Gambar 16 Pohon angsana di Kota Yogyakarta (a) dan di Kota Solo (b).

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

RESPON PERTUMBUHAN SERTA ANATOMI DAUN KENARI (Canarium commune L) DAN AKASIA (Acacia mangium Willd) TERHADAP EMISI GAS KENDARAAN BERMOTOR

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Pengesahan... Kata Pengantar Dan Persembahan... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkembang pesat, khususnya dalam bidang teknologi,

BAB I PENDAHULUAN. sedang ada 37 perusahaan (5,65%). Industri berskala kecil ada 144 perusahaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Jenis Data Data Primer

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran,

BAB I PENDAHULUAN. orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan

STUDI PERBANDINGAN STRUKTUR MORFOLOGI DAN ANATOMI DAUN MAHONI

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengelompokan tanaman

IDENTIFIKASI STRUKTUR ANATOMI DAUN ANGSANA DAN BERINGIN AKIBAT PENGARUH GAS DAN MATERI VULKANIK PASCA ERUPSI GUNUNG MERAPI CHOIRUNNISA WIHDA DESYANTI

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur unsur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN HUBUNGAN ANTARA JUMLAH STOMATA DENGAN KECEPATAN TRANSPIRASI

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja...

BAB I PENDAHULUAN. makhluk hidup lainnya (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41. Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Angsana (Pteracorpus Indicus Will) merupakan jenis tanaman

BAB I PENDAHULUAN. Pemanasan global yang terjadi pada beberapa tahun terakhir ini menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. dikota-kota besar yang banyak terdapat pengguna kendaraan bermotor. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 45 Tahun 1997 Tentang : Indeks Standar Pencemar Udara

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cabe (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai ekonomi penting di

B A P E D A L Badan Pengendalian Dampak Lingkungan

Peta Konsep. Kata Kunci. fotosintesis. klorofil autothrof. 126 IPA SMP/MTs Kelas VIII. Proses fotosintesis. Reaksi terang. Reaksi gelap.

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal Dibawah ini adalah bahan bahan yang diperlukan dalam proses fotosintesis, kecuali...

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.1. Autotrof. Parasit. Saprofit

HASIL. Gambar 1 Permukaan atas daun nilam Aceh. Gambar 2 Permukaan atas daun nilam Jawa.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

POKOK BAHASAN 9. ORGAN DAUN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ke tiga dan seterusnya kurang efektif dalam mereduksi konsentrasi partikel timbal di udara. Halangan yang berupa vegetasi akan semakin efektif

BAB I PENDAHULUAN. Jalur hijau di sepanjang jalan selain memberikan aspek estetik juga dapat

BAB 1 : PENDAHULUAN. kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor mengeluarkan zat-zat berbahaya yang

Dengan Judul PENGGUNAAN TUMBUHAN SEBAGAI BIOINDIKATOR DALAM PEMANTAUAN PENCEMARAN UDARA

BAB I PENDAHULUAN. Kendaraan bermotor telah lama menjadi salah satu sumber pencemar

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP- 45/MENLH/10/1997 TENTANG INDEKS STANDAR PENCEMAR UDARA LINGKUNGAN HIDUP

DENGAN JUDUL PENGGUNAAN TUMBUHAN SEBAGAI BIOINDIKATOR DALAM PEMANTAUAN PENCEMARAN UDARA

PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR ANATOMI DAUN

SUMMARY. ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL...

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara merupakan satu atau lebih substansi fisik, kimia,

4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011

BAB I PENDAHULUAN. ini dalam mendukung perkembangan kemajuan kota-kota besar di dunia, namun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merril) merupakan salah satu

Mayoritas daun tipis & datar & merup adaptasi yg membantu menangkap sinar mthr utk fotosintesis.

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kota lebih banyak mencerminkan adanya perkembangan

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA KEPUTUSAN GUBERNUR PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 153 TAHUN 2002

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan parameter..., Duniantri Wenang Sari, FKM 2 UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. hidup terutama manusia. Di dalam udara terdapat gas oksigen (O 2 ) untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Mayoritas daun tipis & datar & merup adaptasi yg membantu menangkap sinar mthr utk fotosintesis.

BAB 1 : PENDAHULUAN. Akan tetapi udara yang benar-benar bersih saat ini sudah sulit diperoleh, khususnya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dalam usaha di bidang kesehatan seperti di jelaskan dalam Undang-Undang Nomor

STRUKTUR ANATOMI DAUN AKASIA DAN MAHONI AKIBAT PENGARUH GAS DAN MATERI VULKANIK PASCA LETUSAN GUNUNG MERAPI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PENCEMARAN UDARA LELY RIAWATI, ST., MT.

