan garam-garam organik yang disekresi oleh kedua belah

PENGARUH PEMBERIAN AIR SUSU IBU (ASI), KONSUMSI ZAT GIZI, DAN KELENGKAPAN KARTU MENUJU SEHAT (KMS) TERHADAP STATUS GIZI BAYI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

POLA PEMBERIAN SUSU FORMULA DAN KONSUMSI ZAT GIZI ANAK USIA DI BAWAH DUA TAHUN (BADUTA) PADA KELUARGA IBU BEKERJA DAN TIDAK BEKERJA.

PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PRAKTEK GIZI SERTA TINGKAT KONSUMSI IBU HAMIL DI KELURAHAN KRAMAT JATI DAN KELURAHAN RAGUNAN PROPINSI DKI JAKARTA

METODE PENELITIAN. Sedep n = 93. Purbasari n = 90. Talun Santosa n = 69. Malabar n = 102. n = 87. Gambar 3 Teknik Penarikan Contoh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN PENDIDIKAN DAN PENGHASILAN IBU MENYUSUI DENGAN KETEPATAN WAKTU PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI (MP ASI)

PEMBERIAN MP ASI SETELAH ANAK USIA 6 BULAN Jumiyati, SKM., M.Gizi

BAB 1 PENDAHULUAN. keberlangsungan bangsa, sebagai generasi penerus bangsa anak harus dipersiapkan

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL

KEBIJAKAN DEPARTEMEN KESEHATAN TENTANG PENINGKATAN PEMBERIAN AIR SUSU IBU (ASI) PEKERJA WANITA

PENGETAHUAN GIZI, AKTIVITAS FISIK, KONSUMSI SNACK DAN PANGAN LAINNYA, PADA MURID SD BINA INSANI BOGOR YANG BERSTATUS GIZI NORMAL DAN GEMUK

Jurnal Keperawatan, Volume XI, No. 2, Oktober 2015 ISSN HUBUNGAN INISIASI MENYUSU DINI (IMD) DENGAN WAKTU PENGELUARAN KOLOSTRUM

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan dan pertumbuhan, juga mengandung sel-sel darah putih, antibodi,

BAB 1 PENDAHULUAN. terbaik dan termurah yang diberikan ibu kepada bayinya, dimana pemberian ASI

Jurnal Keperawatan, Volume XII, No. 2, Oktober 2016 ISSN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Makanan pertama dan utama bagi bayi adalah air susu ibu (ASI). Air susu ibu sangat cocok untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Hasil penelitian multi-center yang dilakukan UNICEF menunjukkan bahwa MP-

BAB I PENDAHULUAN. sebagai makanan utama bayi. Pada awal kehidupan, seorang bayi sangat

EFEKTIFITAS PERAN KELOMPOK PENDUKUNG IBU TERHADAP PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF PADA BAYI 0-6 BULAN DI PUSKESMAS PANDAK I BANTUL YOGYAKARTA 2011

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Pemberian ASI berarti memberikan zat-zat gizi yang bernilai gizi tinggi yang

Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bayi adalah anak yang baru lahir sampai berumur 12 bulan dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 sebesar 34 per kelahiran hidup.

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada rakyat jelata, bahkan dasar utama terletak pada kaum wanita, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Anak yang sehat semakin bertambah umur semakin bertambah tinggi

BAB 1 PENDAHULUAN. program KIA tersebut menurunkan angka kematian ibu dan anak (Depkes, RI 2007)

pengenceran dengan air matang dan kemudian diberikan pada bayi sedangkan dalam bahasa Inggris juga terdapat hal yang serupa misalnya artificial

BAB I PENDAHULUAN. melakukan hal yang alamiah tidaklah selalu mudah (Roesli, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. otak dimulai dalam kandungan sampai dengan usia 7 tahun (Menteri Negara

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan satu-satunya yang paling sempurna

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan bayi akan zat gizi sangat tinggi untuk mempertahankan

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

I. PENDAHULUAN. suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan. terjangkau dan aman dikonsumsi bagi setiap warga untuk menopang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DI KELURAHAN TAMAMAUNG KOTA MAKASSAR

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dilahirkan selama enam bulan tanpa menambahkan dan atau mengganti dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan Pembangunan Milenium atau Millenium Development Goals

BAB I PENDAHULUAN. penurunan tingkat kecerdasan. Pada bayi dan anak, kekurangan gizi akan menimbulkan

PEMBERLAKUAN PEDOMAN PELAYANAN ASI EKSKLUSIF DAN INISIASI MENYUSUI DINI (IMD) DI RUMAH SAKIT BERSALIN (RSB) ASIH DIREKTUR RUMAH SAKIT BERSALIN ASIH,

BAB I PENDAHULUAN. dilanjutkan dengan makanan pendamping sampai usia 2 tahun. American

PERBEDAAN TINGKAT KONSUMSI DAN STATUS GIZI ANTARA BAYI DENGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DAN NON ASI EKSKLUSIF

BAB I PENDAHULUAN. kelenjar mammae ibu dan merupakan makanan bagi bayi (Siregar, 2004).

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pola Pemberian ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Bungus Tahun 2014

BAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan

Bagaimana Memberikan Makan Bayi Setelah Usia 6 Bulan

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi proses pertumbuhan fisik dan perkembangan yang sangat pesat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

METODE. Zα 2 x p x (1-p)

Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang 2)

BAB I PENDAHULUAN. melalui perbaikan perilaku masyarakat dalam pemberian makanan

BAB II LANDASAN TEORI

MENGAPA IBU HARUS MEMBERIKAN ASI SAJA KEPADA BAYI

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan gizi yang sering terjadi di seluruh negara di dunia adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat penting diperhatikan oleh ibu. Pemberian Air Susu Ibu (ASI) padabayi

Secara umum seluruh keluarga contoh termasuk keluarga miskin dengan pengeluaran dibawah Garis Kemiskinan Kota Bogor yaitu Rp. 256.

BAB I PENDAHULUAN. menyusu dalam 1 jam pertama kelahirannya (Roesli, 2008). Peran Millenium

BAB I PENDAHULUAN. terbaik yang bersifat alamiah. Menurut World Health Organization (WHO),

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari pembangunan kesehatan dan gizi masyarakat adalah terwujudnya

PENGETAHUAN, SIKAP, PRAKTEK KONSUMSI SUSU DAN STATUS GIZI IBU HAMIL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tahun yang dinyatakan dalam kelahiran hidup pada tahun yang sama. kematian (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016).

BAB 1 PENDAHULUAN. kematian balita dalam kurun waktu 1990 hingga 2015 (WHO, 2015).

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Air susu Ibu (ASI) merupakan pemberian air susu kepada bayi yang langsung

TENTANG KATEGORI PANGAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembangunan nasional merupakan pembangunan berkelanjutan yang

I. PENDAHULUAN. Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. Air Susu Ibu (ASI) sangat bermanfaat untuk imunitas, pertumbuhan dan

SKRIPSI. Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Syarat. Memperoleh Ijazah S1 Gizi. Disusun Oleh : RATNA MALITASARI J PROGRAM STUDI S1 GIZI

Kuesioner Penelitian PENGETAHUAN GIZI IBU DAN PRAKTEK PELAKSANAAN INISIASI MENYUSUI DINI SERTA STATUS GIZI BATITA DI PERDESAAN DAN PERKOTAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian. Air susu ibu (ASI) adalah cairan hasil sekresi kelenjar payudara ibu, yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Air Susu Ibu (ASI) eksklusif adalah air susu yang diberikan kepada bayi sejak

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan generasi yang sehat, cerdas, dan taqwa merupakan tanggung

Transkripsi:

i PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PRAKTEK PEMBERIAN ASI SERTA STATUS GIZI BAYI USIA 4-12 BULAN DI PERDESAAN DAN PERKOTAAN ASRINISA RACHMADEWI DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

ii ABSTRACT ASRINISA RACHMADEWI. Breastfeeding Knowledge, Attitude, Practice, and 4-12 Months Infants Nutritional Status in Rural and Urban Areas. Under direction of ALI KHOMSAN. Exclusive breastfeeding rates in Indonesia is still low. Some studies indicated that low mothers' nutritional knowledge and attitude is the cause of low exclusive breastfeeding practice. The main aim of this study was to compare breastfeeding knowledge, attitude, practice and infants nutritional status between rural and urban areas. In this cross-sectional study, Desa Jayabakti, Kabupaten Sukabumi represents rural area, while Kelurahan Kedung Jaya, Kota Bogor represents urban area. Samples were mothers-infants in each area who were selected by simple cluster sampling method. The differences between two areas were analyzed with the independent t-test, chi-square test, and Fisher's exact test. The correlation between variables were analyzed with rank Spearman. The result of this study showed that mother's knowledge and attitude of nutrition, especially about exclusive breastfeeding, was higher in urban than in rural area. There were differences in mothers' knowledge and attitude between rural and urban areas (p<0.05). Exclusive breastfeeding in rural area practiced by 41.9%, which is higher than in urban area (25.8%). Nevertheless, there was no statistical difference in exclusive breastfeeding practice between rural and urban areas (p>0.05). Breastfeeding practices which statistically difference in rural and urban areas were the introduction of colostrum status and brastfeeding time (p<0.05). Early initiation of breastfeeding was associated with exclusive berastfeeding practice in urban area (p<0.05), but none of the variables were associated with exclusive breastfeeding practice in rural area (p>0.05). Furthermore, exclusive breastfeeding practice was not associated with 4-12 months infants nutritional status (p>0.05). Mothers' family should be targeted as target of audience in breastfeeding promotion. Keywords: breastfeeding practice, exclusive breastfeeding, knowledge, attitude, infant nutritional status, rural and urban areas.

iii RINGKASAN ASRINISA RACMADEWI. Pengetahuan, Sikap, dan Praktek Pemberian ASI serta Status Gizi Bayi Usia 4-12 bulan di Perdesaan dan Perkotaan. Dibimbing oleh ALI KHOMSAN. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk membandingkan pengetahuan, sikap, dan praktek pemberian ASI, serta status gizi bayi usia 4-12 bulan di perdesaan dan perkotaan. Tujuan khususnya adalah (1) Mengetahui karakteristik ibu dan bayi, (2) Mempelajari pengetahuan dan sikap gizi ibu, (3) Mempelajari praktek pemberian ASI, (4) Mengkaji praktek pemberian susu non- ASI dan MP-ASI, (5) Menganalisis faktor yang berhubungan dengan pengetahuan dan sikap gizi ibu, (6) Menganalisis faktor yang berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif, serta (7) Menganalisis hubungan pemberian ASI eksklusif dengan status gizi bayi. Desain penelitian ini adalah cross sectional study. Penelitian dilakukan di dua tempat yang mewakili daerah perdesaan dan perkotaan. Daerah perkotaan diwakili oleh Kelurahan Kedung Jaya, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, sedangkan daerah perdesaan diwakili oleh Desa Jayabakti, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi. Pengambilan data berlangsung mulai April Mei 2009. Contoh penelitian adalah pasangan ibu dengan bayi usia 4-12 bulan yang memberikan ASI pada bayinya di kedua daerah penelitian. Contoh terdiri dari pasang ibu-bayi masing-masing di daerah perdesaan dan perkotaan dengan metode pengambilan contoh gugus sederhana (simple cluster sampling). Desa dan kelurahan digugus berdasarkan Posyandu yang ada, kemudian secara acak dipilih Posyandu untuk diteliti seluruh pasangan ibu-bayi yang memenuhi kriteria hingga mencapai minimal 30 pasang ibu-bayi. Posyandu yang terpilih adalah Posyandu Tunas Muda II dan VIII untuk mewakili Desa Jayabakti, sedangkan Kelurahan Kedung Jaya diwakili oleh Posyandu Wijaya Kusuma dan Melati. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data pimer meliputi karakteristik ibu, karakteristik bayi, pengetahuan dan sikap gizi ibu, praktek pemberian ASI, serta praktek pemberian susu non-asi dan MP-ASI. Data sekunder mencakup gambaran umum daerah penelitian serta daftar pasangan ibu-bayi yang memenuhi kriteria. Data diolah dan dianalisis secara statistik deskriptif dan inferensia dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excell 2007 dan Stata 9 for Windows. Uji beda dilakukan dengan menggunakan independent t-test, chi-square test, dan Fisher's exact test. Hubungan antar variabel dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Spearman. Ibu di perdesaan berusia antara 17-41 tahun, sedangkan ibu di perkotaan berusia antara 18-39 tahun. Tingkat pendidikan ibu di perdesaan mayoritas (32.3%) tamat SD/sederajat, sedangkan di perkotaan mayoritas (45.2%) tamat akademi/perguruan tinggi. Ibu di perdesaan maupun perkotaan mayoritas tidak bekerja (93.5% dan 77.4%). Ibu di perdesaan 64.5% telah mempunyai pengalaman menyusui, sedangkan di perkotaan hanya 48,4% ibu yang telah memiliki pengalaman menyusui. Bayi di perdesaan mayoritas (38.7%) berada pada usia 4-6 bulan, sedangkan di perkotaan mayoritas (41.9%) berada pada usia 10-12 bulan. Berat lahir bayi di perdesaan 93.5% normal, sedangkan di perkotaan seluruh bayi lahir dengan berat normal. Bayi di perdesaan maupun perkotaan mayoritas (64.5% dan 51.6%) tidak mengalami proses inisiasi menyusu dini. Status gizi bayi di perdesaan maupun perkotaan mayoritas normal (64.5% dan 83.9%).

Pengetahuan dan sikap gizi ibu di perdesaan mayoritas sedang (54.8% dan 58.1%), sedangkan di perkotaan mayoritas tinggi (masing-masing sebesar 77.4%). Terdapat perbedaan yang nyata antara pengetahuan dan sikap gizi ibu di perdesaan dengan perkotaan (p<0.05). Informasi tentang ASI eksklusif baik di perdesaan maupun perkotaan mayoritas diperoleh dari petugas kesehatan. Praktek ASI eksklusif di perdesaan sebesar 41.9% dan lebih besar dibandingkan perkotaan yang hanya mencapai 25.8%. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara praktek ASI eksklusif di perdesaan dengan perkotaan (p>0.05). Alasan yang dikemukakan ibu di perdesaan untuk memberikan ASI eksklusif mayoritas (30.8%) karena anjuran bidan, sedangkan di perkotaan mayoritas ibu (45.5%) memberikan ASI eksklusif karena ASI merupakan makanan terbaik untuk bayi. Mayoritas ibu di perdesaan dan perkotaan memberikan ASI saja 2 bulan, dan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) antara perdesaan dan perkotaan. Seluruh ibu di perdesaan memberikan kolostrum kepada bayinya, sedangkan di perkotaan hanya 90.3% sehingga terdapat perbedaan yang nyata antara status pemberian kolostrum di perdesaan dengan perkotaan (p<0.05). Di perdesaan, seluruh ibu memberikan ASI setiap bayi meminta, sedangkan di perkotaan waktu pemberian ASI lebih bervariasi sehingga terdapat perbedaan yang nyata antara waktu pemberian ASI di perdesaan dengan perkotaan (p<0.05). Hampir seluruh ibu di perdesaan maupun perkotaan memberikan ASI 7 kali/hari (96.8% dan 93.5%) dan berstatus masih menyusui sampai saat penelitian dilakukan (96.8% dan 90.3%). Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara frekuensi pemberian ASI dan status menyusui saat ini di perdesaan dengan perkotaan (p>0.05). Mayoritas bayi di perdesaan belum pernah mengonsumsi susu non-asi ketika penelitian berlangsung. Mayoritas bayi di perkotaan telah mengonsumsi susu formula sejak lahir. Ibu di perdesaan lebih sedikit yang memberikan MP-ASI secara tepat baik jenis dan frekuensinya sesuai usia bayi dibandingkan ibu di perkotaan. Mayoritas frekuensi pemberian MP-ASI adalah 3-4 kali/hari. Jenis MP-ASI yang paling banyak dikonsumsi adalah bubur susu instan dan buah. Pengetahuan gizi ibu berhubungan nyata positif dengan sikap gizi ibu di perdesaan (r=0.4428, p=0.0126) maupun perkotaan (r=0.6939, p=0.000). Faktor yang berhubungan nyata positif dengan tingkat pengetahuan gizi ibu di perdesaan adalah usia ibu (r=0.4902, p=0.0051), status kerja (r=0.3595, p=0.0470), dan pengalaman menyusui sebelumnya (r=0.3691, p=0.0410). Faktor yang berhubungan nyata dengan sikap gizi ibu di perdesaan adalah status kerja (r=0.3661, p=0.0428). Di perkotaan, hanya tingkat pendidikan ibu yang berhubungan nyata positif dengan tingkat pengetahuan gizi (r=0.4489, p=0.0113) serta sikap gizi ibu (r=0.4382, p=0.0137). Tidak terdapat faktor yang berhubungan nyata dengan praktek ASI eksklusif di perdesaan. Di perkotaan, status inisiasi menyusu dini menjadi satusatunya faktor yang berhubungan nyata dengan praktek ASI eksklusif (r=0.4616, p=0.0090). Selanjutnya, tidak terdapat hubungan yang nyata antara praktek ASI eksklusif dengan status gizi bayi. iv

v PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PRAKTEK PEMBERIAN ASI SERTA STATUS GIZI BAYI USIA 4-12 BULAN DI PERDESAAN DAN PERKOTAAN ASRINISA RACHMADEWI Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

vi Judul Skripsi : Pengetahuan, Sikap, dan Praktek Pemberian ASI serta Status Gizi Bayi Usia 4-12 bulan di Perdesaan dan Perkotaan Nama : Asrinisa Rachmadewi NRP : I14050853 Disetujui, Dosen Pembimbing Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS NIP. 19600202 198403 1 001 Diketahui, Ketua Departemen Gizi Masyarakat Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS NIP. 19621204 198903 2 002 Tanggal Lulus:

vii PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala ridha dan karunia-nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Topik yang dipilih dalam penelitian ini adalah Pengetahuan, Sikap, dan Praktek Pemberian ASI serta Status Gizi Bayi Usia 4-12 bulan di Perdesaan dan Perkotaan. Secara keseluruhan, penelitian dan penulisan skripsi berlangsung selama bulan Maret hingga Agustus 2009. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan motivasi, arahan, dan masukan selama penulisan skripsi. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu kelancaran selama penelitian dan penyelesaian skripsi. Semoga skripsi ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2009 Asrinisa Rachmadewi

viii RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 13 Desember 1987 dari pasangan Dr. Ir. Saeful Rachman, MSc. dan Dr. Ir. Handewi Purwati, MS. Penulis merupakan anak bungsu sekaligus adik dari Anesia Rachmadewi, B.Acc. Tahun 2005 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bogor dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur USMI. Tahun kedua di IPB, penulis resmi menjadi mahasiswa mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Selama perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum Ilmu Bahan Makanan pada tahun ajaran 2008/2009, asisten mata kuliah Ekologi Pangan dan Gizi, Perencanaan Pangan dan Gizi, serta Penilaian Satus Gizi pada tahun ajaran 2009/2010. Penulis menjabat sebagai pengurus HIMAGITA periode 2006/2007, Ketua Divisi Informasi dan Komunikasi HIMAGIZI periode 2007/2008 serta mengikuti beberapa kepanitiaan tingkat fakultas dan IPB.

ix DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xii PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 3 Hipotesis... 3 Kegunaan... 4 TINJAUAN PUSTAKA... 5 Air Susu Ibu (ASI)... 4 Praktek Pemberian ASI... 6 Pengetahuan dan Sikap Gizi... 10 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pengetahuan dan Sikap Gizi, serta Praktek ASI Eksklusif... 11 Praktek Pemberian Susu Non-ASI dan MP-ASI... 14 Status Gizi... 15 KERANGKA PEMIKIRAN... 17 METODE... 19 Desain, Tempat, dan Waktu... 19 Jumlah dan Cara Penarikan Contoh... 19 Jenis dan Cara Pengumpulan Data... 20 Pengolahan dan Analisis Data... 20 Definisi Operasional... 22 HASIL DAN PEMBAHASAN... 24 Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 24 Karakteristik Ibu... 27 Karakteristik Bayi... 28 Pengetahuan Gizi Ibu... Sikap Gizi Ibu... 35 Praktek Pemberian ASI... 37 Praktek Pemberian Susu Non-ASI dan MP-ASI... 44 Faktor yang Berhubungan dengan Pengetahuan dan Sikap Gizi Ibu... 48 Faktor yang Berhubungan dengan Praktek ASI Eksklusif... 49 Hubungan Praktek ASI Eksklusif dengan Status Gizi Bayi... 52 KESIMPULAN DAN SARAN... 54 DAFTAR PUSTAKA... 57 LAMPIRAN... 61

x DAFTAR TABEL Halaman 1 Kontribusi energi dari zat gizi makro pada ASI dan formula lain... 5 2 Jenis data yang dikumpulkan... 20 3 Sebaran karakteristik ibu di perdesaan dan perkotaan... 28 4 Sebaran karakteristik bayi di perdesaan dan perkotaan... 29 5 Sebaran status gizi (PB/U) bayi di perdesaan dan perkotaan... 30 6 Sebaran pengetahuan gizi ibu di perdesaan dan perkotaan... 7 Sebaran pertanyaan pengetahuan gizi yang dijawab benar oleh ibu di perdesaan dan perkotaan... 32 8 Sebaran persepsi ibu tentang keuntungan ASI bagi anak... 34 9 Sebaran persepsi ibu tentang hal negatif dari susu non-asi... 34 10 Sebaran media informasi ASI eksklusif di perdesaan dan perkotaan... 35 11 Sebaran sikap gizi ibu di perdesaan dan perkotaan... 36 12 Sebaran pertanyaan sikap gizi yang dijawab benar oleh ibu di perdesaan dan perkotaan... 36 13 Sebaran praktek ASI eksklusif di perdesaan dan perkotaan... 37 14 Alasan pemberian ASI eksklusif di perdesaan dan perkotaan... 38 15 Durasi pemberian ASI saja di perdesaan dan perkotaan... 38 16 Makanan dan cairan yang diberikan sebelum bayi berusia 4 bulan di perdesaan dan perkotaan... 39 17 Status pemberian kolostrum di perdesaan dan perkotaan... 40 18 Sebaran waktu pemberian ASI pertama di perdesaan dan perkotaan... 40 19 Sebaran waktu pemberian ASI di perdesaan dan perkotaan... 41 20 Sebaran frekuensi pemberian ASI sehari di perdesaan dan perkotaan... 41 21 Status menyusui saat ini di perdesaan dan perkotaan... 42 22 Kesulitan pemberian ASI di perdesaan dan perkotaan... 42 23 Keberlanjutan pemberian ASI di perdesaan dan perkotaan... 43 24 Sebaran waktu pertama kali memperkenalkan susu non-asi di perdesaan dan perkotaan... 44 25 Alasan pemberian susu non-asi di perdesaan dan perkotaan... 44 26 Praktek pemberian susu non-asi di perdesaan dan perkotaan... 45 27 Rata-rata konsumsi susu non-asi di perdesaan dan perkotaan... 46 28 Frekuensi pemberian MP-ASI di perdesaan dan perkotaan... 46 29 Jenis MP-ASI yang diberikan di perdesaan dan perkotaan... 47 30 Hubungan berbagai variabel dengan pengetahuan dan sikap gizi ibu di perdesaan... 48

