BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan atau berkembangnya suatu daerah adalah tidak terlepas dari

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. telah membawa perubahan bagi politik dan sistem pemerintahan maupun

Lampiran 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kapita Menurut Kabupaten/Kota Atas Dasar Harga Konstan (Rupiah)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Reformasi manajemen keuangan negara di Indonesia diawali lahirnya

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perencanaan pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Siklus pengelolaan keuangan daerah merupakan tahapan-tahapan yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pemerintah daerah sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13

BAB I PENDAHULUAN. dikeluarkannya UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.25

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai tugas pokok dan fungsi melakukan pengawasan. Kualitas audit

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan penganggaran pada dasarnya mempunyai manfaat yang sama

BAB I PENDAHULUAN. pengalokasian sumber daya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Otonomi

Sejak tahun 2008, tingkat kemiskinan terus menurun. Pada 2 tahun terakhir, laju penurunan tingkat kemiskinan cukup signifikan.

BAB I PENDAHULUAN. usaha pertanian (0,74 juta rumah tangga) di Sumatera Utara.

BAB I PENDAHULUAN. krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Krisis ekonomi yang terjadi pada awal

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan penyelenggaraan operasional pemerintahan. Bentuk laporan

pemerintahan lokal yang bersifat otonomi (local outonomous government) sebagai

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN. Produksi pangan di negara-negara sedang berkembang meningkat. Sekalipun

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah daerah diberi kewenangan untuk penyelenggaraan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat terhadap hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Kesadaran tersebut

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Diberlakukannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 (UU No. 32/2004)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Terjadinya krisis pada tahun 1996 merupakan faktor perubahan

Lampiran 1. Data Luas Panen dan Produksi Kabupaten/Kota di Sumatera Utara Tahun

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Krisis ekonomi yang terjadi pada awal tahun 1996 dan puncaknya pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. Kedaulatan pangan adalah konsep pemenuhan pangan melalui produksi lokal.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Penelitian. Dalam penyelengaraan otonomi daerah, pemerintah diberikan

TIPOLOGI WILAYAH HASIL PENDATAAN POTENSI DESA (PODES) 2014

BERITA RESMI STATISTIK

bahwa berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan, SALINAN NOMOR 15 TAHUN 2017 Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud

BAB I PENDAHULUAN. No.12 Tahun Menurut Undang-Undang Nomer 23 Tahun 2014 yang

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi sektor publik adalah organisasi yang bertujuan untuk

Provinsi Sumatera Utara: Demografi

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2016

Disampaikan Oleh: SAUT SITUMORANG Staf Ahli Mendagri Bidang Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. 2004) tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Mustikarini, 2012).

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. satu indikator baik buruknya tata kelola keuangan serta pelaporan keuangan

Lampiran 1. Sampel. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Tata kelola pemerintahan yang baik (Good Government Governance)

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik (good government governance), telah mendorong

Sumatera Utara. Rumah Balai Batak Toba

BAB I PENDAHULUAN. kerja pengelolaan pemerintahan, Indonesia dibagi menjadi daerah kabupaten dan. sendiri urusan pemerintahan dan pelayanan publik.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan tata kelola yang baik (good governance),

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir ini merupakan bagian dari adanya

ALOKASI ANGGARAN DAERAH DALAM PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI SUMATERA UTARA Beryl Artesian Girsang

BAB 1 PENDAHULUAN. menguatnya tuntutan akuntabilitas atas lembaga-lembaga publik, baik di pusat

BERITA RESMI STATISTIK

I. PENDAHULUAN. Perubahan paradigma pengelolaan keuangan baik pemerintah pusat maupun

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik (good governance government). Good governance. yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki 34 provinsi yang kini telah tumbuh menjadi beberapa wacana

BAB I PENDAHULUAN. penerimaan negara, penyedia lapangan kerja, dan juga sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. kewenangan dan tanggung jawab penuh dalam mengatur dan mengurus rumah

BAB I PEDAHULUAN. Pemerintahan Daerah, desentralisasi diartikan sebagai penyerahan kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik (Stanbury, 2003

BAB I PENDAHULUAN. telah membawa perubahan terhadap sistem politik, sosial, kemasyarakatan serta

