BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan di Indonesia telah dilalui sejak kemerdekaannya 70

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Sebelum otonomi daerah tahun 2001, Indonesia menganut sistem

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga saat ini menarik untuk dicermati. Era

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan secara proporsional, artinya pelimpahan tanggung jawab akan diikuti

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah telah melakukan reformasi di bidang pemerintahan daerah dan

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan menguatnya

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

I. PENDAHULUAN. Lampung Selatan merupakan pusat kota dan ibukota kabupaten. Pembangunan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian. wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah suatu konsekuensi reformasi yang harus. dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, terutama kabupaten dan kota

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. (United Nations Development Programme) sejak tahun 1996 dalam seri laporan

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH AGUSTUS 2012

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH, AGUSTUS 2010

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah. sumber daya alamnya sendiri. Sumber dana bagi daerah antara lain terdiri dari

*) Bekerja di BPS Provinsi Kalimantan Tngah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB I PENDAHULUAN. melalui penyerahan pengelolaan wilayahnya sendiri. Undang-Undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan

BAB I PENDAHULUAN. nyata dan bertanggung jawab. Sesuai UU Nomor 23 Tahun 2014 pasal 1

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Tugas Pembantuan.

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan yang sebaik mungkin. Untuk mencapai hakekat dan arah dari

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. era baru dengan dijalankannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas

BAB I PENDAHULUAN. daerahnya sendiri, pada tahun ini juga tonggak sejarah reformasi manajemen

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Lahirnya otonomi daerah memberikan kewenangan kepada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

1 UNIVERSITAS INDONESIA

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003, pendapatan daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. sebagian masyarakat Indonesia mendukung dengan adanya berbagai tuntutan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem pemerintahan di Indonesia telah dilalui sejak kemerdekaannya 70 tahun yang lalu. Pada tahun 1945 1960, ada dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 merupakan pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah (KNID), sangat jelas pro-desentralisasi dan lebih mengutamakan otonomi daerah yang berkedaulatan rakyat. Namun, kemampuan desentralisasi finansial yang tidak memadai menyebabkan kemampuan daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri sebagaimana yang diharapkan tidak bisa diwujudkan secara maksimal. Permasalahan ini makin bertambah rumit saat situasi politik yang berjalan tidak menentu (Wignjosoebroto, 2010). Pada masa tahun 1960 1990an sistem pemerintahan yang dianut kembali pada sistem pemerintahan sentralisasi, walaupun dalam masa itu ada terbentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Otonomi daerah yang didefenisikan disini tidak hanya sebagai hak dan wewenang, tetapi juga kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Pergantian pemerintahan dari orde baru kepada orde reformasi yang dimulai pada pertengahan tahun 1998 menuntut 1

pelaksanaan otonomi daerah yang memberikan wewenang yang lebih luas dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional. Pemberian kewenangan ini diwujudkan dengan pengaturan pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional serta perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang sesuai dengan prinsip demokrasi dan partisipasi masyarakat. Aritenang (2008 ) menegaskan bahwa krisis keuangan dan perubahan sistem politik menjadi pemicu dimulainya era desentralisasi di Indonesia. Hal ini yang telah mendorong Indonesia yang pada awalnya merupakan negara dengan sistem sentralisasi menjadi salah satu negara yang paling terdesentralisasi. Negara ini telah memulai program desentralisasi fiskal, administrasi dan politik pada saat yang bersamaan. Sejak tahun 2001 seluruh kabupaten/kota di Indonesia melaksanakan otonomi daerah atau desentralisasi. Secara umum, otonomi daerah dilaksanakan dengan dua tujuan, yaitu tujuan politis dan tujuan administratif. Secara politis, kebijakan otonomi daerah adalah mengakomodir kebutuhan politis suatu daerah sehingga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dapat terjaga. Selain itu, kebijakan dimaksud juga ditujukan untuk pembelajaran politik bagi masyarakat daerah. Pembelajaran tersebut tidak hanya pada tingkat pimpinan daerah provinsi sampai dengan tingkat pimpinan desa atau kelurahan bahkan sampai pada masyarakat kalangan bawah. Pada akhirnya diharapkan kebijakan ini dapat mewujudkan civil society. Secara administratif, kebijakan desentralisasi ini juga ditujukan untuk memposisikan Pemerintah Daerah sebagai pelaku utama dalam menyediakan pelayanan masyarakat secara efisien dan efektif. Fungsi 2