1 Hubungan berbagai variabel dengan pengetahuan dan sikap gizi ibu di perkotaan... 49 32 Hubungan berbagai variabel dengan praktek ASI eksklusif di perdesaan 50 33 Hubungan berbagai variabel dengan praktek ASI eksklusif di perkotaan. 51 34 Hubungan praktek ASI eksklusif dengan status gizi bayi... 52

2 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Skema kerangka pemikiran... 18 2 Skema cara penarikan contoh... 19

3 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Peta wilayah Kabupaten Sukabumi... 61 2 Peta Wilayah Kota Bogor... 61 3 Hasil analisis korelasi Spearman variabel di perdesaan... 62 4 Hasil analisis korelasi Spearman variabel di perkotaan... 63 5 Kuesioner penelitian... 64

PENDAHULUAN Latar Belakang Kualitas sumberdaya manusia Indonesia masih terbilang rendah dibandingkan negara lain di dunia. Hal ini dapat dilihat berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Human Development Report UNDP tahun 2008 melaporkan bahwa Indonesia menempati urutan 109 dari 179 negara dengan nilai IPM 0.726. IPM terbagi menjadi empat indikator, salah satunya adalah umur harapan hidup yang dapat menunjukkan derajat kesehatan masyarakat. Umur harapan hidup penduduk Indonesia pada tahun 2008 mencapai rata-rata 70.46 tahun dari 70.16 tahun pada 2007. Semakin tinggi umur harapan hidup di suatu negara, program kesehatan dan pembangunan sosial ekonomi suatu negara dikatakan semakin berhasil. Departemen Kesehatan RI (Depkes RI) bertanggung jawab merumuskan kebijakan dan program untuk mencapai derajat kesehatan penduduk Indonesia yang lebih baik. Hal ini tercantum dalam UU no 23 tahun 1992 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa pembangunan kesehatan merupakan upaya pemenuhan hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Secara lebih spesifik, UU no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa pemerintah wajib memenuhi hak-hak anak, yaitu kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan perkembangan anak. Depkes menargetkan pada tahun 2009, prevalensi balita gizi kurang di Indonesia turun menjadi setinggi-tingginya 20% dan gizi buruk setinggi-tingginya 5% yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2005-2009. Kegiatan prioritas mutlak dibutuhkan untuk mencapai target tersebut. Salah satunya adalah peningkatan kerjasama dan dukungan stakeholder dalam pemberdayaan masyarakat untuk memperbaiki pola asuh balita. Perbaikan pola asuh meliputi pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif, penerapan inisiasi menyusu dini serta pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) lokal pada bayi 6 bulan ke atas dan meneruskan ASI sampai usia 2 tahun (Rencana Kerja Program Perbaikan Gizi 2009). Indonesia saat ini mencatat angka kematian bayi masih sangat tinggi yaitu 35/1000 kelahiran hidup yang artinya dalam satu tahun sekitar 175000 bayi meninggal sebelum mencapai usia satu tahun (KESRA 2008). Hasil penelitian menyatakan kematian neonatal dapat dicegah sebanyak 16% dengan

2 memberikan ASI pada hari pertama kelahiran dan 22% dengan memberikan ASI pada satu jam pertama kelahiran (Edmond et al. 2005). Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2003 menyatakan hanya ada 8.3% bayi yang mendapat ASI dalam 30 menit setelah persalinan dan 4% bayi yang mendapat ASI dalam satu jam setelah persalinan. Survei tersebut juga menyatakan bahwa bayi yang memperoleh ASI eksklusif sampai 4-5 bulan sebanyak 14% dan hanya 7.8% bayi yang mendapat ASI eksklusif sampai 6 bulan. Tahun 2007, survei yang sama menunjukkan bahwa cakupan ASI eksklusif sampai 6 bulan meningkat menjadi 32.3%. Peningkatan ini ternyata masih berada jauh di bawah target cakupan ASI eksklusif di Indonesia pada tahun 2010, yaitu 80%. Program ASI Eksklusif merupakan program promosi pemberian ASI saja pada bayi tanpa memberikan makanan atau minuman lain. Tahun 1990, pemerintah mencanangkan Gerakan Nasional Peningkatan Pemberian ASI (PP- ASI) yang salah satu tujuannya adalah untuk membudayakan perilaku menyusui secara eksklusif kepada bayi dari lahir sampai usia 4 bulan. Tahun 2004, sesuai dengan anjuran WHO, pemberian ASI eksklusif ditingkatkan menjadi 6 bulan sebagaimana dinyatakan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no.450/menkes/sk/vi/2004 (Tasya 2008). Penelitian Hardinsyah et al. (2002) menunjukkan cakupan ASI eksklusif di Kota Bogor hanya mencapai 22.8%. Survei yang dilaksanakan pada tahun 2002 oleh Nutrition and Health Surveillance System bekerjasama dengan Balitbangkes dan Helen Keller International di 4 perkotaan (Jakarta, Surabaya, Semarang, Makasar) dan 8 perdesaan (Sumatera Barat, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, dan Sulawesi Selatan), menunjukkan bahwa cakupan ASI eksklusif 4-5 bulan di perkotaan antara 4-12%, sedangkan di perdesaan 4-25%. Pencapaian ASI eksklusif 5-6 bulan di perkotaan berkisar antara 1-13% sedangkan di perdesaan 2-13%. Kendala yang dihadapi dalam praktek ASI eksklusif adalah kurangnya pengetahuan ibu, kurangnya dukungan dari lingkungan dan praktisi kesehatan, pemberian makanan dan minuman terlalu dini, serta maraknya promosi susu formula untuk bayi (The American Academy of Pediatrics 2005). Ditambahkan oleh hasil penelitian Ergenekon-Ozelci et al. (2006) bahwa kepercayaan tradisional, tingkat pendidikan ibu dan sikap ibu terhadap ASI yang rendah, serta perbedaan wilayah tempat tinggal menjadi kendala yang berpengaruh terhadap

3 keberlangsungan pemberian ASI. Berdasarkan persentase cakupan ASI eksklusif yang masih rendah dan kendala yang dihadapi serta dampaknya terhadap status gizi, peneliti tertarik untuk mempelajari pengetahuan, sikap, dan praktek pemberian ASI, khususnya ASI eksklusif, serta status gizi bayi usia 4-12 bulan di perdesaan dan perkotaan. Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk membandingkan pengetahuan, sikap, dan praktek pemberian ASI serta status gizi bayi usia 4-12 bulan di perdesaan dan perkotaan. Tujuan khusus 1. Mengetahui karakteristik ibu (usia, tingkat pendidikan, status kerja, dan pengalaman menysusui sebelumnya) dan bayi usia 4-12 bulan di perdesaan dan perkotaan (usia, jenis kelamin, berat lahir, status inisisasi menyusu dini, dan status gizi). 2. Mempelajari pengetahuan dan sikap gizi ibu di perdesaan dan perkotaan. 3. Mempelajari praktek pemberian ASI di perdesaan dan perkotaan (praktek ASI eksklusif dan alasannya, durasi pemberian ASI saja, pemberian kolostrum, waktu pemberian ASI, frekuensi pemberian ASI, dan status menyusui saat ini). 4. Mengkaji praktek pemberian susu non-asi dan MP-ASI di perdesaan dan perkotaan. 5. Menganalisis faktor yang berhubungan dengan pengetahuan dan sikap gizi ibu di perdesaan dan perkotaan. 6. Menganalisis faktor yang berhubungan dengan praktek ASI eksklusif di perdesaan dan perkotaan. 7. Menganalisis hubungan praktek ASI eksklusif dengan status gizi bayi. Hipotesis Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: 1. Tidak terdapat perbedaan antara praktek pemberian ASI pada bayi usia 4-12 bulan di perdesaan dengan perkotaan. 2. Tidak terdapat perbedaan antara pengetahuan dan sikap gizi ibu di perdesaan dengan perkotaan.

4 3. Pengetahuan dan sikap ibu tentang gizi tidak berhubungan dengan praktek ASI eksklusif di perdesaan dengan perkotaan. 4. Tidak terdapat hubungan antara praktek ASI eksklusif dengan status gizi bayi usia 4-12 bulan. Kegunaan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan informasi tentang pengetahuan, sika, dan praktek pemberian ASI, di daerah perdesaan dan perkotaan, sehingga dapat memperkaya ilmu pengetahuan khususnya bidang gizi dan kesehatan. Selain itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai evaluasi pelaksanaan program ASI Eksklusif yang digalakkan oleh Posyandu, tenaga kesehatan, dan instansi pemerintah setempat sehingga diharapkan dapat menjadi masukan dalam merumuskan program perbaikan dan peningkatan status gizi bayi.

5 TINJAUAN PUSTAKA Air Susu Ibu (ASI) ASI merupakan makanan yang higienis, murah, mudah diberikan, dan sudah tersedia bagi bayi. ASI menjadi satu-satunya makanan yang dibutuhkan bayi selama 6 bulan pertama hidupnya agar menjadi bayi yang sehat. Komposisinya yang dinamis dan sesuai dengan kebutuhan bayi menjadikan ASI sebagai asupan gizi yang optimal bagi bayi. ASI dan plasma memiliki konsentrasi ion yang sama sehingga bayi tidak memerlukan cairan atau makanan tambahan (Brown et al. 2005). ASI memiliki semua unsur-unsur yang memenuhi kebutuhan bayi akan gizi selama periode sekitar 6 bulan, kecuali jika ibu megalami keadaan gizi kurang yang berat atau gangguan kesehatan lain. Komposisi ASI akan berubah sejalan dengan kebutuhan bayi (Gibney et al. 2005). ASI lebih unggul dibandingkan makanan lain untuk bayi seperti susu formula, karena kandungan protein pada ASI lebih rendah dibandingkan pada susu sapi sehingga tidak memberatkan kerja ginjal, jenis proteinnya pun mudah dicerna. Selain itu, ASI mengandung lemak dalam bentuk asam amino esensial, asam lemak jenuh, trigliserida rantai sedang, dan kolesterol dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan bayi (Brown et al. 2005). Perbandingan kontribusi energi dari zat gizi makro pada ASI dan formula lain disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Kontribusi energi dari zat gizi makro pada ASI dan formula lain Zat Gizi Makro ASI Formula Susu Sapi Formula Susu Kedelai (kalori) (kalori) (kalori) Protein 7% 9-12% 11-13% Karbohidrat 38% 41-43% 39-45% Lemak 55% 48-50% 45-49% sumber: Brown et al. 2005 Manfaat ASI Pemberian ASI merupakan praktek yang unik karena bukan hanya memberikan asupan gizi yang memadai bagi bayi, tetapi juga asuhan psikososial melalui pembentukan ikatan kasih sayang dengan ibu (Gibney et al. 2005). Bayi yang diberi ASI mendapat kasih sayang dari ibu karena dekapannya. Kekuatan ikatan antara ibu dan bayi menyebabkan emosi ibu menjadi baik sehingga mampu meningkatkan produksi oksitosin yang merangsang kelenjar-kelenjar payudara untuk berkontraksi mengeluarkan ASI (Paath, Yuyum & Heryati 2004). Keberadaan antibodi dan sel-sel makrofag pada ASI memberikan perlindungan pada bayi terhadap jenis-jenis infeksi tertentu seperti infeksi saluran

6 pernafasan (Chantry, Howard & Auinger 2006), diare (Arifeen et al. 2001) dan infeksi gastrointestinal (Fawtrell et al. 2007). Selain itu, penelitian Singhal et al. (2002) yang diacu dalam American Academy of Pediatric (2005) membuktikan bahwa pemberian ASI dapat menurunkan sindrom kematian bayi di tahun pertama kehidupannya serta mencegah bayi terkena penyakit tertentu seperti diabetes dan obesitas. Penelitian lain juga telah membuktikan bahwa pemberian ASI meningkatkan perkembangan kognitif bayi dan meningkatkan IQ (Jacobson, Chiodo & Jacobson 1999). Pemberian ASI eksklusif juga memberikan keuntungan bagi ibu. Pemberian ASI sedini mungkin dapat mengurangi pendarahan akibat melahirkan. Ibu yang memberikan ASI juga memiliki resiko yang lebih kecil terkena kanker payudara (Tryggvadóttir et al. 2001), kanker ovarium, dan osteoporosis. Keuntungan lain bagi ibu adalah dengan menyusui bayinya maka penurunan berat badan lebih cepat sehingga dapat kembali ke berat badan sebelum hamil (Labbok 2001 dalam American Academy of Pediatric 2005). Keuntungan pemberian ASI eksklusif tidak hanya bagi bayi dan ibunya, tetapi juga bagi kondisi sosial ekonomi keluarga dan masyarakat. Pemberian ASI eksklusif dapat mengurangi pengeluaran biaya perawatan kesehatan bayi. Bagi ibu yang bekerja, ASI eksklusif memberikan keuntungan untuk perusahaan karena dapat meningkatkan produktivitas kerja dan mengurangi biaya medis karyawannya (Brown et al. 2005). Depkes RI (2004) menyatakan pemberian ASI eksklusif berkontribusi untuk pengembangan ekonomi, melindungi lingkungan, serta menghemat sumber dana, kelangkaan pangan, dan devisa negara. Praktek Pemberian ASI Banyak sikap dan kepercayaan yang tidak mendasar terhadap makna pemberian ASI yang membuat para ibu tidak melakukan ASI eksklusif selama 6 bulan. Alasan umum mengapa ibu tidak memberikan ASI eksklusif meliputi rasa takut yang tidak berdasar bahwa ASI yang dihasilkan tidak cukup atau memiliki mutu yang tidak baik, keterlambatan memulai pemberian ASI dan pembuangan kolostrum, teknik pemberian ASI yang salah, serta kepercayaan yang keliru bahwa bayi haus dan memerlukan cairan tambahan. Selain itu, kurangnya dukungan dari pelayanan kesehatan dan keberadaan pemasaran susu formula sebagai pengganti ASI menjadi kendala ibu untuk memberikan ASI eksklusif kepada bayinya (Gibney et al. 2005).

7 Praktek ASI Eksklusif ASI eksklusif didefinisikan sebagai pemberian ASI kepada bayi secara langsung oleh ibunya dan tidak diberikan makanan cair atau padat lainnya kecuali obat tetes atau sirup yang berisi suplemen vitamin, mineral, atau obat (Gibney et al. 2005). American Academy of Pediatric (2005) menyatakan bahwa ASI eksklusif merupakan referensi bagi seluruh alternatif model pemberian makanan yang dampaknya dapat diukur melalui pertumbuhan, perkembangan, status kesehatan, dan dampak jangka pendek maupun jangka panjang lainnya. Pertemuan bersama antara perwakilan WHO dan UNICEF pada tahun 1990 di Italia menghasilkan Deklarasi Innocenti tentang Perlindungan, Promosi dan Dukungan pada Pemberian ASI. Deklarasi tersebut mendefinisikan bahwa pemberian makanan bayi yang optimal adalah pemberian ASI eksklusif mulai dari saat lahir hingga bayi berusia 4-6 bulan dan terus berlanjut hingga tahun kedua kehidupan, sementara pemberian makanan tambahan yang sesuai baru diberikan ketika bayi berusia 6 bulan (Gibney et al. 2005). Dukungan pemerintah Indonesia terhadap hal tersebut diwujudkan dalam berbagai kegiatan seperti Gerakan Nasional Perancangan PP-ASI serta Gerakan Rumah Sakit dan Puskesmas Sayang Bayi (Depkes RI 2004). Alasan Pemberian ASI Eksklusif Hasil penelitian Suhendar (2002) menyatakan ibu memberikan ASI eksklusif karena anjuran keluarga, kemauan sendiri, anjuran tenaga kesehatan, dan anjuran teman. Hal ini diperjelas dalam penelitian Zei (2003) yang menyatakan alasan ibu memberikan ASI eksklusif mayoitas karena petunjuk dari bidan (42.8%). Alasan lain adalah pencernaan bayi masih belum sempurna, agar anak sehat, anak memang kuat minum ASI dan anjuran tetangga (masingmasing sebanyak 14.3%). Sementara penlitian lain menyatakan keuntungan kesehatan untuk bayi menjadi alasan yang dominan pada ibu untuk memberikan ASI (92.2%). Sisanya menyatakan keuntungan untuk ibu (4.2%) serta penguatan hubungan antara ibu dan bayi (3.1%) sebagai alasan pemberian ASI (Ertem, Votto & Leventhal 2001). Durasi Pemberian ASI Saja WHO pada tahun 1991 merekomendasikan durasi pemberian ASI eksklusif pada bayi selama periode 4-6 bulan pertama. Tahun 2001, WHO menetapkan durasi pemberian ASI eksklusif yang optimal adalah selama 6 bulan (Gibney et al. 2005). Fawtrell et al. (2007) mendukung hal ini melalui hasil

8 penelitian yang menyatakan bahwa durasi pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan lebih optimal dibandingkan 3-4 bulan. The U.S Surgeon General merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dan meneruskan ASI sampai 12 bulan, dengan pengenalan makanan padat pada usia 4-6 bulan (Brown et al. 2005). Eastwood (2003) menyatakan pada usia 4-6 bulan bayi membutuhkan makanan MP-ASI karena hanya sedikit ibu yang mampu memproduksi ASI secara cukup untuk kebutuhan bayi sampai usia 6 bulan. Pemberian Kolostrum Kolostrum merupakan ASI pertama yang keluar selama laktogenesis II (1-3 hari setelah kelahiran) dan umumnya berwarna kuning dan kental. Bayi hanya mengonsumsi kolostrum sebanyak 2-10 ml setiap kali menyusu dalam 2-3 hari pertamanya. Kolostrum mengandung 58-70 kalori/100 ml dan memiliki kandungan protein, sodium, potasium serta klorida yang lebih tinggi dibandingkan ASI. Immunoglobulin A dan lactoferra merupakan jenis protein yang terdapat pada kolostrum. Kolostrum juga memiliki konsentrasi mononuclear sel tertinggi yang dapat melindungi sistem imun bayi dan membantu perkembangan imunitas. Selain itu, kolostrum mengandung faktor pertumbuhan yang membantu kematangan saluran pencernaan bayi (Brown et al. 2005). Odent dalam tulisanya Colostrum and Civilization mengambarkan budaya masa lalu dan masa kini masih menganggap kolostrum sebagai sesuatu yang kotor dan beracun. Budaya ini dapat dengan mudah melemahkan hubungan yang seharusnya terjalin antara ibu dan bayi (Kroeger & Linda 2004). Pemberian kolostrum dalam satu jam pertama kelahiran bayi dapat memulai ikatan kasih sayang antara ibu dan bayi (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia 2008). Sebuah penelitian di Turki menyatakan ibu yang berpendidikan rendah menganggap bahwa kolostrum tidak baik untuk bayi dan hanya 9.9% ibu yang memberikan kolostrum satu jam setelah kelahiran (Ergenekon-Ozelci et al. 2006). International Consultant Lactation Assosiation menyatakan salah satu manajemen strategi menyusui adalah dengan memberikan ASI sedini mungkin, setidaknya dalam 2 jam pertama (Kroeger & Linda 2004). Hasil survey Helen Keller Worldwide pada tahun 2002 di Jakarta menyimpulkan sebagain besar bayi yang diberi ASI memperoleh ASI pertamanya 6 jam setelah kelahiran (70% di daerah perdesaan dan 52-65% di daerah perkotaan). Ibu yang memulai pemberian ASI secara dini cenderung untuk melaksanakan ASI eksklusif dan memberikan ASI dengan periode yang lebih lama (Gibney et al. 2005).