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Seiring dengan adanya perubahan masa dari orde baru ke era

BAB I PENDAHULUAN. daerah merupakan tujuan penting dalam reformasi akuntansi dan administrasi

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dapat dinilai kurang pesat, pada saat itu yang lebih mendapat perhatian

BAB 1. Pendahuluan A. LATAR BELAKANG. Reformasi pada pemerintahan Indonesia mengakibatkan perubahan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sektor pariwisata dan kebudayaan merupakan salah satu sektor yang sangat potensial dan

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan dan pertanggungjawaban, maka dalam era otonomi daerah sekarang ini

BAB I PENDAHULUAN. mencatat desentralisasi di Indonesia mengalami pasang naik dan surut seiring

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi pengelolaan negara diawali dengan bergulirnya Undang-undang

dalam pelaksanaan kebijakan otonomi daerah. Sejak diberlakukannya otonomi desantralisasi mendorong perlunya perbaikan dalam pengelolaan dan

SUATU TINJAUAN KEBIJAKAN ALOKASI BELANJA 3 (TIGA) BIDANG UTAMA (SOSIAL BUDAYA, INFRASTRUKTUR, EKONOMI) UNTUK 25 KABUPATEN DAN KOTA PADA RAPBD TA

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi dan ekonomi, sudah pasti disemua negara di dunia

BAB I PENDAHULUAN. Produksi dari suatu usaha penangkapan ikan laut dan perairan umum sebahagian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada awal tahun 1996 dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pergantian Pemerintahan dari orde baru ke orde reformasi yang. dimulai pertengahan tahun 1998 menuntut pelaksanaan otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengeluarkan UU No. 33 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan tuntutan masyarakat terhadap terselenggaranya

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah telah ditetapkan di Indonesia sebagaimana yang telah

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Krisis ekonomi di Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar

BAB I PENDAHULUAN. dan teori perlu berimplikasi pada praktik. Oleh karena itu antara teori dan praktik

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik (good government governance), telah mendorong

BAB I PENDAHULUAN. informasi yang jelas tentang aktivitas suatu entitas ekonomi dalam satu periode

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. mengamanatkan bahwa setiap kepala daerah wajib menyampaikan laporan

BAB I PENDAHULUAN. khususya di tingkat Pemerintah Daerah. Korupsi sebenarnya termasuk salah

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang Rebulik Indonesia (UU RI) No. 32 Tahun 2004 tentang. Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa efisiensi dan efektivitas

BAB I PENDAHULUAN. baik (Good Governance) menuntut negara-negara di dunia untuk terus

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik (good government governance), telah mendorong

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB 1 PENDAHULUAN. yang dapat diraih melalui adanya otonomi daerah.indonesia memasuki era otonomi

BAB I PENDAHULUAN. yang mensyaratkan bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia namun juga di negara-negara lain (Indra Bastian, 2010:5).

BAB I PENDAHULUAN. daerah, maka semakin besar pula diskreasi daerah untuk menggunakan

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN WILAYAH DI PROVINSI SUMATERA UTARA. Mitrawan Fauzi

BAB I PENDAHULUAN. sistem tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang ditandai

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada era reformasi dalam perkembangan akuntansi sektor publik yang

BAB I PENDAHULUAN. termasuk diantaranya pemerintah daerah. Penganggaran sector publik terkait

BAB I PENDAHULUAN. menjadi landasan utama dalam melaksanakan otonomi daerah pada

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. pengesahan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa oleh mantan

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

BAB I PENDAHULUAN. adalah tentang tata kelola pemerintahan yang baik atau good government

