HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Spektrum Derivatif Metil Paraben dan Propil Paraben

TINJAUAN PUSTAKA Pakan Ayam Broiler

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Spektra Buah Belimbing

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pembuatan larutan induk standar fenobarbital dan diazepam

PENDUGAAN PARAMETER MUTU BUAH PEPAYA (Carica papaya L.) DENGAN METODE NEAR INFRARED SELAMA PENYIMPANAN DAN PEMERAMAN. Oleh : RINI SUSILOWATI F

III. METODOLOGI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Korelasi Analisa Proksimat dan Fraksi Serat Van Soest

MBAHASA DAN PEM AF) our (MOCA. penelitian ( nm c ur (MOCAF. ditunjukkan OCAF. substansi A k. komposisi. cak gelomban. ktan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

125 permukaan dan perhitungan erosi berasal dari data pengukuran hujan sebanyak 9 kejadian hujan. Perbandingan pada data hasil tersebut dilakukan deng

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Prosedur Penggunaan Peranti Lunak ImageJ

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Tepung Ikan sebagai Bahan Pakan Penyusun Ransum Ternak

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dibandingkan sesaat setelah panen. Salah satu tahapan proses pascapanen

BAB III METODE PENELITIAN

Tingkat Penggunaan Limbah Laju Pertumbuhan %

HASIL DAN PEMBAHASAN. Perhitungan Kadar Kadar residu antibiotik golongan tetrasiklin dihitung dengan rumus:

POSITRON, Vol. IV, No. 2 (2014), Hal ISSN :

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan

Gambar 8. Profil suhu lingkungan, ruang pengering, dan outlet pada percobaan I.

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging di Indonesia setiap tahunnya terus meningkat. Hal ini

4 Notepad dan Microsoft Excel sebagai editor data.

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Fase gerak : dapar fosfat ph 3,5 : asetonitril (80:20) : panjang gelombang 195 nm

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN y = x R 2 = Absorban

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab

OPTIMASI PROSES PENGGILINGAN GABAH DENGAN MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN DAN ALGORITMA GENETIKA 1

HASIL DAN PEMBAHASAN. Algoritma Cepat Penduga GS

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakterisasi Panjang Gelombang Lampu LED

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi USU

METODOLOGI PENELITIAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 LOGICAL VALIDATION MELALUI PEMBANDINGAN DAN ANALISA HASIL SIMULASI

TINJAUAN PUSTAKA. Pemeliharaan Sapi Pedet

I. PENDAHULUAN. menentukan keberhasilan dalam kegiatan budidaya ikan. Kebutuhan pakan ikan

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Grafik pertumbuhan benih C. macropomum yang dihasilkan selama 40 hari

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i. ABSTRACT... ii. KATA PENGANTAR... iii. UCAPAN TERIMA KASIH... iv. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL... vii

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Regresi: Regresi Linear Berganda

TINJAUAN PUSTAKA. Prediksi pada dasarnya merupakan dugaan atau prediksi mengenai terjadinya

ARTIKEL PENELITIAN HIBAH BERSAING XIII/II/2006

Ekstraksi Biji Karet

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Protein Kasar. Tabel 4. Rataan Kandungan Protein Kasar pada tiap Perlakuan

4.1. Pengumpulan data Gambar 4.1. Contoh Peng b untuk Mean imputation

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PERILAKU AKTIVITAS BIAYA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi

BAB III APLIKASI MODEL

Analisis Komponen Utama (Principal component analysis)

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. selain ayam adalah itik. Itik memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB III. Tahap penelitian yang dilakukan terdiri dari beberapa bagian, yaitu : Mulai. Perancangan Sensor. Pengujian Kesetabilan Laser

HASIL DAN PEMBAHASAN. Eksplorasi Pola Spektrum

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pakan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas ayam buras salah satunya dapat dilakukan melalui perbaikan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Usaha peternakan ayam saat ini cukup berkembang pesat. Peredaran daging ayam cukup besar di pasaran sehingga menyebabkan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Suara sah calon nomor urut 4 Jumlah Rata-Rata Ragam

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. BAHAN DAN METODE

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Lingkungan Mikro Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Rancabolang, Bandung. Tempat pemotongan milik Bapak Saepudin ini

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 1 (2013), Hal ISSN :

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengembangan metode dapat dilakukan dalam semua tahapan ataupun

HASIL DAN PEMBAHASAN

STK 511 Analisis statistika. Materi 7 Analisis Korelasi dan Regresi

PENDAHULUAN. kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu

TINJAUAN PUSTAKA. Broiler adalah istilah yang biasa dipakai untuk menyebut ayam hasil

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Absorbsi Near Infrared Sampel Tepung Ikan Absorbsi near infrared oleh 50 sampel tepung ikan dengan panjang gelombang 900 sampai 2000 nm berkisar antara 0.1 sampai 0.7. Secara grafik (Gambar 10) menunjukkan kurva absorbsi kurang mulus yang mengindikasikan tingginya noise, serta terlihat adanya beberapa pencilan data, dengan demikian sebelum diolah lebih lanjut memerlukan pre-treatment data. Pre-treatment data yang dilakukan adalah pemulusan dan eliminasi pencilan data. Perlakuan pemulusan menggunakan metode running mean setiap lima titik data, sehingga menyebabkan panjang gelombang yang dapat digunakan adalah 915 sampai 1990 nm. Eliminasi dilakukan terhadap data yang berada diluar kisaran tiga kali standar deviasi (SD) di bawah dan di atas rata-rata. Setelah proses eliminasi tersebut ternyata hanya 45 sampel yang dapat digunakan untuk kalibrasi dan validasi kandungan air, lemak dan protein, sedangkan untuk lisin dan metionin hanya 43 dan 40 sampel. Nilai absorbsi dari 45 sampel setelah pre-treatment data memperlihatkan kurva yang lebih mulus (Gambar 11). 0.7 0.6 0.5 Absorbance 0.4 0.3 0.2 0.1 0 905 955 1005 1055 1105 1155 1205 1255 1305 1355 Panjang Gelombang (nm) 1405 1455 1505 1555 1605 1655 1705 1755 1805 1855 1905 1955 sampel 1 sampel 2 sampel 3 sampel 4 sampel 5 sampel 6 sampel 7 sampel 8 sampel 9 sampel 10 sampel 11 sampel 12 sampel 13 sampel 14 sampel 15 sampel 16 sampel 17 sampel 18 sampel 19 sampel 20 sampel 21 sampel 22 sampel 23 sampel 24 sampel 25 sampel 26 sampel 27 sampel 28 sampel 29 sampel 30 sampel 31 sampel 32 sampel 33 sampel 34 sampel 35 sampel 36 sampel 37 sampel 38 sampel 39 sampel 40 sampel 41 sampel 42 sampel 43 sampel 44 sampel 45 sampel 46 sampel 47 sampel 48 sampel 49 sampel 50 Gambar 10 Grafik absorbsi near infrared oleh tepung ikan pada panjang gelombang 905 sampai 2000 nm.

Pada Gambar 11 terlihat bahwa puncak-puncak penyerapan near infrared terjadi pada panjang gelombang 915 nm, 1215 nm, 1465 nm 1535 nm, 1725 nm-1735 nm dan 1965 nm-1980nm. Osborne et al (1993) menyatakan bahwa absorbsi pada panjang gelombang 913 nm berkorelasi dengan CH 2 ; 1195 nm dan 1215 nm berkorelasi dengan CH 3 dan CH 2 ; 1510 nm dan 1530 nm dengan protein dan RNH 2 ; 1725nm dengan CH 2 ; 1980 nm dengan protein. Secara umum terlihat bahwa penyerapan tersebut menunjukkan banyaknya ikatan kimia yang melibatkan kerangka karbon dan gugus nitrogen yang merupakan komponen utama penyusun protein. Namun secara spesifik, puncak-puncak penyerapan tersebut belum dapat menjelaskan kandungan kimia secara langsung. Absorbance 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 915 nm 1215 nm 915 965 1015 1065 1115 1165 1215 1265 1315 1465 nm -1535 nm 1725 nm-1735 nm 1365 Panjang Gelombang (nm) 1965 nm-1980nm 1415 1465 1515 1565 1615 1665 1715 1765 1815 1865 1915 1965 sampel 1 sampel 2 sampel 3 sampel 4 sampel 5 sampel 6 sampel 7 sampel 8 sampel 9 sampel 10 sampel 11 sampel 12 sampel 13 sampel 14 sampel 15 sampel 16 sampel 17 sampel 18 sampel 19 sampel 20 sampel 21 sampel 22 sampel 23 sampel 24 sampel 25 sampel 26 sampel 27 sampel 28 sampel 29 sampel 30 sampel 31 sampel 32 sampel 33 sampel 34 sampel 35 sampel 36 sampel 37 sampel 38 sampel 39 sampel 40 sampel 41 sampel 42 sampel 43 sampel 44 sampel 45 Gambar 11 Grafik absorbsi near infrared oleh tepung ikan pada panjang gelombang 915 sampai 1990 nm setelah pre-treatment data. Variasi Kandungan Nutrien Sampel Tepung Ikan Bahan baku dan teknologi pengolahan tepung ikan sangat beragam. Umumnya pabrik tepung ikan di Muncar dan Bali menggunakan ikan lemuru,