pelayanan yang diberikan Pemerintah Daerah ini diharapkan dapat berjalan secara baik mulai dari tahap perencanaan sampai dengan tahap evaluasi akhir pelayanan tersebut. Harapan dilaksanakannya otonomi daerah atau desentralisasi, pemerintah daerah akan lebih fleksibel dalam mengatur strategi pembangunannya, karena dengan desentralisasi pemerintah akan lebih dekat dengan masyarakatnya, sehingga makin banyak keinginan masyarakat dapat dipenuhi oleh pemerintah. Dengan desentralisasi diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dan kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia pada masa yang akan datang. Sebab dengan makin dekat pemerintah dengan masyarakat, desentralisasi diharapkan penyelenggaraan pemerintahan di daerah dilakukan dengan lebih efektif, efisien, dan bertanggungjawab. Selain itu, pemberian otonomi kepada daerah sangat perlu untuk memperbesar partisipasi masyarakat di seluruh Indonesia dalam memberikan keputusan yang berdampak langsung kepada daerahnya, sebab sangat tidak realistik Pemerintah Pusat membuat keputusan mengenai pelayanan masyarakat untuk seluruh wilayah negara. Demikian juga diyakini bahwa masyarakat lokal melalui kabupaten/kota memiliki pengetahuan yang lebih tentang kebutuhan, kondisi dan yang diprioritaskan. Mobilisasi sumber daya lebih dimungkinkan dilakukan oleh masyarakat yang dekat dengan pengambil keputusan di tingkat lokal (Siman juntak, 2003). Yunisvita (2011 ) mengatakan bahwa dengan otonomi daerah, anggaran daerah menjadi pintu penting yang paling mungkin setiap daerah mendinamisir kegiatan pembangunan 3

melalui alokasi yang tepat dalam rangka membuat strategi untuk menciptakan kebijakan yang lebih tepat sesuai situasi masing-masing daerah. Dalam menyelenggarakan pemerintahan, pengelolaan keuangan daerah merupakan salah satu unsur penting. Pertanggungjawaban yang memadai harus mempunyai sifat mudah dimengerti dan memiliki hubungan informasi yang mencerminkan kinerja pemerintah daerah dalam menyelenggarakan tugastugasnya untuk memajukan kesejahteraan masyarakatnya. Akuntabilitas atau pertanggungjawaban pemerintah daerah dalam keuangan daerah memiliki dimensi dan cakupan pengaruh yang sangat besar bagi daerah yang bersangkutan dalam konteks pemerintahan, akuntabilitas mempunyai arti pertanggungjawaban yang merupakan salah satu ciri dari terapan pengelolaan pemerintah yang baik (Halim, 2004). Sebagai konsekuensi dari kewenangan otonomi yang luas tersebut, pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk meningkatkan pelayanan kesejahteraan masyarakat secara demokratis, adil, merata, dan berkesinambungan. Kewajiban itu bisa dipenuhi apabila pemerintah daerah mampu mengelola potensi daerahnya, yaitu sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya keuangannya secara optimal. Kabupaten/kota sebagai daerah otonom memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber keuangan sendiri, sedangkan ketergantungan pada pemerintah pusat diusahakan seminimal mungkin. Perimbangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dapat dikatakan ideal apabila setiap tingkat pemerintahan dapat secara independen mengatur keuangannya untuk membiayai tugas dan wewenang daerahnya masing-masing. Konsekuensinya 4