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan atau berkembangnya suatu daerah adalah tidak terlepas dari kinerja pemerintah dan dukungan masyarakat daerah tersebut dalam mengembangkan daerahnya. Pemerintah harus mampu memenuhi apa yang diinginkan oleh masyarakatnya, begitu juga dengan masyarakat harus mampu mematuhi peraturan apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Sehingga terwujudlah apa yang diinginkan masyarakat dan pemerintah daerah baik dari segi ekonomi, infrastruktur, sosial bahkan indeks pembangunan manusia di daerah agar memiliki masyarakat berdaya saing dan memiliki kualitas SDM yang baik di daerah tersebut dan penerapan otonomi daerah juga merupakan salah satu faktor untuk dapat daerah tersebut berkembang. Pembangunan manusia senantiasa berada di baris terdepan dalam perencanaan pembangunan. Karena hakekat pembangunan adalah pembangunan manusia, maka perlu diprioritaskan alokasi belanja untuk keperluan pembangunan manusia dalam penyusunan anggaran (Fhino, 2009). Perbaikan prioritas ini juga akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM merupakan ukuran untuk melihat dampak kinerja pembangunan wilayah, karena memperlihatkan kualitas penduduk suatu wilayah dalam hal harapan hidup, intelektualitas dan standar hidup layak. Saat perencanaan pembangunan, IPM juga berfungsi memberikan tuntunan 1

menentukan prioritas dalam merumuskan kebijakan dan menentukan program (Budiriyanto, 2011). Manusia merupakan kekayaan bangsa dan sekaligus sebagai modal dasar pembangunan. Tujuan dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyat untuk menikmati hidup sehat, umur panjang dan menjalankan kehidupan yang produktif. Sesuai dengan perkembangan paradigma pembangunan ekonomi, maka telah terjadi perubahan tolok ukur keberhasilan pembangunan ekonomi dari pendekatan pertumbuhan ekonomi (growth) menjadi pendekatan pembangunan manusia. Salah satu cara untuk mengukur keberhasilan atau kinerja suatu negara atau wilayah dalam bidang pembangunan manusia digunakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI). Pada era otonomi terjadi pergeseran wewenang dan tanggung jawab dalam pengalokasian sumber daya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dipicu dengan adanya krisis moneter dan transisi politik sejak 1 Januari 2001, Republik Indonesia menerapkan desentralisasi (otonomi daerah) yang didasarkan pada Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang- Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 (UU No. 32/2004) tentang Pemerintah Daerah menegaskan kewenangan Pemda untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi. Sebagai dampak tersebut, peran dari Pemerintah daerah dalam penyediaan layanan publik 2

dan untuk mencapai tujuan pembangunan nasional menjadi semakin besar. Menurut Mardiasmo (2002) beberapa misi yang terkandung dalam otonomi daerah, Pertama, menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah. Kedua, meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat. Ketiga, memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam perubahan sistem pengelolaan keuangan pemerintah daerah. Keberhasilan implementasi kebijakan otonomi daerah ditentukan oleh berbagai faktor, salah satu diantaranya adalah kinerja dan Pemerintah Daerah (Syaukani, 2005). Walaupun kinerja pemerintah daerah bukanlah faktor yang paling dominan dalam menentukan keberhasilan implementasi kebijakan otonomi daerah namun perlu perhatian dan upaya untuk meningkatkan kinerja pemerintah daerah, secara simultan juga harus dilakukan peningkatan faktor faktor lainnva. Syaukani (2005). mengemukakan bahwa antara implementasi kebijakan otonomi daerah dan kinerja pemerintah daerah dapat ditarik hubungan sebab akibat yang cukup signifikan. Antara kedua kondisi tersebut saling mempengaruhi, selain implementasi otonomi daerah dipengaruhi oleh kinerja pemerintah daerah, sebaliknya kinerja pemerintah daerah juga dipengaruhi oleh implementasi kebijakan otonomi daerah. Kinerja pemerintah tidak hanya diukur melalui perspektif finansial saja tetapi juga dari perspektif non finansial seperti masalah pegawai yang dihubungkan dengan prestasi kinerja dan kualitas pelayanan publik. Berhasil atau tidaknya suatu pemerintah daerah dalam menjalankan fungsinya dapat dilihat dari 3

