TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein (FH) Bangsa sapi perah Fries Holland berasal dari North Holland dan West Friesland yaitu dua propinsi yang ada di Belanda. Kedua propinsi tersebut merupakan daerah yang memiliki padang rumput yang bagus. Sapi Friesian Holstein berwarna hitam dan putih (ada juga yang berwarna merah) (Blakely dan Bade, 1994). Menurut Ensminger dan Tyler (2006), sapi ini telah ada sejak 2000 tahun yang lalu. Sapi FH termasuk salah satu jenis sapi perah yang banyak dipelihara karena beberapa faktor keunggulannya. Menurut Dematewewa et al. (2007), sapi Friesian Holstein mempunyai masa laktasi panjang dan produksi susu tinggi, serta persistensi produksi susu yang baik. Selain itu sapi perah FH juga merupakan jenis sapi perah yang cocok untuk daerah Indonesia. Namun demikian produksi susu per ekor per hari pada sapi perah FH di Indonesia relatif rendah jika dibandingkan dengan produksi susu di negara asalnya (Atabany et al., 2008). Populasi sapi perah di Indonesia sampai dengan Juni 2011 tercatat 597 ribu ekor dan produksi susu nasional sampai dengan 2009 sebesar 19,2 juta liter (Badan Pusat Statistik, 2011). Sapi Friesian Holstein (FH) adalah sapi dengan produksi susu tertinggi dibanding jenis sapi perah yang lain, selain itu kadar lemak susunya rendah (Sudono et al., 2003). Tabel 1. Komposisi Susu Masing-masing Bangsa Sapi Bangsa Sapi Air Protein Lemak Laktosa Abu BK Jersey 85,27 3,80 5,41 5,04 0,75 14,73 Guernsey 85,45 3,45 4,98 4,98 0,75 14,55 Ayrshire 87,10 3,34 3,85 5,02 0,69 12,90 Fries Holland 88,01 3,15 3,45 4,65 0,68 11,57 Shorthorn 87,43 3,32 3,36 4,89 0,73 12,57 Sumber : Sudono et al., 2003 Produktivitas susu yang dicapai sapi FH lokal masih lebih sedikit dibandingkan dengan sapi-sapi perah FH pada daerah iklim sedang. Peningkatan pengetahuan budidaya sapi perah masih diperlukan agar mampu mengoptimalkan produktivitasnya (Soedjana, 1999). Masa Laktasi Masa laktasi adalah masa sapi sedang menghasilkan susu setelah melahirkan, yakni selama ± 10 bulan antara saat beranak dan masa kering. Produksi susu perhari
mulai menurun setelah usia laktasi 2 bulan. Penurunan ini diikuti pula perubahan komposisi susu, diantaranya kadar lemak susu mulai menurun setelah 1-2 bulan masa laktasi, kemudian pada 2-3 bulan masa laktasi, kadar lemak sudah mulai konstan, selanjutnya sedikit meningkat (Sudono et al., 2003). Sapi mencapai puncak produksi rata-rata tiga sampai enam minggu setelah melahirkan, kemudian berangsur-angsur menurun. Puncak produksi susu sapi bergantung dari kondisi tubuh sapi ketika melahirkan, kemampuan metabolisme, adanya infeksi penyakit serta pemberian pakan setelah melahirkan. Kondisi tubuh yang baik setelah melahirkan serta kecukupan pakan setelah melahirkan cenderung meningkatkan produksi susu hingga puncak (Schmidt et al., 1988). Penurunan produksi pada bulan ketujuh hingga kedelapan disebabkan sapi sudah kembali bunting. Produksi susu berbanding terbalik dengan persentase kadar lemak dan protein yang dihasilkan. Persentase lemak dan protein berada pada titik terendah ketika produksi berada pada puncak laktasi dan berangsur-angsur meningkat menjelang akhir laktasi (Schmidt et al., 1988). Menurut Ensminger dan Tyler (2006), total produksi susu secara umum meningkat pada bulan pertama setelah melahirkan dan menurun secara berangsur-angsur, sebaliknya kadar lemak akan meningkat menjelang akhir laktasi. Sekresi Susu Susu disekresikan oleh unit-unit sekretori individual yang bentuknya menyerupai buah anggur yang disebut alveolus. Unit kecil ini berukuran 0,1 sampai 0,3 milimeter dan terdiri atas suatu lapisan dalam sel epitel yang menyelubungi suatu rongga yang disebut lumen. Sel-sel tersebut mensekresi susu dengan cara menyerap zat-zat dari dalam darah dan mensintesisnya menjadi susu (Blakely dan Bade, 1994). Hal ini karena unsur dasar pembentukan susu adalah kandungan darah (Alim dan Hidaka, 2002). Selang pemerahan yang lama akan mempengaruhi kecepatan jumlah sekresi. Penurunan dalam sekresi susu terjadi setelah 12 jam dan akan memberikan pengaruh pada interval pemerahan berikutnya. Hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa sekresi susu dan lemak susu mengalami pengurangan dengan memperpanjang selang pemerahan dengan jumlah yang lebih banyak untuk pengurangan susu