adalah pemerintah daerah sebagai pihak yang diserahi tugas untuk menjalankan roda pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat di daerah wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan daerahnya untuk dinilai apakah pemerintah daerah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak. Salah satu alat yang dapat digunakan untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah melakukan analisis kinerja keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakan. Analisis kinerja keuangan pada APBD dilakukan dengan membandingkan hasil yang dicapai dari satu periode dengan periode sebelumnya, sehingga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi. Selain itu dapat pula dilakukan dengan cara membandingkan antara rasio keuangan yang dimiliki suatu pemerintah daerah tertentu dengan rasio keuangan daerah lain yang terdekat ataupun yang potensi daerahnya relatif sama untuk dilihat bagaimana posisi rasio keuangan pemerintah daerah tersebut terhadap pemerintah daerah lainnya. Analisis kinerja keuangan daerah yang dilakukan dengan menghitung rasio-rasio keuangan terhadap laporan perhitungan APBD merupakan bentuk dari akuntabilitas program, yaitu terkait dengan pertimbangan apakah tujuan yang ditetapkan dapat dicapai atau tidak, dan apakah pemerintah daerah telah membandingkan alternatif program yang dapat memberikan hasil yang optimal dengan biaya yang minimal. Untuk lebih menjamin tercapainya tujuan tersebut pemerintah telah menerbitkan beberapa peraturan, antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan 5

Daerah, dan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Beberapa rasio yang dapat digunakan dalam menganalisis data keuangan yang bersumber dari APBD antara lain: a) rasio kemandirian, untuk menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah; b) rasio efektivitas, untuk mengukur tingkat ekonomis, efektivitas, dan efisiensi dalam merealisasikan pendapatan daerah; c) rasio keserasian, untuk mengukur sejauh mana aktivitas pemerintah daerah dalam membelanjakan pendapatan daerahnya; dan d) rasio pertumbuhan dan proporsi APBD untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluaran pemerintah daerah (Halim, 2004). Tabel 1.1 Total Pendapatan Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah Tahun Anggaran 2008-2012 (Juta Rupiah) No. Kab./Kota 2008 2009 2010 2011 2012 1 Kotawaringin Barat 494.130,39 569.909,19 565.476,30 610.152,39 689.427,97 2 Kotawaringin Timur 467.800,15 661.906,99 671.397,47 828.734,51 927.039,48 3 Kapuas 341.641,73 662.816,65 720.581,23 862.118,47 976.057,99 4 Barito Selatan 496.000,00 170.800,43 537.494,78 580.894,71 639.820,69 5 Barito Utara 430.900,00 467.346,02 477.683,65 576.069,10 590.269,94 6 Sukamara 604.587,08 373.972,92 364.877,36 385.968,93 424.229,71 7 Lamandau 371.196,29 394.100,58 381.250,70 452.237,62 487.310,67 8 Seruyan 539.878,11 536.331,57 587.788,76 603.406,56 684.214,89 9 Katingan 547.182,79 542.115,24 572.349,73 596.523,00 662.260,39 10 Pulang Pisau 514.288,00 437.745,62 437.959,64 520.773,74 532.393,82 11 Gunung Mas 369.972,70 457.331,34 453.727,53 529.087,27 566.863,82 12 Barito Timur 372.524,54 381.020,06 387.893,12 507.427,11 528.607,20 13 Murung Raya 411.761,71 496.657,60 594.908,28 608.217,51 736.202,97 14 Palangka Raya 468.377,14 520.442,46 541.747,97 649.020,12 715.735,08 Kalimantan Tengah 6.430.240,68 6.672.496,68 7.295.136,52 8.310.631,03 9.160.434,63 Sumber: BPS Provinsi Kalimantan Tengah, 2013 6

Provinsi Kalimantan Tengah sebagai salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki 13 kabupaten dan 1 kota, sejak tahun 2001 juga telah melaksanakan otonomi daerah. Penerimaan daerah, baik yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan lebih banyak mengalami peningkatan ( Tabel 1.1). Peningkatan pendapatan daerah kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Tengah lebih sering diakibatkan oleh meningkatnya bantuan pemerintah pusat berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). DAU adalah dana yang bersumber dari APBN yang alokasikan untuk tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka desentralisasi, sedangkan DAK juga bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Untuk mengetahui perkembangan kemampuan keuangan daerah salah satunya adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD), karena setiap daerah dapat meningkatkan kemampuan dalam menghasilkan dan mengelola PAD sehingga mengurangi ketergantungan transfer dari pemerintah pusat. PAD yang bersumber dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah sejak tahun 2010 di seluruh provinsi di Indonesia jumlahnya sudah melebihi total dana perimbangan yang ditransfer dari pemerintah pusat ke daerah. Hal ini mengindikasikan bahwa secara nasional pemerintah daerah terus berupaya untuk menurunkan porsi 7