laporan keuangan yang disajikan oleh pemerintah daerah yang juga dapat dijadikan sebagai dasar pertanggungjawabannya terhadap publik namun demikian, apabila terjadi hal-hal yang terdapat penyimpangan dalam laporan keuangan maka terdapat indikasi temuan audit BPK sehingga temuan tesebut dapat dijadikan suatu alasan kenapa pemerintah daerah tersebut tidak menjalankan kinerja dengan baik. Secara umum, tujuan pelaporan keuangan adalah untuk menyajikan informasi yang berguna bagi pengambilan keputusan dan untuk menunjukkan akuntabilitas terhadap pengelolaan sumber daya yang dipercayakan kepada entitas pelaporan. Mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan negara merupakan tugas dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hasil audit BPK dapat berwujud Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang mencerminkan tingkat akuntabilitas suatu Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Untuk menilai kewajaran atas LKPD maka BPK RI melakukan audit yang hasilnya dituangkan dalam LHP. Opini dalam laporan tersebut mengungkapkan ketidakpatuhan pada Peraturan yang memiliki pengaruh langsung serta material terhadap penyajian laporan keuangan (BPK RI, 2011). Keberhasilan pemerintah daerah dalam mendapatkan opini WTP, akan mempengaruhi keberhasilan kinerja keuangan pemerintah daerah (Suwanda, 2015). (Kuntadi, 2008 dalam Nurdin 2014) menyatakan bahwa dalam LKPD dapat dilihat berapa dana APBD yang digunakan untuk melaksanakan kinerja yang ingin dicapai oleh Pemda. Kinerja Pemerintah daerah dalam hal ini diukur dari Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten / Kota Sumatera Utara. Indeks Pembangunan Manusia 4

(IPM) Sumatera Utara (Sumut) tahun 2013 secara nasional berada di urutan ke-8 dengan capaian 75,55 persen. Namun, di nilai IPM Sumut ini sudah di atas ratarata nasional yang sebesar 73,81 persen. Hal tersebut menunjukkan masih diperlukannya upaya keras untuk memperbaiki kualitas manusia Sumatera Utara di tengah-tengah persaingan dengan masyarakat luas. Upaya meningkatkan IPM Sumatera Utara tentunya tidak dapat dilepaskan dari usaha simultan untuk meningkatkan IPM kabupaten/kota di Indonesia. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Menurut Kabupaten/Kota (tahun), 2013-2015 Tabel 1.1 Kabupaten/Kota 2013 2014 2015 Kabupaten 01. N i a s 57,43 57,98 58,85 02. Mandailing Natal 62,91 63,42 63,99 03. Tapanuli Selatan 66,75 67,22 67,63 04. Tapanuli Tengah 65,64 66,16 67,06 05. Tapanuli Utara 70,50 70,70 71,32 06. Toba Samosir 72,36 72,79 73,40 07. Labuhanbatu 69,45 70,06 70,23 08. A s a h a n 66,58 67,51 68,40 09. Simalungun 70,28 70,89 71,24 10. D a i r i 67,15 67,91 69,00 11. K a r o 71,62 71,84 72,69 12. Deli Serdang 71,39 71,98 72,79 13. L a n g k a t 67,17 68,00 68,53 14. Nias Selatan 56,78 57,78 58,74 15. Humbang Hasundutan 64,92 65,59 66,03 5

16. Pakpak Bharat 64,73 65,06 65,53 17. Samosir 66,80 67,80 68,43 18. Serdang Bedagai 67,11 67,78 68,01 19. Batu Bara 65,06 65,50 66,02 20. Padang Lawas Utara 66,13 66,50 67,35 21. Padang Lawas 64,62 65,50 65,99 22. Labuhanbatu Selatan 67,78 68,59 69,67 23. Labuhanbatu Utara 68,28 69,15 69,69 24. Nias Utara 58,29 59,18 59,88 25. Nias Barat 56,58 57,54 58,25 Kota 71. S i b o l g a 70,45 71,01 71,64 72. Tanjungbalai 65,40 66,05 66,74 73. Pematangsiantar 75,05 75,83 76,34 74. Tebing Tinggi 71,85 72,13 72,81 75. M e d a n 78,00 78,26 78,87 76. B i n j a i 72,02 72,55 73,81 77. Padangsidimpuan 71,68 71,88 72,80 78. Gunungsitoli 65,25 65,91 66,41 Sumatera Utara 68,36 68,87 69,51 Sumber: BPS-Survei Sosial Ekonomi Nasional 2013-2015 Metode Perhitungan Baru Data IPM Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara dari tahun 2013 2015 seperti ditunjukkan pada Tabel 1.1 mengalami peningkatan dari tahun 2013 2015 namun ppeningkatannya masih sangat rendah dan tidak sampai 1 %. IPM Sumatera Utara tahun 2014 dan 2015 masih berstatus sedang. Tahun 2015 terdapat 12 kabupaten/kota angka IPM berstatus tinggi, sebanyak 17 kabupaten/kota status IPM sedang dan 4 kabupaten/kota status IPM rendah. Sedangkan secara Nasional Sumatera Utara mengalami penurunan yakni pada tahun 2013 Sumut berada di posisi 8 dengan IPM 68,36 dan tahun 2014 posisi nya 6