9 Waktu Pemberian ASI Terdapat sepuluh langkah menuju keberhasilan pemberian ASI yang direkomendasikan oleh WHO, salah satunya adalah dengan mendorong pemberian ASI menurut permintaan bayi (WHO 1998). Menurut Brown et al. (2005), berat badan dan umur bayi serta densitas kalori pada ASI berkontribusi secara nyata pada peningkatan permintaan ASI oleh bayi. Bayi akan menunjukkan rasa lapar dengan memasukkan jari atau tangannya ke dalam mulut dan mulai mengisapnya serta menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri dengan mulut yang terbuka. Seharusnya bayi langsung diberikan ASI ketika perilaku tersebut mulai timbul tanpa menunggu bayi menangis. Bayi yang menangis karena rasa lapar merupakan tanda bayi telah terlambat untuk mendapat ASI (Brown et al. 2005). Frekuensi Pemberian ASI Pengosongan perut bayi yang telah mengonsumsi ASI berlangsung sekitar 1.5 jam. Frekuensi normal pemberian ASI pada bayi yang baru lahir adalah 10-12 kali setiap hari. Seiring dengan pertambahan umur bayi, frekuensi pemberian ASI bergantung pada persediaan ASI (Brown et al. 2005). Bayi berusia 4 hari membutuhkan ASI setiap 2 jam selama 15-20 menit untuk satu payudara. Ketika bayi berusia 3-6 bulan frekuensi pemberian ASI berkurang hingga mencapai 7-8 kali sehari. Bayi yang diberi ASI lebih sering meminta makan dibandingkan dengan bayi yang mendapatkan susu formula karena protein dan lemak pada ASI lebih mudah diserap oleh sistem pencernaan bayi (Perkins & Vannais 2004). Status Menyusui Saat Ini WHO merekomendasikan pemberian ASI berlangsung paling tidak sampai tahun kedua kehidupan bayi. Survey tahun 2002-2003 di Amerika menyatakan hanya 19% bayi yang masih diberikan ASI sampai usia 12 bulan, sedangkan survey tahun 2001 di Australia menyatakan hanya 23% bayi yang masih meperoleh ASI hingga usia 12 bulan. Ketidakberlangsungan pemberian ASI hingga usia 12 bulan berhubungan dengan faktor antara lain ibu yang merokok selama kehamilan, penggunaan dot untuk minum bayi, sikap ibu yang kurang terhadap pemberian makan bayi, pengalaman memiliki masalah menyusui pada bulan pertama, dan ibu yang kembali bekerja sebelum bayi berusia 12 bulan (Scott et al. 2006). Ibu akan menghadapi kesulitan pemberian

10 ASI, tanpa pertolongan dan dukungan yang tepat, umumnya akan mengakibatkan penghentian pemberian ASI. Kesulitan yang dialami ibu selama menyusui dapat bersifat fisik serta budaya (Gibney et al. 2005). Pengetahuan dan Sikap Gizi Pengetahuan didefinisikan secara sederhana sebagai informasi yang disimpan dalam ingatan. Pengetahuan termasuk didalamnya pengetahuan gizi, dapat diperoleh melalui pendidikan formal dan informal. Pendidikan formal diperoleh dari sekolah dengan kurikulum dan jenjang yang telah ditetapkan, sedangkan pendidikan informal dapat diperoleh dari seluruh aspek kehidupan (Pranadji 1988). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan gizi ibu berhubungan nyata dengan cara pemberian ASI. Semakin baik tingkat pengetahuan gizi ibu maka pemberian ASI semakin sering (Zai 2003). Semakin tinggi tingkat pengetahuan ibu tentang ASI maka ibu akan mengetahui cara dan posisi menyusui yang benar serta cara meningkatkan produksi ASI (Adwinanti 2004). Penelitian yang memberikan intervensi pendidikan tentang ASI melalui media interaktif menunjukkan bahwa peningkatan pengetahuan sebesar 11% menyebabkan peningkatan praktek pemberian ASI sebesar 43% (Hillenbrand & Larsen 2002). Brown et al. (2003) menyatakan kurangnya pengetahuan ibu tentang ASI menjadi salah satu penghambat keberlangsungan pemberian ASI. Pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif dapat diperoleh dari berbagai sumber informasi. Foo et al. (2005) menyatakan menjelang akhir kehamilan, ibu membutuhkan berbagai informasi penting yang umumnya disediakan oleh pelayanan dan tenaga kesehatan. Selain itu, informasi yang berasal dari suami, keluarga, teman, jaringan sosial dan berbagai media berpengaruh terhadap pengetahuan ibu. Arifin (2002) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa rendahnya pendidikan dan kurangnya informasi menjadi faktor yang berpengaruh tehadap kegagalan pemberian ASI eksklusif. Sikap adalah evaluasi dari seseorang terhadap suatu objek. Schiffman dan Kanuk (1997) menyatakan model sikap dalam tiga komponen. Pertama, komponen kognitif yang menerangkan bahwa sikap adalah gambaran pengetahuan dan persepsi terhadap suatu objek sikap. Kedua, komponen afektif yang menerangkan bahwa sikap adalah gambaran emosi seseorang terhadap suatu produk. Ketiga, komponen konatif yang menyatakan sikap sebagai

11 gambaran kecenderungan dari seseorang untuk melakukan tindakan tertentu yang berkaitan dengan objek sikap. Sikap belum merupakan suatu perbuatan karena hanya menggambarkan kecenderungan tingkah laku yang mengarah pada suatu objek tertentu. Sikap dapat tebentuk dari pengetahuan dan pengalaman. Kemantapan sikap seseorang disebabkan adanya sifat menyaring dalam menginterpretasikan informasi yang datang dari luar (Pranadji 1988). Hasil penelitian Foo et al. (2005) menunjukkan bahwa sikap ibu berhubungan dengan praktek pemberian ASI. Ibu yang menganggap bahwa ASI merupakan makanan terbaik untuk bayi berencana untuk memberikan ASI selama 6 bulan. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian yang menyatakan bahwa sikap ibu terhadap pemberian makan bayi menjadi prediktor kuat dalam pemberian ASI (Scott et al. 2006). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pengetahuan dan Sikap Gizi, serta Praktek ASI eksklusif Beberapa faktor ditemukan berhubungan secara nyata dengan keputusan ibu untuk melakukan praktek ASI eksklusif. Faktor karakteristik ibu seperti suku, umur, tingkat pendidikan, dan agama serta jenis kelamin bayi berpengaruh terhadap keputusan ibu untuk melakukan ASI eksklusif, namun sulit untuk dirubah dalam waktu singkat maupun pada tingkat individu. Faktor lain seperti pengetahuan akan manfaat ASI, informasi dari tenaga kesehatan, serta riwayat menyusui lebih berpotensi untuk dirubah (Foo et al. 2005). Usia Ibu Usia dapat mempengaruhi cara berfikir, bertindak, dan emosi seseorang. Usia yang lebih dewasa umumnya memiliki emosi yang lebih stabil dibandingkan usia yang lebih muda. Usia ibu akan mempengaruhi kesiapan emosi ibu. Usia ibu yang terlalu muda ketika hamil bisa menyebabkan kondisi fisiologis dan psikologisnya belum siap menjadi ibu. Hal ini dapat mempengaruhi kehamilan dan pola pengasuhan (Hurlock 1995 dalam Adwinanti 2004). Usia ibu menjadi faktor yang berpengaruh secara nyata terhadap prediksi keberlangsungan ASI sampai 6 bulan pada ibu-ibu di Singapura (Foo et al. 2005). Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa semakin muda usia ibu, semakin rendah tingkat durasi pemberian ASI. Usia ibu yang lebih muda berhubungan nyata dengan pemberian ASI hanya sampai bayi usia 2 bulan

12 (Ertem, Votto & Leventhal 2001). Penelitian yang dilakukan di Desa Cibanteng Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor menyatakan dari 38 ibu remaja berusia 19 tahun, hanya 7.9% yang memberikan ASI eksklusif kepada bayi dan semuanya berusia 19 tahun (Gulo 2002). Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Gary Ong et al. (2005) yang menyatakan bahwa ibu berusia <19 tahun cenderung berhenti memberikan ASI pada usia bayi 2 bulan. Tingkat Pendidikan Ibu Campbell (2002) menyatakan bahwa pendidikan formal sangat penting karena dapat membentuk pribadi dengan wawasan berfikir yang lebih baik. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal akan semakin luas wawasan berpikirnya, sehingga akan lebih banyak informasi yang diserap. Adwinanti (2004) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara tingkat pendidikan ibu dengan pengetahuan ibu tentang ASI. Hasil penelitian terhadap ibu-ibu di Singapura juga menyatakan terdapat hubungan yang positif antara tingkat pendidikan ibu dengan durasi pemberian ASI (Foo et al. 2005). Sementara itu, terdapat hasil penelitian yang menunjukkan tidak terdapat hubungan antara pendidikan ibu dengan cara pemberian ASI dengan dugaan tingkat pendidikan yang semakin tinggi tidak disertai dengan pengetahuan tentang cara menyusui yang baik dan benar serta kemampuan dalam penerapannya (Zai 2003). Status Kerja Ibu Ibu yang tidak bekerja memiliki durasi pemberian ASI lebih lama dibandingkan dengan ibu yang bekerja. Sebanyak % dari ibu bekerja memberikan ASI sampai bayi usia 6 bulan dan hanya 20% ibu bekerja yang memberikan ASI sampai bayi usia 6 bulan (Ong et al. 2005). Kesulitan dalam menyeimbangkan antara pekerjaan dan pemberian ASI menjadi alasan utama ibu bekerja untuk berhenti memberikan ASI pada bayinya (Foo et al. 2005). Hal ini didukung oleh teori bahwa para ibu yang mulai bekerja sering mulai menghentikan pemberian ASI karena harus berpisah dengan bayinya. Ibu-Ibu tersebut sebenarnya dapat terus memberikan ASI secara eksklusif pada 6 bulan pertama dan melanjutkan ASI sampai sekurang-kurangnya 2 tahun dengan cara memerah ASI (Gibney et al. 2005). Depkes RI telah menetapkan kebijakan PP-ASI Pekerja Wanita agar ibu yang bekerja dapat tetap memberikan ASI kepada bayinya secara eksklusif selama 6 bulan dan dapat dilanjutkan sampai anak berumur 2 tahun. Salah satu

13 strategi yang digunakan dalam kebijakan tersebut adalah mengembangkan dan memantapkan pelaksanaan ASI eksklusif bagi pekerja wanita melalui pembinaan dan dukungan penuh dari pihak pengusaha (Depkes RI 2004). Pengalaman Menyusui Sebelumnya Pengalaman menyusui berhubungan dengan lamanya durasi pemberian ASI (Foo et al. 2005). Ekawati (2002) dalam penelitiannya menyatakan bahwa semakin banyak jumlah balita yang dimiliki, kecenderungan perilaku pemberian ASI semakin baik. Hal ini dikarenakan adanya pengalaman menyusui sebelumnya. Sementara itu, penelitian lain menyimpulkan bahwa keberadan anak selain bayi yang sedang disusui menjadi salah satu alasan ibu tidak memberikan ASI dalam waktu yang lama (Peters et al. 2005). Semakin banyak jumlah anak akan semakin menyita perhatian ibu terhadap pengasuhan anak. Berat Lahir Bayi Berat lahir bayi merupakan indikator penting kesehatan bayi baik dalam dimensi indivdu maupun populasi (WHO 1995). Eastwood (2003) menyatakan bayi yang lahir dengan berat kurang dari 2500 gram dikategorikan dalam bayi dengan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR). Bayi yang BBLR sering terlalu lemah untuk dapat menghisap ASI secara efektif sehingga tidak dapat diberi makan langsung dari payudara ibu. Penelitian pada 218 ibu yang melahirkan bayi BBLR menghasilkan data bahwa hanya 27% ibu yang memberikan ASI pada bayinya, sementara ibu yang lain memberikan susu formula sejak bayi mereka lahir. Sebanyak 28 ibu memberikan ASI selama 4-6 bulan dan 42 ibu memberikan ASI lebih dari 6 bulan (Smith et al. 2003). Status Inisiasi Menyusu Dini Inisiasi menyusu dini adalah proses membiarkan bayi menyusu sendiri segera setelah kelahiran. Bayi memiliki kemampuan alami untuk menyusu sendiri selama diberikan kesempatan kontak kulit dengan ibunya (skin to skin contact) setidaknya selama satu jam segera setelah lahir (Roesli 2008). Bayi yang mengalami skin to skin contact beberapa menit setelah kelahiran akan mencari puting susu dengan kecepatan yang berbeda-beda. Waktu rata-rata yang dibutuhkan oleh bayi sekitar 55 menit dan pada banyak kasus dapat mencapai 2 jam (Kroeger & Linda 2004). Inisiasi menyusu dini merupakan salah satu dari 10 Langkah Keberhasilan Menyusui yang dianjurkan WHO (1998). Terdapat lima tahapan

14 dalam inisiasi menyusu dini. Setelah diletakkan diantara payudara ibunya dalam 30 menit pertama, bayi menyesuaikan dengan lingkungan dan sesekali melihat pada ibunya. Tahap kedua, selama sekitar 10 menit kemudian bayi mengeluarkan suara dan melakukan gerakan menghisap dengan memasukkan tangan ke dalam mulut. Tahap ketiga, bayi mengeluarkan air liur. Tahap keempat, bayi menekan-nekan perut ibu untuk bergerak ke arah payudara (breast crawl). Terakhir, bayi menjilati kulit ibu, memegang puting susu dengan tangan, menemukan puting dan menghisapnya (Roesli 2008). Secara keseluruhan, inisiasi menyusu dini berkaitan dengan peningkatan keberhasilan ASI eksklusif. Penelitian mahasiswa kedokteran Trisakti pada tahun 2003 menunjukkan bahwa bayi yang diberi kesempatan menyusu dini memiliki peluang 8 kali lebih besar untuk berhasil ASI eksklusif (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia 2008). Praktek Pemberian Susu Non-ASI dan MP-ASI Pertumbuhan bayi sangat tergantung dari asupan makanan. Bayi yang diberi makan selain ASI sebelum waktunya beresiko tinggi terkena infeksi (Boyle 2003). Riordan (2005) menambahkan, perbedaan yang nyata pada panjang badan bayi yang mendapat ASI eksklusif dan ASI non-esksklusif menandakan bahwa bayi yang tidak mendapat ASI eksklusif seringkali kelebihan makanan. Pemberian susu non-asi seperti susu formula menjadi salah satu penyebab ibu tidak memberikan ASI eksklusif kepada bayinya (Gibney et al. 2005). Pemberian susu non-asi yang terlalu dini sebenarnya tidak dapat menggantikan keuntungan yang diperoleh dari pemberian ASI saja. Kandungan gizi susu non-asi tidak sesuai dengan kebutuhan bayi dan sulit diserap oleh pencernaan bayi. Selain itu, susu non-asi tidak mengandung antibodi dan dapat menyebabkan alergi (Kroeger & Linda 2004). Gibney et al. (2005) menyatakan jenis-jenis makanan dengan variasi yang luas harus dikenalkan kepada bayi untuk memastikan asupan zat gizi mikro terpenuhi. Setelah bayi berusia 6 bulan, ASI tidak lagi dapat mencukupi kebutuhan energi dan gizi yang optimal untuk perkembangan bayi. Oleh karenanya dibutuhkan MP-ASI yang diperkenalkan secara perlahan-lahan agar tidak menimbulkan reaksi buruk terhadap makanan tersebut. Menurut Grant (2004) bayi yang diberi ASI seharusnya lebih mudah untuk diberi makan, karena telah mencicipi rasa makanan dari makanan yang dikonsumsi ibu melalui ASI.

15 Pengenalan makanan merupakan periode yang rentan bagi bayi. Makanan tidak disarankan untuk diperkenalkan secara dini kepada bayi karena pencernaan bayi masih rentan sehingga dapat meningkatkan resiko alergi di masa yang akan datang. Normalnya, bayi mulai diperkenalkan makanan pada usia 4-6 bulan dengan tetap menjadikan ASI sebagai makanan utamanya (Boyle 2003). Antara umur 4-6 bulan, bubur yang dicampur sedikit susu adalah makanan terbaik yang diberikan pertama kali pada bayi karena mudah dicerna. Tahapan berikutnya, dapat diperkenalkan pure buah dan sayur dengan konsisitensi yang lebih kental dari ASI. Waktu yang tepat untuk bayi yang baru diperkenalkan makanan adalah 1-2 kali sehari disaat bayi merasa paling lapar, biasanya ketika pagi atau malam hari (Grant 2004). Usia 7-9 bulan bayi memasuki tahap makan dengan eksplorasi. Periode ini bayi sudah dapat mengunyah dan memegang makanan, namun makanan harus tetap dilumatkan atau dipotong kecil-kecil (Gibney et al. 2005). Gigi bayi pada usia ini mulai tumbuh dan bayi senang menggigit benda. Oleh karenanya, biskuit merupakan makanan yang tepat selain jus buah, labu, sereal gandum, dan kentang lumat (Sears & Sears 2003). Grant (2004) menambahkan, bahwa bayi usia 7-9 bulan membutuhkan makanan lebih banyak dan bervariasi selama 3 atau 4 kali makan setiap harinya karena bayi mulai aktif bergerak. Usia 10-12 bulan bayi sudah mampu makan sendiri dan dapat dikenalkan dengan makanan keluarga, meskipun tetap harus dipotong kecil-kecil. Makanan yang dapat diberikan antara lain lauk hewani seperti daging, telur dan keju serta lauk nabati seperti tahu dan kacang-kacangan (Sears & Sears 2003). ASI atau susu sudah bisa dijadikan selingan karena bayi dapat makan secara rutin selama 3 kali sehari dengan selingan diantara waktu makan. Usia 10-12 bulan sebaiknya bayi diberikan makanan yang sehat dan menyenangkan karena akan membentuk kebiasaan makannya hingga dewasa (Grant 2004). Status Gizi Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, absorpsi, dan penggunaan zat makanan. Status gizi dapat diketahui salah satunya dengan metode antropometri yang terbagi menjadi dua jenis, yaitu pengukuran pertumbuhan (ukuran tubuh) dan pengukuran komposisi tubuh. Terdapat beberapa cara untuk menilai ukuran tubuh bayi, antara lain lingkar kepala, panjang badan (PB) dan berat badan (BB). Interpetasi dari nilai-nilai tersebut disajikan dalam indeks untuk menilai status gizi

16 bayi. Indeks yang umum digunakan berkaitan dengan umur (U), yaitu indeks PB/U, PB/BB, BB/U, dan indeks gabungan ketiganya (Gibson 2005). WHO (1995) merekomendasikan z-score untuk evaluasi data antropometri anak. Aplikasi z-score dalam populasi memberikan keuntungan karena memungkinkan status gizi seluruh populasi dideskripsikan. Bagi bayi dan anak-anak, indeks BB/U atau PB/U dapat digunakan untuk menghitung z-score dan menentukan status gizi. Nilai pasti dari z-score dapat dihitung menggunakan standar deviasi dari referensi populasi WHO 2005. Z-score yang dihitung menggunakan indeks PB/U mengukur pencapaian pertumbuhan linear dan status gizi masa lalu. Indeks PB/U digunakan untuk bayi berusia kurang dari 2 tahun yang belum bisa berdiri tegak. Panjang badan bayi diukur dari posisi recumbent. Status gizi normal diperoleh jika bayi memiliki z- score -2 SD dan 2 SD referensi WHO 2005. Bayi dengan z-score PB/U yang tinggi (>2 SD referensi WHO 2005) dikenal dengan istilah tallness. Sebaliknya, bayi dengan z-score <-2 SD referensi WHO 2005 dikenal dengan istilah shortness dan stunting. WHO (1995) menyatakan prevalensi rendahnya z-score PB/U mayoritas berada pada 2-3 tahun pertama kehidupan, khususnya dalam 3-6 bulan pertama. Kondisi ini merefleksikan proses keberlanjutan dari kegagalan tumbuh (shortness) atau ketidakcukupan pencapaian tinggi badan relatif terhadap umur (stunting). Baker et al. (2004) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa pemberian makanan tambahan sebelum bayi berusia 4 bulan dan ibu yang obesitas menyebabkan pertambahan berat badan bayi yang lebih banyak dibandingkan bayi yang mendapat ASI saja sampai usia 5 bulan. Adwinanti (2004) dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara status gizi dengan praktek pemberian ASI. Tidak terdapat bayi dengan status gizi kurang pada bayi yang mendapat praktek pemberian ASI sedang dan baik. Penelitian Zai (2003) menyimpulkan status gizi underweight lebih banyak ditemukan pada anak baduta yang mendapat ASI non-eksklusif. Penelitian Wijaya (2002) menunjukkan bahwa praktek ASI eksklusif tidak berpengaruh terhadap status gizi bayi usia 6-8 bulan. Hal ini dipertegas oleh hasil penelitian Suciarni (2004) dan Rahayu (2005) yang menyatakan tidak terdapat hubungan yang nyata antara praktek pemberian ASI dengan status gizi bayi yang diduga disebabkan keberadaan faktor lain yang mempengaruhi status gizi, seperti status kesehatan bayi.