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Sebagai pusat kota wisata, perindustrian dan perdagangan, kota Bandung

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. PJP I telah mencapai sukses besar, yaitu mengantar Indonesia dari suatu negara

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di era persaingan pasar bebas saat ini, produk suatu industri

PEDOMAN TEKNIS PENETAPAN BAKU MUTU UDARA AMBIEN DAERAH

BAB 1 : PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi suatu negara atau bahkan roda perekonomian dunia. Sektor industri telah

BAB 1 : PENDAHULUAN. Udara tersebut berbentuk gas dan terdapat dimana-mana, sehingga akibatnya

MORFOMETRIK STOMATA TUMBUHAN TREMBESI (Samanea saman Jacq.) DI SEKITAR PT. SEMEN PADANG. Yurike Yolanda, Lince Meriko, Elza Safitri

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara..., Dian Eka Sutra, FKM UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Bencana alam merupakan suatu peristiwa yang dapat terjadi setiap saat,

BAGAN DUDUK DAUN DAN ANATOMI DAUN MONOKOTIL DAN DIKOTIL DISUSUN OLEH: KELOMPOK 2 ACICE (H ) HASTUTI (H411122) ANDI SITTI RAHMA (H411122)

PRAKTIKUM VI I. ALAT DAN BAHAN II. CARA KERJA

BAB I PENDAHULUAN. sempurna. Kegiatan tersebut mengakibatkan adanya unsur-unsur gas, baik itu karbon

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ORGAN DAN SISTEM ORGAN PADA TUMBUHAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan unsur lingkungan hidup lainnya (SNI ).

ANATOMI JARINGAN DAUN DAN PERTUMBUHAN TANAMAN Celosia cristata, Catharanthus roseus, DAN Gomphrena globosa PADA LINGKUNGAN UDARA TERCEMAR

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang semakin menurun untuk mendukung kehidupan mahluk hidup. Menurut

PENDAHULUAN. Tabel 1 Lokasi, jenis industri dan limbah yang mungkin dihasilkan

5. PEMBAHASAN 5.1. Pengaruh waktu pemberian GA3 terhadap pertumbuhan tanaman leek

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

TIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN LINGKUNGAN TANAH

BAB I PENDAHULUAN. lain-lain. Dampak dari pencemaran udara tersebut adalah menyebabkan

Pemantauan dan Analisis Kualitas Udara

BAB I PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap ekosistem secara global. Udara yang kita pakai untuk

Deskripsi Anatomi Tanaman Katuk dan Patah Tulang

BAB I PENDAHULUAN. maupun mahluk hidup lainnya. Tanpa makan manusia bisa hidup untuk beberapa. udara kita hanya dapat hidup untuk beberapa menit saja.

STUDI PENYEBARAN Pb, debu dan CO KEBISINGAN DI KOTA JAKARTA

POKOK BAHASAN 3. JARINGAN DEWASA

Pemantauan dan Analisis Kualitas Udara. Eko Hartini

BAB I PENDAHULUAN. sungai maupun pencemaran udara (Sunu, 2001). dan dapat menjadi media penyebaran penyakit (Agusnar, 2007).

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Gorontalo dibagi menjadi 9 kecamatan, terdiri dari 50 kelurahan. Secara

LAPORAN PRAKTIKUM PEMBUATAN PREPARAT DAN PENGAMATAN STRUKTUR TUMBUHAN. DisusunOleh: Tribuana Maharani Muria XI MIPA 3 / 23 SMA NEGERI 2 WONOSARI

BAB 1 PENDAHULUAN. akibat penggunaan sumber daya alam (Wardhani, 2001).

Transkripsi:

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Gunung Merapi meletus pada tanggal 26 Oktober 2010. Letusan gunung ini mengeluarkan gas dan materi vulkanik. P2PL (2010) melaporkan bahwa letusan Gunung Merapi mengeluarkan berbagai jenis gas dan materi vulkanik yang terdiri dari sulfur dioksida (SO 2 ), gas hidrogen sulfida (H 2 S), nitrogen dioksida (NO 2 ), serta debu dalam bentuk partikel debu (Total Suspended Particulate atau Particulate Matter). Gas-gas dan materi vulkanik yang dihasilkan oleh letusan Gunung Merapi terbawa angin hingga mencemari Kota Yogyakarta. Jarak antara puncak Gunung Merapi dengan Kota Yogyakarta sekitar 30 km. Gas dan materi vulkanik Gunung Merapi mencemari udara di Kota Yogyakarta. Gas dan materi vulkanik memberikan dampak yang buruk bagi mahluk hidup. Salah satu dampak buruk dari gas dan materi vulkanik Merapi yaitu terjadinya perubahan warna daun pada pepohonan di sekitar Kota Yogyakarta. Selain itu, debu vulkanik dapat mengotori permukaan daun pada pepohonan. Pohon yang paling banyak ditanam di kota ini adalah angsana (Pterocarpus indicus Willd.) dan beringin (Ficus benjamina Linn.), sehingga ditentukanlah pohon angsana dan beringin pada Kota Yogyakarta (Lokasi 1) sebagai pohon yang relatif tercemar dan pada Kota Solo (Lokasi 2) sebagai pohon kontrol (Gambar 16 dan Gambar 17). (a) Gambar 16 Pohon angsana di Kota Yogyakarta (a) dan di Kota Solo (b). (b)