transfer dari pemerintah pusat di dalam APBD-nya dengan terus meningkatkan PAD. Pada Tabel 1.2 dapat dilihat bahwa penerimaan PAD kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Tengah pada Tahun 2007-2011 tidak merata. Halim (2001) mengatakan bahwa kemampuan suatu daerah untuk menggali pendapatan asli daerah antara lain sangat ditentukan oleh potensi yang dimiliki suatu wilayah, seperti pendapatan dan juga kontribusi sektor-sektor ekonomi terhadap PDRB, disamping struktur sosial politik dan kelembagaan, kemampuan atau kecakapan administratif, kejujuran dan integritas dari semua elemen perpajakan daerah. PAD di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Katingan dan Kota Palangkaraya lebih tinggi dibandingkan kabupaten/kota yang lain di Provinsi Kalimantan Tengah. Tabel 1.2 Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah Tahun Anggaran 2007-2012 (Juta Rupiah) No. Kab/Kota 2007 2008 2009 2010 2011 2012 1 Kotawaringin Barat 6.578 7.108 7.546 8.389 9.534 9.989 2 Kotawaringin Timur 23.278 40.842 46.212 57.677 82.317 90.539 3 Lamandau 9.934 11.606 11.988 12.212 12.839 13.641 4 Sukamara 9.934 11.610 11.760 12.340 12.760 13.595 5 Seruyan 11.237 12.508 13.600 18.390 28.130 28.673 6 Katingan 35.820 21.819 34.750 24.900 37.500 32.890 7 Pulang Pisau 2.847 8.949 13.721 8.213 13.768 15.831 8 Kapuas 15.542 23.120 19.409 18.410 23.953 23.720 9 Barito Selatan 14.685 15.596 15.450 16.097 14.605 15.389 10 Barito Timur 12.834 14.542 18.957 12.834 17.860 17.909 11 Barito Utara 17.333 17.914 19.845 20.157 20.579 21.787 12 Murung Raya 10.092 11.654 18.783 14.270 14.980 17.673 13 Gunung Mas 4.378 4.778 6.109 7.305 7.645 8.761 14 Palangka Raya 26.084 24.599 22.535 26.197 34.973 32.691 Kalimantan Tengah 200.581 226.654 260.670 257.398 331.449 343.094 Sumber : BPS Provinsi Kalimantan Tengah, 2013 8

Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Khusus, dan Dana Alokasi Umum. Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan penjumlahan dari Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (Sumber Daya Alam). Pemerintah daerah akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi apabila Dana Bagi Hasil yang diperoleh pemerintah daerah semakin besar. Pada Dana Bagi Hasil Pajak terdapat tiga penerimaan, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan, Bagi Hasil Pajak Penghasilan, dan Bagi Hasil Cukai dari Cukai Tembakau. Dana Alokasi Umum (DAU) adalah sejumlah dana yang dialokasikan kepada setiap daerah otonom (provinsi/kabupaten/kota) di Indonesia setiap tahunnya sebagai dana pembangunan. DAU merupakan salah satu komponen belanja pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ( APBN) dan menjadi salah satu komponen pendapatan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Tujuan DAU adalah sebagai pemerataan keuangan antar-daerah untuk mendanai kebutuhan daerah otonom dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah salah satu mekanisme transfer keuangan Pemerintah Pusat ke Daerah yang bertujuan antara lain untuk meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana fisik daerah sesuai prioritas nasional serta mengurangi kesenjangan laju pertumbuhan antara daerah dan pelayanan antar bidang. Pengalokasian DAK kepada daerah sepenuhnya menjadi wewenang Pemerintah Pusat berdasarkan kriteria tertentu. Pemerintah pusat sangat dominan dalam hal mekanisme penyaluran Dana Perimbangan khususnya terkait dengan Dana Bagi Hasil Pajak dan seringkali tidak sesuai dengan yang diharapkan, baik pada saat penyalurannya maupun 9