17 KERANGKA PEMIKIRAN Praktek pemberian ASI, khususnya ASI eksklusif, prevalensinya masih terbilang rendah di Indonesia. SDKI tahun 2007 menyebutkan hanya 32,3% ibu yang memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan kapada bayinya. Hal ini antara lain disebabkan oleh pengetahuan dan sikap gizi ibu, khususnya tentang ASI eksklusif, yang masih kurang (Brown et al. 2003; Foo et al. 2005). Pengetahuan dan sikap gizi ibu dapat didukung oleh keberadaan media informasi (penyuluhan dari tenaga kesehatan, suami, keluarga, dan media massa) serta karakteristik ibu itu sendiri. Karakteristik ibu berhubungan dengan praktek pemberian ASI. Foo et al. (2005) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa usia, suku, agama, tingkat pendidikan, status kerja, dan pengalaman menyusui yang dimiliki ibu berhubungan dengan praktek pemberian ASI. Karakteristik ibu yang dianalisis hubungannya dengan praktek pemberian ASI, khususnya ASI eksklusif, dalam penelitian ini antara lain usia, tingkat pendidikan, status kerja, dan pengalaman menyusui sebelumnya. Selain itu, karakteristik bayi seperti berat lahir dan status inisiasi menyusu dini juga menjadi variabel yang dianalisis hubungannya dengan praktek ASI eksklusif. ASI eksklusif berdampak positif terhadap kesehatan ibu (Tryggvadóttir et al. 2001; Labbok 2001 dalam American Academy of Pediatric 2005) dan juga bayi (Chantry, Howard & Auinger 2006; Arifeen et al. 2001; Fawtrell et al. 2007; Singhal et al. 2002; Jacobson, Chiodo & Jacobson 1999). Salah satu dampak praktek ASI eksklusif yang dapat dengan mudah dan cepat diketahui adalah status gizi bayi, meskipun hal ini turut dipengaruhi oleh status kesehatan bayi dan asupan makanan selain ASI, yaitu pemberian susu non-asi dan MP-ASI (Boyle 2003). Penelitian ini menganalisis hubungan antara karakteristik ibu dengan pengetahuan dan sikap gizi ibu. Selain itu, penelitian ini menganalisis hubungan antara karakteristik ibu, karakteristik bayi, serta pengetahuan dan sikap gizi ibu dengan praktek pemberian ASI, khususnya praktek ASI eksklusif. Selanjutnya, dianalisis hubungan antara praktek ASI eksklusif dengan status gizi bayi. Secara keseluruhan, skema kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

18 Karakteristik Ibu: Usia Pendidikan Status kerja Pengalaman menyusui sebelumnya Pengetahuan dan Sikap Gizi Ibu Media Informasi Praktek Pemberian ASI Karakteristik Bayi: Berat lahir Status inisiasi menyusu dini Praktek Pemberian Susu Non-ASI dan MP-ASI Status Gizi Bayi Penyakit/Infeksi Keterangan: = variabel yang diteliti = hubungan yang diteliti = variabel yang tidak diteliti = hubungan yang tidak diteliti Gambar 1. Skema kerangka pemikiran

19 METODE Desain, Tempat, dan Waktu Desain penelitian ini adalah cross sectional study. Penelitian dilakukan di dua tempat yang mewakili daerah perdesaan dan perkotaan. Daerah perdesaan diwakili oleh Desa Jayabakti, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, sedangkan daerah perkotaan diwakili oleh Kelurahan Kedung Jaya, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Waktu pengambilan data berlangsung mulai bulan April Mei 2009 yang dilanjutkan dengan pengolahan dan analisis data. Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Contoh penelitian adalah pasangan ibu dengan bayi usia 4-12 bulan yang memberikan ASI pada bayinya di kedua daerah penelitian. Contoh terdiri dari pasangan ibu-bayi di perdesaan, dan pasangan ibu-bayi di perkotaan sehingga telah memenuhi persyaratan agar data tersebar normal dan mampu mewakili populasi (Singarimbun & Effendi 1989). Penarikan contoh dilakukan dengan metode pengambilan contoh gugus sederhana (simple cluster sampling). Desa dan kelurahan digugus berdasarkan Posyandu yang ada, kemudian secara acak dipilih Posyandu untuk diteliti seluruh pasangan ibu-bayi yang memenuhi kriteria hingga mencapai minimal 30 pasangan ibu-bayi. Posyandu yang terpilih adalah Posyandu Tunas Muda II dan Tunas Muda VIII untuk mewakili Desa Jayabakti, sedangkan Kelurahan Kedung Jaya diwakili oleh Posyandu Wijaya Kusuma dan Melati. Contoh (n=62) Perdesaan (n=) 12 Posyandu Perkotaan (n=) 11 Posyandu Posyandu Tunas Muda II (n=7) Posyandu Tunas Muda VIII (n=24) Posyandu Wijaya Kusuma (n=21) Posyandu Melati (n=10) Gambar 2 Skema cara penarikan contoh

20 Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data pimer meliputi karakteristik ibu, karakteristik bayi, pengetahuan dan sikap gizi ibu, praktek pemberian ASI, serta praktek pemberian susu non-asi dan MP- ASI. Data sekunder mencakup gambaran umum daerah penelitian serta daftar pasangan ibu-bayi yang memenuhi kriteria. Data primer dikumpulkan melalui wawancara terstruktur dengan ibu bayi menggunakan kuesioner (Lampiran 5), sedangkan data sekunder diperoleh dari pencatatan arsip desa atau kelurahan serta data yang tersedia di Posyandu. Selain itu, dilakukan pengamatan secara langsung terhadap kegiatan Posyandu serta pengumpulan informasi dari kader Posyandu dan bidan untuk mengetahui gambaran kondisi masyarakat secara lebih jelas dan spesifik. Secara keseluruhan, jenis dan cara pengumpulan data disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Jenis data yang dikumpulkan Jenis Variabel Data yang dibutuhkan Primer Karakteristik ibu - usia - tingkat pendidikan - status pekerjaan - pengalaman menyusui Karakteristik bayi - usia - jenis kelamin - berat lahir - status inisiasi menyusu dini - status gizi Pengetahuan dan sikap gizi ibu Praktek Pemberian ASI - praktek ASI eksklusif dan alasan - durasi pemberian ASI saja - pemberian kolostrum - waktu pemberian ASI - frekuensi pemberian ASI sehari - status menyusui saat ini Sekunder Gambaran umum lokasi penelitian Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh diolah dan dianalisis secara statistik deskriptif dan inferensia. Data yang dikumpulkan melalui wawancara dan pencatatan dikomputerisasi dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excell 2007 dan Stata 9 for Windows. Uji beda dilakukan dengan menggunakan independent t-test, chi-square test, dan Fisher's exact test. Hubungan antar variabel dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Spearman. Data karakteristik ibu terdiri atas usia, tingkat pendidikan, status kerja, dan pengalaman menyusui sebelumnya. Usia ibu diklasifikasi menjadi 3

21 kelompok (<19, 19-29, dan 30 tahun). Tingkat pendidikan dibagi menjadi 5 golongan yaitu tidak sekolah atau tidak tamat SD, tamat SD atau sederajat, tamat SMP atau sederajat, tamat SMA atau sederajat, dan tamat akademi atau perguruan tinggi. Status kerja ibu dibedakan atas ibu bekerja dan ibu tidak bekerja (ibu rumah tangga). Pengalaman menyusui sebelumnya diperoleh dari ada atau tidaknya anak yang disusui sebelumnya. Data karakteristik bayi yang dibutuhkan terdiri atas usia, jenis kelamin, berat lahir, status inisiasi menyusu dini, dan status gizi. Usia bayi dikelompokkan menjadi 3, yaitu 4-6 bulan, 7-9 bulan, dan 10-12 bulan. Berat lahir bayi dibagi menjadi dua kategori, yaitu BBLR (<2500 gram) dan normal (>2500 gram). Status inisiasi menyusu dini dibedakan berdasarkan bayi yang melakukan inisiasi menyusu dini dan bayi yang tidak melakukannya. Status gizi bayi dikelompokkan berdasarkan z-score dari pengukuran panjang badan dan umur mengacu pada indeks PB/U referensi WHO 2005 yang diperoleh dengan menggunakan rumus: PB aktual PB median kelompok acuan z-score = standar deviasi kelompok acuan Pengetahuan dan sikap ibu tentang gizi diukur dengan menggunakan pertanyaan yang kemudian diberi nilai. Pengetahuan gizi, khususnya ASI eksklusif terdiri atas 10 pertanyaan pilihan beganda (best answer multiple choice test). Setiap jawaban yang benar diberi nilai 2, jawaban yang salah diberi nilai 1, dan jawaban tidak tahu diberi nilai 0 sehingga nilai maksimum dan minimum yang dapat diperoleh adalah 20 dan 0 dan kemudian dikonversi menjadi 100 dan 0. Selain itu, terdapat dua pertanyaan terbuka yang menggambarkan persepsi ibu tentang keuntungan ASI bagi anak dan hal negatif dari susu non-asi. Sikap gizi diukur dari 10 pertanyaan dengan pilihan jawaban setuju, raguragu, dan tidak setuju. Jawaban yang benar diberi nilai 2, jawaban yang salah diberi nilai 0, sedangkan jawaban ragu-ragu diberi nilai 1. Selanjutnya, pengetahuan dan sikap ibu masing-masing dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu kurang (persentase jawaban benar <60%), sedang (persentase jawaban benar 60-80%), dan baik (persentase jawaban benar >80%) (Khomsan 2000). Praktek pemberian ASI secara umum terdiri atas praktek ASI eksklusif dan alasannya, durasi pemberian ASI saja, pemberian kolostrum, waktu pemberian ASI, frekuensi pemberian ASI sehari, dan status menyusui saat ini. Selain itu, terdapat data praktek pemberian susu non-asi dan pemberian MP- ASI. Seluruh data tersebut diolah secara deskriptif kemudian hasilnya

22 dibandingkan antara daerah perdesaan dengan daerah perkotaan dan dianalisis untuk mengetahui hubungan antar variabel. Definisi Operasional Berat lahir adalah hasil pengukuran timbangan berat badan saat bayi dilahirkan. Karakteristik bayi adalah ciri-ciri yang dimiliki bayi, mencakup usia, jenis kelamin, berat lahir, status inisiasi menyusu dini, dan status gizi. Karakteristik ibu adalah ciri-ciri yang dimiliki ibu, mencakup usia, tingkat pendidikan, status kerja dan pengalaman menyusui sebelumnya. Pengalaman menyusui sebelumnya adalah pengalaman menyusui yang dimiliki ibu, dilihat dari keberadaan jumlah anak yang disusui sebelumnya. Pengetahuan gizi ibu adalah sejumlah fakta tentang gizi, khususnya ASI eksklusif, yang diketahui dan dipahami ibu serta diukur dengan 10 pertanyaan pilihan berganda. Perdesaan adalah daerah yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas persawahan atau perkebunan serta memiliki sarana transportasi yang terbatas. Perkotaan adalah daerah yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas pemukiman yang padat serta memiliki sarana transportasi dan jalur perdangangan yang mudah diakses. Praktek ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja kepada bayi tanpa tambahan makanan atau minuman lain selama 4-6 bulan pertama kehidupannya. Praktek pemberian ASI adalah riwayat pemberian ASI oleh ibu pada bayinya yang mencakup praktek ASI eksklusif dan alasannya, durasi pemberian ASI saja, pemberian kolostrum, waktu pemberian ASI, frekuensi pemberian ASI sehari, dan status menyusui saat ini. Praktek pemberian MP-ASI adalah riwayat pemberian makanan tambahan selain ASI oleh ibu kepada bayinya yang mencakup frekuensi dan jenis pemberian. Praktek pemberian susu non-asi adalah riwayat pemberian susu selain ASI oleh ibu kepada bayinya yang mencakup waktu pertama kali pengenalan, alasan pemberian, dan rata-rata konsumsi susu non-asi. Sikap gizi ibu adalah kecenderungan perilaku ibu tentang gizi, khususnya ASI eksklusif yang diukur dengan jawaban setuju, ragu-ragu, dan tidak setuju terhadap 10 pertanyaan yang diberikan.

23 Status gizi bayi adalah keadaan kesehatan tubuh bayi yang diperoleh dari pengukuran terhadap panjang badan bayi dan perhitungan menggunakan z-score indeks PB/U berdasarkan referensi WHO 2005. Status inisiasi menyusu dini adalah status bayi yang melakukan proses menyusu sendiri segera setelah kelahiran. Status kerja ibu adalah kondisi ibu saat ini yang dikategorikan berdasarakan ibu yang bekerja (pegawai atau wiraswasta) dan tidak bekerja (ibu rumah tangga). Tingkat pendidikan ibu adalah jenjang pendidikan formal terakhir ibu yang telah ditamatkan. Usia bayi adalah jumlah bulan lamanya bayi hidup yang diperoleh dari selisih tanggal kelahiran dengan tanggal pengukuran status gizi. Usia ibu adalah jumlah tahun lamanya ibu hidup yang diperoleh dari selisih tangal kelahiran dan tanggal wawancara.

24 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Letak Geografis Desa Jayabakti merupakan salah satu dari delapan desa yang berada di Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi. Lokasi Kecamatan Cidahu dapat dilihat pada Lampiran 1. Pertimbangan yang mendasari pemilihan Desa Jayabakti untuk mewakili wilayah perdesaan adalah letaknya yang cukup jauh dari pusat pemerintahan kabupaten, serta wilayahnya yang masih memiliki lahan pertanian dan perkebunan yang luas. Selain itu, sarana dan prasarana transportasi untuk menjangkau wilayah tersebut masih terbatas. Batas Desa Jayabakti sebelah utara adalah Desa Cidahu, sebelah selatan adalah Desa Pondok Kaso Tengah dan Desa Pasirdoton, sebelah timur berbatasan dengan Desa Tangkil, serta sebelah barat berbatasan dengan Desa Lebak Sari, Kecamatan Parakan Salak. Desa Jayabakti memiliki luas 320 ha dan terdiri atas 7 dusun yaitu Cikalong, Bojong Pari, Salagadog, Cibojong, Pasirreungit, Babakan Jampang, dan Papisangan. Setiap dusun dipimpin oleh seorang kepala dusun yang dipilih langsung oleh masyarakat. Wilayah perkotaan diwakili oleh Kelurahan Kedung Jaya yang terletak di Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Hal ini berdasarkan pertimbangan lokasi kelurahan yang dekat dengan pusat pemerintahan kecamatan, yaitu 1.5 km. Selain itu, Kelurahan Kedung Jaya hanya berjarak 2.5 km dari pusat pemerintahan kota serta 60 km dari ibukota negara. Lokasi kelurahan Kedung Jaya, Kecamatan Tanah Sareal dapat dilihat pada Lampiran 2. Kelurahan Kedung Jaya memiliki luas 71.8 ha dan terdiri dari 40 RT dalam 9 RW. Batas wilayah sebelah utara adalah Kelurahan Sukadamai, sebelah selatan adalah Kelurahan Ciwaringin, sebelah barat adalah Kelurahan Kedung Waringin, dan sebelah timur adalah Kelurahan Kedung Badak. Sosio Demografi Jumlah total penduduk Desa Jayabakti adalah 10176 jiwa dengan suku etnis mayoritas Sunda. Rata-rata pendidikan penduduk Jayabakti adalah tamatan SD atau sederajat. Mata pencaharian penduduk Desa Jayabakti atara lain sebagai buruh pabrik, buruh tani, dan pedagang. Jumlah penduduk Kelurahan Kedung Jaya tahun 2009 sebanyak 10941 jiwa yang terdiri dari 5574 laki-laki serta 5367 perempuan dengan 2767 kepala

25 keluarga. Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan yang terbanyak berada pada lulusan SMA atau sederajat, yaitu sebanyak 3947 orang. Lulusan perguruan tinggi dan akademi mencapai 621 orang. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi sosial ekonomi sebagian besar penduduknya berada di tingkat menengah ke atas. Hal lain yang dapat dijadikan indikator adalah jumlah rumah permanen yang mencapai 432 buah dan 57 unit di komplek pemukiman BTN. Sebaran jumlah penduduk berdasarkan umur memiliki proporsi terbanyak berada pada kisaran usia 20-39 tahun dengan jumlah 3734 orang. Berdasarkan data jumlah penduduk menurut kesertaan menggunakan KB, terdapat 1833 pasangan usia subur dan 1743 wanita usia subur. Sarana dan Prasarana Potensi sumber daya alam di Desa Jayabakti berupa tanah kering yang dijadikan ladang dan pemukiman penduduk dengan luas lahan sebesar 186 ha, tanah persawahan seluas 128 ha dan luas lahan untuk sarana umum sebesar 6 ha. Sarana pendidikan di Desa Jayabakti tersedia dari tingkat TK sampai SLTA. Bagi anak-anak usia SD terdapat 3 SD dan 2 MI. Terdapat SLTP, MTS, SLTA dan MA masing-masing satu unit. Bagi anak-anak prasekolah tersedia sekolah Taman Kanak-kanak (TK) sebanyak 2 buah dengan bimbingan 6 guru. Selain itu, terdapat Taman Posyandu Tunas Muda II yang bergerak dalam bidang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Taman Posyandu ini merupakan salah satu perwujudan program UNICEF bekerja sama dengan Dinas Pendidikan dan partisipasi masyarakat. Sarana kesehatan yang tersedia di Desa Jayabakti berupa 12 Posyandu yang tersebar di setiap dusun. Jumlah rata-rata kader adalah lima orang dan berasal dari masyarakat yang bersifat sukarela. Kegiatan Posyandu dibina dan diawasi oleh Puskesmas Kecamatan Cidahu melalui Bidan Pembina Desa. Sejak tahun 2009, seluruh Posyandu di Desa Jayabakti mendapat bantuan dana dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri. Sarana pendidikan yang dimiliki Kelurahan Kedung Jaya antara lain dua buah gedung SD dengan jumlah murid 320 orang dan tiga buah gedung TK dengan jumlah murid 72 orang. Selain itu, terdapat dua buah PAUD dengan jumlah peserta 120 orang. Sarana lain yang dimiliki adalah sarana peribadatan yang terdiri dari 4 buah masjid, 15 buah mushola, dan sebuah gereja. Salah satu kelembagaan yang terdapat di Kelurahan Kedung Jaya adalah kelompok PKK. Jumlah tim penggerak PKK sebanyak 27 orang dengan jumlah kader 67 orang.

26 Sarana kesehatan yang dimiliki Kelurahan Kedung Jaya antara lain jamban umum, praktek dokter, praktek bidan, dan Posyandu. Tenaga kesehatan yang dimiliki adalah 8 dokter, 12 perawat, dan 5 bidan. Praktek dokter terdiri dari 4 buah praktek dokter umum, dan sebuah praktek dokter gigi. Jamban umum berjumlah 27 buah, dan sebanyak 2264 rumah telah memiliki jamban. Sarana air bersih telah dimiliki oleh 1823 rumah. Posyandu yang terdapat di Kelurahan Kedung Jaya mencapai 11 buah. Setiap RW memiliki setidaknya satu Posyandu. Khusus RW 1 dan RW 3 memiliki dua Posyandu karena wilayahnya yang luas dan jumlah penduduk yang padat. Kesepuluh Posyandu merupakan Posyandu tingkat Madya dengan jumlah kader 5-6 orang. Sebuah Posyandu lagi, yaitu Posyandu Wijaya Kusuma di RW 6 telah mencapai tingkat Purnama. Kondisi Posyandu Posyandu Tunas Muda II terletak di Dusun Cikalong dan dilaksanakan pada hari Senin di minggu ketiga setiap bulannya. Kegiatan Posyandu Tunas Muda II bertepatan dengan Kegiatan PAUD Tunas Muda II yang dilaksanakan setiap Senin, Rabu dan Jumat. Kegiatan Posyandu dilaksankan di pelataran madrasah mulai pukul 08.00 WIB, sedangkan kegiatan PAUD dilaksanakan di dalam ruang kelas madrasah mulai pukul 10.00 WIB. Kader yang bertugas berjumlah 5 orang. Posyandu Tunas Muda VIII terletak di Dusun Pasirreungit dan merupakan Posyandu dengan cakupan wilayah yang paling luas dibandingkan Posyandu lainnya. Kegiatan Posyandu Tunas Muda VIII dilaksanakan di dua tempat pada hari yang berbeda, yaitu di kediaman Ibu Deudeu (salah satu kader) pada hari Selasa minggu pertama, dan di kediaman Bidan Sri Hartiyati (Bidan Desa) pada hari Rabu minggu pertama setiap bulan. Hal ini dimaksudkan untuk memperluas daerah jangkauan dan mengurangi kepadatan pada hari pelaksanaan. Posyandu Wijaya Kusuma merupakan satu-satunya Posyandu tingkat Purnama di Kelurahan Kedung Jaya. Cakupannya adalah warga RW 6 yang terdiri dari 6 RT dengan jumlah peserta sekitar 120 orang. Jumlah kader aktif yang terlibat pada Posyandu ini sebanyak 8 orang. Posyandu dilaksanakan pada tanggal 22 setiap bulannya. Kegiatan rutin setiap bulan berupa penimbangan serta imunisasi balita, pemeriksaan ibu hamil, program PMT, dan dana sehat. Selain kegiatan tersebut, terdapat beberapa kegiatan lain seperti pengukuran tekanan darah lansia setiap 2 minggu sekali dan senam tera setiap minggu pagi.