31 (a) Gambar 17 Pohon beringin di Kota Yogyakarta (a) dan di Kota Solo (b). (b) 5.1 Kualitas Udara Data kualitas udara antara Kota Yogyakarta dan Solo dilakukan perbandingan baik setelah maupun sebelum terjadinya letusan Gunung Merapi. Data kualitas udara pada Kota Yogyakarta dan Solo pada penelitian ini merupakan data sekunder yang diambil dari Balai Lingkungan Hidup di kedua lokasi. Berdasarkan data kualitas udara setelah letusan Gunung Merapi, Balai Lingkungan Hidup (BLH) Kota Yogyakarta menunjukkan bahwa parameter TSP (debu) dan NO₂ konsentrasinya lebih tinggi dibanding SO₂. Hasil perbandingan parameter kualitas udara pada Kota Yogyakarta dan Solo dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Hasil kualitas udara di lokasi penelitian sebelum dan setelah letusan Gunung Merapi tahun 2010 Hasil Yogyakarta Solo Nilai Parameter Sebelum Setelah Sebelum Setelah Baku Letusan Letusan Letusan Letusan Mutu Merapi Merapi Merapi Merapi SO₂ (µg/nm³) 535,60 51,2 9,28 15,41 900 NO₂ (µg/nm³) 57,59 533,6 24,808 81,54 400 TSP(debu) (µg/nm³) 172 418 * * 230 Keterangan : * = Nilai TSP (debu) < 10 µg/nm³ Sumber : BLH Yogyakarta (2010) dan BLH Solo (2010) Data kualitas udara Kota Yogyakarta sesudah letusan Gunung Merapi menggunakan data hasil pemantauan Balai Lingkungan Hidup di Perempatan Tugu pada tanggal 5 November 2010 (Lampiran 5). Hal tersebut dikarenakan, data hasil pemantauan kualitas udara merupakan lokasi terdekat dengan lokasi

32 pengambilan sampel daun. Secara umun, debu vulkanik yang berasal dari letusan Gunung berapi memiliki ukuran diameter aerodinamik <10µm atau yang lebih dikenal dengan nama PM 10. Namun, pada BLH Kota Yogyakarta melakukan pemantauan hingga pada debu yang memiliki ukuran diameter aerodinamik <2,5 µm. Parameter polutan di Kota Yogyakarta yang melebihi dari baku mutu terdiri dari TSP (debu) dan NO₂. Kadar debu di Kota Yogyakarta sebelum letusan Gunung Merapi terukur 172 µg/nm³ (Lampiran 6 15), sedangkan kadar debu setelah letusan Gunung Merapi terukur 418 µg/nm³. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas udara Kota Yogyakarta melebihi nilai baku mutu yaitu 230 µg/nm³ menurut Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien Daerah. Kadar NO₂ di Kota Yogyakarta setelah letusan Gunung Merapi terukur 533,6 µg/nm³. Hal tersebut melebihi nilai baku mutu yaitu 400 µg/nm³ menurut Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien Daerah. Kadar SO₂ di Kota Yogyakarta setelah letusan Gunung Merapi terukur 51,2 µg/nm³. Hal tersebut tidak melebihi nilai baku mutu yaitu 900 µg/nm³ menurut Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 153 tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien Daerah. Kadar SO₂ di Kota Yogyakarta setelah letusan Gunung Merapi mengalami penurunan dibandingkan kadar SO₂ sebelum terjadi letusan Gunung Merapi. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum terjadi letusan Gunung Merapi, gunung ini mengeluarkan gas SO₂ secara terus-menerus. Pada saat setelah letusan Gunung Merapi, kadar gas SO₂ yang dikeluarkan menjadi berkurang. Selain itu, setelah letusan Gunung Merapi keadaan Kota Yogyakarta tertutup debu vulkanik yang mengakibatkan semua kendaraan bermotor dan industri tidak beroperasi. Oleh karena itu, kadar SO₂ pada kandungan udara Kota Yogyakarta setelah letusan Gunung Merapi lebih rendah dibanding sebelum letusan.