ttidak berubah tetap peringkat 8 dengan IPM 68,87 dan tahun 2015 peringkat IPM Sumut mengalami penurunan menjadi peringkat 10 dengan IPM 69,51. (Sumber BPS Sumut) Karakteristik pemerintah daerah ialah identitas yang dimiliki oleh setiap pemerintah daerah yang dapat membedakannya dengan daerah lain. Perbedaan karakteristik antar daerah diasumsikan mempunyai pengaruh terhadap kinerja keuangan daerah (Sumarjo, 2010). Ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dapat menimbulkan dampak negatif terhadap pengelolaan pemerintahan yang dikarenakan belum mampunya pemerintah daerah untuk membiayai belanja aparaturnya sendiri. Kualitas pelayanan publik yang menggambarkan kinerja pemerintah daerah diharapkan akan meningkat jika adanya peningkatan infrastruktur daerah (Marfiana, 2013). Status daerah memengaruhi kelengkapan pengungkapan karena terdapat perbedaan karakteristik masyarakat serta struktur pendapatan yang dapat berdampak terhadap kontrol sosial pada penduduk kota. Dalam mendukung penyelenggaraan Pemerintah, Pemerintah Daerah menyusun anggaran keuangan yang kemudian dijadikan pedoman dalam menjalankan berbagai aktivitasnya. Anggaran dalam Pemerintah Daerah biasa disebut dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Seluruh penerimaan dan pengeluaran Pemerintahan Daerah baik dalam bentuk uang, barang dan/jasa pada tahun anggaran yang berkenaan harus dianggarkan dalam APBD (Kawedar, 2008). 7

Untuk menunjang anggaran pendapatan dan belanja daerah menjadi lebih baik peran akuntabilitas publik menjadi pokok utama dan menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah daerah dan pegawai negeri (Arifiyadi 2009). Akuntabilitas berada dalam ilmu sosial yang menyangkut berbagai cabang ilmu sosial lainnya seperti ekonomi, administrasi, politik, perilaku dan budaya. Selain itu, akuntabilitas dapat diartikan sebagai bentuk kewajiban mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya, melalui suatu media pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik (Stanbury, 2003). Sehingga akuntabilitas publik dapat dilakukan secara transparansi dengan tujuan menciptakan good governance, untuk melakukan upaya konkrit mewujudkan good governance, serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan pemerintah, maka baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban yang berupa laporan keuangan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2008 (PP No. 6/2008) tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah disebutkan bahwa salah satu evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah berupa Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EKPPD). Untuk melengkapi PP No. 6/2008, maka diterbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 73 Tahun 2009 (Permendagri No. 73/2009) tentang Tata Cara Pelaksanaan Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 5 Permendagri No. 73/2009 ini disebutkan bahwa EKPPD menggunakan Laporan 8

Penyelenggara Pemerintah Daerah (LPPD) sebagai sumber informasi utama. Hasil dari EKPPD tersebut berupa Laporan Penilaian dan pemeringkatan capaian kinerja pemerintahan daerah dengan menggunakan sistem pengukuran dan indikator kinerja kunci sebagai pembanding antar daerah pada tingkat provinsi maupun nasional. Masalah kinerja pemerintah daerah di Indonesia telah banyak diteliti, akan tetapi berdasarkan hasil amatan awal masih sedikit penelitian yang menguji pengaruh karakteristik pemerintah daerah dan temuan audit BPK terhadap kinerja pemerintah daerah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara. Ada tiga alasan mengapa penelitian ini menarik untuk diteliti, yaitu alasan pertama menggunakan kinerja pemerintah daerah kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara sebagai variabel dependen. Alasan kedua menggunakan variabel tingkat dana perimbangan untuk mengukur proksi total dana perimbangan. Alasan ketiga menggunakan status daerah ke dalam karakteristik daerah. Penelitian ini sangat penting karena dapat menambah pengetahuan mengenai akuntansi sektor publik dan pelaporan keuangan daerah. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ingin menguji Pengaruh Karakteristik Pemerintah Daerah dan Opini Audit BPK Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara tahun anggaran 2013-2015 9