27 Posyandu juga menjadi tempat pelaksanaan PAUD setiap hari Senin dan Kamis sore dengan jumlah 20 peserta. Posyandu Melati terletak di RW 2 yang hanya terdiri dari 3 RT. Wilayah RW 2 merupakan wilayah terkecil dari keseluruhan RW yang ada di Kelurahan Kedung Jaya. Jumlah warga RW 2 adalah 119 kepala keluarga, sehingga peserta Posyandu tidak terlalu banyak, hanya berkisar 50 orang setiap bulannya. Jumlah kader aktif sebanyak 6 orang yang rutin mengadakan kegiatan Posyandu tanggal 7 setiap bulannya. Kegiatan rutin yang dilakukan setiap bulannya selain penimbangan balita dan pemerikasaan ibu hamil adalah pemeriksaan lansia. Karakteristik Ibu Ibu di perdesaan maupun perkotaan hanya 3.2% yang berusia remaja (<19 tahun). Sisanya, di perdesaan terbagi rata pada usia 19-29 tahun dan 30 tahun dengan persentase masing-masing sebesar 48.4%. Ibu di perkotaan mayoritas berusia 19-29 tahun (61.3%), dan hanya 35.5% yang berusia 30 tahun. Rata-rata usia ibu di perdesaan adalah 29 ± 4 tahun serta usia termuda dan tertua masing-masing 17 dan 41 tahun. Usia ibu di perkotaan memiliki ratarata 28 ± 3 tahun serta usia termuda dan tertua masing-masing 18 dan 39 tahun. Uji beda dengan menggunakan independent t-test menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara usia ibu di perdesaan dan perkotaan (p>0.05). Mayoritas ibu di perdesaan merupakan lulusan SD (32.3%), sedangkan di perkotaan mayoritas merupakan lulusan akademi atau perguruan tinggi (45.2%). Secara umum, tingkat pendidikan ibu di perkotaan lebih tinggi dibandingkan perdesaan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah ibu di perkotaan yang merupakan lulusan SMA sebesar 29% dan lebih banyak dibandingkan lulusan SMP atau SD yang masing-masing sebesar 12.9%. Sementara itu, ibu yang lulusan SMP di perdesaan mencapai 29% dan lebih banyak dibandingkan lulusan SMA dan akademi atau perguruan tinggi yang hanya 9.7% dan 3.2%. Tidak ada ibu yang tidak sekolah atau tidak tamat SD di perkotaan. Sebaliknya, di perdesaan masih terdapat ibu yang tidak lulus SD atau tidak sekolah sebesar 25.8%. Uji beda dengan menggunakan Fisher s exact test menyatakan tingkat pendidikan ibu di perdesaan dan perkotaan berbeda nyata (p<0.05). Persentase ibu bekerja di perkotaan (22.6%) lebih tinggi dibandingkan perdesaan (6.5%), namun persentase terbesar berada pada ibu yang tidak bekerja. Uji beda dengan menggunakan Fisher s exact test menyatakan tidak

28 terdapat perbedaan yang nyata antara status kerja ibu di perdesaan dan perkotaan (p>0.05). Baik di perdesaan maupun perkotaan, mayoritas ibu tidak bekerja. Ibu yang bekerja di perdesaan keduanya berprofesi sebagai guru TK. Berbeda dengan ibu yang bekerja di perkotaan, dari 7 ibu, 4 ibu bekerja di sektor swasta sebagai karyawan bank dan perusahaan, 3 orang merupakan pegawai negeri sipil dengan satu orang sebagai guru SMP Negeri, satu orang sebagai pegawai pemerintahan, dan satu orang sebagai bidan di Puskesmas. Tabel 3 Sebaran karakteristik ibu di perdesaan dan perkotaan Karakteristik Ibu Perdesaan Perkotaan Total n % n % n % Usia (tahun) <19 1 3.2 1 3.2 2 3.2 19-29 15 48.4 19 61.3 34 54.8 30 15 48.4 11 35.5 26 41.9 Tingkat Pendidikan Tidak sekolah/tidak tamat SD 8 25.8 0 0.0 8 12.9 Tamat SD/sederajat 10 32.3 4 12.9 14 22.6 Tamat SMP/sederajat 9 29.0 4 12.9 13 21.0 Tamat SMA/sederajat 3 9.7 9 29.0 12 19.4 Tamat Akademi/PT 1 3.2 14 45.2 15 24.2 Status Kerja Bekerja 2 6.5 7 22.6 9 14.5 Tidak bekerja 29 93.5 24 77.4 53 85.5 Pengalaman Menyusui Sebelumnya Ada 20 64.5 15 48.4 35 56.5 Tidak 11 35.5 16 51.6 27 43.5 keterangan: *berbeda nyata pada α=5% Uji Beda p=0.783 p=0.000* p=0.147 p=0.200 Sebanyak 64.5% ibu di perdesaan memiliki pengalaman menyusui sebelumnya. Sementara itu, sebagian besar ibu di perkotaan tidak memiliki pengalaman menyusui sebelumnya. Hal ini dikarenakan sebanyak 51,6% ibu baru memiliki anak pertama. Pengalaman menyusui diketahui dari keberadaan anak sebelumnya yang disusui. Keluarga di perdesaan mayoritas memiliki besar keluarga 4 orang dengan rata-rata besar keluarga 4 orang, sedangkan di perkotaan rata-rata besar keluarga adalah 3 orang. Hal ini mengindikasikan ratarata ibu di perkotaan baru memiliki satu orang anak sehingga belum memiliki pengalaman menyusui sebelumnya. Uji beda dengan chi-square test menyatakan tidak ada perbedaan yang nyata antara keberadaan pengalaman menyusui pada ibu di perdesaan dan perkotaan (p>0.05). Karakteristik Bayi Bayi yang dijadikan contoh dalam penelitian ini berjumlah total 62 dengan usia antara 4-12 bulan. Tabel 4 menyajikan karakteristik bayi yang menjadi

29 contoh di perdesaan dan perkotaan. Sebaran bayi yang dijadikan contoh di perdesaan terbesar berada pada usia 4-6 bulan (38.7%), sedangkan di perkotaan mayoritas bayi berusia 10-12 bulan (38.7%). Uji beda dengan menggunkan independent t-test menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara usia bayi di perdesaan dan perkotaan (p>0.05). Tabel 4 Sebaran karakteristik bayi di perdesaan dan perkotaan Karakteristik Bayi Perdesaan Perkotaan Total n % n % n % Usia (bulan) 4-6 12 38.7 6 19.4 18 29 7-9 8 25.8 12 38.7 20 32.3 10-12 11 35.5 13 41.9 24 38.7 Jenis Kelamin Laki-laki 12 38.7 18 58.1 30 48.4 Perempuan 19 61.3 13 41.9 32 51.6 Berat Lahir <2500 2 6.5 0 0 2 3.2 2500 29 93.5 100 60 96.8 Status inisiasi menyusu dini Ya 11 35.5 15 48.4 26 41.9 Tidak 20 64.5 16 51.6 36 58.1 Penolong Kelahiran Dokter 2 6.5 8 25.8 10 16.1 Bidan 17 54.8 23 74.2 40 64.5 Lainnya 12 38.7 0 0 12 19.4 keterangan: *berbeda nyata pada α=5% Uji Beda p=0.105 p=0.127 p=0.1 p=0.303 p=0.000* Bayi yang menjadi contoh penelitian di perdesaan sebagian besar merupakan bayi perempuan (61.3%), hanya 38.7% yang merupakan bayi lakilaki. Hal yang berlawanan terjadi di perkotaan, sebesar 58.1% merupakan bayi laki-laki, sisanya merupakan bayi perempuan. Uji beda dengan menggunakan chi-square test menyatakan jenis kelamin bayi di perdesaan dan perkotaan tidak berbeda nyata (p>0.05). Bayi dikatakan BBLR jika berat lahir <2500 gram. Hanya di perdesaan yang ditemukan kasus bayi BBLR, yaitu sebesar 6.5%, sedangkan di perkotaan tidak ditemukan kasus BBLR. Rata-rata berat lahir bayi di perdesaan adalah 81 ± 361 gram. Berat lahir terbesar adalah 4300 gram, dan yang terkecil adalah 2000 gram. Rata-rata berat lahir bayi di perkotaan adalah 3352 ± 337 gram. Berat lahir terbesar adalah 4300 gram, dan yang terkecil adalah 2700 gram. Uji beda dengan menggunakan independent t-test menyatakan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara berat lahir bayi di perdesaan dan perkotaan (p>0.05). Sebagian besar bayi di perdesaan maupun perkotaan tidak mengalami proses inisiasi menyusu dini. Persentase bayi yang mengalami inisiasi menyusu

30 dini lebih besar ditemukan di perkotaan. Sebesar 48.4% bayi di perkotaan mengalami inisiasi menyusu dini, sedangkan di perdesaan hanya 35,5%. Uji beda dengan menggunakan chi-square test menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antara status inisiasi menyusu dini di perdesaan dan perkotaan (p>0.05). Tidak semua bayi mengalami inisiasi menyusu dini, hal ini erat kaitannya dengan penolong proses kelahiran bayi karena tidak semua penolong proses kelahiran dapat atau mau menerapkan inisiasi menyusu dini kepada bayi yang baru lahir. Penolong proses kelahiran di pedesaan maupun perkotaan didominasi oleh bidan (54.8% dan 74.2%). Penolong proses kelahiran di perkotaan selain bidan adalah dokter (25.8%), sedangkan di perdesaan penolong proses kelahiran antara lain dokter, paraji (dukun beranak) serta bidan dan paraji yang bekerjasama dalam membantu proses kelahiran. Status Gizi Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, absorpsi, dan penggunaan zat makanan. Status gizi dapat diketahui dengan menggunakan metode antropometri (Gibson 2005). WHO (1995) merekomendasikan z-score untuk mengevaluasi data antropometri anak, khususnya di negara berkembang, karena anak yang berada jauh di bawah persentil data acuan dapat diklasifikasikan secara akurat. Z-score yang dihitung menggunakan indeks PB/U mengukur pencapaian pertumbuhan linear dan status gizi masa lalu. Indeks PB/U digunakan untuk bayi berusia kurang dari 2 tahun yang belum bisa berdiri tegak. Status gizi normal diperoleh jika bayi memiliki z-score -2 SD dan 2 SD referensi WHO 2005. Bayi dengan z-score PB/U yang tinggi (>2 SD referensi WHO 2005) dikenal dengan istilah tallness atau tigggi. Sebaliknya, bayi dengan z-score <-2 SD referensi WHO 2005 dikenal dengan istilah shortness dan stunting (pendek). Tabel 5 menunjukkan sebaran status gizi bayi degan menggunakan indeks PB/U referensi WHO 2005 di perdesaan dan perkotaan. Tabel 5 Sebaran status gizi (PB/U) bayi di perdesaan dan perkotaan Status Gizi Perdesaan Perkotaan Total n % n % n % Pendek (z-score<-2sd) 10 32.3 3 9.7 13 21.0 Normal (-2 SD<z-score<2SD) 20 64.5 26 83.9 46 74.2 Tinggi (z-score>2sd) 1 3.2 2 6.5 3 4.8 Jumlah 100.0 100.0 62 100.0 keterangan: *berbeda nyata pada α=5% Uji Beda p=0.002*

Status gizi bayi di perdesaan dan perkotaan mayoritas normal, namun persentase lebih tinggi ditemukan di perkotaan. Hal yang sama ditemukan pada bayi yang berstatus gizi tinggi, persentase lebih besar terdapat di perkotaan (6.5%) dibandingkan perdesaan (3.2%). Sebaliknya, bayi dengan status gizi pendek ditemukan lebih banyak di perdesaan dengan persentase 32.2% dibandingkan perkotaan (9.7%). Rata-rata z-score bayi di perdesaan adalah -1.641 ± 1.558 serta nilai minimal dan maksimal masing-masing -6.4 dan 3.336. Rata-rata z-score di perkotaan lebih tinggi, yaitu -0.225 ± 1.047 serta nilai minimal dan maksimal masing-masing sebesar -3.8 dan 2.856. Uji beda menggunakan independent t- test dengan asumsi data tidak homogen menyatakan terdapat perbedaan yang nyata antara status gizi bayi di perdesaan dan perkotaan (p<0.05). Pengetahuan Gizi Ibu Pengetahuan gizi ibu di perkotaan lebih tinggi dibandingkan perdesaan. Hal ini terlihat dari persentase pengetahuan gizi ibu dengan kategori tinggi di perkotaan mencapai 77.4%, sedangkan di perdesaan hanya 29%. Rata-rata nilai pengetahuan gizi ibu di perdesaan adalah 73.4 ± 2.4, sedangkan di perkotaan sebesar 88.4 ± 2.2. Nilai terbesar yang diperoleh di perdesaan dan perkotaan adalah 100, sedangkan nilai terkecil di sebesar 45 dan di perkotaan 55. Hasil uji beda menggunakan independent t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat pengetahuan ibu di perdesaan dan perkotaan (p<0.05). Tabel 6 Sebaran pengetahuan gizi ibu di perdesaan dan perkotaan Pengetahuan Gizi Perdesaan Perkotaan Total n % n % n % Rendah (<60%) 5 16.1 1 3.2 6 9.7 Sedang (60-80%) 17 54.8 6 19.4 23 37.1 Tinggi (>80%) 9 29.0 24 77.4 33 53.2 Jumlah 100.0 100.0 62 100.0 keterangan: *berbeda nyata pada α=5% Uji Beda p=0.000* Pertanyaan tertutup untuk mengukur tingkat pengetahuan gizi ibu terdiri dari 10 pertanyaan. Di perdesaan, tidak ada satupun pertanyaan yang dijawab benar oleh semua ibu, namun di perkotaan pertanyaan tentang waktu pemberian ASI mampu dijawab benar oleh seluruh ibu. Pertanyaan yang paling sedikit dijawab benar oleh ibu di perdesaan dan perkotaan adalah tentang zat gizi yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah lebih banyak. Hasil uji beda dengan menggunakan independent t-test menunjukkan pertanyaan yang hasilnya

32 memiliki perbedaan yang nyata di perdesaan dan perkotaan adalah pertanyaan nomor 1, 2, 4, 6, 7, dan 8 (p<0.05). Tabel 7 Sebaran pertanyaan pengetahuan gizi yang dijawab benar oleh ibu di perdesaan dan perkotaan No Perdesaan Perkotaan Pertanyaan Pengetahuan Gizi Uji Beda. n % n % 1. Karbohidrat merupakan zat gizi yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah lebih banyak dibandingkan 5 16.1 16 51.6 p=0.002* vitamin 2. Zat gizi yang berperan sebagai sumber energi antara lain adalah karbohidrat 8 25.8 24 77.4 p=0.000* 3. Nasi tim yang dicampur daging merupakan contoh makanan yang dapat meningkatkan asupan protein 13 41.9 19 61.3 p=0.288 4. ASI eksklusif adalah pemberian ASI tanpa disertai makanan atau minuman lain 17 54.8 25 80.6 p=0.007* 5. Durasi ASI eksklusif sesuai anjuran pemerintah adalah 6 bulan 23 74.2 27 87.1 p=0.694 6. Salah satu keunggulan ASI dibandingkan susu formula adalah tidak membuat bayi gemuk 14 45.2 23 74.2 p=0.015* 7. ASI eksklusif bermanfaat untuk ibu dan bayi 20 64.5 28 90.3 p=0.008* 8 Makanan terbaik untuk bayi yang baru lahir adalah kolostrum 21 67.7 28 90.3 p=0.029* 9. Waktu pemberian ASI adalh setiap bayi meminta 28 90.3 100.0 p=0.078 10. Umur sebaiknya bayi disapih (berhenti menyusui) adalah 2 tahun 30 96.8 28 90.3 p=0.309 keterangan: *berbeda nyata pada α=5% Pertanyaan pertama tentang zat gizi yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah lebih banyak hanya mampu dijawab benar oleh 16.1% ibu di perdesaan. Hal yang sama terjadi di perkotaan. Pertanyaan tentang zat yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah lebih banyak merupakan pertanyaan yang paling sedikit dijawab benar, namun mampu dijawab oleh 51.6% ibu. Ibu yang tidak menjawab benar baik di perdesaan maupun perkotaan sebagian besar menjawab vitamin sebagai zat gizi yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah lebih banyak dibandingkan karbohidrat. Hal ini diduga karena vitamin merupakan zat gizi yang namanya lebih sering didengar oleh para ibu karena paparan dari media dan iklan produk pangan yang kerap menjual kandungan vitamin sebagai keunggulan produknya. Pertanyaan tentang zat gizi yang berperan sebagai energi mampu dijawab benar oleh 77.4% ibu di perkotaan, sedangkan ibu di perdesaan hanya sebanyak 25.8% yang mampu menjawab benar. Hal ini dikarenakan sebagian besar (42%) ibu di perdesaan tidak tahu zat gizi yang berperan sebagai sumber energi. Energi dapat berasal dari makanan yang mengandung karbohidrat, lemak, dan protein (Paath, Yuyum & Heryati 2004).

33 Pertanyaan tentang ASI eksklusif yang hasilnya berbeda nyata antara perdesaan dengan perkotaan adalah pertanyaan tentang definisi dan manfaat ASI eksklusif. Meskipun sebagian besar ibu telah mengetahui definisi ASI eksklusif, namun beberapa ibu masih menyatakan bahwa ASI eksklusif adalah pemberian ASI yang disertai dengan makanan atau cairan lain, bahkan di perdesaan terdapat 30% ibu yang tidak mengetahui definisi ASI eksklusif. ASI eksklusif adalah pemberian ASI kepada bayi tanpa pemberian makanan atau minuman lain (Depkes RI 2004). Manfaat ASI eksklusif untuk ibu masih belum diketahui oleh seluruh ibu, terutama di perdesaan. Sebanyak 90.3% ibu di perkotaan telah mengetahui bahwa ASI eksklusif selain memberikan manfaat bagi bayi juga memberikan manfaat bagi ibu, sedangkan di perdesaan hanya 64.5% yang mengetahui hal tersebut. Keuntungan pemberian ASI bagi ibu antara lain dapat mengurangi pendarahan akibat melahirkan, memberikan resiko yang lebih kecil terkena kanker payudara (Tryggvadóttir et al. 2001), kanker ovarium, dan osteoporosis. Keuntungan lain bagi ibu adalah dengan menyusui bayinya maka berat badan lebih cepat kembali ke berat badan sebelum hamil (Labbok 2001 dalam American Academy of Pediatric 2005). Pertanyaan tentang salah satu keunggulan ASI dibandingkan susu formula mampu dijawab oleh 74.2% ibu di perkotaan dan 45.2% ibu di perdesaan. Sebagian besar ibu di perdesaan menjawab bahwa salah satu keunggulan ASI dibandingkan susu formula adalah membuat bayi gemuk. Menurut Brown et al (2005), ASI lebih unggul dibandingkan susu formula karena kandungan protein pada ASI lebih rendah dibandingkan pada susu sapi sehingga tidak memberatkan kerja ginjal, jenis proteinnya pun mudah untuk dicerna. Selain itu, ASI mengandung lemak dalam bentuk asam amino esensial, asam lemak jenuh, trigliserida rantai sedang, dan kolesterol dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan bayi. Hal ini menunjukkan bahwa ASI tidak membuat bayi gemuk karena komposisi zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan bayi. Makanan terbaik yang diberikan pada bayi yang baru lahir adalah kolostrum. Kolostrum melindungi sistem imun bayi, membantu perkembangan imunitas, dan mengandung faktor pertumbuhan yang membantu kematangan saluran cerna bayi (Brown et al. 2005). Hal ini telah diketahui oleh 90.3% ibu di perkotaan, namun 32.3% ibu di perdesaan belum mengetahuinya. Mereka masih beranggapan bahwa madu, air putih atau cairan lain adalah makanan terbaik

34 untuk bayi yang baru lahir. Almroth dan Bidinger (1990) dalam artikel Linkages (2002) menyatakan kebiasaan, nilai budaya, dan keyakinan agama mempengaruhi pemberian cairan pada bayi yang baru lahir dengan alasan yang berbeda-beda. Di berbagai masyarakat dan rumah sakit, saran dari petugas kesehatan juga mempengaruhi pemberian cairan ini. Selain 10 pertanyaan tertutup, terdapat 2 buah pertanyaan terbuka mengenai persepsi ibu tentang keuntungan ASI bagi anak serta hal negatif dari susu non-asi. Tabel 8 menunjukkan sebaran persepsi ibu tentang keuntungan ASI bagi anak, sedangkan Tabel 9 menunjukkan sebaran persepsi ibu tentang hal negatif dari susu non-asi. Tabel 8 Sebaran persepsi ibu tentang keuntungan ASI bagi anak Keuntungan ASI bagi Anak Perdesaan Perkotaan n % n % Untuk kesehatan 12 35.3 10 13.3 Mendukung pertumbuhan 7 20.6 2 2.7 Meningkatkan daya tahan tubuh 9 26.5 22 29.3 Meningkatkan kecerdasan (perkembangan otak) 4 11.8 8 10.7 Menguatkan ikatan emosional dengan ibu 0 0.0 6 8.0 Gizi sesuai dengan umur bayi 1 2.9 14 18.7 Mencegah alergi 0 0.0 3 4.0 Tidak menimbulkan gangguan pencernaan 1 2.9 5 6.7 Aman (higienis, bebas kimia) 0 0.0 5 6.7 Jumlah 34 100.0 75 100.0 Seluruh ibu di perkotaan mampu menyebutkan keuntungan ASI bagi anak dengan rata-rata setiap orang mampu menyebutkan 3 keuntungan dan jawaban terbanyak adalah 7. Hal yang berbeda ditemukan di perdesaan, meskipun sebagian besar (74.2%) ibu mampu menyebutkan keuntungan ASI bagi anak, rata-rata setiap orang hanya mampu menyebutkan satu keuntungan dengan jawaban terbanyak adalah 3. Hal ini mendukung masih rendahnya tingkat pengetahuan ibu di perdesaan tentang ASI. Tabel 9 Sebaran persepsi ibu tentang hal negatif dari susu non-asi Hal Negatif Susu Non-ASI Perdesaan Perkotaan n % n % Menimbulkan gangguan pencernaan 12 54.5 13 19.7 Gizi tidak sesuai umur bayi 2 9.1 8 12.1 Tidak mengandung antibodi 0 0.0 4 6.1 Mahal 2 9.1 13 19.7 Berbahaya (tidak higienis, mengandung kimia, bisa dipalsukan) 1 4.5 9 13.6 Tidak praktis 1 4.5 6 9.1 Bisa kadaluarsa atau cepat basi 3 13.6 5 7.6 Membuat gemuk 1 4.5 2 3.0 Bisa membuat alergi 0 0.0 6 9.1 Jumlah 22 100.0 66 100.0

35 Hanya sebanyak 48,6% ibu di daerah yang mampu menyebutkan hal negatif susu non-asi. Rata-rata ibu hanya mampu menyebutkan satu dengan nilai terbesar adalah 3. Hal yang berbeda ditemukan di perkotaan. Sebanyak 80,6% ibu mampu menyebutkan hal negatif dari susu non-asi. Rata-rata ibu mampu menyebutkan dua hal, dengan nilai terbesar adalah 6. Perbedaan ini disebabkan ibu di perdesaan tidak seluruhnya mendapat atau mencari informasi seputar susu lain selain ASI (seperti susu formula), sedangkan di perkotaan informasi tentang susu non-asi berkembang dengan pesat melalui berbagai media karena maraknya pemasaran susu formula. Tabel 10 Sebaran media informasi ASI eksklusif di perdesaan dan perkotaan Media Informasi Perdesaan (%) Perkotaan (%) Petugas Kesehatan (Bidan/Dokter) 40.4 26.4 Keluarga 24.3 15.3 Kader Posyandu 16.2 12.2 Teman/Tetangga 8.3 15.7 Media Cetak 1.7 10.9 Lainnya 9.1 19.5 Jumlah 100.0 100.0 Paparan informasi tentang ASI eksklusif lebih banyak diperoleh ibu di perkotaan. Hal ini dapat terlihat dari persentase media yang digunakan untuk mengetahui informasi ASI eksklusif yang lebih beragam, sedangkan di perdesaan persentase terpusat pada petugas kesehatan (40.4%), keluarga (24.3%), dan kader posyandu (16.2%). Media lain yang digunakan oleh ibu di perdesaan untuk memperoleh informasi tentang ASI eksklusif antara lain paraji dan buku. Ibu di perkotaan memperoleh informasi selain dari petugas kesehatan, keluarga dan kader Posyandu, juga dari teman atau tetangga, media cetak, TV, internet, dan buku. Sikap Gizi Ibu Sikap adalah evaluasi dari seseorang terhadap suatu objek (Schiffman & Kanuk 1997). Tabel 11 menunjukkan sebaran sikap gizi ibu di perdesaan dan perkotaan. Sikap gizi ibu, khususnya tentang ASI eksklusif, di perdesaan lebih rendah dibandingkan perkotaan. Hal ini terlihat dari persentase ibu yang memiliki sikap dengan kategori sedang mendominasi di perdesaan, sedangkan di perkotaan sebagian besar ibu memiliki sikap dengan kategori tinggi. Hasil uji beda dengan menggunakan independent t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara sikap gizi di perdesaan dan perkotaan (p<0.05).