33 Hasil pengukuran kadar debu di kota Solo, baik sebelum maupun sesudah letusan gunung Merapi, terukur <10 µg/nm³ (Lampiran 16 23). Hal tersebut tidak melebihi nilai baku mutu yaitu 230 µg/nm³ Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 8 Tahun 2001 tentang Baku Mutu Udara Ambein di Provinsi Jawa Tengah. Menurut BLH Kota Solo (2010), kadar debu di Kota Solo dari tahun ke tahun selalu rendah sehingga nilai debu tidak dicantumkan dalam laporan. Selain itu, kualitas udara Kota Solo tidak dipengaruhi oleh letusan Gunung Merapi. Kualitas udara pada Tabel 1 menunjukkan bahwa polutan debu yang dihasilkan oleh letusan Gunung Merapi di Kota Yogyakarta nilai konsentrasinya lebih tinggi dibandingkan dengan Kota Solo. Hal ini disebabkan oleh arah dan jarak penyebaran debu vulkanik yang dihasilkan Gunung Merapi bergerak ke arah selatan dan barat dengan jarak sekitar 30 km. Kota Yogyakarta berada di sebelah selatan Gunung Merapi, sedangkan kota Solo berada di sebelah timur gunung Merapi. Oleh karena itu, kadar debu vulkanik di Kota Yogyakarta lebih tinggi dibandingkan di Kota Solo yang tidak tercemar debu vulkanik merapi. Kristanto (2004) menyatakan bahwa pada tempat tertentu konsentrasi partikulat debu dipengaruhi oleh kecepatan emisi melepas debu di udara dan kecepatan dispersi (pembersihan) debu di udara. Daerah perkotaan memiliki kecepatan dispersi (pembersihan) dari udara sangat lambat karena kecepatan dispersi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor meterologis seperti kecepatan dan arah angin. Kecepatan angin di Kota Yogyakarta sebelum terjadinya letusan Gunung Merapi berkisar 5,384 Km/jam, sedangkan setelah terjadi letusan Gunung Merapi kecepatan angin meningkat hingga 18 Km/jam. Banyaknya debu dipengaruhi oleh kecepatan angin, dimana debu akan lebih banyak terakumulasi jika kecepatan angin meningkat (Scorer 1968). Debu letusan Gunung Merapi ini mengakibatkan suhu udara di Kota Yogyakarta menjadi meningkat. Suhu udara sebelum terjadi letusan yaitu 26,7ºC dan setelah terjadi letusan pada tahun 2010 yaitu 27,3 ºC. Keadaan ini mengindikasikan bahwa kondisi Kota Yogyakarta menjadi lebih panas akibat kadar pencemaran debu vulkanik yang berterbangan di udara.

34 Sastrawijaya (2000) menjelaskan bahwa distribusi zat pencemar juga mempengaruhi suhu. Semakin tingginya kadar pencemar debu vulkanik di Kota Yogyakarta akan terjadi peningkatan suhu. Suhu udara yang meningkat mengakibatkan kelembaban udara menurun. Suhu udara di Kota Solo, sebelum letusan merapi adalah berkisar 28,6 C dan setelah letusan merapi adalah berkisar 29,1 ºC. Keadaan ini mengindikasikan bahwa suhu udara di Kota Solo cenderung lebih stabil baik sebelum dan setelah letusan Gunung Merapi. Tingginya konsentrasi NO₂ dan debu di udara dapat dipastikan memberikan pengaruh terhadap lingkungan yang ada di sekitar kawasan Merapi termasuk Kota Yogyakarta. Kadar gas dan debu di udara pada kondisi ini dapat menutup dan masuk ke dalam stomata daun sehingga dapat merusak struktur anatomi daun (Bell & Treshow 2002). Debu yang menutupi mulut daun akan membatasi proses fotosintesis. Terganggunya proses fotosintesis menyebabkan pembentukan protein dan lemak sebagai sumber energi menjadi sedikit sehingga pertumbuhan tanaman akan terganggu (Riikonen et al. 2010). Mudd dan Kozlowzki (1975) menjelaskan bahwa polutan berupa gas dan pertikel yang merusak daun pada umumnya banyak tercatat yaitu perubahan jaringan seperti plasmolisis, granulasi (kekacauan sel), hancurnya sel atau mati dan pigmentasi (perubahan warna sel menjadi lebih gelap). Pengaruh lain dari masuknya bahan pencemar debu adalah terjadinya perobekan atau luka pada jaringan epidermis, hal ini disebabkan karena debu vulkanik mengandung SiO 2 yang bersifat tajam (Sinuaji 2011). 5.2 Stuktur Anatomi Daun Angsana (Pterocarpus indicus Willd.) 5.2.1 Pengamatan Sediaan Sayatan Paradermal Hasil pengamatan sayatan paradermal daun angsana baik pada Kota Yogyakarta maupun Solo, hubungan antara stomata dan sel epidermis dapat diklasifikasikan bahwa tipe susunan stomata angsana yaitu tipe stomata anomositik atau ranunculaceous. Tipe stomata anomositik atau ranunculaceous adalah tipe stomata dimana sel penjaganya dikelilingi oleh sejumlah sel tertentu yang tidak berbeda dengan sel epidermis, baik dalam bentuk maupun ukuran (Fahn 1991). Letak stomata daun angsana termasuk tipe hipostomatik karena stomata pada tanaman ini hanya dijumpai pada sisi bawah daun atau abaksial.

35 Tanaman angsana memiliki trikoma tidak berkelenjar dengan pangkal membulat dan penonjolan multiseriat (Gambar 18). Keterangan: 1 = Sel Epidermis; 2 = Stomata; 3 = Trikoma Tidak Berkelenjar Gambar 18 Penampang sayatan paradermal adaksial daun angsana di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B) ; dan paradermal abaksial di Kota Yogyakarta (C) dan Kota Solo (D), (skala : 100µm). Hasil pengamatan sayatan paradermal tanaman angsana tidak terjadi kerusakan daun akibat gas dan materi vulkanik, tetapi menunjukkan respon anatomi daun. Pengamatan sayatan paradermal angsana dijumpai beberapa parameter yang menunjukkan berbeda nyata antara Kota Yogyakarta dan Solo. Parameter pengamatan yang berbeda nyata tersebut terdiri dari kerapatan stomata, indeks stomata, dan panjang stomata (Tabel 2). Stomata pada jenis tanaman ini dijumpai hanya pada bagian abaksial (bawah) daun. Tanaman angsana memiliki jenis trikoma tidak berkelenjar yang menyerupai rambut-rambut kasar.