dibandingkan dengan lemak susu dan persentase lemak susu akan cenderung bertambah pada selang pemerahan yang lama (Schmidt, 1971). Rata-rata kecepatan sekresi susu mengalami pengurangan mulai 10-12 jam setelah pemerahan sebelumnya, tetapi tidak langsung berkurang secara drastis. Proses pelepasan air susu saat pemerahan disebabkan adanya pelepasan hormon oksitosin dari lobus posterior kelenjar pituitari dan masuk ke dalam aliran darah. Oksitosin mencapai ambing dalam beberapa detik dan menyebabkan timbulnya kontraksi jaringan alveolus dan saluran-saluran kecil sehingga mendorong susu memasuki sistem saluran yang lebih besar. Oleh karena pelepasan air susu hanya berlangsung 6 sampai 8 menit, maka pemerahan harus selesai dalam masa pelepasan itu agar diperoleh hasil yang maksimum (Blakely dan Bade, 1994). Produksi Susu Menurut Ensminger dan Tyler (2006), rata-rata produksi susu sapi perah Fries Holland adalah 10.209,96 kg per laktasi. Produksi susu akan meningkat pada bulan pertama laktasi dan akan menurun perlahan-lahan pada bulan berikutnya. Saat ini produksi susu sapi perah di Indonesia belum memenuhi kebutuhan konsumen. Selain jumlah ternak sapi perah yang masih sedikit, kemampuan memproduksi susu perekornya belum mencapai titik optimum (Sudarwanto, 1999). Menurut Sudono et al. (2003), produksi susu sapi FH di Indonesia rata-rata adalah 10 liter/ekor/hari. Kebutuhan nutrien untuk laktasi jauh lebih besar dibandingkan kebutuhan hidup pokok ataupun pada saat kebuntingan. Jika kebutuhan nutrisi tersebut tidak terpenuhi, maka sapi akan menggunakan cadangan mineral yang ada dalam tulang, seperti kalsium dan fosfor (Ensminger dan Tyler, 2006). Produksi susu total untuk setiap periode laktasi bervariasi, namun umumnya puncak produksi dicapai pada umur 6-7 tahun atau pada laktasi ketiga dan keempat. Menurut McNeilly (2001), produksi susu terbanyak akan dicapai pada umur 7-8 tahun. Semakin tua umur sapi akan diikuti dengan penurunan produksi secara bertahap. Produksi susu pada laktasi pertama (umur 2 tahun) adalah 77%, laktasi kedua (umur 3 tahun) 87%, laktasi keempat (umur 5 tahun) 94%, dan laktasi kelima (umur 6 tahun) 98% (Santosa et al. 2009). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu
Kemampuan sapi yang bervariasi dalam memproduksi susu merupakan karakteristik dari keturunan dan ini berbeda pula diantara bangsa dan individu (Ensminger dan Tyler, 2006). Menurut Sudono et al. (2003), faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas susu sapi perah adalah bangsa sapi, lama bunting, masa laktasi, besar sapi, estrus atau berahi, umur sapi, selang beranak, masa kering, frekuensi pemerahan, dan tata laksana pemberian pakan. Campbell et al. (2003) menyatakan bahwa sapi yang bertubuh besar secara normal mampu mensekresi susu lebih banyak dibanding dengan sapi berukuran kecil, tetapi mereka tidak efisien dalam mengubah nutrisi pada susu. Secara normal, sapi tidak akan mensekresi susu lebih dari 8-12 % berat badannya, kambing bisa mensekresi lebih dari 20% berat badannya. Pakan dan manajemen juga akan berpengaruh terhadap kuantitas, komposisi dan palatabilitas susu (Acker, 1960). Pakan yang diberikan pada seekor sapi perah dewasa digunakan untuk kebutuhan hidup pokok, produksi dan pertumbuhan (Foley et al., 1973). Sapi perah mempunyai daya produksi yang tinggi sehingga jika tidak mendapatkan makanan yang cukup, sapi tersebut tidak akan dapat memproduksi susu dengan baik (Ensminger dan Tyler, 2006). Masa laktasi adalah masa sapi sedang menghasilkan susu, yakni selama 10 bulan antara saat beranak dan masa kering kandang. Produksi susu perhari mulai menurun setelah laktasi dua bulan. Menurut Calder (1996), sapi laktasi yang sedang bunting akan mengurangi produksi susu karena adanya pengaruh hormon yang akan mengurangi sekresi susu dan peningkatan kebutuhan zat-zat makanan untuk pertumbuhan dan hidup pokok dari fetus. Apabila selang antara pemerahan tidak sama, maka produksi susu akan lebih banyak pada selang yang lebih lama, dan kandungan lemak akan lebih tinggi dari hasil pemerahan dengan interval yang lebih singkat (Eckles dan Anthony, 1956). Jika sapi perah diperah dua kali sehari dengan jarak waktu antar pemerahan sama akan sedikit sekali perubahan susunan susu tersebut. Produksi susu akan meningkat bergantung dari kemampuan sapi berproduksi, pakan yang diberikan, dan manajemen yang dilakukan peternak (Sudono et al., 2003). Beberapa faktor lainnya yang juga mempengaruhi produksi susu ialah jaringan ekskresi, umur, hormon, estrus, dan ukuran tubuh. Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa sapi-sapi yang badannya besar akan menghasilkan susu lebih banyak daripada yang badannya kecil. Sapi yang sedang estrus juga akan mengalami penurunan produksi susu (Campbell et al., 2003). Produksi susu juga akan berkurang selama ternak mengalami stress panas. Pengaruh langsung stress panas terhadap produksi susu disebabkan meningkatnya kebutuhan untuk menghilangkan kelebihan beban panas, mengurangi laju metabolis, dan mengurangi konsumsi pakan (Anderson et al., 1985) Waktu dan Selang Pemerahan Sapi perah umumnya diperah dua kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Pemerahan dapat dilakukan lebih dari dua kali jika produksi susu tinggi, misal sapi yang produksinya 20 liter per hari dapat diperah 3 kali sehari, serta sapi yang produksinya mencapai 25 liter per hari dapat diperah 4 kali sehari (Sudono et al., 2003). Produksi susu pada ambing dalam keadaan kosong akan bertambah setelah diperah dengan memperlama selang pemerahan. Produksi susu di alveolus akan bertambah dengan lama selang pemerahan setelah 20 jam (McKusick et al., 2002). Selang pemerahan tetap, memiliki beberapa kepentingan untuk memperoleh produksi susu yang optimal. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Woodward (dalam Scmidt 1971) menunjukkan bahwa produksi susu sapi yang diperah selama tiga kali sehari dengan selang 6:7:11 jam perhari menghasilkan 3,90% susu lebih banyak dan memiliki kadar lemak lebih besar dari 5,2%. Pada waktu pemerahan lainnya, sapi yang diperah dengan selang pemerahan 12:12 jam memproduksi susu 1,8% lebih banyak dibandingkan dengan sapi yang diperah dengan selang pemerahan 15:9 jam (Schmidt, 1971). Jumlah produksi susu dari sapi yang diperah dengan jarak pemerahan yang sama, misalnya 12:12, akan cenderung sama. Namun jika jarak pemerahan berbeda, maka jumlah produksi susu pagi hari akan lebih banyak daripada sore hari (Sudono et al., 2003). Efek lamanya selang antar pemerahan terhadap produksi susu akan banyak dipengaruhi oleh karakteristik individu sapi seperti : kapasitas ambing, lama laktasi, dan jumlah susu yang biasa diproduksi. Bila dihubungkan dengan laju sekresi susu dan lemak, maka pada selang yang lebih lama yaitu pemerahan pagi hari akan lebih sedikit lemaknya bila dibandingkan dengan pemerahan sore hari (Smith, 1969).
Schmidt dan Trimberger (1962) menyatakan bahwa selang pemerahan yang lama akan memiliki sisa susu yang lebih banyak. Sapi yang diperah dengan selang pemerahan 15:9 jam, dan 16:8 jam, memproduksi susu lebih rendah dibanding dengan selang pemerahan 12:12 jam. Komposisi Susu Komposisi susu berbeda-beda tergantung spesies dan keturunan, selain itu komposisi susu juga dipengaruhi faktor fisiologis dan lingkungan. Menurut Santosa et al. (2009), faktor yang mempengaruhi komposisi dan kualitas susu antara lain jenis ternak, pakan yang diberikan, kesehatan ternak, serta manajemen pemerahan, kebersihan dan sanitasi. Menurut Ensminger dan Tyler (2006), komposisi susu terdiri atas air 87,2%, lemak 3,7%, bahan kering tanpa lemak 9,1%, protein 3,5%, laktosa 4,9% dan mineral 0,7%. Menurut Rahman et al. (1992), berat jenis susu dipengaruhi oleh zat-zat padatan yang terkandung didalam susu seperti lemak, protein, laktosa, vitamin dan mineral. Nilai berat jenis susu dipengaruhi oleh kadar lemak dan kadar padatan tanpa lemak, yang tidak lepas dari pengaruh makanan dan kadar air dalam susu (Eckles et al., 1984). Menurut SNI susu segar syarat minimum BJ pada sapi perah adalah 1,0270 (Badan Standarisasi Nasional, 2011). Sapi perah FH memiliki produksi susu yang tinggi namun dengan kadar lemak yang rendah. Faktor yang mempengaruhi kadar lemak selain produksi adalah frekuensi dan waktu pemerahan (Eckles dan Anthony, 1956). Kadar lemak susu dipengaruhi oleh kandungan serat kasar dalam ransum. Apabila kadar serat kasar rendah, maka kadar lemak rendah (Sudono, 1999). Syarat minimum lemak menurut (Badan Standarisasi Nasional, 2011) adalah 3,0%. Protein susu dibentuk oleh tiga sumber utama yang berasal dari darah yaitu peptida, plasma protein dan asam amino bebas. Kadar protein susu relatif tetap selama laktasi, karena protein ini disintesis dalam sel epitel kelenjar ambing yang dikontrol oleh gen. Standar kadar protein susu sapi perah sesuai SNI susu segar adalah 2,80% (Badan Standarisasi Nasional, 2011).