1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan undang-undang No. 44 tahun 2009, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan rawat darurat. Dari segi pelayanan yang diberikan rumah sakit dapat dibagi atas dua golongan yaitu pelayanan utama terdiri dari pelayanan medik, pelayanan keperawatan, dan pelayanan kefarmasian. Sedangkan pelayanan pendukung antara lain pelayanan berbagai jenis laboratorium, gizi/makanan dan sebagainya. (Depkes, 2009) Pelayanan kefarmasian merupakan pelayanan penunjang sekaligus merupakan revenue center utama. Hal itu mengingat bahwa 90% pelayanan kesehatan di rumah sakit menggunakan perbekalan farmasi (obat-obatan, bahan kimia, bahan radiologi, bahan alat kesehatan habis, alat kesehatan, gas medik) dan 50% dari seluruh pemasukan rumah sakit berasal dari pengelolaan perbekalan farmasi. (Suciati et al., 2006) Dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) telah disebutkan bahwa subsistem obat dan perbekalan kesehatan adalah tatanan yang menghimpun berbagai upaya yang menjamin ketersediaan, pemerataan, serta mutu obat dan perbekalan kesehatan secara terpadu dan saling mendukung dalam rangka mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Obat merupakan salah satu
2 unsur yang penting dalam memperoleh kesembuhan, oleh karena itu tujuan dari subsistem obat dan perbekalan kesehatan adalah tersedianya obat dan perbekalan kesehatan yang aman, bermutu dan bermanfaat, serta terjangkau oleh masyarakat, untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. (Depkes, 2008) Dalam era otonomi, kabupaten/kota memperoleh dan mengelola anggaran pelayanan kesehatan secara independen dan tetap mendapat dukungan dari pemerintah pusat untuk kegiatan-kegiatan yang dinilai penting secara rasional. Dalam rangka mengantisipasi perubahan anggaran pembiayaan kesehatan tersebut, maka diharapkan pihak rumah sakit mampu menghitung kebutuhan anggaran dan merencanakan penggunaan secara efisien, serta mampu menggunakan anggaran secara benar dan rasional (Budiarto dan Ristrini, 2003) Pengelolaan obat di rumah sakit merupakan salah satu segi manajemen rumah sakit yang penting, karena ketidakefisiensinan akan memberi dampak negatif terhadap rumah sakit, baik secara medis maupun secara ekonomi. Ketidakefisienan dalam pengelolaan dan penggunaan obat di rumah sakit banyak dijumpai tetapi pada umumnya belum mendapatkan perhatian khusus. Tujuan pengelolaan obat yang baik di rumah sakit adalah agar obat yang diperlukan dalam jumlah yang cukup dan mutu yang terjamin (Depkes, 2004) Visi Rumah Sakit Jiwa Grhasia yaitu menjadi pusat pelayanan kesehatan jiwa dan NAPZA paripurna yang berkualitas dan beretika. Pencapaian visi didukung dengan misi yaitu: mewujudkan pelayanan kesehatan jiwa dan NAPZA yang paripurna; mewujudkan rumah sakit sebagai pusat pembelajaran, penelitian
3 dan pengembanga kesehatan jiwa dan NAPZA; mewujudkan pelayanan yang berkualitas dan menjamin keselamatan pasien; dan mewujudkan pelayanan yang beretika dan mencerminkan budaya masyarakat DIY. (Pemda DIY, 2015) Data profil RS Jiwa Grhasia DIY Tahun 2014, kapasitas tempat tidur Rumah Sakit Jiwa Grhasia DIY tahun 2014 sebesar 210 tempat tidur dengan instalasi rawat inap terbagi dalam 6 ruang unit perawatan yaitu Ruang Arimbi, Ruang Shinta, Ruang Srikandi, Ruang Nakula, Ruang Sadewa, dan Ruang Kresna. Selain instalasi tersebut, terdapat juga Instalasi Gawat Darurat dan Instalasi Gawat Intensif pada Ruang Bima. Pelayanan yang diberikan tidak hanya pelayanan psikiatri saja tetapi juga terdapat pelayanan lainnya yaitu Pelayanan Surat Keterangan Sehat/KIR Jasmani, Klinik Akupuntur, Klinik Gigi dan Mulut, Klinik Penyakit Dalam, Klinik Saraf, Klinik