36 Tabel 2 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan sediaan sayatan paradermal daun angsana antara lokasi 1 dan lokasi 2 Parameter Nilai Rata-rata Nilai Rata-rata Nilai Hasil Kota Yogyakarta Kota Solo Signifikasi uji-t Kerapatan stomata abaksial (jumlah/mm²) 133,33 190,26 0,001 BN Indeks stomata 7,76 10,51 0,002 BN Panjang stomata (µm) 26,65 24,15 0,003 BN Lebar stomata (µm) 18,17 18,43 0,603 TBN Kerapatan trikoma tidak berkelenjar (jumlah/mm²) 6,00 6,26 0,883 TBN Panjang trikoma tidak berkelenjar (µm) 140,56 148,33 0,591 TBN Keterangan: BN : Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% TBN : Tidak Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% Kerapatan stomata pada tanaman angsana di Kota Yogyakarta yang terpolusi bahan polutan Gunung Merapi (133,33 jumlah/mm²) lebih rendah dibandingkan kerapatan stomata pada tanaman kontrol atau tanaman di Kota Solo (190,26 jumlah/mm²) dan berbeda nyata pada uji-t dengan nilai signifikasi 0,001 (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa tanaman yang terpapar polusi udara, secara anatomi memberikan respon dengan cara mengurangi jumlah stomata. Menurut Dickinson (2000), stomata yang berfungsi sebagai tempat utama bagi polutan untuk melakukan penetrasi terhadap tanaman. Frekuensi stomata diasumsikan menjadi variabel signifikan yang mempengaruhi sensivitas tanaman dan ketahanan daun. Kerapatan stomata ini juga diikuti dengan indeks stomata yang rendah juga. Indeks stomata pada Kota Yogyakarta (7,76) lebih rendah dibandingkan pada Kota Solo (10,51) dan berbeda nyata pada uji-t dengan nilai signifikasi 0,002. Pada Kota Yogyakarta, kerapatan stomata yang rendah diikuti dengan ukuran panjang stomata yang tinggi. Hal ini diperjelas oleh Willmer (1983) yang menyatakan bahwa semakin kecil ukuran stomata maka jumlah frekuensi stomata akan meningkat. Ukuran panjang stomata daun angsana pada Kota Yogyakarta (26,65 µm) lebih tinggi dibandingkan ukuran panjang stomata di Kota Solo atau kontrol (24,14 µm) dan berbeda nyata secara uji-t dengan nilai signifikasi 0,003. Ukuran panjang stomata yang meningkat ini merupakan indikasi adaptasi tanaman terhadap pencemar udara. Menurut Muud dan Kozlowski (1975), tanaman yang tumbuh di lingkungan terpolusi cenderung akan mempertahankan dirinya dengan meningkatkan ukuran stomata. Ukuran panjang stomata yang meningkat ini

37 sangat membantu dalam penyerapan CO₂ untuk fotosintesis. Selain itu, karakteristik stomata yang meliputi ukuran, kerapatan, dan indeks stomata banyak digunakan sebagai bioindikator dan biomonitoring udara (Balasooriya et al. 2008). Kerapatan dan indeks stomata yang menurun serta ukuran panjang stomata yang meningkat pada jenis daun angsana di Kota Yogyakarta merupakan salah satu respon adaptasi dan pertahanan hidup tanaman saat terjadi cekaman lingkungan akibat polusi gas dan materi vulkanik. Selain itu, menurunnya kerapatan dan indeks stomata serta meningkatnya ukuran stomata diduga merupakan modifikasi tanaman angsana untuk mengoptimumkan penangkapan gas CO₂ yang digunakan untuk proses fotosintesis. Respon struktur anatomi yang meliputi menurunnya kerapatan dan indeks stomata serta meningkatnya ukuran panjang stomata juga terjadi pada Nicotiana tabacum karena adanya cekaman lingkungan dari gas polutan yang dilaporkan oleh Pedroso & Alves (2008). Hasil yang berbeda disampaikan oleh Gostin (2009), salah satu respon Trifolium montanum dan Trifolium repens terhadap cekaman gas polutan adalah dengan meningkatkan kerapatan dan indeks stomata. Hal ini menunjukkan bahwa setiap tanaman memiliki respon yang berbeda-beda terhadap polutan udara, baik gas maupun partikel. Tanaman angsana memiliki trikoma dengan pangkal membulat dan penonjolan multiseriat. Trikoma pada tanaman ini merupakan trikoma tidak berkelenjar. Kerapatan trikoma daun angsana pada Kota Yogyakarta (6,00 jumlah/mm²) lebih rendah dibandingkan kerapatan trikoma di Kota Solo (6,26 jumlah/mm²) namun tidak berbeda nyata secara uji-t. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman yang terpolusi gas dan materi vulkanik secara anatomi tidak mempengaruhi kerapatan trikoma. Kondisi perilaku ini tidak lazim karena pada umumnya daun yang memiliki trikoma apabila tercemar gas polutan akan meningkatkan jumlah trikoma tersebut guna mempertahankan dirinya (Azmat et al. 2009). Esau (1977) menjelaskan bahwa peran dari trikoma pada tanaman adalah jelas, yaitu pada beberapa tanaman trikoma dapat mencegah kehilangan air. Selain itu, fungsi trikoma tidak berkelenjar diantarnya adalah mencegah kehilangan air, pertahanan fisik terhadap serangga, dan sebagai biomonitoring lingkungan (Azmat et al 2009).