36 Tabel 11 Sebaran sikap gizi ibu di perdesaan dan perkotaan Kategori Sikap Perdesaan Perkotaan Total n % n % n % Rendah (<60%) 4 12.9 1 3.2 5 8.1 Sedang (60-80%) 18 58.1 6 19.4 24 38.7 Tinggi (>80%) 9 29.0 24 77.4 33 53.2 Jumlah 100.0 100.0 62 100.0 keterangan: *berbeda nyata pada α=5% Uji Beda p=0.004* Rata-rata nilai sikap ibu di perdesaan adalah 73.1 ± 2.5, sedangkan ratarata nilai di perkotaan lebih tinggi, yaitu 83.1 ± 2.2. Nilai terbesar yang diperoleh di perdesaan adalah 90 dan nilai terkecilnya adalah 40, sedangkan untuk perkotaan nilai terbesar adalah 100 dan nilai terkecilnya adalah 50. Nilai diperoleh dari 10 pertanyaan yang mampu dijawab benar tentang sikap gizi. Sebaran pertanyaan yang mampu dijawab benar oleh ibu di perdesaan dan perkotaan disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Sebaran pertanyaan sikap gizi yang dijawab benar oleh ibu di perdesaan dan perkotaan No Pertanyaan Sikap Gizi 1. Menimbang anak ke Posyandu setiap bulan penting untuk dilakukan 2. Mengonsumsi tempe baik untuk pertumbuhan anak 3. Membuat nasi tim dengan tambahan minyak kelapa penting untuk menambah asupan energi anak 4. Sari buah yang manis tidak perlu diberikan pada bayi berusia 3 bulan 5. ASI eksklusif perlu diberikan pada bayi sampai usia 6 bulan 6. Memberikan ASI lebih ekonomis daripada memberikan susu formula 7. Memberikan kolostrum baik untuk kesehatan bayi 8. Makanan prelaktal (seperti madu dan air putih) tidak baik untuk bayi yang baru lahir 9. Memberikan ASI sebaiknya dilakukan sesuai dengan keinginan anak 10. Menyusui penting untuk dipertahankan sampai anak usia 2 tahun keterangan: *berbeda nyata pada α=5% Perdesaan Perkotaan n % n % Uji Beda 100.0 100.0-27 87.1 29 93.5 p=0.3 13 41.9 6 19.4 p=0.147 16 51.6 22 71.0 p=0.112 24 77.4 29 93.5 p=0.153 30 96.8 30 96.8 p=1.000 22 77.4 29 93.5 p=0.012* 9 29.0 19 61.3 p=0.009* 18 58.1 25 80.6 p=0.070 30 96.8 100.0 p=0.321 Terdapat dua pertanyaan yang mampu dijawab benar oleh semua ibu di perkotaan, yaitu pertanyaan nomor 1 dan 10, sedangkan di perdesaan hanya pertanyaan nomor 1 yang mampu dijawab benar oleh seluruh ibu. Pertanyaan yang paling sedikit dijawab benar oleh ibu di perdesaan adalah pertanyaan tentang makanan prelaktal. Di perkotaan, pertanyaan yang paling sedikit dijawab

37 benar adalah tentang pentingnya membuat nasi tim dengan tambahan minyak kelapa untuk menambah asupan energi anak. Hasil uji beda dengan menggunakan independent t-test menunjukkan jawaban yang berbeda nyata antara perdesaan dengan perkotaan hanya terdapat pada pertanyaan nomor 7 dan 8 (p<0.05). Baik di perdesaan maupun perkotaan, sebagian besar ibu setuju bahwa kolostrum baik untuk kesehatan bayi. Persentase lebih besar ditemukan pada ibu di perkotaan yang mencapai 93.5%, sedangkan di perdesaan hanya mencapai 77.4%. Sebagian besar (71%) ibu di perdesaan masih setuju bahwa makanan prelaktal seperti madu dan air putih penting untuk diberikan pada bayi yang baru lahir. Praktek Pemberian ASI Praktek ASI Eksklusif ASI eksklusif didefinisikan sebagai pemberian ASI kepada bayi secara langsung oleh ibunya dan tidak diberikan makanan cair atau padat lainnya kecuali obat tetes atau sirup yang berisi suplemen vitamin, mineral, atau obat (Gibney et al. 2005). Keuntungan pemberian ASI eksklusif tidak hanya bagi bayi dan ibunya, tetapi juga bagi kondisi sosial ekonomi keluarga dan masyarakat (Brown et al. 2004). Tabel 13 Sebaran praktek ASI eksklusif di perdesaan dan perkotaan Praktek Perdesaan Perkotaan Pemberian ASI n % n % ASI Eksklusif 13 41.9 8 25.8 ASI Non-Eksklusif 18 58.1 23 74.2 Jumlah 100.0 100.0 Uji Beda 0.108 Praktek ASI eksklusif lebih banyak ditemukan di perdesaan dibandingkan perkotaan. Hal ini terlihat dari persentase praktek ASI eksklusif yang lebih tinggi (41.9%) dibandingkan perkotaan (25.8%). Meskipun demikian, hasil uji beda dengan menggunakan chi-square test tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara praktek ASI eksklusif di perdesaan dan perkotaan (p>0.05). Persentase ibu yang melakukan praktek ASI eksklusif di daerah perdesaan dan perkotaan diduga karena kurangnya dorongan dari tenaga kesehatan serta pemasaran susu formula yang kian gencar, terutama di perkotaan. Hal ini sesuai dengan kendala yang dikemukakan Gibney et al. (2005). Ibu yang memberikan ASI eksklusif pun tidak seluruhnya melakukan praktek ASI eksklusif karena manfaat atau keunggulannya seperti yang disajikan pada Tabel 14.

38 Tabel 14 Alasan pemberian ASI eksklusif di perdesaan dan perkotaan Alasan Pemberian ASI Eksklusif Perdesaan Perkotaan n % n % Anjuran bidan 4 30.8 1 9.1 Kesehatan 3 23.1 0 0.0 Anak tidak mau makan 3 23.1 0 0.0 Ekonomis 1 7.7 2 18.2 ASI merupakan makanan terbaik 0 0.0 5 45.5 Lainnya 2 15.4 3 27.3 Jumlah 13 100.0 11 100.0 Alasan ibu melakukan praktek ASI eksklusif kepada bayinya cukup bervariasi. Di perdesaan, anjuran dari bidan merupakan alasan yang mendominasi (30.8%) ibu untuk memberikan ASI eksklusif. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa bidan atau tenaga kesehatan menjadi media informasi ASI eksklusif utama di perdesaan. Di perkotaan, alasan yang mendominasi ibu untuk melakukan praktek ASI eksklusif adalah karena ibu mengetahui bahwa ASI merupakan makanan terbaik untuk bayi (45.5%). Alasan tersebut menunjukkan bahwa praktek ASI eksklusif di perkotaan telah didasari oleh kesadaran ibu tentang pentingnya ASI bagi bayi, sedangkan di perdesaan mayoritas ibu melakukan praktek ASI eksklusif karena dorongan dari luar. Hal ini didukung dengan adanya 23.1% ibu yang melakukan praktek ASI eksklusif dengan alasan anak tidak mau makan, sehingga hanya diberi ASI. Durasi Pemberian ASI Saja Tahun 2001, WHO menetapkan durasi pemberian ASI eksklusif yang optimal adalah selama 6 bulan (Gibney et al. 2005). Menurut Fawtrell et al. (2007), durasi pemberian ASI eksklusif yang paling optimal adalah selama 6 bulan dibandingkan dengan pemberian ASI eksklusif selama 3-4 bulan. Eastwood (2003) menyatakan pada usia 4-6 bulan bayi membutuhkan makanan pendamping ASI karena hanya sedikit ibu yang mampu memproduksi ASI secara cukup untuk kebutuhan bayi sampai usia 6 bulan. Tabel 15 Durasi pemberian ASI saja di perdesaan dan perkotaan Durasi Pemberian ASI Saja (bulan) Perdesaan Perkotaan Total n % n % n % 2 17 54.8 20 64.5 37 59.7 2-4 1 3.2 3 9.7 4 6.5 4-6 13 41.9 8 25.8 21 33.9 Jumlah 100.0 100.0 62 100.0 Uji Beda p=0.402 Berdasarkan Tabel 15, diketahui bahwa durasi pemberian ASI saja baik di perdesaan maupun perkotaan mayoritas masih 2 bulan, dikarenakan bayi mendapatkan makanan atau cairan sebelum berusia 2 bulan. Hal ini sesuai

39 dengan pernyataan Almroth dan Bidinger (1990) yang diacu dalam sebuah artikel Linkages (2002), bahwa kebiasaan memberikan air putih atau cairan lain kepada bayi menyusui dalam bulan-bulan pertama umum dilakukan di beberapa negara. Memberikan cairan tambahan kepada bayi sebelum berusia 4 bulan berbahaya bagi kesehatan bayi karena dapat meningkatkan resiko kekurangan gizi dan serangan penyakit (Academy for Educational Development 2002). Siregar (2004) menambahkan, pemberian cairan atau makanan tambahan pada bayi sebelum waktunya dapat menyebabkan ibu sulit menyusui dan cenderung berhenti menyusui. Tabel 16 menunjukkan jenis makanan dan cairan yang diberikan sebelum bayi berusia 4 bulan di perdesaan dan perkotaan. Tabel 16 Makanan dan cairan yang diberikan sebelum bayi berusia 4 bulan di perdesaan dan perkotaan Makanan atau Cairan Perdesaan Perkotaan n % n % Susu formula 9.0 17 56.7 Air putih 9.0 4 13.3 Pisang 3 10.3 2 6.7 Bubur susu 5 17.2 2 6.7 Lainnya 3 10.3 5 16.7 Jumlah 29 100.0 30 100.0 Cairan yang paling banyak diberikan pada bayi sebelum berusia 4 bulan di perdesaan adalah susu formula dan air putih, masing-masing sebesar %. Hal ini dikarenakan mayoritas ibu beranggapan bahwa makanan prelaktal, seperti air putih, penting diberikan pada bayi yang baru lahir. Selain itu, diduga ibu menganggap bahwa ASI saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi. Hal ini didukung dengan pemberian bubur susu sebagai makanan yang paling banyak diberikan pada bayi sebelum usia 4 bulan (17.2%). Di perkotaan, susu formula mendominasi (56.7%) sebagai cairan yang paling banyak diberikan pada bayi sebelum berusia 4 bulan. Pemberian susu formula oleh petugas kesehatan menjadi penyebab utamanya. Cairan lain yang diberikan adalah air putih (13.3%) dan madu (6.7%), sedangkan makanan yang diberikan adalah pisang, bubur susu, biskuit, dan nasi. Pemberian makanan dan cairan pada bayi sebelum berusia 4 bulan diduga disebabkan karena ibu mengalami kesulitan dalam menyusui, serta anggapan ibu bahwa ASI saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi. Status Pemberian Kolostrum Gibney et al. (2005) menyatakan keterlambatan memulai pemberian ASI dan pembuangan kolostrum termasuk alasan mendasar yang membuat ibu tidak

40 melakukan praktek ASI eksklusif. Budaya masa lalu dan masa kini masih menganggap kolostrum sebagai sesuatu yang kotor dan beracun (Kroeger & Linda 2004). Status pemberian kolostrum di perdesaan dan perkotaan disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Status pemberian kolostrum di perdesaan dan perkotaan Status Pemberian Kolostrum Perdesaan Perkotaan Total n % n % n % Ya 100.0 25 80.6 56 90.3 Tidak 0 0.0 6 19.4 6 9.7 Jumlah 100.0 100.0 62 100.0 keterangan: *berbeda nyata pada α=5% Uji Beda p=0.024* Seluruh ibu di perdesaan telah memberikan kolostrum kepada bayinya pasca melahirkan. Perbedaan yang nyata ditemukan di perkotaan (p<0.05). Terdapat 19.4% ibu yang tidak memberikan kolostrum pada bayinya. Hal ini tidak sejalan dengan pengetahuan gizi ibu di perkotaan yang lebih dari 90% menyatakan bahwa makanan terbaik untuk bayi yang baru lahir adalah kolostrum, serta sikap gizi ibu yang menyetujui bahwa kolostrum baik untuk kesehatan bayi (93.5%). Tidak diberikannya kolostrum di perkotaan diduga karena kurangnya dorongan dari penolong kelahiran dan keluarga tentang pentingnya pemberian kolostrum dan ASI sedini mungkin pada bayi yang baru lahir. Hapsari (2006) dalam penelitiannya menyatakan penolong persalinan, usia kehamilan, dan wilayah tempat tinggal berpengaruh terhadap pemberian kolostrum. Empat dari enam ibu yang tidak memberikan kolostrum kepada bayinya adalah ibu yang tidak memberikan ASI sedini mungkin karena ASI pertama diberikan lebih dari 24 jam setelah kelahiran. Sebaran waktu pemberian ASI pertama di perdesaan dan perkotaan disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Sebaran waktu pemberian ASI pertama di perdesaan dan perkotaan Perdesaan Perkotaan Total Waktu (jam) Uji Beda n % n % n % 2 12 38.7 13 41.9 25 40.3 2-24 13 41.9 8 25.8 21 33.9 p=0.328 > 24 6 19.4 10 32.3 16 25.8 Jumlah 100.0 100.0 62 100.0 Tidak ada perbedaan yang nyata pada waktu pemberian ASI pertama di perdesaan dan perkotaan dengan menggunakan chi-square test (p>0.05), akan tetapi terdapat perbedaan persentase terbesar pada waktu pemberian ASI pertama. Mayoritas ibu di perdesaan memberikan ASI pertama pada 2-24 jam setelah kelahiran, sedangkan di perkotaan mayoritas ibu memberikan ASI

41 pertama 2 jam setelah kelahiran. Hal ini sejalan dengan persentase status inisiasi menyusu dini yang lebih tinggi di perkotaan dibandingkan perdesaan. inisiasi menyusu dini memberikan bayi kesempatan kontak kulit dengan ibunya setidaknya selama satu jam segera setelah lahir (Roesli 2008) dan kemudian mencari puting susu selama sekitar 55 menit sampai 2 jam untuk menyusu pertama kali (Kroeger & Linda 2004). Waktu Pemberian ASI Terdapat sepuluh langkah menuju keberhasilan pemberian ASI yang direkomendasikan oleh WHO, salah satunya adalah dengan mendorong pemberian ASI menurut permintaan bayi (WHO 1998). Tabel 19 menyajikan sebaran waktu pemberian ASI di perdesaan dan perkotaan. Tabel 19 Sebaran waktu pemberian ASI di perdesaan dan perkotaan Waktu Perdesaan Perkotaan Total n % n % n % Setiap bayi meminta 100.0 22 71.0 53 85.5 Lainnya 0 0.0 9 29.0 9 14.5 Jumlah 100.0 100.0 62 100.0 keterangan: *berbeda nyata pada α=5% Uji Beda p=0.002* Seluruh ibu di perdesaan memberikan ASI kepada bayinya setiap bayi meminta, sedangkan di perkotaan terdapat 29% ibu yang memberikan ASI tidak setiap bayi meminta. Enam dari sembilan ibu tersebut memberikan ASI setiap 2 jam sekali, sisanya masing-masing memberikan ASI setiap 1 jam sekali, 1½ jam sekali dan hanya malam hari. Hasil uji beda menggunakan Fisher's exact test menunjukkan perbedaan yang nyata antara waktu pemberian ASI di perdesaan dan perkotaan (p<0.05). Frekuensi Pemberian ASI Sehari Frekuensi pemberian ASI pada bayi bervariasi tergantung usia bayi. Bayi yang baru lahir dapat menyusu 10-12 kali/hari (Brown et al. 2005). Bayi usia 3-6 bulan menyusu hanya 7-8 kali/hari karena terjadi perubahan jam biologis, yaitu bayi mulai mampu tidur dalam waktu lebih lama (Perkins & Vannais 2004). Seiring dengan pertambahan usia bayi, frekuensi pemberian ASI bergantung pada persediaan ASI. Tabel 20 Sebaran frekuensi pemberian ASI sehari di perdesaan dan perkotaan Frekuensi Sehari Perdesaan Perkotaan Total n % n % n % Uji Beda 7 kali 30 96.8 29 93.5 59 95.2 < 7 kali 1 3.2 2 6.5 3 4.8 p=1.000 Jumlah 100.0 100.0 62 100.0

42 Berdasarkan Tabel 20, hampir seluruh ibu baik di perdesaan maupun perkotaan memberikan ASI lebih dari 7 kali dalam sehari. Hanya terdapat 3.2% ibu di perdesaan yang memberikan ASI kurang dari 7 kali sehari, sedangkan di perkotaan terdapat 6.5% ibu yang memberikan ASI kurang dari 7 kali sehari. Hasil uji beda dengan menggunakan Fisher's exact test menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara frekuensi pemberian ASI di perdesaan dan perkotaan (p>0.05). Status Menyusui Saat Ini Setelah bayi mendapat ASI eksklusif selama 4-6 bulan, bayi harus tetap mendapatkan ASI paling tidak sampai bayi berusia 2 tahun yang disertai dengan MP-ASI. Saat penelitian berlangsung, mayoritas ibu masih memberikan ASI. Hanya 3.2% ibu di perdesaan dan 9.7% ibu di perkotaan yang sudah tidak memberikan ASI pada bayinya. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara status menyusui saat ini di perdesaan dan perkotaan (p>0.05). Tabel 21 Status menyusui saat ini di perdesaan dan perkotaan Status Menyusui Saat Ini Perdesaan Perkotaan Total n % n % n % Uji Beda Ya 30 96.8 28 90.3 58 93.5 Tidak 1 3.2 3 9.7 4 6.5 p=0.612 Jumlah 100.0 100.0 62 100.0 Scott et al. (2006) mengemukakan bahwa ketidakberlangsungan pemberian ASI hingga usia 12 bulan berhubungan dengan faktor antara lain penggunaan dot untuk minum bayi, sikap ibu yang kurang terhadap pemberian makan bayi, pengalaman memiliki masalah menyusui pada bulan pertama, dan ibu yang kembali bekerja sebelum bayi berusia 12 bulan. Pernyataan ini ditegaskan oleh Gibney et al. (2005) bahwa ibu akan menghadapi kesulitan pemberian ASI, tanpa pertolongan dan dukungan yang tepat, umumnya akan mengakibatkan penghentian pemberian ASI. Beberapa kesulitan menyusui yang dialami ibu di perdesaan dan perkotaan disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 Kesulitan pemberian ASI di perdesaan dan perkotaan Kesulitan Perdesaan Perkotaan n % n % ASI sedikit 3 33.3 2 12.5 ASI belum keluar selama beberapa hari pasca melahirkan 2 22.2 2 12.5 Hanya menyusui dari satu payudara 2 22.2 4 25.0 Bayi bosan/enggan menyusu 1 11.1 5 55.6 Lainnya 1 11.1 3 18.8 Jumlah 9 100.0 16 100.0

43 Kesulitan yang paling banyak dialami oleh ibu di perdesaan adalah ASI yang sedikit (33.3%). Hal ini diduga disebabkan kurangnya konsumsi ibu karena kualitas dan jumlah makanan yang dikonsumsi ibu berpengaruh terhadap jumlah ASI yang dihasilkan (Paath, Yuyum & Heryati 2004). Selain itu, ASI yang sedikit diduga disebabkan semakin berkurangnya frekuensi pemberian ASI seiring pertambahan umur bayi. Menurut Brown et al. (2005), jumlah ASI yang diproduksi sangat berhubungan dengan jumlah ASI yang dikeluarkan. Semakin banyak ASI yang dikeluarkan selama periode 24 jam, akan semakin banyak ASI yang diproduksi pada periode 24 jam berikutnya. Di perkotaan kesulitan yang mendominasi adalah bayi bosan atau enggan menyusu (55.6%). Hal ini karena banyak bayi yang sudah mendapatkan susu formula di awal kehidupannya. Siregar (2004) menyatakan pemberian makanan atau cairan yang terlalu dini serta bayi yang sudah mengenal dot menjadi penyebab enggannya bayi menyusu. WHO merekomendasikan pemberian ASI berlangsung hingga paling tidak sampai tahun kedua kehidupan bayi. Oleh karenanya, perlu untuk mengetahui persentase ibu yang bersedia melanjutkan pemberian ASI sesuai dengan rekomendasi WHO tersebut. Tabel 23 menunjukkan frekuensi keberlanjutan pemberian ASI oleh ibu di perdesaan dan perkotaan. Tabel 23 Keberlanjutan pemberian ASI di perdesaan dan perkotaan Perdesaan Perkotaan Keberlanjutan Pemberian ASI n % n % < 2 tahun 2 6.7 4 14.3 2 tahun 28 93.3 24 85.7 Jumlah 30 100.0 28 100.0 Berdasarkan hasil penelitian, dari seluruh ibu yang masih memberikan ASI, sebanyak 93.3% ibu di perdesaan dan 85.7% di perkotaan menyatakan akan memberikan ASI sampai anak berusia 2 tahun. Sisanya, ibu hanya akan memberikan ASI sampai anak kira-kira usia 1.5 tahun. Alasan yang dikemukakan antara lain karena ibu malu menyusui jika anak sudah besar, payudara akan sakit jika gigi anak sudah tumbuh, ibu akan kembali bekerja, dan sesuai dengan pengalaman sebelumnya.

