BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan Pemberdayaan komunitas menjadi alterlatif dalam proses pembangunan saat ini. pemberdayaan digunakan sebagai alternatif pembangunan yang bersifat sentralistik, top-down dan berorientasi hasil. Pembangunan yang seperti ini dianggap tidak membuat komunitas berdaya dan mandiri. Pemberdayaan komunitas lebih menekankan pada penggalian potensi yang dimiliki komunitas dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Munculnya kesadaran bahwa setiap komunitas memiliki karakteristik dan masalah yang berbeda membuat pendekatan ini bersifat bottom up atau berasal dari komunitas sendiri. Selain peningkatan kapasitas komunitas, pemberdayaan juga membutuhkan pemberian kuasa atau wewenang untuk menentukan nasibnya. Dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Komunitas Perempuan pekerja seks di Yogyakarta. PKBI dan P3SY bekerja sama dalam membuat sebuah program pemberdayaan melalui sekolah sore kesehatan reproduksi. Sekolah sore kesehatan reproduksi dilakukan atas dasar kebutuhan akan informasi kesehatan reproduksi yang komprehensif dan juga sebagai upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa tahap tahap yang dilakukan dengan melibatkan komunitas didalamnya yaitu, indentifikasi masalah, perencanaan program,
peningkatan kapasitas, monitoring dan pendampingan dan juga mendekatkan akses layanan kesehatan ke komunitas Surti Berdaya. Perberdayaan yang dilakukan berupa peningkatan kapasitas perempuan pekerja seks yang tergabung dalam Komunitas Surti Berdaya. Peningkatan kapasitas ini, berusaha menjawab permasalahan perempuan pekerja seks agar meningkatkan kesadarannya dalam hal kesehatan reproduksi dan penanggulangan HIV dan AIDS. Materi yang diberikan untuk meningkatkan kapasitas mereka antara lain kesehatan reproduksi dasar, Infeksi menular seksual, kanker serviks, penanggulangan HIV dan AIDS, negoisasi kondom dan juga menunjukkan akses layanan kesehatan melalui jaminan sosial kelompok. Hasil yang kemudian terlihat dalam pelaksanaan program ini adalah munculnya kesadaran untuk memeriksakan kesehatan bersama-sama di layanan kesehatan seperti vct mobile dan puskesmas, terbentuknya peer educator, pendampingan ODHA oleh komunitas dan assisting kesehatan oleh komunitas. walaupun dalam perjalanannya menunjukkan perubahan dalam hal perilaku yang sadar akan kesehatan reproduksi namun pendampingan masih harus dilakukan sebagai bentuk perlindungan terhadap apa yang telah terbangun melalui sekolah sore kesehatan reproduksi. Pada kenyataannya, perjalanan sekolah sore kesehatan reproduksi tidak berjalan dengan mulus. Terdapat hambatan hambatan yang dilalui seperti
perencanaan yang dilakukan kurang matang sehingga dalam pelaksanaan sekolah sore kesehatan reproduksi seringkali terjadi masalah. Masalah yang bersifat teknis seperti tempat, fasilitas dan aturan dalam pelaksanaan belum ditentukan sejak awal, sehingga membuat pelaksanaannya kurang efektif. Kurangnya semberdaya sebagai community organizer perempuan pekerja seks juga menjadi masalah seperti keterlambatan dalam menghadiri acara yang dilakukan di komunitas bahkan kekosongan dalam pendampingan. Pada dasarnya strategi yang digunakan dalam pemberdayaan ini yaitu community based resources management. Strategi ini, berpusat pada partisipasi komunitas dalam pelaksanaan pemberdayan. Dalam hal pembangunan komunitas, harus diarahkan dalam prakarsa dan partisipasi komunitas dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Hal ini terlihat pada pelaksanaan pemberdayaan di komunitas Surti Berdaya yang melibatkan mereka dalam seluruh proses pemberdayaan. Namun, dalam pelaksanaanya, tidak semua anggota komunitas dapat berperan aktif dalam segala proses tersebut. Partisipasi peserta dalam proses sekolah sore juga masih lemah, hal ini terlihat dalam komitmen sebagian peserta datang namun hanya mendengarkan tanpa mengemukakan pendapat atau kritik terhadap pelaksanaan program. Begitu juga dalam kegiatan yang telah tercipta,melalui sekolah sore kesehatan reproduksi seperti assisting kesehatan dan pendampingna ODHA yang hanya bisa dilakukan oleh beberapa orang saja, yaitu pengurus komunitas. Padahal dalam sekolah sore
kesehatan reproduksi semua peserta diberi kesempatan yang sama. Namun, partisipasi tersebutmasih belum terbangun. Komunitas selama ini masih terkesan menurut apa yang pengurus komunitas sepakati. Selain itu terdapat masalah yang mengancam eksistensi komunitas perempuan pekerja seks di Giwangan karena munculnya penolakan warga terkait aktivitas prostitusi. Munculnya penolakan ini kemudian menjadi tantangan komunitas untuk memperjuangkan nasib pekerjaannya. Oleh karena itu penolakan tersebut dijawab dengan upaya advokasi untuk mempengaruhi keputusan warga. Mereka menyadari bahwa kecil kemungkinan mereka dapat bertahan dalam keadaan konflik seperti yang terjadi, namun mereka memiliki semangat untuk memperjuangkan apa yang mereka anggap benar. Sebagai sebuah upaya pemberdayaan, sekolah sore secara umum telah menciptakan kesadaran terkait kesehatan reproduksi dan upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Pemberdayaan yang dilakukan menggunakan pendekatan yang tepat dalam pelaksanaanya. Pendekatan community based resources management sesuai dengan karakteristik yang dimiliki komunitas. Apalagi dengan melihat komunitas marjinal, terdapat beberapa nilai dan norma yang tidak sama dengan komunitas lainnya. Komunitas dijadikan fokus utama dalam proses pembangunan sesuai dengan karakteristiknya. Partisipasi sebagai kunci pembelajaran juga sangat ditekankan pada program ini, walaupun dalam pelaksanaan belum sesuai dengan yang diharapkan. PKBI selaku pendamping program juga telah memiliki keberpihakan kepada