38 5.2.2 Pengamatan Sediaan Sayatan Transversal Daun angsana bertipe dorsiventral atau bifasial. Dorsiventral atau bifasial adalah daun yang memiliki jaringan palisade di satu sisi daun dan jaringan bunga karang di sisi lainnya (Fahn 1991). Jaringan palisade pada tanaman ini hanya memiliki satu lapis saja, baik tanaman angsana di Kota Yogyakarta maupun di Kota Solo. Hasil pengamatan sayatan transversal pada daun angsana, menunjukkan bahwa tidak terjadi kerusakan daun akibat gas dan materi vulkanik, tetapi menunjukkan respon terhadap struktur anatomi daun antara Kota Yogyakarta dan Solo. Tebal daun angsana pada Kota Yogyakarta lebih besar dibandingkan tebal daun pada Kota Solo yang dapat dilihat pada Gambar 19. Tebalnya daun pada Kota Yogyakarta dipengaruhi peningkatan tebal jaringan palisade. Keterangan: 1 = Kutikula Adaksial 4 = Epidermis Abaksial 2 = Kutikula Abaksial 5 = Palisade 3 = Epidermis Adaksial 6 = Bunga Karang Gambar 19 Penampang sayatan transversal daun angsana di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B), (skala : 100µm). Hasil pengamatan sayatan transversal daun tanaman angsana yang menunjukkan beda nyata antara Kota Yogyakarta dan Solo, yaitu tebal jaringan palisade adaksial. Tebal daun, tebal epidermis adaksial dan abaksial, tebal bunga karang, serta tebal kutikula adaksial dan abaksial tidak menunjukkan beda nyata antara Kota Yogyakarta dan Solo yang disajikan pada Tabel 3.

39 Tabel 3 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan sediaan sayatan transversal daun angsana antara Kota Yogyakarta dan Solo Parameter Nilai Rata-rata Nilai Rata-rata Nilai Hasil Kota Yogyakarta Kota Solo Signifikasi uji-t Tebal daun (µm) 168,40 140,69 0,078 TBN Tebal epidermis adaksial (µm) 19,65 19,93 0,931 TBN Tebal epidermis abaksial (µm) 13,13 12,15 0,422 TBN Tebal palisade (µm) 43,40 33,47 0,02 BN Tebal bunga karang (µm) 79,03 86,18 0,727 TBN Tebal kutikula adaksial (µm) 2,39 1,78 0,168 TBN Tebal kutikula abaksial (µm) 1,92 1,06 0,091 TBN Keterangan: BN : Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% TBN : Tidak Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% Pada tanaman angsana dijumpai perbedaan ketebalan pada jaringan palisade. Ketebalan jaringan palisade adaksial pada Kota Yogyakarta (43,40 µm) lebih tinggi dibandingkan Kota Solo (33,47 µm) dan berbeda nyata secara uji-t. Tebal jaringan palisade yang meningkat pada Kota Yogyakarta merupakan salah satu respon pertumbuhan angsana dengan beradaptasi terhadap gas dan materi vulkanik di sekitar tanaman. Hal yang serupa dilaporkan oleh Dickison (2000), yang menyatakan bahwa gas polutan kendaraan bermotor dapat menyebabkan pertambahan tebal daun dengan bertambahnya tebal jaringan palisade. Selain itu, Ribas et al. (2005) juga melaporkan bahwa pada tanaman Oleo europea juga mengalami peningkatan ketebalan palisade akibat polutan gas ozon. Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Maulana (2004) yang menyatakan bahwa tebal palisade pada tanaman Canarium commune pada keadaan terpolusi gas kendaraan bermotor lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Reaksi tanaman terhadap polusi udara akan memodifikasi jaringannya dengan meningkatkan ketebalan palisade (Radoukova 2009). Tingkat perubahan bentuk pada jaringan palisade akan sangat berpengaruh terhadap proses fisiologi tanaman, terutama pada proses fotosintesis. Menurut Fahn (1991) dan Jahan dan Iqbal (1992), menjelaskan bahwa jaringan palisade terdapat kloroplas yang berfungsi untuk fotosintesis. Selain menurunkan kerapatan dan indeks stomata akibat gas dan materi vulkanik, tanaman angsana juga merespon dengan meningkatkan ketebalan jaringan palisade. Kerapatan stomata dan indeks stomata di Kota Yogyakarta relatif lebih rendah dibandingkan pada Kota Solo. Namun, di sisi lain tanaman memodifikasi dirinya dengan penebalan jaringan palisade yang berfungsi untuk