namun ada beberapa pabrik yang menggunakan limbah pengalengan ikan berupa kepala, sirip dan isi perut ikan sebagai bahan bakunya. Sukirno dan Srihati (2003) menyatakan bahwa untuk menurunkan biaya produksi sebagian pengusaha tepung ikan di Muncar mencampurkan sisik ikan sekitar 10% ke dalam bahan bakunya. Tepung ikan yang diolah secara tradisional di Tuban dan Muncar umumnya menggunakan ikan-ikan kecil seperti selar, tembang, petek dan kuniran, walaupun kadang-kadang juga menggunakan ikan lemuru. Tepung ikan yang diperoleh dari beberapa pedagang makanan ternak di Parung Bogor dan di Padang berasal dari produsen yang mengolah secara tradisional dimana sumber bahan bakunya berasal dari ikan kering afkiran yang dagingnya sudah mulai rusak sehingga tulang dan sisik merupakan komponen yang dominan di dalamnya. Teknologi pengolahan tepung ikan juga bervariasi mulai dari yang tradisional sampai yang lebih maju. Pengolahan tepung ikan secara tradisional umumnya terbatas pada proses perebusan, pengeringan dan penggilingan. Pengeringan dilakuan dengan cara penjemuran di bawah sinar matahari (Gambar 12). Pengolahan tepung ikan dengan cara yang lebih maju melakukan pengempaan (pressing) setelah proses perebusan, setelah itu baru dilakukan pengeringan dengan dryer menggunakan energi listrik. Gambar 12. Pengeringan ikan secara tradisional

Beragamnya bahan baku dan pengolahan pada pabrik tepung ikan menyebabkan kandungan nutriennya bervariasi cukup lebar. Statistik komposisi nutrien sampel tepung ikan tersebut disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Statistik komposisi nutrien sampel tepung ikan Jenis Tahap Jumlah Kandungan nutrien (%) Nutrien penelitian sampel rata-rata SD minimum maksimum Air kalibrasi 35 12.38 3.89 7.25 21.56 validasi 10 12.61 4.18 7.99 20.88 total 45 12.43 3.91 7.25 21.56 Lemak kalibrasi 35 4.92 2.83 1.81 11.68 validasi 10 5.33 2.35 2.05 8.36 total 45 5.01 2.71 1.81 11.68 Protein kalibrasi 35 47.31 10.36 20.99 61.68 validasi 10 46.56 10.00 24.34 59.31 total 45 47.14 10.18 20.99 61.68 Lisin kalibrasi 33 1.09 0.44 0.51 2.18 validasi 10 1.22 0.40 0.60 2.00 total 43 1.12 0.43 0.51 2.18 Metionin kalibrasi 30 0.68 0.20 0.39 1.03 validasi 10 0.70 0.16 0.45 0.95 total 40 0.68 0.19 0.39 1.03 Pada Tabel 3 terlihat bahwa kandungan air berkisar antara 7.25 %-21.56% dengan standar deviasi (SD) 3.91%. Rata-rata kandungan air (12.43%) lebih tinggi dibandingkan dengan persyaratan DSN (1996) dimana kandungan air maksimal 10% untuk mutu I dan 12% untuk mutu II dan III. Kandungan air yang tinggi umumnya terdapat pada tepung ikan yang diproduksi secara tradisional dimana setelah perebusan tidak dilakukan pengempaan dan pengeringannya dilakukan dengan penjemuran di bawah sinar matahari. Sebaliknya kandungan air yang rendah terdapat pada tepung ikan yang mengalami proses pengempaan dan pengeringan dengan dryer menggunakan energi listrik. Kandungan lemak sampel tepung ikan berkisar antara 1.81%-11.68%, dengan rata-rata 5.01% dan standar deviasi 2.71%. Kisaran tersebut cukup lebar, namun masih termasuk di dalam standar kualitas yang ditetapkan DSN (1996) dimana kandungan lemak maksimal untuk standar mutu I, II dan III berturut-turut 8%, 10% dan 12%. Variasi kandungan lemak sampel tepung ikan tersebut terutama dipengaruhi oleh proses pengempaan setelah perebusan. Lemak yang terkandung di dalam ikan akan keluar bersama air pada saat dikempa.

Kandungan protein sampel tepung ikan juga mempunyai variasi yang sangat lebar yakni berkisar antara 20.99% sampai 61.68%, dengan rata-rata 47.14% dan standar deviasi 10.18%. Rata-rata sampel tepung ikan berdasarkan kandungan proteinnya tergolong kepada mutu III dimana menurut DSN (1999) standar mutu I, II dan III mengandung protein minimal berturut-turut 65%, 55% dan 45 %. Kandungan lisin berkisar antara 0.51% sampai 2.18% dengan standar deviasi 0.43%. Rata-rata kandungan metionin adalah 0.68 % dengan standar deviasi 0.19% yang berkisar antara 0.39 % sampai 1.03 %. Variasi kandungan protein, lisin dan metionin terutama dipengaruhi oleh bahan baku yang digunakan. Bahan baku dari limbah pengalengan ikan dan ikan kering afkir mengandung proporsi daging yang sedikit dan proporsi tulang dan sisik meningkat sehingga kandungan protein dan asam aminonya rendah. Melihat besarnya variasi kandungan nutrien tepung ikan dengan beragamnya bahan baku dan proses produksi maka penentuan kandungan nutriennya sebelum digunakan sebagai salah satu bahan pakan perlu dilakukan. Penentuan kandungan nutrien tersebut sebaiknya dilakukan sesering mungkin, karena kemungkinan variasi setiap lot sangat besar. Berdasarkan kondisi tersebut perlu dikembangkan metode analisis yang cepat, murah dan akurat. Korelasi Absorbsi Near Infrared dengan Komposisi Nutrien Tepung Ikan Penggunaan semua nilai absorbsi near infrared untuk pendugaan kandungan nutrien dapat menyebabkan overfitting pada saat kalibrasi, dengan demikian sebelumnya perlu dilakukan pengurangan jumlah variabel input. Salah satu metode pengurangan variabel adalah dengan menseleksi panjang gelombang yang berkorelasi dengan kandungan nutrien yang sedang dievaluasi. Model yang digunakan untuk pemilihan tersebut adalah analisis stepwise multiple linear regression (SMLR). Panjang gelombang yang memenuhi kriteria akan terpilih sebagai input JST. Hasil analisis SMLR terhadap kandungan air disajikan pada Tabel 4. Pada tabel terlihat bahwa analisis SMLR untuk penentuan kandungan air tepung ikan menghasilkan 6 kombinasi panjang gelombang. Koefisien korelasi (r) tertinggi sebesar 0.86 diperoleh pada step ke 6 yang menggunakan nilai-nilai absorbsi

pada panjang gelombang 1915 nm, 1215 nm, 1285 nm, 1320 nm, 1340 nm dan 1210 nm. Menurut Williams dan Norris (1990) air menyerap near infrared pada panjang gelombang antara 1910 nm sampai 1950 nm dan 1030 sampai 1330 nm. Tabel 4 Korelasi kandungan air dengan absorbsi near infrared pada tepung ikan hasil analisis SMLR Koefisien Step Panjang gelombang (nm) korelasi (r) 1 1915 0.66 2 1915 1215 0.78 3 1915 1215 1285 0.81 4 1915 1215 1285 1320 0.82 5 1915 1215 1285 1320 1340 0.84 6 1915 1215 1285 1320 1340 1210 0.86 Analisis SMLR untuk mempelajari hubungan kandungan lemak tepung ikan dengan absorsi near infrared menghasilkan 4 alternatif kombinasi panjang gelombang (Tabel 5). Kombinasi yang diperoleh pada step ke empat memberikan koefisien korelasi tertinggi yakni 0.80. Osborne et al (1993) menyatakan bahwa pada panjang gelombang 913 nm (berdekatan dengan 915 nm), 1705 nm dan 1725 nm (berdekatan dengan 1735 nm) berhubungan dengan CH 2 dan CH 3 yang merupakan senyawa pembentuk semua bahan organik termasuk lemak, sedangkan pada panjang gelombang 1470 nm berhubungan dengan ikatan N-H pada bahan organik yang mengandung nitrogen. Meskipun ikatan N-H tidak berhubungan secara langsung dengan kandungan lemak, namun ikatan tersebut umumnya berhubungan dengan ikatan C-H yang bukan saja penyusun lemak tetapi juga penyusun protein. Kenyataan tersebut menyebabkan panjang gelombang 1470 nm juga terpilih sebagai variabel penduga. Tabel 5 Korelasi kandungan lemak dengan absorbsi near infrared pada tepung ikan hasil analisis SMLR Koefisien Step Panjang gelombang (nm) korelasi (r) 1 915 0.38 2 915 1470 0.56 3 915 1470 1735 0.66 4 915 1470 1735 1700 0.80