44 Praktek Pemberian Susu Non-ASI dan MP-ASI Pemberian Susu Non-ASI Pemberian susu non-asi seperti susu formula menjadi salah satu penyebab ibu tidak memberikan ASI eksklusif kepada bayinya (Gibney et al. 2005). Pemberian susu non-asi yang terlalu dini (sebelum bayi berusia 4-6 bulan) sebenarnya tidak dapat menggantikan keuntungan yang diperoleh dari memberikan ASI saja (Boyle 2003). Pengenalan susu non-asi pada bayi untuk pertama kali dilakukan ibu dalam waktu yang beragam baik di perdesaan maupun perkotaan. Tabel 24 Sebaran waktu pertama kali memperkenalkan susu non-asi di perdesaan dan perkotaan Waktu Pertama kali memperkenalkan Perdesaan Perkotaan Susu Non-ASI n % n % Belum pernah 21 67.7 9 29.0 Sejak lahir 4 12.9 11 35.5 1-2 bulan pertama 3 9.7 4 12.9 3-4 bulan pertama 2 6.5 2 6.5 >4 bulan pertama 1 3.2 5 16.1 Jumlah 100.0 100.0 Sebagian besar ibu di perdesaan (67.7%) mengaku belum pernah mengenalkan susu formula kepada bayinya ketika penelitian dilakukan. Berbeda halnya dengan perkotaan, hanya 29% bayi yang belum pernah diperkenalkan susu non-asi. Sebagian besar bayi (35.5%) di perkotaan telah diperkenalkan susu non-asi sejak lahir. Alasan ibu memperkenalkan susu non-asi kepada bayi disajikan pada Tabel 25. Tabel 25 Alasan pemberian susu non-asi di daerah perdesaan dan perkotaan Alasan Pemberian Susu Non-ASI Perdesaan Perkotaan n % n % ASI belum keluar 4 40.0 3 11.5 ASI takut tidak cukup 1 10.0 7 26.9 Bayi sering ditinggal 4 40.0 3 11.5 Gangguan pada ibu/bayi 0 0.0 7 26.9 Diberi oleh petugas kesehatan 0 0.0 3 11.5 Lainnya 1 10.0 3 11.5 Jumlah 10 100.0 26 100.0 Ibu yang mengenalkan susu non-asi kepada bayinya mengemukakan alasan yang berbeda-beda. Di perkotaan, alasan ASI belum keluar dan bayi yang sering ditinggal masing-masing dikemukakan oleh 40% ibu. Sisanya, memberikan susu non-asi karena merasa ASI tidak cukup dan ingin mencoba susu non-asi setelah bayi mendapat ASI eksklusif. Di perkotaan, alasan yang

45 dikemukakan lebih beragam, dengan ASI takut tidak cukup serta adanya gangguan pada ibu atau bayi menjadi alasan yang paling banyak dikemukakan, masing-masing oleh 26.9% ibu. Praktek pemberian susu non-asi di perdesaan dan perkotaan ternyata tidak hanya dilakukan oleh ibu, tetapi juga oleh petugas kesehatan. Kasus terbanyak pemberian susu non-asi oleh petugas kesehatan ditemukan di perkotaan. Hal ini dikarenakan ibu di perkotaan 25.8% melakukan persalinan di rumah sakit. Rumah sakit seringkali memisahkan ibu dan bayi sehingga bayi tidak dapat menyusu kapan saja dan mendapatkan susu non-asi (umumnya susu formula) sebagai penggantinya. Penyebab lain petugas kesehatan memberikan susu non-asi adalah karena ASI belum keluar pasca persalinan serta terjadinya pendarahan ketika persalinan yang tidak memungkinkan bayi langsung menyusu. Tabel 26 Praktek pemberian susu non-asi di perdesaan dan perkotaan Pemberian Susu Non-ASI Perdesaan Perkotaan n % n % Oleh petugas Kesehatan Ya 1 3.2 13 41.9 Tidak 30 96.8 18 58.1 Keberadaan Bujukan Ada 7 22.6 14 45.2 Tidak 24 77.4 17 54.8 Pembujuk Keluarga 4 57.1 7 50.0 Teman/Tetangga 1 14.3 3 21.4 Petugas kesehatan 2 28.6 4 28.6 Ibu yang memberikan atau tidak memberikan susu non-asi sebagian mendapat bujukan dari pihak lain untuk memberikan susu non-asi kepada bayi. Persentase keberadaan bujukan lebih tinggi di perkotaan daripada perdesaan. Baik ibu di perkotaan maupun perdesaan mendapat bujukan terbanyak dari pihak keluarga, dilanjutkan dengan petugas kesehatan dan teman atau tetangga. Di perdesaan, dari 32.3% ibu yang memberikan susu non-asi seluruhnya memberikan susu formula dengan rata-rata konsumsi 3 kali/hari atau 1786 gram sebulan. Biaya yang dihabiskan untuk membeli susu formula rata-rata sebesar 125 ribu rupiah/bulan. Alokasi biaya yang lebih besar dikeluarkan oleh ibu di perkotaan. Sebanyak sekitar 215 ribu rupiah/bulan dikeluarkan oleh ibu untuk membeli rata-rata 1838 gram susu setiap bulannya. Jumlah yang lebih besar dibandingkan perdesaan ini disebabkan karena frekuensi pemberian susu non- ASI yang lebih banyak, yaitu sebanyak 4 kali/hari. Selain itu, jenis susu formula

46 turut mempengaruhi harga jual susu tersebut meskipun tidak semua ibu memberikan susu formula. Terdapat dua orang ibu yang memberikan susu UHT dan satu orang memberikan susu murni. Tabel 27 Rata-rata konsumsi susu non-asi di perdesaan dan perkotaan Rata-Rata Konsumsi Susu Non-ASI Perdesaan Perkotaan Frekuensi (kali/hari) 3 4 Jumlah (gram/bulan) 1786 1838 Alokasi biaya (Rp/bulan) 125429 215882 Pemberian MP-ASI Setelah bayi berusia 6 bulan, ASI tidak lagi dapat mencukupi kebutuhan gizi yang optimal untuk perkembangan bayi. Oleh karenanya, dibutuhkan MP-ASI yang diperkenalkan secara perlahan agar tidak menimbulkan reaksi buruk (Gibney et al. 2005). Ketika penelitian dilakukan, terdapat 22.6% bayi di perdesaan dan 9.7% bayi di perkotaan yang belum memperoleh MP-ASI. Hal ini dikarenakan bayi masih berusia kurang dari 6 bulan. Boyle (2003) menyatakan, normalnya bayi mulai diperkenalkan makanan pada usia 4-6 bulan dengan tetap menjadikan ASI sebagai makanan utamanya. Frekuensi pemberian MP-ASI berbeda sesuai dengan usia bayi. Semakin bertambah usia bayi, kemampuannya semakin berkembang sehingga kebutuhan gizi juga semakin bertambah. Gibney et al. (2005) membagi tahapan pemberian makan bayi berdasar 3 kelompok, yaitu tahap belajar makan untuk kelompok usia 4-6 bulan, tahap makan dengan eksplorasi untuk kelompok usia 7-9 bulan, dan tahap makan sendiri untuk kelompok usia 10-12 bulan. Tabel 28 Frekuensi pemberian MP-ASI di perdesaan dan perkotaan Usia Bayi (Bulan) Frekuensi Perdesaan Perkotaan Pemberian Sehari 4-6 (%) 7-9 (%) 10-12 (%) 4-6 (%) 7-9 (%) 10-12 (%) 2 kali makan 50.0 12.5 18.2 33.3 25.0 0.0 3-4 kali makan 50.0 87.5 81.8 66.7 75.0 100.0 Berdasarkan Tabel 28 diketahui bahwa bayi usia 4-6 bulan di perdesaan setengahnya memberikan MP-ASI 3-4 kali/hari, sedangkan di perkotaan dua pertiga yang memberikan MP-ASI 3-4 kali/hari. Menurut Grant (2004) waktu yang tepat untuk bayi yang baru diperkenalkan makanan adalah 1-2 kali sehari disaat bayi merasa paling lapar, biasanya ketika pagi atau malam hari. Pemberian MP- ASI yang berlebihan dapat menyebabkan bayi enggan menyusu karena telah merasa kenyang, padahal bayi usia 4-6 bulan masih mebutuhkan ASI sebagai makanan utamanya (Boyle 2003).

47 Frekuensi pemberian MP-ASI untuk bayi usia 7-9 bulan di perdesaan dan perkotaan mayoritas sebanyak 3-4 kali setiap harinya. Hal ini telah sesuai dengan pernyataan Grant (2004) bahwa bayi usia 7-9 bulan membutuhkan makanan lebih banyak dan bervariasi selama 3 atau 4 kali makan setiap harinya karena bayi mulai aktif bergerak, sedangkan untuk bayi usia 10-12 bulan bayi dapat makan rutin 3 kali sehari. Bayi usia 10-12 bulan di perkotaan telah memperoleh MP-ASI dengan frekuensi lebih dari 2 kali sehari, sedangkan di perdesaan masih terdapat bayi usia 10-12 bulan yang hanya mendapat MP-ASI 2 kali sehari. Hal ini dapat menyebabkan bayi kekurangan zat gizi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan sehingga berdampak pada status gizi dan kesehatan bayi. Selain frekuensi pemberian MP-ASI, perlu diperhatikan pula jenis MP-ASI yang diberikan kepada bayi. Sesuai dengan kelompok usia bayi, jenis pangan yang diberikan juga harus mengikuti tahapan perkembangan bayi (Gibney et al. 2005). Bayi yang diberi makanan dengan konsistensi atau jenis yang tidak sesuai dapat mengalami gangguan pencernaan dan alergi karena sistem pencernaan bayi yang masih rentan. Jenis MP-ASI yang diberikan pada bayi di perdesaan dan perkotaan disajikan pada Tabel 29. Tabel 29 Jenis MP-ASI yang diberikan di perdesaan dan perkotaan Usia Bayi (Bulan) Jenis Pangan Perdesaan Perkotaan 4-6 (%) 7-9 (%) 10-12 (%) 4-6 (%) 7-9 (%) 10-12 (%) Bubur susu instan 10.5 48.4 19.6 33.3 39.0 5.0 Bubur/nasi tim 26.3 3.2 17.4 25.0 14.6 46.7 Buah 36.8 16.1 21.7 16.7 14.6 18.3 Biskuit/roti 26.3 12.9 19.6 25.0 26.8 11.7 Lainnya 0.0 19.4 21.7 0.0 4.8 18.3 Sebagian besar bayi usia 4-6 bulan di perdesaan memperoleh buah sebagai MP-ASI, sedangkan bayi di perkotaan mayoritas memperoleh bubur susu instan sebagai MP-ASI. Hal ini telah sesuai dengan pernyataan Grant (2004) bahwa bubur yang dicampur sedikit susu adalah makanan terbaik yang diberikan pertama kali pada bayi karena mudah dicerna. Tahapan berikutnya, dapat diperkenalkan pure buah dan sayur dengan konsisitensi yang lebih kental dari ASI. Bayi usia 7-9 bulan sudah dapat mengunyah dan memegang makanan, namun makanan harus tetap dilumatkan atau dipotong kecil-kecil (Gibney et al. 2005). Baik di perdesaan maupun perkotaan bubur susu instan masih menjadi MP-ASI yang paling banyak diberikan pada bayi usia 7-9 bulan. Hal ini

48 sebenarnya tidak sesuai dengan tahapan perkembangan bayi menurut Gibney et al. (2005). Gigi bayi pada usia ini mulai tumbuh dan bayi senang menggigit benda. Oleh karenanya, biskuit yang bisa digigit merupakan makanan yang tepat selain jus buah, labu, sereal gandum, dan kentang lumat (Sears & Sears 2003). Usia 10-12 bulan merupakan periode pembentukan kebiasaan makannya hingga dewasa (Grant 2004). Oleh karena itu, makanan yang diberikan seharusnya lebih bervariasi dan bayi harus mulai diperkenalkan dengan makanan keluarga meski harus tetap dipotong kecil-kecil (Sears & Sears 2003). Di perdesaan jenis MP-ASI yang banyak diberikan untuk bayi pada kelompok usia ini adalah buah, sedangkan di perkotaan bubur atau nasi tim mendominasi. Selain itu, jenis MP-ASI yang diberikan pun mulai beragam, terlihat dari persentase jenis MP-ASI lainnya yang paling tinggi diantara kelompok umur lain. Faktor yang Berhubungan dengan Pengetahuan dan Sikap Gizi Ibu Pengetahuan gizi ibu di perdesaan yang mayoritas sedang secara nyata berhubungan positif dengan usia ibu, status kerja, serta keberadaan menyusui sebelumnya (p<0.05). Sikap gizi ibu berhubungan nyata positif dengan status kerja dan pengetahuan gizi (p<0.05) Tabel 30 menunjukkan hasil analisis hubungan berbagai variabel dengan tingkat pengetahuan dan sikap gizi ibu di perdesaan. Tabel 30 Hubungan berbagai variabel dengan pengetahuan dan sikap gizi ibu di perdesaan Variabel Pengetahuan Sikap r p r p Usia ibu 0.4902* 0.0051 0.1584 0.3947 Tingkat pendidikan 0.2410 0.1915 0.1534 0.4100 Status Kerja 0.3595* 0.0470 0.3661* 0.0428 Pengalaman menyusui sebelumnya 0.3691* 0.0410 0.1709 0.3581 Pengetahuan gizi - - 0.4428* 0.0126 Sikap gizi 0.4428* 0.0126 - - keterangan: *berhubungan nyata pada α=5% Usia ibu berhubungan nyata positif dengan pengetahuan gizi, namun tidak berhubungan nyata dengan sikap gizi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hurlock (1995) diacu dalam Adwinanti (2004) yang menyatakan usia dapat mempengaruhi cara berfikir, bertindak, dan emosi seseorang. Status kerja berhubungan positif dengan pengetahuan dan sikap gizi ibu. Ibu yang bekerja memiliki pengetahuan dan sikap gizi yang lebih tinggi dibandingkan ibu yang tidak bekerja. Ibu yang memiliki pengalaman menyusui sebelumnya memiliki pengetahuan gizi yang lebih tinggi daripada ibu yang tidak

49 memiliki pengalaman menyusui sebelumnya. Pranadji (1988) menyatakan pengetahuan termasuk didalamnya pengetahuan gizi, dapat diperoleh melalui pendidikan informal. Pendidikan informal dapat diperoleh dari pengalaman dan informasi tentang gizi dari lingkungan kerja. Pengetahuan gizi dengan sikap gizi ibu memiliki hubungan nyata yang positif baik di perdesaan maupun perkotaan (p<0.05). Hal ini sejalan dengan komponen kognitif dari sikap menurut Schiffman dan Kanuk (1997) yang menyatakan bahwa sikap adalah gambaran pengetahuan dan persepsi terhadap suatu objek sikap. Hasil analisis faktor yang berhubungan dengan pengetahuan dan sikap gizi ibu di daerah perkotaan menunjukkan perbedaan dengan perdesaan seperti yang disajikan pada Tabel. Tabel Hubungan berbagai variabel dengan pengetahuan dan sikap gizi ibu di perkotaan Variabel Pengetahuan Sikap r p r p Usia ibu -0.0228 0.9032 0.0500 0.7894 Tingkat pendidikan 0.4489* 0.0113 0.4382* 0.0137 Status Kerja 0.2905 0.1129 0.2734 0.1367 Pengalaman menyusui sebelumnya -0.2579 0.1612-0.1779 0.3384 Pengetahuan gizi - - 0.6939* 0.0000 Sikap gizi 0.6939* 0.0000 - - keterangan: *berhubungan nyata pada α=5% Tingkat pendidikan ibu secara nyata berhubungan positif dengan pengetahuan dan sikap gizi ibu di perkotaan (p<0.05). Hal ini sesuai dengan penelitian Adwinanti (2004) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara tingkat pendidikan ibu dengan pengetahuan dan sikap gizi ibu. Tingkat pendidikan ibu di perkotaan tergolong tinggi dengan mayoritas ibu merupakan tamatan SMA dan perguruan tinggi atau akademi sehingga informasi tentang gizi dan ASI eksklusif dapat diperoleh lebih banyak. Faktor yang Berhubungan dengan Praktek ASI Eksklusif Terdapat beberapa faktor yang diduga berhubungan dengan praktek ASI eksklusif. Foo et al. (2005) menyatakan diantaranya adalah karakteristik ibu dan bayi, pengetahuan, dan informasi dari tenaga kesehatan. Faktor yang diduga berhubungan dengan praktek ASI eksklusif dan dianalisis dalam penelitian ini adalah karakteristik ibu (usia, tingkat pendidikan, status kerja, dan pengalaman menyusui sebelumnya), karakteristik bayi (berat lahir dan status inisiasi menyusu dini), serta pengetahuan dan sikap gizi ibu.

50 Berdasarkan Tabel 32 dan Lampiran 3, tidak ditemukan faktor yang berhubungan dengan praktek ASI eksklusif pada bayi usia 4-12 bulan di perdesaan (p>0.05). Hal ini diduga disebabkan adanya faktor lain yang berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif, seperti budaya dan kepercayaan tradisional yang tidak diteliti pada penelitian ini. Tabel 32 Hubungan berbagai variabel dengan praktek ASI eksklusif di perdesaan Variabel r p Karakteristik Ibu Usia ibu 0.1744 0.3480 Tingkat pendidikan -0.1406 0.4506 Status Kerja -0.2232 0.2275 Pengalaman menyusui sebelumnya 0.2204 0.2336 Karakteristik Bayi Berat lahir -0.0429 0.8187 Status inisiasi menyusu dini -0.0837 0.6542 Pengetahuan gizi -0.1790 0.3354 Sikap gizi -0.0249 0.8944 Usia ibu dan pengalaman menyusui sebelumnya tidak berhubungan nyata dengan praktek ASI eksklusif. Hal ini diduga karena ibu yang masih muda atau tidak memiliki pengalaman menyusui sebelumnya bisa saja belajar dari pengalaman orang lain (seperti keluarga atau teman). Tingkat pendidikan dan status kerja juga tidak berhubungan secara nyata dengan praktek ASI eksklusif. Hal ini diduga karena rendahnya persentase ibu berpendidikan tinggi dan ibu yang bekerja di perdesaan. Pengetahuan gizi tidak berhubungan nyata dengan paktek ASI eksklusif, diduga karena ibu belum memperoleh informasi secara lengkap tentang ASI eksklusif. Sebagian besar ibu masih beranggapan bahwa ASI eksklusif adalah pemberian ASI tanpa disertai susu formula, tetapi bisa disertai dengan makanan atau minuman lain seperti air putih. Hal ini terlihat dari persentase ibu yang mengetahui definisi ASI eksklusif masih sekitar 54%, dan persentase pemberian air putih sebelum bayi berusia 4 bulan mencapai %. Sikap gizi ibu juga tidak berhubungan dengan praktek ASI eksklusif. Menurut Pranadji (1988) sikap belum merupakan suatu perbuatan karena hanya menggambarkan kecenderungan tingkah laku yang mengarah pada suatu objek tertentu. Selain itu, 71% ibu masih setuju bahwa pemberian makanan prelaktal seperti madu dan air putih perlu diberikan pada bayi yang baru lahir. Faktor yang diduga berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif di perkotaan antra lain usia ibu, tingkat pendidikan, status kerja, pengalaman menyusui sebelumnya, status inisiasi menyusu dini, serta pengetahuan dan sikap gizi ibu. Berat lahir bayi tidak dianalisis seperti di perdesaan, karena seluruh bayi