40 meningkatkan efisiensi fotosintesis. Adanya modifikasi jaringan palisade pada tanaman angsana menunjukkan bahwa tanaman ini dapat beradaptasi secara baik terhadap lingkungan yang tercemar oleh polutan gas dan materi vulkanik Gunung Merapi. Menurut Bell dan Treshow (2002), tanaman yang biasa hidup dan tumbuh di daerah dengan tingkat pencemaran polutan gas dan partikel yang tinggi mampu beradaptasi dengan menebalkan jaringan palisade. Jaringan palisade yang meningkat ini mempengaruhi proses pertumbuhan pada tanaman. Hal ini didukung dengan penelitian pada tanaman Lolium pereme yang cenderung tumbuh lebih baik di lokasi yang terpolusi oleh polutan gas dibandingkan dengan lokasi yang tidak terpolusi (Mansfield 1976). Tanaman angsana termasuk ke dalam tanaman yang memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap lokasi yang terpolusi gas dan partikel. Hal ini sesuai dengan penelitian Roziaty (2009) yang melaporkan bahwa Tanaman angsana termasuk ke dalam tanaman yang memiliki kemampuan adaptasi tinggi (toleran) terhadap polutan gas dan partikel. Selain itu, polutan seperti partikel dapat menghambat pertumbuhan pada suatu tanaman, tetapi tanaman angsana memiliki mekanisme adaptasi dan pertahanan dengan memodifikasi dirinya agar dapat terus bertahan hidup. Hal ini berkaitan bahwa, tanaman angsana banyak ditemukan di sekitar Kota Yogyakarta yang setiap empat tahun sekali terpapar bahan polutan gas dan materi vulkanik erupsi Gunung Merapi. 5.3 Stuktur Anatomi Daun Beringin (Ficus benjamina Linn.) 5.3.1 Pengamatan Sediaan Sayatan Paradermal Hasil pengamatan sayatan paradermal pada daun beringin dijumpai stomata bertipe parasitik atau rubiaceous. Tipe stomata parasitik atau rubiaceous adalah stomata dimana sel penjaganya bergabung dengan satu atau lebih sel tetangga, membentuk sumbu yang sejajar dengan sumbu sel penjaganya (Fahn 1991). Letak stomata daun angsana termasuk tipe hipostomatik karena stomata pada tanaman ini hanya dijumpai pada sisi bawah daun atau abaksial, sedangkan pada sisi atas daun atau adaksial tidak dijumpai stomata (Gambar 20). Selain itu, hasil pengamatan sayatan paradermal pada daun beringin, menunjukkan bahwa tidak

41 terjadi kerusakan daun akibat gas dan materi vulkanik, tetapi menunjukkan respon terhadap struktur anatomi daun antara Kota Yogyakarta dan Solo. Keterangan: 1 = Sel Epidermis; 2 = Stomata; 3 = Trikoma Kelenjar Gambar 20 Penampang sayatan paradermal adaksial daun beringin di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B) ; dan paradermal abaksial di Kota Yogyakarta (C) dan Kota Solo (D), (skala : 100µm). Keterangan: 1 = Trikoma Kelenjar Gambar 21 Hasil sayatan paradermal abaksial daun beringin: trikoma kelenjar di di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B), (skala : 100µm).

42 Hasil pengamatan sayatan paradermal abaksial daun beringin pada kedua lokasi ditemukannya trikoma kelenjar unisel (Gambar 21). Trikoma kelenjar berfungsi untuk mencegah kekeringan pada tanaman, untuk sekresi berbagai bahan seperti larutan garam, nektar, terpentin, dan polisakarida (Fahn 1991). Menurut Cutter (1978), trikoma kelenjar adalah sel sekretori yang dapat mengeluarkan metabolit sekunder. Metabolit sekunder ini dapat berperan sebagai agen penolak serangga. Parameter pengamatan sediaan sayatan paradermal pada jenis tanaman beringin antara Kota Yogyakarta dan Solo tidak berbeda nyata untuk semua parameter pengamatan yang (Tabel 4). Tabel 4 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan sediaan sayatan paradermal daun beringin antara Kota Yogyakarta dan Solo Parameter Nilai Rata-rata Nilai Rata-rata Nilai Hasil Kota Yogyakarta Kota Solo Signifikasi uji-t Kerapatan stomata abaksial (jumlah/mm²) 215,79 239,82 0,688 TBN Indeks stomata 4,66 4,77 0,903 TBN Panjang stomata (µm) 30,95 29,48 0,754 TBN Lebar stomata (µm) 28,07 26,88 0,801 TBN Kerapatan trikoma kelenjar (jumlah/mm²) 14,00 24,58 0,163 TBN Diameter trikoma kelenjar (µm) 6,42 7,11 0,274 TBN Keterangan: BN : Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% TBN : Tidak Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% Parameter kerapatan stomata pada pengamatan sediaan sayatan paradermal daun tanaman beringin tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Namun, nilai kerapatan stomata cenderung menurun. Menurunnya kerapatan stomata pada daun beringin di Kota Yogyakarta merupakan salah satu respon adaptasi dan pertahanan hidup tanaman saat terjadi cekaman lingkungan akibat gas dan materi vulkanik Gunung Merapi. Tanaman akan memodifikasi dirinya apabila mendapat cekaman dari lingkungan yang terdapat gas dan materi vulkanik. Menurut Gostin (2009), tanaman yang mengurangi jumlah stomata akibat cekaman polusi udara merupakan salah satu respon untuk mengurangi masuknya gas polutan. Ukuran stomata pada daun beringin di Kota Yogyakarta dan Solo terlihat berbeda, namun hasil uji-t pada panjang maupun lebar stomata tidak menunjukkan beda nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa tanaman beringin cenderung di Kota Yogyakarta yang terpapar gas dan materi vulkanik memiliki ukuran panjang dan lebar stomata yang lebih besar dibandingkan Kota Solo (Gambar 20). Daun