Hubungan protein dengan absorbsi near infrared dijelaskan oleh delapan macam kombinasi panjang gelombang (Tabel 6) yang melibatkan panjang gelombang 1725 nm, 1785 nm, 1915 nm, 1130 nm, 1530 nm, 1495 nm dan 1920 nm. Persamaan regresi yang menghasilkan koefisien korelasi tertinggi (0.86) diperoleh dengan menggunakan panjang gelombang 1725 nm, 1785 nm, 1130 nm, 1530 nm, 1495 nm dan 1920 nm. Absorbsi pada panjang gelombang 1725 nm berhubungan erat dengan ikatan C-H pada CH 2, pada panjang gelombang 1530 nm berhubungan dengan ikatan N-H pada RNH 2 dan pada 1920 nm berkaitan dengan ikatan C=O pada CONH (Osborne et al, 1993). Struktur-struktur kimia tersebut merupakan komponen pembentuk protein, dengan demikian pada panjang gelombang tersebut terjadi absorbsi dengan intensitas yang tinggi (Gambar 11) karena protein merupakan nutrien yang dominan pada tepung ikan. Tabel 6 Korelasi kandungan protein dengan absorbsi near infrared pada tepung ikan hasil analisis SMLR Step Panjang gelombang (nm) Koefisien korelasi (r) 1 1725 0.37 2 1725 1785 0.73 3 1725 1785 1915 0.79 4 1725 1785 1915 1130 0.82 5 1725 1785 1915 1130 1530 0.84 6 1725 1785 1130 1530 0.83 7 1725 1785 1130 1530 1495 0.84 8 1725 1785 1130 1530 1495 1920 0.86 Berdasarkan hasil analisis regresi hubungan kandungan protein dengan absorbsi pada panjang gelombang 1785 nm, 1130 nm dan 1495 nm berkorelasi negatif. Tidak diperoleh informasi secara persis hubungan panjang gelombang tersebut dengan kandungan nutrien, namun Osborne et al (1993) menjelaskan bahwa pada panjang gelombang 1780 nm dan 1490 nm, spektrum near infrared diabsorbsi oleh selulosa. Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa kandungan protein berbanding terbalik dengan kandungan selulosa. Kombinasi panjang gelombang yang berpengaruh pada kandungan lisin diperoleh dengan 11 step pada analisis SMLR (Tabel 7). Koefisien korelasi tertinggi diperoleh pada step ke 11 yang menghasilkan kombinasi panjang

gelombang 1020 nm, 1325 nm, 1745 nm, 1025 nm, 1100 nm, 1650 nm dan 965 nm. Absorbsi pada panjang gelombang gelombang 1020 nm dan 1325 nm berkorelasi negatif dengan kandungan lisin, sedangkan pada panjang gelombang 1745 nm, 1025 nm, 1100 nm, 1650 nm dan 965 nm berkorelasi positif. Williams dan Norris (1990) menyatakan bahwa panjang gelombang 1020 nm, 1745 nm, 1025 nm, 1100 nm dan 1650 nm berkorelasi dengan ikatan N-H, pada 1325 nm berhubungan dengan ikatan O-H. Selanjutnya dinyatakan bahwa pada panjang gelombang antara 900 nm sampai 1000 nm berhubungan dengan ikatan C-N dan O-H. Tabel 7 Korelasi kandungan lisin dengan absorbsi near infrared pada tepung ikan hasil analisis SMLR Step Panjang gelombang (nm) Koefisien korelasi (r) 1 1580 0.42 2 1580 1445 0.56 3 1580 1445 1020 0.63 4 1580 1445 1020 1325 0.69 5 1580 1445 1020 1325 1745 0.74 6 1580 1445 1020 1325 1745 1025 0.79 7 1445 1020 1325 1745 1025 0.78 8 1020 1325 1745 1025 0.76 9 1020 1325 1745 1025 1100 0.81 10 1020 1325 1745 1025 1100 1650 0.85 11 1020 1325 1745 1025 1100 1650 965 0.87 Analisis SMLR pada metionin menghasilkan lima kombinasi panjang gelombang yang memberikan koefisien korelasi tertinggi pada model ke lima (Tabel 8). Kombinasi tersebut melibatkan panjang gelombang 1415 nm, 1325 nm, 1920 nm, 1645 nm dan 1405 nm. Absorbsi pada panjang gelombang 1415 dan 1325 nm berhubungan dengan ikatan O-H dan panjang gelombang 1920 nm dan 1405 nm berhubungan dengan ikatan C=O (Williams dan Norris, 1990). Osborne et al (1993) menyatakan bahwa absorbsi pada panjang gelombang 1645 nm berhubungan dengan ikatan C-H. Berdasarkan panjang-panjang gelombang terpilih terlihat bahwa ikatan kimia yang berhubungan dengannya merupakan komponen-komponen penyusun asam amino metionin, namun kuantifikasi hubungan tersebut perlu dilakukan melalui kalibrasi.

Tabel 8 Korelasi kandungan metionin dengan absorbsi near infrared pada tepung ikan hasil analisis SMLR Step Panjang gelombang (nm) Koefisien korelasi (r) 1 1415 0.46 2 1415 1325 0.62 3 1415 1325 1920 0.71 4 1415 1325 1920 1645 0.78 5 1415 1325 1920 1645 1405 0.81 Hasil Principal Component Analysis (PCA) Metode lain untuk untuk mengurangi jumlah variabel absorbsi near infrared untuk menghindari terjadinya overfitting pada kalibrasi adalah PCA. Prinsip kerja model ini adalah mengekstrak semua data ke dalam beberapa komponen utama, namun tidak membuang informasi yang berguna. Pada penelitian ini telah diekstrak data absorbsi near infrared dari 216 variabel menjadi 10 variabel. Kontribusi masing-masing variabel terhadap variasi data semakin menurun sesuai dengan urutan principal component (PC) atau komponen utama (Tabel 9). Tabel 9 memperlihatkan bahwa PC pertama memberikan pengaruh yang sangat besar yakni 78.58 % dari semua variasi, sedangkan komponen selanjutnya memberikan variasi yang semakin menurun hingga pada PC ke 10 hanya berkontribusi 0.02 % dari total variasi. Hampir semua variasi (99.88 %) telah direpresentasikan oleh 10 PC tersebut. Everitt dan Dunn (1991) menyatakan bahwa berapa jumlah PC yang dibutuhkan untuk dijadikan variabel penduga tidak dapat ditentukan secara mutlak, karena berbeda pada setiap kasus. Berdasarkan hal tersebut pada penelitian ini dilakukan percobaan penggunaan berbagai jumlah PC mulai dari 2 sampai 10 PC.

Tabel 9 Variasi komponen utama nilai absorbsi near infrared Jumlah PC Variasi (%) Variasi Kumulatif (%) 1 78.58 78.58 2 14.16 92.74 3 3.71 96.45 4 2.82 99.27 5 0.22 99.49 6 0.17 99.66 7 0.11 99.77 8 0.06 99.83 9 0.04 99.86 10 0.02 99.89 Hasil Pendugaan Kandungan Air Menggunakan JST Pendugaan Kandungan Air dengan Input Hasil Analisis SMLR Hasil kalibrasi menunjukkan bahwa penambahan jumlah input dan jumlah iterasi cenderung menurunkan standard error of calibration (SEC), sedangkan penambahan jumlah simpul pada lapisan tersembunyi tidak selalu menurunkan SEC (Tabel 10). Jumlah variabel 2, 3, 4, 5 dan 6 panjang gelombang menghasilkan rata-rata SEC berturut-turut 2.50%, 2.37%, 2.37%, 2.36% dan 2.36%. Kecendrungan penurunan SEC dengan penambahan jumlah variabel menyebabkan dimensi yang diperhitungkan semakin banyak sehingga angka yang diperoleh lebih mendekati nilai aktual. Penurunan SEC dengan peningkatan jumlah iterasi disebabkan terjadinya penyesuaian nilai pembobot yang didasarkan atas selisih antara nilai dugaan dengan nilai aktual pada setiap iterasi, dengan demikian terjadi perbaikan nilai dugaan pada iterasi selanjutnya sehingga semakin banyak iterasi maka error semakin rendah. Penambahan jumlah simpul pada lapisan tersembunyi model JST tidak menurunkan nilai SEC. Jumlah simpul yang optimal dipengaruhi oleh linieritas hubungan antara nilai input dan output JST. Semakin linier hubungan input dan output, maka jumlah simpul pada lapisan tersembunyi yang dibutuhkan semakin kecil (Horimoto et al, 1997; Patterson, 1996). Berdasarkan hal tersebut perbedaan SEC pada hasil pelatihan pada penelitian ini bukanlah disebabkan faktor linieritas, tetapi lebih disebabkan nilai random pada pembobot awal.