1.2 Identifikasi Masalah 1. Ukuran daerah menjadi alasan lambatnya perkembangan daerah pemerintah kabupaten/kota se-sumatera Utara 2. Pendapatan daerah menjadi faktor utama untuk pembangunan daerah pemerintah kabupaten/kota se-sumatera Utara 3. Dana perimbangan yang berasal dari APBN menentukan kinerja pemerintah daerah pemerintah kabupaten/kota se-sumatera Utara 4. Belanja daerah merupakan salah satu dari kinerja pemerintah daerah pemerintah kabupaten/kota se-sumatera Utara 5. Temuan audit berperan dalam menilai hasil dari kinerja pemerintah daerah pemerintah kabupaten/kota se-sumatera Utara 1.3 Batasan Masalah Agar penelitian ini dapat dilakukan lebih fokus, sempurna, dan mendalam maka penulis memandang permasalahan penelitian yang diangkat perlu dibatasi variabelnya. Oleh sebab itu, penulis membatasi diri hanya berkaitan dengan Ukuran Daerah, Pendapatan Daerah, Dana Perimbangan, Belanja Daerah, Temuan Audit. Kinerja Pemerintah dipilih karena peningkatan kinerja Pemerintah akan membawa kemajuan bagi Daerah tersebut. 1.4 Rumusan Masalah Peran dari pemerintah daerah semakin besar untuk mencapai tujuan pelayanan publik dan pembangunan nasional. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya sistem pengendalian, evaluasi dan pengukuran kinerja yang sistematis untuk mengukur kemajuan yang dicapai. Pemerintah dituntut untuk lebih bertanggung 10

jawab untuk setiap kebijakan, keputusan, tindakan dan kinerja yang mereka lakukan. Dalam proses pengelolaan keuangan pemerintah, tahap penganggaran menjadi peran utama karena anggaran yang tidak efektif dan tidak berorientasi pada kinerja akan dapat menggagalkan perencanaan atau tujuan yang akan dicapai. Oleh karena itu perlu diketahui apakah Karakteristik Pemerintah Daerah dan temuan audit BPK mempengaruhi Kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara. Rumusan masalah dalam penelitian ini dirinci sebagai berikut : 1. Apakah ukuran daerah berpengaruh terhadap kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara? 2. Apakah tingkat kekayaan daerah berpengaruh terhadap kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara? 3. Apakah dana perimbangan berpengaruh terhadap kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara? 4. Apakah belanja daerah berpengaruh terhadap kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara? 5. Apakah temuan audit BPK berpengaruh terhadap kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara? 6. Apakah Ukuran Daerah, Tingkat Kekayaan Daerah, Dana Perimbangan, Belanja Daerah dan Temuan Audit secara simultan Berpengaruh terhadap Kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara? 11

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk menguji bahwa karakteristik Pemerintah Daerah dan temuan audit BPK memiliki pengaruh terhadap kinerja Pemerintah Daerah kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara. 1.5.2 Manfaat Penelitian 1. Secara teoritis untuk menjelaskan suatu fenomena yang ada di Pemerintah Daerah serta menganalisis terhadap pengaruh karakteristik Pemerintah Daerah dan temuan audit BPK terhadap kinerja Pemerintah Daerah di Provinsi Sumatera Utara. 2. Secara Praktik untuk memberikan kontribusi kepada Pemerintah Daerah dalam bentuk sumbangan pemikiran tentang pentingnya kesadaran akan pencapaian suatu kinerja baik secara finansial maupun non finansial sebagai dampak karakteristik Pemerintah Daerah dan temuan audit BPK terhadap kinerja Pemerintah Daerah di Povinsi Sumatera Utara. 12