berapa besar jumlah yang disalurkan kepada pemerintah daerah. Selain itu potensi Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak belum optimal tergali di Provinsi Kalimantan Tengah, sehingga hal ini berpengaruh terhadap besaran Dana Bagi Hasil kepada daerah. Hal ini tentu saja juga dipengaruhi oleh bargaining position daerah dalam menentukan berapa besar jumlah potensi yang menjadi bagian dari pemerintah daerah. Tabel 1.3 Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (Sumber Daya Alam) di Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Tengah, Tahun 2008 2012. (Juta Rupiah) No. Kabupaten/Kota 2008 2009 2010 2011 2012 1 Kotawaringin Barat 23.574,87 22.476,11 26.596,07 28.943,97 34.980,61 2 Kotawaringin Timur 36.554,20 34.070,93 38.758,37 43.445,81 44.151,25 3 Kapuas 19.483,85 18.472,07 30.956,67 44.541,49 70.617,16 4 Barito Selatan 8.428,45 9.523,02 14.189,09 69.084,91 27.573,72 5 Barito Utara 24.259,44 26.114,27 55.712,19 56.912,56 68.977,90 6 Sukamara 13.278,19 18.335,50 19.945,00 22.305,00 23.485,00 7 Lamandau 20.649,99 25.717,20 30.784,40 31.892,87 34.027,86 8 Seruyan 22.835,00 32.180,00 50.870,00 53.070,00 61.065,00 9 Katingan 19.216,45 42.989,34 48.276,28 55.049,31 54.550,61 10 Pulang Pisau 15.109,73 15.537,05 18.435,50 20.292,09 20.818,59 11 Gunung Mas 19.484,83 19.728,19 13.922,88 23.453,54 32.363,47 12 Barito Timur 22.445,94 22.700,87 19.997,61 19.079,66 19.533,17 13 Murung Raya 63.072,81 69.721,40 58.091,94 104.168,91 144.725,78 14 Palangka Raya 11.501,06 13.048,73 32.271,10 32.103,56 26.770,51 Sumber: BPS Provinsi Kalimantan Tengah, 2013 Perolehan Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (Sumber Daya Alam) di kabupaten/kota Provinsi Kalimantan Tengah bervariasi antara satu sama lain (Tabel 1.3). Dana Bagi Hasil dari Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Iuran Tetap ( Landrent), dan Iuran Eksplorasi dan Eksploitasi (Royalti) merupakan penyumbang terbesar bagi Dana Bagi Hasil di Provinsi Kalimantan Tengah. Kabupaten Murung Raya merupakan kabupaten yang menerima Dana Bagi Hasil 10

Bukan Pajak (S umber Daya Alam) terbesar dibandingkan kabupaten/kota yang lain di Provinsi Kalimantan Tengah. Kabupaten Murung Raya sebagian besar wilayahnya terletak pada ketinggian 100-200 m di atas permukaan laut dan sisanya pada ketinggian 400-500 m diatas permukaan laut. Potensi terbesar wilayah ini ada pada sektor kehutanan dan pertambangan. Sektor kehutanan sudah cukup lama turut menyumbang pemasukan bagi negara sedangkan sektor pertambangan, seperti tambang emas dan tambang intan juga memberikan andil yang cukup besar. Sementara tambang batubara sudah mulai diproduksi yang menjadi pemasukan cukup besar bagi daerah. Jenis tanah di Kabupaten Murung Raya sesuai untuk berbagai penggunaan seperti perkebunan kelapa, kelapa sawit, karet, tanaman pangan dan persawahan. Kabupaten Barito Selatan dan Kota Palangka Raya merupakan penerima Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (Sumber Daya Alam) terkecil dibandingkan kabupaten lain di Provinsi Kalimantan Tengah. Berbeda dengan Kabupaten Murung Raya, perekonomian Kabupaten Barito Selatan didominasi oleh Sektor Pertanian (tanaman padi sawah), Sektor Jasa, dan Sektor Perdagangan, sedangkan Kota Palangka Raya didominasi oleh Sektor Jasa kemudian disusul oleh Sektor Pengangkutan dan Komunikasi, Sektor Restoran dan Hotel, dan terakhir oleh Sektor Bangunan. Sementara itu Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan sangat sedikit sebagai penyumbang dalam perekonomian Kota Palangka Raya. Walaupun kawasan hutan di Kota Palangka Raya terbesar namun tanahnya merupakan tanah mineral dan tanah gambut. Demikian halnya dengan 11