kelompok minoritas sebagai upaya perlindungan. Dalam proses pemberdayaan upaya perlindungan juga termasuk dalam aspek yang penting setelah adanya pemberdayaan. Adanya perlindungan sebagai upaya monitoring hasil pelaksanaan pemberdayaan supaya mereka lebih mandiri dan tidak kembali ke kondisi seperti sebelumnya. 2. Saran Berdasarkan hasil pengumpulan data, analisis data, dan penemuan fakta di lapangan, maka peneliti menyampaikan beberapa saran yang dibutuhkan untuk menangani hambatan yang terjadi pada Komunitas Surti Berdaya. Terkait dengan penolakan warga terhadap kegiatan prostitusi di Mrican upaya advokasi harus segera dilakukan dengan menggandeng jaringan jaringan yang bergerak dalam isu minoritas, HAM, dan juga kaum miskin kota, dan menyusun strategi untuk advokasi. Setelah dilakukannya identifikasi masalah, latar belakang penolakan, dan identifikasi actor, maka alangkah baiknya segera dilakuakan aksi nyata untuk memperjuangkan nasib pekerjaannya. Pengorganisasian komunitas dan advokasi harus segera dilakukan mengingat pembatasan waktu yang semakin dekat. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan ditemukan beberapa persoalan yang perlu segera ditangani demi keberlanjutan program. Oleh sebab itu peneliti coba memberikan rekomendasi saran untuk PKBI, P3SY dan juga Komunitas Surti Berdaya, sebagai berikut :
1. Belum adanya aturan atau kesepakatan bersama terkait pelaksanaan program membuat anggota komunitas sering bersikap sesuka hati mereka. hal ini yang kemudian menghambat pelasanaan program. oleh karena itu, dalam pelaksanaan program harus ada aturan dan kesepakatan yang mengatur pelaksanaan dan juga bersama terkait program. ketika telah terciptanya aturan dan kesepakatan bersama dalam pelaksanaan program, akan muncul tanggung jawab dan komitmen peserta terhadap pelaksanaan program. 2. Untuk PKBI, keterbatasan sumber daya sebagai community organizer membuat pelaksanaan program sering tidak terpantau dengan baik. Padahal dalam upaya mendekatkan diri dan membangun trust antara komunitas dan PKBI selaku empowerer adalah hal yang sangat penting. oleh karena itu, untuk memenuhi hal tersebut seharusnya PKBI lebih mengupayakan terkait penjaringan relawan sebagai Community organizer dengan membuat branding tentang lembaga dan kerja-kerja yang dilakukan. Sehingga PKBI tidak hanya dikenal dalam lingkup aktivis saja, melainkan di masyarakat luas. 3. Dalam proses pembangunan masyarakat harus ada sinergi anatara kelompok yang berusaha dibangun dengan kelompok yang lebih besar. Hal ini yang kemudian menjadi kelemahan dari pelaksanaan program ini. Oleh karena itu, sangat penting memperhatikan konteks lokal dan terus memperhatikan kondisi sosial politik di Kampung Mrican agar tidak terjadi konflik seperti yang telah terjadi.
4. Kekhawatiran dari pengurus kampong sebenarnya adalah hal yang wajar terjadi, hal ini berkaitan dengan perlindungan anak di sekitar lokasi prostitusi. Harapannya kedepannya komunitas terus menjaga hubungan baik dengan warga dan juga meningkatkan awareness anggota komunitas terhadap perlindungan anak. 5. Penguatan partisipasi aktif oleh seluruh anggota sangat diperlukan dalam proses pemberdayaan, sehingga setiap anggota memiliki peran dalam pengambilan keputusan. Hal ini agar tidak hanya pengurus saja yang hanya berpartisipasi aktif dalam forum dan mengambil keputusan di kelompok. Penguatan partisipsi pada anggota kelompok juga diperlukan agar tidak selamanya anggota menjadi bayang-bayang dari pengurus, dalam artian selalu mengikuti gerak pengurus komunitas. 6. Dalam menanggapi masalah penolakan yang terjadi, sebaiknya proses advokasi segera dilakukan karena mengingat waktu pembatasan yang semakin dekat. Oleh karena itu, dengan melibatkan berbagai jaringan seperti kaum miskin kota, jaringan perempuan yogyakata dan kaukus perda gepeng akan memperkuat gerakan advokasi yang dilakukan. Namun yang perlu diingat bahwa dalam upaya advokasi mereka yang menjadi aktor utama adalah komunitas yang terdampak, yaitu surti berdaya dan P3SY harus berperan aktif dalam advokasi ini sebagai community based organization. 7. Bagi peneliti selanjutnya yang menghendaki melakukan penelitian dengan unit analisis yang sama, penulis memberikan saran untuk melakukan fokus
penelitian pada advokasi kesehatan yang dilakukan komunitas perempuan pekerja seks khususnya di Komunitas Surti Berdaya. Pasalnya advokasi kesehatan ini merupakan sebuah kegiatan yang jarang terjadi dalam sebuah komunitas perempuan pekerja seks dan bila dilakukan penelitian terkait hal ini, sepertinya akan menjadi penelitian yang menarik bagai khasanah ilmu pengetahuan. Terutama dalam dinamika kehidupan komunitas marjinal.