Tabel 10 Pengaruh variabel input, jumlah iterasi dan jumlah simpul pada lapisan tersembunyi JST terhadap SEC (%) kalibrasi air Variabel Jumlah Jumlah simpul pada lapisan tersembunyi JST rata-rata input iterasi (000) 3 simpul 5 simpul 7 simpul 9 simpul (%) Step 2: 40 2.50 2.51 2.51 2.50 2.50 1915 nm 45 2.50 2.50 2.50 2.50 2.50 1215 nm 50 2.50 2.50 2.50 2.49 2.50 55 2.50 2.50 2.50 2.49 2.50 60 2.50 2.49 2.49 2.49 2.49 65 2.49 2.49 2.49 2.49 2.49 rata-rata (%) 2.50 2.50 2.50 2.49 2.50 Step 3: 40 2.38 2.39 2.39 2.38 2.38 1915 nm 45 2.38 2.38 2.38 2.37 2.38 1215 nm 50 2.37 2.38 2.38 2.37 2.37 1285 nm 55 2.37 2.38 2.37 2.37 2.37 60 2.37 2.38 2.37 2.36 2.37 65 2.37 2.37 2.37 2.36 2.37 rata-rata (%) 2.37 2.38 2.38 2.37 2.37 Step 4: 40 2.47 2.44 2.44 2.44 2.45 1915 nm 45 2.41 2.40 2.41 2.41 2.41 1215 nm 50 2.37 2.38 2.39 2.38 2.38 1285 nm 55 2.34 2.35 2.36 2.35 2.35 1320 nm 60 2.32 2.33 2.34 2.32 2.33 65 2.30 2.31 2.31 2.28 2.30 rata-rata (%) 2.37 2.37 2.38 2.36 2.37 Step 5: 40 2.44 2.41 2.41 2.35 2.40 1915 nm 45 2.41 2.40 2.39 2.34 2.38 1215 nm 50 2.39 2.39 2.38 2.32 2.37 1285 nm 55 2.37 2.38 2.36 2.30 2.35 1320 nm 60 2.36 2.37 2.35 2.28 2.34 1340 nm 65 2.33 2.36 2.33 2.26 2.32 rata-rata (%) 2.38 2.38 2.37 2.31 2.36 Step 6: 40 2.43 2.43 2.49 2.43 2.44 1915 nm 45 2.40 2.40 2.43 2.40 2.41 1215 nm 50 2.38 2.37 2.37 2.37 2.37 1285 nm 55 2.35 2.35 2.35 2.33 2.34 1320 nm 60 2.33 2.32 2.27 2.30 2.31 1340 nm 65 2.31 2.30 2.21 2.27 2.27 1210 nm rata-rata (%) 2.37 2.36 2.35 2.35 2.36 Rendahnya nilai SEC pada pelatihan belum menjamin hasil pendugaan pada saat validasi, karena adanya overfitting. Hal ini terlihat pada hasil validasi (Gambar 13) dimana SEP terendah diperoleh dengan input 3 variabel absorbsi near infrared yakni pada panjang gelombang 1915 nm, 1215 nm dan 1285 nm menggunakan JST yang mempunyai 7 simpul pada lapisan tersembunyi. Penambahan jumlah input dapat menurunkan SEC pada saat pelatihan, tetapi

penerapannya untuk sampel validasi menyebabkan SEP meningkat, karena dengan jumlah sampel yang terbatas penggunaan input yang banyak dapat menyebabkan overfitting. Hasil pendugaan ini dilakukan menggunakan pembobot (Lampiran 1) yang diperoleh melalui pelatihan sebanyak 55 000 kali (Gambar 14). Pelatihan dengan iterasi yang lebih banyak menghasilkan pembobot yang hanya cocok untuk sampel yang digunakan untuk pelatihan, tetapi untuk pendugaan pada sampel validasi, pembobot tersebut menyebabkan terjadi deviasi yang lebih besar. 0.80 0.75 0.70 SEP (%) 0.65 0.60 0.55 0.50 3 5 7 9 Jumlah simpul pada lapisan tersembunyi 2 variabel 3 variabel 4 variabel 5 variabel 6 variabel Gambar 13 Pengaruh jumlah simpul pada lapisan tersembunyi JST terhadap SEP dengan berbagai jumlah input pada validasi kandungan air.

0.66 0.65 0.64 SEP (%) 0.63 0.62 0.61 0.60 40 45 50 55 60 65 Jumlah iterasi (000) Gambar 14 Pengaruh jumlah iterasi terhadap SEP pendugaan air dengan JST yang mempunyai 7 simpul pada lapisan tersembunyi dengan input 3 variabel. Hasil pendugaan menggunakan input 3 variabel dengan model JST yang mempunyai 7 simpul pada lapisan tersembunyi dengan pelatihan 55 000 iterasi dihubungkan dengan kandungan air aktual (Lampiran 2) secara grafik diilustrasikan pada Gambar 15. Hasil pendugaan mestinya berada pada garis y=x, namun karena adanya error sebagian titik berada di luar garis tersebut. SEP, CV dan rasio SD/SEP hasil pendugaan ini berturut-turut sebesar 0.62%, 4.92% dan 6.73. Hasil ini jauh lebih baik dibandingkan dengan pendugaan menggunakan multiple linear regression (MLR) yang menghasilkan SEP, CV dan rasio SD/SEP berturut-turut sebesar 0.97%, 8.08% dan 4.32 (Lampiran 21), namun bila dibandingkan dengan hasil yang diperoleh Fontaine et al (2001) SEP dan CV tersebut masih tinggi. Fontaine et al (2001) dalam menentukan kandungan bahan kering tepung ikan menggunakan MPLS mampu menduga dengan SEP dan CV berturut-turut sebesar 0.63% dan 0.68%. Rendahnya SEP dan CV yang diperoleh Fontaine et al (2001) tersebut ditunjang oleh jumlah sampel untuk kalibrasi yang banyak (204 sampel) dengan kisaran data yang lebih sempit (87.70%-97.00%), serta SD yang rendah (1.82%). Sebaliknya tingginya SEP pada penelitian ini disebabkan oleh sedikitnya jumlah sampel yang digunakan untuk kalibrasi (35

sampel), sedangkan variasi data sangat lebar (7.25%-21.56%) dengan SD yang besar (3.89%). Efektifitas model pendugaan tidak dapat ditentukan oleh SEP dan CV saja, karena sangat bergantung kepada variasi data dan jumlah sampel yang digunakan. Pendugaan JST (%) 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 SEP = 0.62% CV = 4.92% SD/SEP = 6.73 y = x 0.00 0 5 10 15 20 25 Kandungan Air Aktual (%) Gambar 15 Hubungan kandungan air aktual dengan hasil pendugaan menggunakan JST yang mempunyai 7 simpul lapisan tersembunyi, input 3 variabel dan iterasi 55 000 Rasio antara variasi data yang disebabkan oleh perbedaan sampel yang ditunjukkan oleh SD dengan variasi yang disebabkan oleh error pada pendugaan yang dipresentasikan dengan SEP merupakan parameter yang dapat digunakan untuk menilai sejauh mana kemampuan model untuk memprediksi. Fontaine et al (2001) menyatakan bahwa model pendugaan yang layak diterapkan adalah yang menghasilkan rasio SD/SEP lebih dari 3. Rasio SD/SEP pada penelitian ini mencapai 6.73, sedangkan hasil yang diperoleh Fontaine et al (2001) hanya 2.68. Berdasarkan hasil tersebut terlihat bahwa model JST ini dapat diterapkan untuk pendugaan kandungan air. Hasil pendugaan ini akan lebih baik lagi, jika jumlah unit sampel ditingkatkan. Pendugaan Kandungan Air dengan Input Hasil PCA Hasil kalibrasi JST untuk pendugaan kandungan air menunjukkan penurunan SEC dengan semakin bertambahnya komponen utama (PC) sebagai input JST. Pada Tabel 11 diperlihatkan bahwa dengan input 2 PC, 4 PC, 6 PC, 8

PC dan 10 PC diperoleh rata-rata SEC berturut-turut sebesar 2.84%, 2.52%, 2.42%, 2.26% dan 1.94%. Dengan semakin banyaknya jumlah PC, maka jumlah variasi absorbsi near infrared yang terwakili semakin banyak sehingga pola hasil perhitungan semakin mendekati nilai aktual. Tabel 11 Pengaruh jumlah PC, jumlah iterasi dan jumlah simpul pada lapisan tersembunyi JST terhadap SEC (%) kalibrasi air Jumlah Jumlah Jumlah simpul lapisan tersembunyi JST PC iterasi (000) 3 simpul 5 simpul 7 simpul 9 simpul rata-rata 2 10 2.86 3.06 3.08 2.92 2.98 15 2.83 2.93 2.95 2.84 2.89 20 2.81 2.85 2.88 2.80 2.83 25 2.78 2.80 2.83 2.78 2.80 30 2.76 2.77 2.80 2.77 2.78 35 2.74 2.75 2.78 2.76 2.76 rata-rata 2.80 2.86 2.89 2.81 2.84 4 10 2.58 2.53 2.56 2.53 2.55 15 2.55 2.52 2.54 2.52 2.53 20 2.54 2.51 2.53 2.51 2.52 25 2.53 2.50 2.52 2.49 2.51 30 2.52 2.49 2.51 2.47 2.50 35 2.52 2.48 2.50 2.45 2.49 rata-rata 2.54 2.50 2.53 2.50 2.52 6 10 2.66 2.39 2.40 2.44 2.47 15 2.57 2.39 2.39 2.42 2.44 20 2.53 2.38 2.38 2.40 2.42 25 2.50 2.37 2.36 2.38 2.40 30 2.48 2.36 2.35 2.36 2.39 35 2.46 2.35 2.34 2.33 2.37 rata-rata 2.53 2.37 2.37 2.39 2.42 8 10 2.35 2.32 2.26 2.30 2.31 15 2.30 2.31 2.25 2.27 2.28 20 2.28 2.31 2.24 2.23 2.27 25 2.26 2.31 2.24 2.20 2.25 30 2.25 2.30 2.23 2.17 2.24 35 2.24 2.30 2.22 2.14 2.23 rata-rata 2.28 2.31 2.24 2.22 2.26 10 10 2.06 2.04 2.00 1.96 2.01 15 2.02 2.02 1.96 1.91 1.98 20 1.98 2.01 1.93 1.88 1.95 25 1.94 2.00 1.90 1.85 1.92 30 1.90 1.96 1.88 1.83 1.89 35 1.86 1.92 1.85 1.81 1.86 rata-rata 1.96 1.99 1.92 1.87 1.94 Sama halnya dengan kalibrasi sebelumnya, pada tabel juga terlihat kecendrungan penurunan SEC dengan semakin banyaknya jumlah iterasi. Pada