51 di perkotaan lahir dengan berat normal. Hasil analisis hubungan berbagai variabel dengan pemberian ASI eksklusif di perkotaan disajikan pada Tabel 33. Tabel 33 Hubungan berbagai variabel dengan praktek ASI eksklusif di perkotaan Variabel r p Karakteristik Ibu Usia ibu -0.0484 0.7961 Tingkat pendidikan 0.0791 0.6724 Status Kerja 0.0341 0.8554 Pengalaman menyusui sebelumnya -0.2760 0.1329 Karakteristik Bayi Status inisiasi menyusu dini 0.4616* 0.0090 Pengetahuan gizi 0.1473 0.4291 Sikap gizi 0.93 0.93 keterangan: *berhubungan nyata pada α=5% Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa faktor yang berhubungan nyata positif dengan praktek ASI eksklusif di perkotaan adalah status inisiasi menyusu dini (p<0.05). Bayi yang mengalami inisiasi menyusu dini cenderung mendapatkan ASI eksklusif. Hal ini sesuai dengan penelitian mahasiswa Trisakti (2003) yang diacu dalam sebuah artikel Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (2008) bahwa bayi yang mengalami inisiasi menyusu dini berpeluang 8 kali lebih besar untuk berhasil ASI eksklusif. WHO (1998) juga menyatakan bahwa inisiasi menyusu dini menjadi salah satu dari 10 kunci keberhasilan menyusui. Selain status inisiasi menyusu dini, tidak ditemukan lagi faktor yang berhubungan dengan praktek ASI eksklusif pada bayi usia 4-12 bulan di perkotaan. Hal ini diduga karena banyaknya intervensi dari pihak luar seperti petugas kesehatan atau rumah sakit maupun promosi susu formula yang dapat mendorong ibu untuk tidak memberikan ASI secara eksklusif. Dugaan ini berdasarkan pada tingginya persentase pemberian susu formula oleh petugas kesehatan di perkotaan. Selain itu, susu formula sebagai cairan yang diberikan pada bayi sebelum berusia 4 bulan mencapai 56.7%. Usia ibu dan pengalaman menyusui sebelumnya tidak berhubungan nyata dengan praktek ASI eksklusif. Hal ini diduga karena ibu yang masih muda atau tidak memiliki pengalaman menyusui sebelumnya bisa belajar dari pengalaman orang lain (seperti keluarga atau teman). Selain itu, informasi tentang ASI eksklusif di perkotaan mudah diperoleh, baik dari petugas kesehatan maupun ibu yang secara proaktif mencari informasi. Tingkat pendidikan ibu di perkotaan berhubungan nyata positif dengan status kerja (Lampiran 4), namun tidak berhubungan secara nyata dengan praktek ASI eksklusif. Hal ini diduga karena ibu yang bekerja masih memungkinkan untuk memberikan ASI eksklusif kepada bayinya dengan

52 memerah ASI (Gibney et al. 2005). Depkes RI telah menetapkan kebijakan PP- ASI Pekerja Wanita agar ibu yang bekerja dapat tetap memberikan ASI kepada bayinya secara eksklusif selama 6 bulan dan dapat dilanjutkan sampai anak berumur 2 tahun. Salah satu strategi yang digunakan dalam kebijakan tersebut adalah mengembangkan dan memantapkan pelaksanaan ASI eksklusif bagi pekerja wanita melalui pembinaan dan dukungan penuh dari pihak pengusaha (Depkes RI 2004). Pengetahuan gizi tidak berhubungan dengan praktek ASI eksklusif. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Zai (2003) dan Adwinanti (2004) yang menyatakan bahwa pengetahuan gizi ibu berhubungan dengan praktek pemberian ASI. Demikian halnya dengan sikap gizi ibu yang tidak berhubungan dengan praktek ASI eksklusif. Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian Foo et al. (2005) dan Scott et al. (2006) yang menyatakan bahwa sikap gizi ibu berhubungan dengan praktek pemberian ASI. Ketidaksesuaian ini diduga karena kurangnya kemampuan ibu dalam menerapkan pengetahuan dan sikap yang dimilikinya. Hubungan Praktek ASI Eksklusif dengan Status Gizi Bayi Status gizi bayi diklasifikasikan berdasarkan z-score yang dihitung menggunakan indeks PB/U. Persentase bayi dengan status gizi normal lebih rendah ditemukan pada bayi yang memperoleh ASI eksklusif dibandingkan ASI non-eksklusif. Tabulasi silang status gizi bayi dengan praktek ASI eksklusif disajikan pada Tabel 34. Tabel 34 Hubungan praktek ASI eksklusif dengan status gizi bayi Status Gizi Bayi ASI Eksklusif ASI Non-Eksklusif Total n % n % n % Pendek 5 23.8 8 19.5 13 21.0 Normal 14 66.7 32 78.1 46 74.2 Tinggi 2 9.5 1 2.4 3 4.9 Jumlah 21 100.0 41 100.0 62 100.0 Korelasi Spearman r=0.0162 p=0.9004 Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan yang nyata antara pemberian ASI eksklusif dengan status gizi bayi (p>0.05). Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Adwinanti (2004) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara pemberian ASI dengan status gizi bayi. Sementara itu hasil penelitian lainnya menunjukkan kesesuaian, bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara pemberian ASI dengan status gizi bayi (Suciarni 2004; Rahayu 2005).

53 Tidak berhubungannya praktek ASI eksklusif dengan status gizi bayi diduga disebabkan oleh keberadaan faktor lain yang berhubungan dengan status gizi bayi. Boyle (2003) menyatakan, pertumbuhan bayi sangat tergantung dari diet atau asupan makanan. Bayi yang diberi makan selain ASI sebelum waktunya beresiko tinggi terkena infeksi. Hal ini dapat menjadi dugaan bahwa pemberian makanan selain ASI serta kejadian infeksi atau status kesehatan bayi dapat berhubungan dengan status gizi bayi. Persentase bayi dengan status gizi pendek dan tinggi yang cukup besar diduga disebabkan karena kurang tepatnya pemberian MP-ASI. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, masih terdapat bayi yang belum meperoleh MP-ASI sesuai dengan usianya baik dalam hal frekuensi maupun jenisnya.

54 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Ibu di perdesaan berusia antara 17-41 tahun dengan rata-rata 29 ± 4 tahun, sedangkan ibu di perkotaan berusia antara 18-39 tahun dengan rata-rata 28 ± 3 tahun. Tingkat pendidikan ibu di perdesaan mayoritas (32.3%) tamat SD atau sederajat, sedangkan di perkotaan mayoritas (45.2%) tamat akademi atau perguruan tinggi. Ibu di perdesaan maupun perkotaan mayoritas tidak bekerja (93.5% dan 77.4%). Ibu di perdesaan 64.5% telah mempunyai pengalaman menyusui sebelumnya, sedangkan di perkotaan 51.6% tidak memiliki pengalaman menyusui sebelumnya. Bayi di perdesaan mayoritas (38.7%) berada pada usia 4-6 bulan, sedangkan di perkotaan mayoritas (41.9%) berada pada usia 10-12 bulan. Di perdesaan, 61.3% merupakan bayi perempuan, sedangkan di perkotaan 58.1% merupakan bayi laki-laki. Berat lahir bayi di perdesaan 93.5% normal, sedangkan di perkotaan seluruh bayi lahir dengan berat normal. Bayi di perdesaan maupun perkotaan mayoritas (64.5% dan 51.6%) tidak mengalami proses inisiasi menyusu dini dan kelahirannya mayoritas ditolong oleh bidan. Status gizi bayi baik di perdesaan maupun perkotaan mayoritas normal (64.5% dan 83.9%), namun terdapat perbedan yang nyata antara status gizi di perdesaan dan perkotan (p<0.05). Pengetahuan dan sikap gizi ibu di perdesaan mayoritas sedang (54.8% dan 58.1%), sedangkan di perkotaan mayoritas tinggi (masing-masing sebesar 77.4%). Terdapat perbedaan yang nyata antara pengetahuan dan sikap gizi ibu di perdesaan dan perkotaan (p<0.05). Informasi tentang ASI eksklusif baik di perdesaan maupun perkotaan mayoritas diperoleh dari petugas kesehatan. Persentase praktek ASI eksklusif di perdesaan sebesar 41.9% dan lebih tinggi dibandingkan perkotaan yang hanya mencapai 25.8%. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara praktek ASI eksklusif di perdesaan dan perkotaan (p>0.05). Alasan yang dikemukakan ibu di perdesaan untuk melakukan ASI eksklusif mayoritas (30.8%) karena anjuran bidan, sedangkan di perkotaan mayoritas (45.5%) memberikan ASI eksklusif dengan alasan ASI merupakan makanan terbaik untuk bayi. Mayoritas ibu baik di perdesaan maupun perkotaan memberikan ASI saja 2 bulan, dan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05). Seluruh ibu di perdesaan memberikan kolostrum kepada bayinya, sedangkan di perkotaan

55 hanya 90.3% sehingga terdapat perbedaan yang nyata antara status pemberian kolostrum di perdesaan dan perkotaan (p<0.05). Di perdesaan, seluruh ibu memberikan ASI setiap bayi meminta, sedangkan di perkotaan waktu pemberian ASI lebih bervariasi sehingga terdapat perbedaan yang nyata antara waktu pemberian ASI di perdesaan dan perkotaan (p<0.05). Hampir seluruh ibu di perdesaan maupun perkotaan memberikan ASI 7 kali/hari (96.8% dan 93.5%) dan berstatus masih menyusui sampai saat penelitian dilakukan (96.8% dan 90.3%). Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara frekuensi pemberian ASI dan status menyusui saat ini di perdesaan (p>0.05). Sebagian besar bayi di perdesaan (67.7%) belum pernah mengonsumsi susu non-asi ketika penelitian berlangsung, sedangkan bayi di perkotaan mayoritas (35.5%) telah mengonsumsi susu non-asi sejak lahir. Di perdesaan, konsumsi susu formula dengan rata-rata 3 kali/hari atau 1786 gram dalam sebulan. Biaya yang dihabiskan untuk membeli susu formula rata-rata sebesar 125 ribu rupiah/bulan. Alokasi biaya yang lebih besar dikeluarkan oleh ibu di daerah perkotaan. Sebanyak sekitar 215 ribu rupiah dikeluarkan oleh ibu untuk membeli rata-rata 1838 gram susu setiap bulannya dengan frekuensi konsumsi rata-rata 4 kali/hari. Secara umum, praktek pemberian MP-ASI di perdesaan kurang tepat baik dari frekuensi maupun jenis yang diberikan. Berbeda dengan perkotaan yang sebagian besar ibu telah mempraktekkan pemberian MP-ASI secara tepat baik frekuensi maupun jenisnya sesuai usia bayi. Sebagian besar bayi mengonsumsi MP-ASI 3-4 kali/hari dengan jenis bubur susu instan, dan buah sebagai yang paling banyak dikonsumsi baik di perdesaan maupun perkotaan. Pengetahuan gizi ibu berhubungan nyata positif dengan sikap gizi ibu di perdesaan (r=0.4428, p=0.0126) maupun perkotaan (r=0.6939, p=0.000). Faktor yang berhubungan nyata positif dengan pengetahuan gizi ibu di perdesaan adalah usia ibu (r=0.4902, p=0.0051), status kerja (r=0.3595, p=0.0470), dan pengalaman menyusui sebelumnya (r=0.3691, p=0.0410). Faktor yang berhubungan nyata dengan sikap gizi ibu di perdesaan adalah status kerja (r=0.3661, p=0.0428). Di perkotaan, hanya tingkat pendidikan ibu yang berhubungan nyata positif dengan pengetahuan gizi (r=0.4489, p=0.0113) serta sikap gizi ibu (r=0.4382, p=0.0137). Tidak terdapat faktor yang berhubungan nyata dengan praktek ASI eksklusif di perdesaan, sedangkan di perkotaan status inisiasi menyusu dini

56 menjadi satu-satunya faktor yang berhubungan nyata dengan praktek ASI eksklusif (r=0.4616, p=0.0090). Selanjutnya, tidak terdapat hubungan yang nyata antara praktek ASI eksklusif dengan status gizi bayi (p>0.05). Saran Mengingat masih rendahnya persentase praktek ASI eksklusif di perdesaan dan perkotaan, disarankan kepada berbagai pihak untuk lebih meningkatkan promosi progam ASI Eksklusif. Pendekatan yang selama ini dilakukan masih berupa penyuluhan kepada ibu hamil tentang pentingnya ASI eksklusif. Perlu dilakukan penyuluhan serupa kepada suami dan orang tua atau mertua ibu hamil agar dapat memberi dukungan dan motivasi kepada ibu. Selain itu, penyuluhan tersebut diharapkan mampu memperbaiki kebiasaan tradisional yang terkait dengan pemberian kolostrum, makanan prelaktal, dan pemberian MP-ASI yang terlalu dini. Khusus perkotaan, peranan petugas kesehatan dan pihak rumah sakit cukup besar dalam kegagalan ibu memberikan ASI eksklusif karena adanya pemberian susu non-asi oleh petugas kesehatan dan keberadaan ruangan khusus bayi pasca kelahiran di rumah sakit. Oleh karenanya, pemerintah sebaiknya dengan tegas membuat suatu ketentuan bahwa tenaga kesehatan dilarang memberikan susu non-asi selama 6 bulan pertama kehidupan bayi yang masih dapat menerima ASI dari ibu. Pemerintah juga perlu membuat ketentuan tentang keberadaan ruang khusus bayi pasca kelahiran dan lebih menggalakkan Gerakan Rumah Sakit dan Puskesmas Sayang Bayi. Penelitian lanjutan dapat dilakukan untuk menganalisis pengaruh pelayanan rumah sakit atau petugas kesehatan terhadap keberhasilan atau kegagalan praktek ASI eksklusif. Pengaruh pemberian kolostrum terhadap kejadian penyakit atau infeksi pada bayi juga perlu diteliti lebih lanjut. Selain itu, dapat pula dikaji lebih dalam tentang inisiasi menyusu dini dan pengaruhnya terhadap praktek ASI eksklusif, karena masih sangat sedikit penelitian yang mengkaji inisiasi menyusu dini di Indonesia.

57 DAFTAR PUSTAKA [AED] Academy for Educational Development. Oktober 2002. Exclusive breastfeeding: the only water source young infants need-frequently asked questions. Linkages:1 (kolom 2). Adwinanti V. 2004. Hubungan praktek pemberian ASI dengan pengetahuan ibu tentang ASI, kekhawatiran ibu, dukungan keluarga dan status gizi bayi usia 0-6 bulan [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, IPB. Arifeen S et al. 2001. Exclusive breastfeeding reduces acute respiratory infection and diarrhea deaths among infants in Dhaka slums. Pediatrics 108:e67. Arifin. 2002. Faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan pemberian ASI eksklusif [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, IPB. Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia. 2008. Menyusui pada Satu Jam Pertama. http://aimi-asi.org/2008/04/hello-world/. [9 Februari 2009]. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2003. Indonesia Demographic and Health Survey 2002-2003. Calverton, Maryland, USA: BPS and ORC Macro. Baker JL, KF Michaelsen, KM Rasmussen, TIA Sorensen. 2004. Maternal prepregnant body mass index, duration of breastfeeding, and timing of complementary food introduction are associated with infant weight gain. American Journal of Clinical Nutrition 80:1579 88. Boyle MA. 2003. Community Nutrition in Action 3 rd Thomson Learning Inc. ed. USA: Wadsworth, Brown JE et al. 2005. Nutrition Through the Life Cycle. Balmont, USA: Thomson Wadsworth. Campbell K. 2002. Family food environments of children: does sosioeconomics status make a difference. Asia Pacific Journal Clinical Nutrition. Chantry CJ, CR Howard, P Auinger. 2006. Full breastfeeding duration and associated decrease in respiratory tract infection in us children. Pediatrics 117:425-432. [Depkes RI] Departemen Kesehatan RI. 2004. Kebijakan Departemen Kesehatan tentang Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Pekerja Wanita. Jakarta: Pusat Kesehatan Kerja Depkes RI.. 2009. Rencana Kerja Program Perbaikan Gizi (Penanggulangan Gizi Kurang dan Buruk) Tahun 2009. Jakarta: Direktorat Gizi Masyarakat, Depkes RI. Eastwood M. 2003. Principles of Human Nutrition (2 nd Edition). USA: Blackwell Publishing Company. Edmond et al. 2005. Delayed breastfeeding initiation increases risk of neonatal mortality. Pediatrics 2006;117:e380-e386.

58 Ekawati E. 2002. Analisis faktor yang berhubungan dengan perilaku pemberian ASI pada ibu tidak bekerja [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, IPB. Ergenekon-Ozelci P, N Elmaci, M Ertem, G Saka. 2006. Breastfeeding beliefs and practices among migrant mothers in slums of Diyarbakir, Turkey, 2001. European Journal of Public Health 16(2):143 148. Ertem IO, N Votto, JM Laventhal. 2001. The timing and predictors of the early termination of breastfeeding. Pediatrics 2001;107:543-548. Fawtrell et al. 2007. Optimal duration of exclusive breastfeeding: what is the evidence to support current recommendations?. American Journal of Clinical Nutrition 85(suppl):635S 8S. Foo LL, SJS Queck, MT Lim, M Deurenberg-Yap. 2005. Breastfeeding prevalence and practices among Singaporean chinese, malay, and indian mothers. Health Promotion International 20(3). Gibney MJ, MM Barrie, MK John, A Leonore. 2005. Public Health Nutrition. Oxford: Blackwell Publishing Ltd. Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment (2 nd Edition). USA: Oxford University Press. Grant A. 2004. Healthy Baby & Toddler Foods. London: Octopus Publishing Group Ltd. Gulo R. 2002. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian ASI oleh ibu usia remaja kepada anak umur 0-24 bulan [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, IPB. Hapsari D. 2006. Telaah berbagai faktor yang berhubungan dengan pemberian kolostrum. http://ekologi.litbang.depkes.go.id/data/abstrak/dwihapsari. [10 Juni 2009]. Hardinsyah, CM Dwiriani, D Briawan, M Fadilla. 2002. Pemberian ASI dan susu formula pada bayi sebelum usia 4 bulan di kota Bogor dalam Pangan dan Gizi: Masalah, Intervensi dan Teknologi Tepat Guna. Editor: Abubakar Tawali. DPP Pergizi Pangan Indonesia dan Pusat Pangan, Gizi, dan Kesehatan Universitas Hasanuddin. Hillenbrand KM, PG Larsen. 2002. Effect of an educational intervention about breastfeeding on the knowledge, confidence, and behaviors of pediatric resident physicians. Pediatrics 110:e59. Jacobson SW, ML Chiodo, JL Jacobson. 1999. Breastfeeding effects on intelligence quotient in 4- and 11-year-old children. Pediatrics 103:e71. [Menkokesra] Kementrian Negara Koordinator Kesejahteraan Rakyat. 2008. Ibu Negara Serukan Inisiasi Menyusu Dini. http://www.menkokesra.go.id/content. [2 Februari 2009].

59 Khomsan A. 2000. Pengukuran Tingkat Pengetahuan Gizi. Bogor: Fakultas Pertanian, IPB. Kroeger M, JS Linda. 2004. Impact of Birthing Practices on Breastfeeding: Protecting the Mother and Baby Continum. Massachusetts: Jones and Bartlet Publishers. Labbok MH. 2001. Effects of breastfeeding on the mother. Pediatric Clinic of North America 48:143 158. Notoatmodjo S. 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Kesehatan Masyarakat Cetakan ke- 2. Jakarta: Rineka Cipta. Ong G, M Yap, FL Li, TB Choo. 2005. Impact of working status on breastfeeding in Singapore. European Journal of Public Health 15(4):424-430. Paath EF, R Yuyum, Heryati. 2004. Gizi dan Kesehatan Reproduksi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Pee S et. al. 2002. Breastfeeding And Complementary Feeding Practices In Indonesia Annual Report. Jakarta: Helen Keller Worldwide. Perkins S, C Vannais. 2004. Breastfeeding for Dummies. USA: Wiley Publishing, Inc. Peters E, K Wehkamp, RE Felberbaum, D Kru ger, R Linder. 2005. Breastfeeding duration is determined by only a few factors. European Journal of Public Health 16(2):162 167. Pranadji DK. 1988. Pendidikan Gizi (Proses Belajar Mengajar) [Diktat]. Bogor: Fakultas Pertanian, IPB. Rahayu PR. 2005. Pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu dalam pemberian ASI dan MP-ASI pada anak baduta di pedesaan dan perkotaan [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, IPB. Riordan J. 2005. Breastfeeding and Human Lactation 3 rd ed. USA: Jones and Bartlett Publishers. Roesli U. 2008. Inisiasi Menyusu Dini Plus ASI Eksklusif. Jakarta: Pustaka Bunda. Schiffman LG, Kanuk. 1997. Consumer Behavior 6 th Ed. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Scott JA, CW Binns, WH Oddy, KI Graham. 2006. Predictors of breastfeeding duration: evidence from a cohort study. Pediatrics 117:e646-e655. Sears W, M Sears. 2003. The Baby Book, Everything You Need to Know About Your Baby from Birth to Age Two. New York: Little, Brown and Company. Singarimbun M, S Effendi. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES.

60 Singhal A et al. 2002. Early nutrition and leptin concentrations in later life. American Journal of Clinical Nutrition 75:993 999. Siregar A. 2004. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemberian ASI oleh Ibu Melahirkan. Medan: USU Digital Library. Smith MM, M Durkin, VJ Hinton, D Bellinger, L Kuhn. 2003. Initiation of breastfeeding among mothers of very low birth weight infants. Pediatrics 111:1337-1342. Suciarni E. 2004. Hubungan pengetahuan dan sikap ibu terhadap ASI eksklusif sampai usia 6 bulan [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, IPB. Suhendar K. 2002. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian ASI eksklusif dan status gizi bayi usia 4-6 bulan [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, IPB. Tasya A. 2008. Indonesia dan ASI. http://aimi-asi.org/2008/08/indonesia-dan-asi/. [9 Februari 2009]. [Pediatrics] The American Academy of Pediatrics. 2005. Policy statement: Breastfeeding and the use of human milk. Pediatrics 115(2):496-506. Tryggvadóttir L, H Tulinius, JE Eyfjord, T Sigurvinsson 2001. Breastfeeding and reduced risk of breast cancer in an icelandic cohort study. American Journal of Epidemiology 154:1. WHO. 1995. WHO Expert Committee on Physical Status: the Use and Iterpretation of Antrophometry. Geneva: WHO.. 1998. Evidence to The Ten Steps for Successful Breastfeeding. Geneva: WHO. Wijaya, R. 2002. Praktek pemberian ASI dan MP-ASI serta status gizi bayi usia 6-8 bulan pada ibu bekerja dan tidak bekerja [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, IPB. Zai HE. 2003. Pola pemberian ASI dan MP-ASI serta status gizi anak baduta di Desa Maliwa'a dan Desa Bobozioli Loloana'a Kecamatan Idanogawo Kabupaten Nias Propinsi Sumatera Utara [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, IPB.

61 LAMPIRAN Lampiran 1 Lampiran 2 Peta wilayah Kabupaten Sukabumi Peta wilayah Kota Bogor