43 dengan stomata yang ukurannya lebih besar memiliki kemampuan menyerap polutan gas lebih banyak dibandingkan daun dengan stomata yang berukuran lebih kecil (Lambers et al. 2000). Namun modifikasi tersebut memungkinkan tanaman lebih optimum untuk menyerap gas CO₂ yang akan digunakan dalam proses fotosintesis. Hal yang senada juga disampaikan oleh Jahan dan Iqbal (1992), salah satu respon tanaman Ficus bengalensis terhadap polusi gas dan partikel adalah dengan meningkatkan ukuran stomata, baik panjang maupun lebar stomata. 5.3.2 Pengamatan Sediaan Sayatan Transversal Struktur anatomi daun tanaman beringin bertipe isolateral atau isobilateral (Gambar 22). Isolateral atau isobilateral adalah daun yang memiliki jaringan palisade terdapat di kedua sisi daunnya (Fahn 1991). Jaringan palisade pada tanaman ini terdiri dari satu hingga dua lapisan. Hasil pengamatan sayatan transversal pada daun beringin, menunjukkan bahwa tidak terjadi kerusakan struktur anatomi daun akibat gas dan materi vulkanik dan semua parameter pengamatan tidak berbeda nyata secara statistik dibandingkan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa gas dan materi vulkanik Gunung Merapi tidak memberikan pengaruh terhadap struktur anatomi daun tanaman beringin (Tabel 5) Tabel 5 Hasil uji-t terhadap parameter struktur anatomi pada pengamatan sediaan sayatan transversal daun beringin antara Kota Yogyakarta dan Solo Parameter Nilai Rata-rata Nilai Rata-rata Nilai Hasil Kota Yogyakarta Kota Solo Signifikasi uji-t Tebal daun (µm) 269,44 253,06 0,701 TBN Tebal epidermis adaksial (µm) 8,61 8,26 0,803 TBN Tebal epidermis abaksial (µm) 7,15 6,67 0,523 TBN Tebal palisade adaksial (µm) 47,08 44,03 0,646 TBN Tebal palisade abaksial (µm) 18,61 17,99 0,668 TBN Tebal bunga karang (µm) 137,57 105,21 0,267 TBN Tebal kutikula adaksial (µm) 4,11 3,56 0,572 TBN Tebal kutikula abaksial (µm) 3,97 3,64 0,736 TBN Tebal hipodermis adaksial (µm) 49,72 45,76 0,748 TBN Tebal hipodermis abaksial (µm) 10,83 10,76 0,748 TBN Keterangan: TBN : Tidak Beda Nyata pada uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% Namun jika dilihat dari hasil data, terdapat kecenderungan untuk semua parameter menunjukkan nilai yang lebih tinggi pada Kota Yogyakarta dibandingkan Kota Solo. Daun yang lebih tebal di Kota Yogyakarta juga diikuti dengan dengan meningkatnya ketebalan palisade dan bunga karang. Jaringan

44 palisade dan bunga karang yang menebal di Kota Yogyakarta ini terkait dengan jumlah kloroplas yang terkandung di kedua jaringan tersebut. Hal ini berkaitan dengan proses fotosintesis untuk menangkap sinar matahari (Jahan & Iqbal 1992). Keterangan: 1 = Kutikula Adaksial 6 = Hipodermis Abaksial 2 = Kutikula Abaksial 7 = Palisade Adaksial 3 = Epidermis Adaksial 8 = Palisade Abaksial 4 = Epidermis Abaksial 9 = Bunga Karang 5 = Hipodermis Adaksial Gambar 22 Penampang sayatan transversal daun beringin di Kota Yogyakarta (A) dan Kota Solo (B), (skala : 100µm). Berdasarkan hasil pengamatan anatomi daun pada sayatan transversal, tanaman beringin tidak memberikan respon terhadap polusi gas dan materi vulkanik Gunung Merapi. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman beringin tahan terhadap cekaman polusi udara akibat erupsi Gunung Merapi, karena setiap empat tahun sekali di Kota Yogyakarta terpolusi gas dan partikel yang dapat masuk dan menutup permukaan daun pada tanaman. Penelitian yang sama juga dikemukakan oleh Nurmal (2000) yang melaporkan bahwa tanaman beringin sangat tahan terhadap pengaruh polutan gas dan debu. Daya tahan suatu tanaman menurut Gultom (1996) dipengaruhi oleh faktor luar dan dalam tanaman itu dan kondisi lingkungannya.