setiap iterasi terjadi penyesuaian nilai pembobot yang didasarkan atas selisih antara nilai pendugaan dengan nilai aktual, sehingga laju penurunan dari jumlah iterasi 10 000 ke jumlah iterasi 15 000 lebih besar dari pada penambahan iterasi selanjutnya. Pada hasil ini tidak terlihat adanya pola penurunan atau kenaikan SEC dengan peningkatan jumlah lapisan tersembunyi. Perbedaan nilai rata-rata SEC pada setiap JST diduga disebabkan oleh nilai random pada pembobot awal bukan disebabkan pengaruh linieritas hubungan antara PC dengan kandungan air. Pembobot yang diperoleh pada saat pelatihan digunakan untuk melakukan pendugaan pada saat validasi. Hasil validasi menunjukkan penambahan jumlah variabel input hanya mampu menurunkan SEP sampai 4 PC, selanjutnya SEP meningkat (Gambar 16). Hasil terbaik diperoleh dengan variabel input 4 PC dengan JST yang mempunyai 3 simpul pada lapisan tersembunyi. Hasil tersebut diperoleh dengan pendugaan menggunakan pembobot (Lampiran 3) yang dihasilkan melalui pelatihan dengan iterasi 30 000 kali (Gambar 17). Pelatihan dengan iterasi yang lebih banyak menyebabkan meningkatnya SEP, hal ini menandakan terjadinya overtraining. 2.50 2.00 SEP (%) 1.50 1.00 0.50 0.00 3 simpul 5 simpul 7 simpul 9 simpul Jumlah simpul pada lapisan tersembunyi 2 PC 4 PC 6 PC 8 PC 10 PC Gambar 16 Pengaruh jumlah simpul pada lapisan tersembunyi JST terhadap SEP dengan berbagai jumlah PC pada validasi kandungan air.

0.95 0.90 0.85 SEP (%) 0.80 0.75 0.70 0.65 0.60 10 15 20 25 30 35 Jumlah iterasi (000) Gambar 17 Pengaruh jumlah iterasi terhadap SEP pendugaan air menggunakan JST dengan 3 simpul pada lapisan tersembunyi dan input 4 PC. Pendugaan terbaik menghasilkan SEP, CV dan rasio SD/SEP berturutturut 0.72 %, 5.71% dan 5.80 (Lampiran 4). Plot hubungan antara kandungan air aktual dengan hasil pendugaan disajikan pada Gambar 18. Pada gambar terlihat bahwa umumnya hasil pendugaan hampir sama dengan nilai aktual, kecuali satu sampel. Hasil pendugaan JST tersebut jauh lebih baik jika dibandingkan dengan menggunakan principal components regression (PCR) dengan input data yang sama. Pendugaan dengan PCR menghasilkan SEP, CV dan rasio SD/SEP berturutturut sebesar 1.28%, 10.16% dan 3.26 (Lampiran 21). Hasil pendugaan JST berdasarkan komponen utama sudah layak diterapkan, tetapi masih kurang akurat jika dibandingkan dengan hasil yang diperoleh bila input berasal dari hasil analisis SMLR. Tingginya error dengan menggunakan input PC menunjukkan bahwa kandungan air lebih tepat diduga dengan absorbsi near infrared pada panjang gelombang tertentu saja yakni 1915 nm, 1215 nm dan 1285 nm dibandingkan dengan merepresentasikan semua panjang gelombang ke dalam 4 komponen utama.

Pendugaan JST (%) 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 SEP = 0.72% CV = 5.71% SD/SEP = 5.80 y = x 0.00 0 5 10 15 20 25 Kandungan Air aktual (%) Gambar 18 Hubungan kandungan air aktual dengan hasil pendugaan menggunakan JST yang mempunyai 3 simpul lapisan tersembunyi, input 4 PC dan iterasi 30 000. Hasil Pendugaan Kandungan Lemak menggunakan JST Pendugaan Kandungan Lemak dengan Input Hasil SMLR Hasil kalibrasi kandungan lemak dengan input hasil SMLR melalui pelatihan JST disajikan pada Tabel 12. Penambahan variabel input dengan panjang gelombang 1735 nm dari awalnya hanya menggunakan 2 panjang gelombang yakni 915 nm dan 1470 nm dengan iterasi sampai 17 000 terlihat menurunkan rata-rata SEC, tetapi penambahan dengan panjang gelombang 1700 nm justru sedikit meningkatkan rata-rata SEC. Peningkatan jumlah iterasi cenderung menurunkan SEC, tetapi dengan input hanya 2 variabel, pada iterasi ke 15 000 dan selanjutnya SEC relatif tidak menurun lagi. Pelatihan dengan variabel input yang lebih banyak, dengan iterasi sampai 17 000 masih dapat menurunkan SEC. Hal ini menunjukkan bahwa dengan jaringan yang mempunyai simpul yang lebih banyak mempunyai peluang yang lebih besar untuk dilatih lebih intensif, sehingga mampu menghitung dengan hasil yang lebih mendekati nilai aktual.

Tabel 12 Pengaruh variabel input, jumlah iterasi dan jumlah simpul pada lapisan tersembunyi JST terhadap SEC (%) kalibrasi lemak Variabel Jumlah Jumlah simpul pada lapisan tersembunyi JST rata-rata input iterasi (000) 3 simpul 5 simpul 7 simpul 9 simpul step 2 10 2.18 2.07 2.07 2.15 2.12 915 nm 11 2.16 2.04 2.04 2.12 2.09 1470 nm 12 2.13 2.02 2.01 2.09 2.06 13 2.10 2.00 2.00 2.05 2.04 14 2.07 2.00 2.00 2.02 2.02 15 2.04 1.99 1.99 2.00 2.00 16 2.03 1.99 1.99 1.99 2.00 17 2.03 1.99 1.98 1.99 2.00 rata-rata 2.09 2.01 2.01 2.05 2.04 step 3 10 1.90 1.82 1.87 1.86 1.86 915 nm 11 1.89 1.79 1.86 1.84 1.85 1470 nm 12 1.89 1.75 1.83 1.81 1.82 1735 nm 13 1.87 1.70 1.80 1.78 1.79 14 1.87 1.67 1.77 1.74 1.76 15 1.86 1.65 1.73 1.70 1.74 16 1.86 1.64 1.70 1.67 1.72 17 1.86 1.63 1.67 1.64 1.70 rata-rata 1.87 1.71 1.78 1.76 1.78 step 4 10 2.01 2.01 1.93 1.89 1.96 915 nm 11 1.94 1.95 1.88 1.85 1.91 1470 nm 12 1.90 1.90 1.84 1.81 1.86 1735 nm 13 1.87 1.86 1.81 1.78 1.83 1700 nm 14 1.83 1.81 1.77 1.75 1.79 15 1.80 1.77 1.74 1.72 1.76 16 1.77 1.74 1.71 1.70 1.73 17 1.74 1.71 1.69 1.68 1.71 rata-rata 1.86 1.84 1.80 1.77 1.82 Hasil pendugaan menggunakan pembobot yang diperoleh pada saat pelatihan menunjukkan bahwa jumlah variabel yang optimal untuk pendugaan kandungan lemak adalah absorbsi near infrared pada 3 panjang gelombang yakni 915 nm, 1470 nm, 1735 nm. Model JST yang digunakan adalah yang mempunyai 7 simpul pada lapisan tersembunyi (Gambar 19). Hasil terbaik tersebut diperoleh dengan pendugaan menggunakan pembobot (Lampiran 5) yang diperoleh pada pelatihan dengan iterasi 16 000 kali (Gambar 20).