Kulit dan Kelamin, Klinik Anak dan Tumbuh Kembang dan pendukungnya (Okupasi Terapi, Terapi Wicara, Fisioterapi Tumbuh Kembang Anak, dan Pijat Bayi), dan Klinik VCT (Konsultasi & Test HIV). (Pemda DIY, 2015) Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 60 Tahun 2008 tentang rincian tugas dan fungsi Rumah Sakit Grhasia menjelaskan bahwa instalasi merupakan unit pelayanan nonstruktural yang menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan kegiatan pelayanan, pendidikan dan penelitian. Jumlah instalasi yang terdapat di Rumah Sakit Jiwa Grhasia DIY adalah 17 instalasi. Pembentukan instalasi ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit secara bertahap sesuai kebutuhan dan dipimpin oleh seorang kepala yang diangkat dan diberhentikan oleh Direktur. Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) adalah salah
4 satu instalasi yang terdapat di Rumah Sakit Jiwa Grhasia DIY. IFRS memiliki tugas melaksanakan perencanaan, penyimpanan, peracikan dan penyaluran obat, bahan medis habis pakai, alat kesehatan habis pakai ke unit kerja fungsional yang memerlukan, serta memberikan konsultasi obat. (Pemda DIY, 2008) Rumah Sakit Jiwa Grhasia Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan rumah sakit rujukan provinsi, penyedia sarana pelayanan umum dan pelayanan khusus psikiatri dan NAPZA di wilayah DIY dan Jawa Tengah. Pengadaan obat di Rumah Sakit Jiwa Grhasia DIY dilaksanakan oleh panitia pengadaan barang/jasa yang dibentuk dengan Surat Keputusan Direktur. Pembiayaan obat di Rumah Sakit Jiwa Grhasia DIY sampai dengan pengadaan tahun 2009 bersumber dari dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Provinsi DIY. Sejak diterbitkannya Keputusan Gubernur DIY Nomor 89 Tahun 2009 tentang Penetapan Rumah Sakit Grhasia DIY untuk Melaksanakan Penerapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah secara bertahap di Provinsi DIY, sistem pengadaan obat di Rumah Sakit Jiwa Grhasia DIY berubah menjadi penunjukan langsung yang dilaksanakan setiap bulan dengan pembiayaan bersumber dari pendapatan rumah sakit. Setelah terjadinya perubahan metode dan proses pengadaan obat, belum pernah dilakukan evaluasi terkait pengadaan dan pengaruhnya terhadap ketersediaan obat di Rumah Sakit Jiwa Grhasia DIY. Rumah Sakit Jiwa Grhasia Provinsi DIY merupakan rumah sakit rujukan tingkat provinsi, khususnya untuk pelayanan psikiatri, sehingga dituntut untuk
5 memberikan pelayanan yang bermutu dan profesional. Salah satu faktor penting dalam memberikan pelayanan yang bermutu adalah terjaminnya ketersediaan obat yang dibutuhkan oleh setiap pasien. Ketersediaan obat dapat terwujud melalui sistem pengelolaan yang baik termasuk pada tahap pengadaan obat. Mengingat masih adanya masalah ketersediaan obat di Rumah Sakit Jiwa Grhasia DIY yaitu obat yang menumpuk, obat kadaluarsa, stok mati dan obat rusak dan terjadinya perubahan metode dan proses pengadaan obat, maka perlu dilakukan evaluasi pengadaan obat di Rumah Sakit Jiwa Grhasia DIY tahun 2009 2011. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang bahwa terjadi perubahan metode pengadaan di Rumah Sakit Jiwa Grhasia DIY ternyata masih terdapat obat yang menumpuk, obat kadaluarsa, stok mati dan obat rusak. Ketidaksesuaian ini diharapkan dapat diatasi dengan mengevaluasi pengadaan obat. Dengan demikian, rumusan permasalahannya adalah sebagai berikut. 1. Bagaimanakah metode dan proses pengadaan obat Rumah Sakit Jiwa Grhasia DIY tahun 2009 2011? 2. Bagaimanakah ketersediaan obat Rumah Sakit Jiwa Grhasia DIY tahun 2009 2011? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui pengadaan obat dan ketersediaan obat di Rumah Sakit Jiwa Grhasia DIY Tahun 2009-2011.