SEP (%) 1.25 1.20 1.15 1.10 1.05 1.00 0.95 0.90 0.85 0.80 0.75 3 simpul 5 simpul 7 simpul 9 simpul Jumlah simpul pada lapisan tersembunyi 2 variabel 3 variabel 4 variabel Gambar 19 Pengaruh jumlah simpul pada lapisan tersembunyi JST terhadap SEP dengan berbagai jumlah variabel input untuk pendugaan lemak. 1.10 1.05 1.00 SEP (%) 0.95 0.90 0.85 0.80 0.75 10 11 12 13 14 15 16 17 Jumlah iterasi (000) Gambar 20 Pengaruh jumlah iterasi terhadap SEP pendugaan lemak menggunakan JST dengan 7 simpul pada lapisan tersembunyi dengan input 3 variabel. Validasi memberikan hasil pendugaan terbaik dengan SEP sebesar 0.81% dan CV sebesar 15.21% (Lampiran 6). Plot hubungan antara kandungan lemak aktual dengan hasil pendugaan disajikan pada Gambar 21. Pada gambar terlihat ada 3 hasil pendugaan yang nilainya agak jauh dari kandungan lemak aktual.

Hasil ini lebih baik dibandingkan pendugaan menggunakan MLR yang menghasilkan SEP lebih besar yakni 1.35% dan CV sebesar 25.39% (Lampiran 21), namun demikian model JST ini belum dapat diterapkan karena rasio SD/SEP masih rendah (2.90) yakni di bawah 3.00 sesuai dengan yang disyaratkan Fontaine et al (2001). Xiccato et al (2002) dapat memprediksi kandungan lemak makanan kelinci dengan hasil yang lebih baik yakni SEP sebesar 0.24%, CV sebesar 12.35% dan rasio SD/SEP sebesar 3.33. Masih tingginya error pada penelitian ini disebabkan jumlah sampel yang sedikit dimana untuk kalibrasi hanya 35 sampel dan untuk validasi hanya 15 sampel, sedangkan Xiccato et al (2002) menggunakan 111 sampel untuk kalibrasi dan 55 sampel untuk validasi. Berdasarkan hasil tersebut, untuk meningkatkan akurasi sebaiknya jumlah unit sampel ditingkatkan. Pendugaan JST (%) 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 SEP = 0.81% CV = 15.21% SD/SEP = 2.90 y = x 0.00 0 2 4 6 8 10 Kandungan Lemak aktual (%) Gambar 21 Hubungan kandungan lemak aktual dengan hasil pendugaan dengan JST dengan 7 simpul pada lapisan tersembunyi, input 3 variabel dan iterasi 16 000. Pendugaan Kandungan Lemak dengan Input Hasil PCA Pelatihan JST dengan menggunakan input data berupa komponen utama yang terdiri dari 2 PC, 4 PC, 6 PC dan 10 PC disajikan pada Tabel 13. Pada tabel terlihat bahwa penambahan input sampai 6 PC dapat menurunkan rata-rata SEC, tetapi penambahan input selanjutnya dengan iterasi sampai 10 000 tidak dapat menurunkan SEC. Peningkatan jumlah iterasi pada setiap pelatihan JST cenderung menurunkan SEC. Peningkatan jumlah iterasi dapat menyebabkan nilai

pembobot semakin cocok untuk menghitung nilai kandungan lemak pada sampel pelatihan, sehingga hasil perhitungan lebih mendekati nilai aktual. Peningkatan jumlah simpul pada lapisan tersembunyi JST tidak menurunkan nilai rata-rata SEC. Perbedaan nilai rata-rata SEC pada setiap JST diduga disebabkan oleh nilai random pada pembobot awal. Tabel 13 Pengaruh jumlah PC, jumlah iterasi dan jumlah simpul pada lapisan tersembunyi JST terhadap SEC (%) kalibrasi lemak Jumlah Jumlah Jumlah simpul pada lapisan tersembunyi JST PC iterasi (000) 5 7 9 11 rata-rata 2 5 2.69 2.72 2.73 2.67 2.70 6 2.67 2.69 2.70 2.65 2.68 7 2.65 2.66 2.67 2.63 2.65 8 2.63 2.64 2.64 2.61 2.63 9 2.61 2.62 2.62 2.60 2.61 10 2.60 2.61 2.61 2.60 2.60 rata-rata 2.64 2.65 2.66 2.63 2.65 4 5 2.35 2.30 2.36 2.27 2.32 6 2.23 2.21 2.23 2.16 2.21 7 2.16 2.16 2.16 2.11 2.14 8 2.12 2.13 2.12 2.08 2.11 9 2.10 2.12 2.10 2.07 2.10 10 2.09 2.11 2.09 2.06 2.09 rata-rata 2.18 2.17 2.18 2.13 2.16 6 5 2.02 1.75 2.03 2.43 2.06 6 1.77 1.62 1.78 2.21 1.85 7 1.64 1.55 1.64 1.95 1.70 8 1.58 1.51 1.56 1.75 1.60 9 1.54 1.49 1.49 1.62 1.54 10 1.52 1.48 1.48 1.55 1.51 rata-rata 1.68 1.57 1.66 1.92 1.71 8 5 2.54 2.30 2.67 2.56 2.52 6 2.35 2.03 2.52 2.37 2.32 7 2.10 1.83 2.21 2.10 2.06 8 1.88 1.69 1.94 1.85 1.84 9 1.74 1.61 1.76 1.70 1.70 10 1.74 1.56 1.64 1.61 1.64 rata-rata 2.06 1.84 2.12 2.03 2.01 10 5 2.50 2.40 2.66 2.37 2.48 6 2.26 2.21 2.48 2.11 2.26 7 2.03 2.02 2.11 1.91 2.02 8 1.88 1.87 1.85 1.77 1.84 9 1.78 1.77 1.70 1.69 1.73 10 1.72 1.71 1.61 1.64 1.67 rata-rata 2.03 1.99 2.07 1.92 2.00

Pembobot yang diperoleh pada saat pelatihan digunakan untuk melakukan pendugaan pada sampel validasi. Hasil terbaik diperoleh dengan variabel input 10 PC dengan JST yang mempunyai 9 simpul pada lapisan tersembunyi (Gambar 22). Hasil tersebut diperoleh dengan pendugaan menggunakan pembobot (Lampiran 7) yang dihasilkan melalui pelatihan dengan iterasi 8 000 kali (Gambar 23). Pelatihan dengan iterasi yang lebih banyak menyebabkan meningkatnya SEP karena terjadinya overtraining. 2.50 2.00 SEP (%) 1.50 1.00 0.50 0.00 5 simpul 7 simpul 9 simpul 11 simpul Jumlah simpul 2 PC 4 PC 6 PC 8 PC 10 PC Gambar 22 Pengaruh jumlah simpul pada lapisan tersembunyi JST terhadap SEP pendugaan kandungan lemak dengan input berbagai jumlah PC 2.50 2.00 SEP (%) 1.50 1.00 0.50 0.00 5 6 7 8 9 10 Jumlah iterasi (000) Gambar 23 Pengaruh jumlah iterasi terhadap SEP pendugaan lemak menggunakan JST dengan 9 simpul pada lapisan tersembunyi dengan input 10 PC.

Hasil pendugaan terbaik menghasilkan SEP, CV dan rasio SD/SEP berturut-turut 0.90%, 16.90% dan 2.61 (Lampiran 8 dan Gambar 24). Hasil ini lebih buruk dibandingkan dengan pendugaan sebelumnya yakni menggunakan input hasil analisis SMLR. Tingginya error dengan menggunakan input PC menunujukkan bahwa pengurangan jumlah variabel dengan cara mengekstraksi semua data absorbsi tidak cocok dijadikan dasar untuk menduga kadar lemak, karena absorbsi near infrared yang dominan mempengaruhi kandungan lemak hanya terjadi pada tiga panjang gelombang saja. Hasil pendugaan dengan input komponen utama ini lebih buruk lagi jika dilakukan dengan metode PCR. Pendugaan dengan PCR menghasilkan SEP, CV dan rasio SD/SEP berturut-turut sebesar 1.31%, 24.54% dan 1.80 (Lampiran 21). Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara PC dan kandungan lemak bersifat tidak linier. Berdasarkan hasil ini disimpulkan bahwa pendugaan kandungan lemak dengan JST lebih baik dibandingkan dengan dengan regresi linier, tetapi input data sebaiknya menggunakan panjang gelombang 915 nm, 1470 nm daqn 1735 nm. Pendugaan JST (%) 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 SEP = 0.90% CV = 16.90% SD/SEP = 2.61 y = x 0.00 0 2 4 6 8 10 Kandungan Lemak aktual (%) Gambar 24 Hubungan kandungan lemak aktual dan hasil pendugaan menggunakan JST dengan 9 simpul pada lapisan tersembunyi, input 10 PC dan iterasi 8 000.

Hasil Pendugaan Kandungan Protein Menggunakan JST Pendugaan Kandungan Protein dengan Input Hasil SMLR Hasil pelatihan JST dengan berbagai jumlah simpul, variabel input dan iterasi disajikan pada Tabel 14. Peningkatan jumlah variabel input cenderung menurunkan SEC, kecuali penambahan dari 4 variabel menjadi 5 variabel pada step ke 7 dimana nilai SEC tidak mengalami penurunan. Peningkatan jumlah simpul pada lapisan tersembunyi JST tidak menurunkan SEC. Perbedaan nilai rata-rata SEC diduga disebabkan nilai random pada pembobot awal. Pendugaan menggunakan nilai pembobot yang diperoleh pada saat pelatihan JST, menghasilkan SEP yang terendah dengan input hasil SMLR step ke 7 (Gambar 25). Hasil tersebut menunjukkan bahwa input JST yang terbaik untuk menduga kandungan protein adalah absorbsi near infrared pada panjang gelombang 1725 nm, 1785 nm, 1915 nm, 1530 nm dan 1495 nm. Penambahan input dengan absorbsi pada panjang gelombang 1920 nm dapat menurunkan error pada saat kalibrasi, namun sebaliknya pada saat validasi terjadi peningkatan error. Hal ini disebabkan terjadinya overfitting dengan semakin banyaknya jumlah variabel input, dimana input tersebut hanya cocok untuk sampel kalibrasi, tetapi tidak sesuai lagi untuk sampel validasi. Model JST untuk menduga kandungan protein dengan input absorbsi near infrared pada 5 panjang gelombang tersebut memberikan SEP yang paling rendah pada model JST yang mempunyai 5 simpul pada lapisan tersembunyi. Pembobot-pembobot yang diperoleh pada pelatihan model JST yang mempunyai 5 simpul pada lapisan tersembunyi dengan berbagai jumlah iterasi (Lampiran 9) menghasilkan pendugaan dengan SEP seperti yang disajikan pada Gambar 26. SEP menurun sampai iterasi 35 000 kali, selanjutnya SEP meningkat dengan penambahan jumlah iterasi. Peningkatan SEP pada iterasi yang lebih besar disebabkan terjadinya overtraining.

Tabel 14 Pengaruh variabel input, jumlah iterasi dan jumlah simpul pada lapisan tersembunyi JST terhadap SEC (%) kalibrasi protein Variabel Jumlah Jumlah simpul lapisan tersembunyi JST input iterasi (000) 3 5 7 9 rata-rata Step 2 15 7.21 7.02 6.99 6.94 7.04 Absorbsi 20 7.13 6.98 6.96 6.91 7.00 pada : 25 7.07 6.96 6.94 6.88 6.96 1725 nm 30 7.02 6.93 6.93 6.87 6.94 1785 nm 35 6.99 6.92 6.92 6.85 6.92 40 6.96 6.91 6.91 6.84 6.90 45 6.94 6.90 6.90 6.83 6.89 50 6.92 6.89 6.89 6.82 6.88 rata-rata 7.03 6.94 6.93 6.87 6.94 Step 3 15 6.47 6.49 6.58 6.51 6.51 Absorbsi 20 6.40 6.39 6.48 6.41 6.42 pada : 25 6.34 6.31 6.40 6.34 6.35 1725 nm 30 6.29 6.24 6.34 6.28 6.29 1785 nm 35 6.26 6.18 6.28 6.22 6.24 1915 nm 40 6.23 6.10 6.24 6.18 6.19 45 6.20 6.07 6.20 6.15 6.16 50 6.18 6.02 6.18 6.12 6.13 rata-rata 6.30 6.22 6.34 6.28 6.28 Step 4 15 5.44 6.05 6.45 6.38 6.08 Absorbsi 20 5.43 5.94 6.32 6.23 5.98 pada : 25 5.42 5.85 6.21 6.10 5.90 1725 nm 30 5.40 5.77 6.11 6.00 5.82 1785 nm 35 5.39 5.71 6.04 5.90 5.76 1915 nm 40 5.38 5.66 5.97 5.83 5.71 1130 nm 45 5.37 5.61 5.92 5.77 5.67 50 5.37 5.58 5.85 5.72 5.63 rata-rata 5.40 5.77 6.11 5.99 5.82 Step 5 15 5.53 6.51 5.72 5.68 5.86 Absorbsi 20 5.51 6.33 5.60 5.48 5.73 pada : 25 5.49 6.15 5.51 5.41 5.64 1725 nm 30 5.47 5.99 5.43 5.35 5.56 1785 nm 35 5.44 5.85 5.37 5.29 5.49 1915 nm 40 5.42 5.73 5.31 5.25 5.43 1130 nm 45 5.40 5.63 5.27 5.21 5.38 1530 nm 50 5.38 5.55 5.23 5.18 5.34 rata-rata 5.46 5.97 5.43 5.36 5.55

Tabel 14 Pengaruh variabel input, jumlah iterasi dan jumlah simpul pada lapisan tersembunyi JST terhadap SEC (%) kalibrasi protein (lanjutan) Variabel Jumlah Jumlah simpul lapisan tersembunyi JST input iterasi (000) 3 5 7 9 rata-rata Step 6 15 8.12 8.29 5.33 4.74 6.62 Absorbsi 20 6.37 7.48 5.27 4.69 5.95 pada : 25 5.90 6.42 5.22 4.64 5.55 1725 nm 30 5.72 5.75 5.17 4.60 5.31 1785 nm 35 5.60 5.43 5.12 4.55 5.17 1915 nm 40 5.39 5.23 5.07 4.51 5.05 1530 nm 45 5.30 5.09 5.03 4.46 4.97 50 5.22 5.00 5.00 4.43 4.91 rata-rata 5.95 6.08 5.15 4.58 5.44 Step 7 15 8.10 7.68 7.93 7.60 7.82 Absorbsi 20 7.37 6.73 6.97 6.45 6.88 pada : 25 6.48 5.67 5.73 5.52 5.85 1725 nm 30 5.81 5.00 5.01 5.01 5.20 1785 nm 35 5.51 4.62 4.70 4.65 4.87 1915 nm 40 5.33 4.40 4.56 4.44 4.68 1530 nm 45 5.15 4.27 4.53 4.33 4.57 1495 nm 50 5.00 4.18 4.50 4.26 4.48 rata-rata 6.09 5.32 5.49 5.28 5.55 Step 8 15 8.41 8.35 7.44 7.60 7.95 Absorbsi 20 7.69 7.53 6.17 6.29 6.92 pada : 25 6.47 6.20 5.26 5.13 5.77 1725 nm 30 5.54 5.13 4.70 4.52 4.97 1785 nm 35 5.16 4.60 4.32 4.24 4.58 1915 nm 40 4.96 4.31 4.09 4.12 4.37 1530 nm 45 4.79 4.13 3.96 4.05 4.23 1495 nm 50 4.62 4.02 3.86 4.00 4.13 1920 nm rata-rata 5.95 5.53 4.98 4.99 5.36 Pendugaan terbaik yakni dengan model JST yang mempunyai 5 simpul lapisan tersembunyi dengan input absorbsi near infrared pada panjang gelombang 1725 nm, 1785 nm, 1915 nm, 1530 nm dan 1495 nm, serta pembobot yang diperoleh dengan pelatihan 35 000 iterasi memberikan hasil dugaan seperti yang disajikan pada Lampiran 10 dan secara grafik disajikan pada Gambar 27. Pada gambar terlihat bahwa SEP sebesar 2.99% dengan CV sebesar 6.42% dan rasio SD/SEP sebesar 3.34. Berdasarkan rasio SD/SEP yang dihasilkan, model JST ini layak diterapkan karena nilainya di atas 3.00 sesuai dengan persyaratan yang disampaikan Fontaine et al (2001). Hasil pendugaan JST ini lebih baik dibandingkan dengan yang diperoleh Fontaine et al (2001) yang hanya memperoleh rasio SD/SEP sebesar 2.86 dalam mempredikasi kandungan protein

tepung ikan. Xiccato et al (2002) memprediksi kandungan protein pakan kelinci dengan rasio SD/SEP yang lebih rendah lagi yakni 2.68. 6.00 5.50 5.00 SEP (%) 4.50 4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 3 simpul 5 simpul 7 simpul 9 simpul Jumlah simpul pada lapisan tersembunyi step 2 step 3 step 4 step 5 step 6 step 7 step 8 Gambar 25 Pengaruh jumlah simpul pada lapisan tersembunyi JST terhadap SEP pendugaan protein dengan berbagai variabel input SEP (%) 6.00 5.50 5.00 4.50 4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 15 20 25 30 35 40 45 50 Jumlah iterasi (000) Gambar 26 Pengaruh jumlah iterasi terhadap SEP pendugaan protein menggunakan JST dengan 5 simpul pada lapisan tersembunyi dan input hasil SMLR pada step ke 7.