6 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui gambaran pengadaan obat di Rumah Sakit Jiwa Grhasia DIY tahun 2009-2010 sesuai dengan Kepres RI No. 80 tahun 2003 meliputi metode dan proses pengadaan obat. b. Mengetahui gambaran pengadaan obat di Rumah Sakit Jiwa Grhasia DIY tahun 2011 sesuai dengan Kepres RI No. 54 tahun 2010 meliputi metode dan proses pengadaan obat. c. Mengetahui gambaran ketersediaan obat di Rumah Sakit Jiwa Grhasia DIY tahun 2009 2011 menggunakan indikator Persentase kesesuaian pengadaan obat dengan formularium, persentasi item obat generik, persentase obat kadaluarsa, persentase stok obat berlebih, persentase stok obat mati. D. Manfaat Penelitian 1. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam menentukan kebijakan berkaitan dengan pengadaan obat di Rumah Sakit Jiwa Grhasia DIY. 2. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pihak rumah sakit tentang keberhasilan pencapaian tim pengadaan barang dan jasa dalam melaksanakan proses pengadaan obat, sehingga dapat dijadikan dasar untuk meningkatkan keefektifan dan keefisienan proses pengadaan obat dan meningkatkan ketersediaan obat di Rumah Sakit Jiwa Grhasia DIY.
7 3. Diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan dan rujukan teoritis mengenai manajemen obat khususnya proses pengadaan obat dan tingkat ketersediaan obat. E. Keaslian Penelitian 1. Penelitian sejenis telah dilakukan oleh Rahayu Lasmintosasi (2000), Evaluasi Pengadaan Obat di Rumah Sakit Panti Rapih. Hasilnya pengadaan obat di Rumah Sakit Panti Rapih tidak seluruhnya sesuai dengan formularium, frekuensi pengadaan rendah, TOR rendah dan nilai persediaan akhir tinggi. 2. Yusuf Nur Insan (2004), Evaluasi Pengadaan Obat di Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara. Hasilnya sistem pengadaan langsung lebih efisien dari pengadaan tender. Perbaikan manajemen pengelolaan obat untuk meningkatkan efisiensi pengadaan obat di RSUD Provinsi Sultra dengan penerapan Economic Order Quantity (EOQ) desertai (Re Order Point) ROP dapat menghemat biaya persediaan. 3. Istinganah (2005) meneliti Evaluasi Sistem Pengadaan Obat dari Dana APBD Pemerintah Provinsi DIY Tahun 2001 2003 terhadap Ketersediaan dan Efisiensi Obat di Rumah Sakit Grhasia. Hasilnya metode pengadaan obat dari dana APBD pemerintah Provinsi DIY tahun 2001 2003 dilakukan dengan pelelangan dan penunjukkan langsung, waktunya lama, frekuensinya kecil dan prosedur melewati beberapa tahap. Ketersediaan obat tidak efektif dan tidak efisien karena terjadi penumpukan obat, adanya obat rusak/
8 kadaluarsa, jumlah obat tidak diresepkan tinggi, stock out tinggi, dan nilai TOR (Turn Over Ratio) rendah. 4. Bulkis Putri (2008) melakukan penelitian tentang Evaluasi Pengadaan dan Ketersediaan Obat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Jambi tahun 2004 2006. Hasilnya proses pengadaan obat di RSJD Jambi tahun 2004 2006 masih belum sesuai dengan Keppres Nomor 80 tahun 2003. Proses pengadaan obat dengan metode penunjukkan langsung dan pemilihan langsung memakan waktu yang cukup lama, frekuensi pengadaan obat masih belum sesuai dengan DASK tahun 2004 2006. Ketersediaan di RSJD Jambi tahun 2004 2006 tidak baik karena masih terjadi stock out stok mati, obat kadaluarsa dan nilai TOR yang rendah. 5. Riswandi Wasir (2011) melakukan penelitian tentang Evaluasi Pengadaan dan Ketersediaan Obat di RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2010. Hasilnya proses pengadaan obat tahun 2010 sudah sesuai dengan aturan pengadaan yang berlaku. Ketersediaan obat di RS Dr. Wahidin Sudirohusodo tahun 2010 sudah efektif namun tidak efisien. Persamaan penelitian ini dengan penelitian di atas adalah mengevaluasi pengelolaan obat khususnya pengadaan obat di rumah sakit. Sedangkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Grhasia DIY yang berfokus pada 3 (tiga) aspek yaitu manajemen pendukung dengan indikator ; sumber daya manusia, organisasi, saran/fasilitas dan sistem informasi manajemen, anggaran. proses pengadaan obat yang diteliti adalah obat psikotik, dengan indikator; waktu
9 pengadaan obat, frekuensi pengadaan obat, kesesuaian dengan prosedur pengadaan obat dan kesesuaian dengan kebijakan pengadaan obat. Serta ketersediaan obat psikotik dengan indikator, ; persentase kesesuaian item pengadaan obat psikotik dengan formularium, persentase jenis item obat psikotik generik, persentase obat psikotik yang rusak/kadaluarsa, persentase nilai stok obat psikotik yang berlebih, dan persentase nilai stok obat mati.