Hasil pendugaan dengan metoda MLR dengan input data yang sama menghasilkan error yang lebih besar yakni SEP sebesar 3.70% dan CV sebesar 7.95% (Lampiran 21). Ditinjau dari rasio SD/SEP pendugaan dengan MLR tidak layak diterapkan karena nilainya di bawah 3.00 yakni 2.7. Berdasarkan hasil tersebut terbukti bahwa penggunaan model JST dapat diterapkan untuk pendugaan kandungan protein dengan ketelitian yang lebih baik dibandingkan dengan MLR. Pendugaan JST (%) 70 60 50 40 30 20 10 0 SEP = 2.99% CV = 6.42% SD/SEP = 3.34 0 10 20 30 40 50 60 70 Kandungan Protein Aktual (%) Gambar 27 Hubungan kandungan protein aktual dan hasil pendugaan menggunakan JST dengan 5 simpul pada lapisan tersembunyi, input step ke 7 dan iterasi 35 000. Pendugaan Kandungan Protein dengan Input Hasil PCA Kalibrasi antara nilai-nilai komponen utama dengan kandungan protein dilakukan dengan pelatihan model JST. Model-model JST yang diuji adalah yang mempunyai 3, 5, 7 dan 9 simpul pada lapisan tersembunyi. Input data yang disimulasi adalah 2 PC, 4 PC, 6 PC, 8 PC dan 10 PC. Pelatihan dilakukan dengan iterasi sampai 35 000 kali, nilai pembobot dan hasil perhitungan disimpan pada iterasi 10 000 sampai 35 000 dengan interval 5 000. Hasil pelatihan memperlihatkan kecenderungan penurunan SEC dengan bertambahnya jumlah input dan jumlah iterasi, sedangkan perubahan jumlah simpul pada lapisan tersembunyi bersifat acak (Tabel 15). Penurunan SEC akibat bertambahnya input disebabkan banyaknya dimensi pembentuk pola hubungan antara input dan output JST, sehingga hasil perhitungan hanya sesuai untuk sampel kalibrasi. Pola ini akan semakin spesifik lagi jika pelatihan dilakukan

dengan iterasi yang banyak sekali, karena setiap kali iterasi terjadi penyesuaian nilai pembobot. Nilai pembobot yang baru ini akan menghasilkan pendugaan dengan error yang semakin rendah, demikianlah terjadi terus menerus sehingga kalau iterasi tidak dibatasi maka nilai pembobot akan sangat spesifik dan hanya sesuai untuk sampel kalibrasi saja. Tabel 15 Pengaruh jumlah PC, jumlah iterasi dan jumlah simpul pada lapisan tersembunyi JST terhadap SEC (%) kalibrasi protein Jumlah Jumlah Jumlah simpul pada lapisan tersembunyi JST PC iterasi (000) 3 5 7 9 rata-rata 2 PC 10 10.18 10.16 10.16 10.16 10.16 15 10.16 10.15 10.15 10.15 10.15 20 10.15 10.14 10.14 10.15 10.14 25 10.15 10.13 10.14 10.15 10.14 30 10.15 10.12 10.14 10.15 10.14 35 10.14 10.12 10.14 10.15 10.14 rata-rata 10.16 10.14 10.14 10.15 10.15 4 PC 10 8.46 8.44 8.56 8.47 8.48 15 8.44 8.42 8.54 8.46 8.46 20 8.35 8.40 8.52 8.45 8.43 25 8.17 8.35 8.41 8.34 8.32 30 8.06 8.26 8.35 8.24 8.23 35 7.99 8.16 8.29 8.14 8.14 rata-rata 8.24 8.34 8.45 8.35 8.34 6 PC 10 7.72 7.75 7.91 7.73 7.78 15 6.43 7.56 7.47 7.28 7.19 20 6.15 6.45 6.15 6.53 6.32 25 5.96 5.80 5.94 5.89 5.90 30 5.80 5.36 5.80 5.81 5.69 35 5.53 5.34 5.69 5.75 5.58 rata-rata 6.27 6.38 6.49 6.50 6.41 8 PC 10 7.24 7.59 7.77 7.87 7.62 15 7.04 7.08 6.89 6.98 6.99 20 6.92 6.98 6.32 6.77 6.75 25 6.57 6.49 5.54 5.93 6.13 30 5.76 5.80 4.98 5.36 5.47 35 5.27 5.42 4.66 5.04 5.10 rata-rata 6.47 6.56 6.03 6.33 6.35 10 PC 10 4.98 6.19 4.19 6.16 5.38 15 4.70 5.66 3.92 5.56 4.96 20 4.37 5.21 3.65 5.28 4.63 25 4.07 4.98 3.40 5.09 4.38 30 3.81 4.88 3.16 4.95 4.20 35 3.58 4.83 2.95 4.84 4.05 rata-rata 4.25 5.29 3.55 5.31 4.60

Hasil validasi menunjukkan bahwa SEP terkecil diperoleh dengan input 8 PC (Gambar 28). Pada gambar terlihat bahwa input 2 PC, 4 PC dan 6 PC belum memberikan hasil pendugaan yang optimal, yang terlihat dari SEP yang masih tinggi dibandingkan input 8 PC. Penggunaan input 10 PC telah menyebabkan overfitting. Hal ini disebabkan dimensi penduga lebih spesifik untuk sampel kalibrasi saja, sehingga bila digunakan untuk sampel lain terjadi penyimpangan. Pada gambar juga terlihat bahwa model terbaik adalah JST yang mempunyai 7 simpul pada lapisan tersembunyi. SEP (%) 10.00 9.00 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 3 simpul 5 simpul 7 simpul 9 simpul Jumlah simpul 2 PC 4 PC 6 PC 8 PC 10 PC Gambar 28 Pengaruh jumlah simpul pada lapisan tersembunyi JST terhadap SEP pendugaan protein pada berbagai jumlah PC sebagai input. Pengaruh jumlah iterasi pada saat pelatihan, terlihat pada Gambar 24 dimana terjadi penurunan SEP sampai iterasi 25 000, selanjutnya terjadi peningkatan. Penurunan SEP sampai iterasi 25 000 terjadi karena sampai jumlah iterasi tersebut terjadi penyesuaian pembobot (Lampiran 11) sehingga cocok untuk sampel kalibrasi dan validasi. Pelatihan dengan iterasi yang lebih banyak menghasilkan pembobot yang sesuai untuk sampel kalibrasi, tetapi tidak sesuai untuk sampel validasi. Berdasarkan hasil tersebut terlihat bahwa hasil pendugaan terbaik diperoleh dengan iterasi 25 000 kali.

SEP (%) 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 10 15 20 25 30 35 Jumlah iterasi (000) Gambar 29 Pengaruh jumlah iterasi terhadap SEP pendugaan protein menggunakan JST dengan 7 simpul pada lapisan tersembunyi dengan input 8 PC. Hasil pendugaan terbaik di atas memberikan SEP sebesar 2.12 % dengan CV sebesar 4.56 % dan rasio SD/SEP sebesar 4.72 (Lampiran 12 dan Gambar 30). Hasil ini lebih baik dibandingkan dengan pendugaan sebelumnya yakni berdasarkan input absorbsi near infrared pada panjang gelombang 1725 nm, 1785 nm, 1915 nm, 1530 nm dan 1495 nm. Berdasarkan hasil ini terlihat bahwa absorbsi near infrared pada panjang gelombang 900 nm sampai 2000 nm yang diekstraksi menjadi 8 PC lebih erat hubungannya dengan kandungan protein tepung ikan dibandingkan dengan absorbsi pada 5 panjang gelombang yang terpilih melalui analisis SMLR. Bila dibandingkan dengan metode PCR, hasil pendugaan menggunakan JST ini juga lebih baik. Dengan input data yang sama, PCR menghasilkan SEP sebesar 2.99 % dan CV sebesar 6.43 % (Lampiran 21). Hasil ini menunjukkan bahwa hubungan antara PC dengan kandungan protein bersifat tidak linier. Berdasarkan penelitian ini disimpulkan bahwa pendugaan protein menggunakan model JST lebih baik dibandingkan dengan regresi linier, terutama dengan input hasil PCA.

Pendugaan JST (%) 70 60 50 40 30 20 10 SEP = 2.12% CV = 4.56% SD/SEP = 4.72 y = x 0 0 10 20 30 40 50 60 70 Kandungan Protein Aktual (%) Gambar 30 Hubungan kandungan protein aktual dan hasil pendugaan menggunakan JST dengan 7 simpul pada lapisan tersembunyi, input 8 PC dan iterasi 25 000. Hasil Pendugaan Kandungan Lisin Menggunakan JST Pendugaan Kandungan Lisin dengan Input Hasil SMLR Ada 11 alternatif kombinasi panjang gelombang hasil analisis SMLR sebagai variabel input JST untuk pendugaan kandungan lisin. Pada penelitian ini hanya 10 alternatif yang diuji, yakni hasil SMLR step ke 2 sampai ke 11. Berbeda dengan pendugaan kandungan nutrien sebelumnya yang menggunakan nilai absorbsi, pendugaan kandungan lisin menggunakan turunan ke 3 dari absorbsi near infrared. Sama dengan pelatihan JST sebelumnya, terjadi kecenderungan penurunan SEC dengan meningkatnya jumlah variabel yang digunakan. Pada Tabel 16 menunjukkan penambahan input dari 2 variabel menjadi 3 variabel tidak menurunkan SEC, namun penambahan selanjutnya sampai step ke 6 memperlihatkan penurunan. Pengurangan jumlah variabel dengan input step ke 7 dan 8, memperlihatkan peningkatan SEC. Sebaliknya penambahan jumlah variabel mulai masukan step ke 8 sampai 11 menurunkan SEC. Berdasarkan kenyataan ini semakin nyata bahwa peningkatan dimensi input JST dapat menghasilkan pembobot yang spesifik untuk sampel kalibrasi, sedangkan untuk sampel lain tidak sesuai lagi.