Kabupaten Barito Selatan yang berada di pesisir Sungai Barito memiliki dataran rendah dan merupakan daerah rawa pasang surut. Rendahnya kapasitas dan kemampuan pengelolaan keuangan daerah akan sering menimbulkan siklus efek negatif, yaitu rendahnya tingkat pelayanan bagi masyarakat dan atau tidak mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berkaitan dengan pengukuran kesejahteraan masyarakat, pendapatan perkapita merupakan indikator penting, dengan meningkatnya pendapatan perkapita menyebabkan akses masyarakat terhadap pendidikan kesehatan juga meningkat. Dari Tahun 2005 sampai dengan Tahun 2011 PDRB per kapita kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Tengah mengalami peningkatan menurut harga konstan tahun 2000, seperti tersaji pada Tabel 1.4. Tabel 1.4 PDRB Per Kapita Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah Menurut Harga Konstan Tahun 2000,Selama Tahun 2006-2011 (Juta Rupiah) No. Kab/Kota 2006 2007 2008 2009 2010 2011 1 Kotawaringin Barat 9,51 9,78 10,38 10,68 11,01 11,61 2 Kotawaringin Timur 6,90 7,17 7,30 7,61 7,98 8,42 3 Lamandau 8,20 8,54 8,77 9,03 9,34 9,79 4 Sukamara 13,91 13,65 13,24 13,21 13,35 13,95 5 Seruyan 7,30 8,56 8,10 8,43 8,51 8,61 6 Katingan 7,71 7,95 8,19 8,42 8,74 9,14 7 Pulang Pisau 4,79 5,05 5,30 5,86 6,16 6,42 8 Kapuas 5,52 5,74 5,95 6,25 6,57 6,85 9 Barito Selatan 6,79 7,08 7,19 7,49 7,83 8,17 10 Barito Timur 5,49 5,69 5,97 6,60 6,83 7,13 11 Barito Utara 7,26 7,99 8,02 8,38 8,78 9,19 12 Murung Raya 8,62 8,85 9,13 9,52 9,78 10,25 13 Gunung Mas 5,22 6,24 6,64 6,80 7,01 7,34 14 Palangka Raya 4,91 5,05 5,06 5,24 5,41 6,45 Kalimantan Tengah 7,30 7,67 7,80 8,11 8,38 8,81 Sumber : BPS Provinsi Kalimantan Tengah, 2012 12

Selama Tahun 2006 2011 PDRB per kapita menurut harga konstan tahun 2000 di Provinsi Kalimantan Tengah mengalami kenaikan rata-rata pertahun sebesar 8,01 persen, yaitu dari Rp 7.296.486,- menjadi Rp 8.809.940,-. Berdasarkan Tabel 1.5 juga dapat diketahui bahwa selama Tahun 2006 2011 Kota Palangka Raya memiliki PDRB per kapita yang paling rendah, sedangkan yang tertinggi adalah Kabupaten Sukamara. No. Tabel 1.5 Jumlah Pengangguran dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Tengah, Tahun 2009-2011 Daerah Agustus 2009 Agustus 2010 Agustus 2011 Pengangguran (Orang) TPT (%) Pengangguran (Orang) TPT (%) Pengangguran (orang) 1 Kotawaringin Barat 5.175 4,74 4.836 4,46 3.470 2,81 2 Kotawaringin Timur 6.742 4,42 7.476 4,16 3.987 2,08 3 Kapuas 11.080 5,35 7.390 4,17 6.000 3,52 4 Barito Selatan 2.524 4,00 3.166 5,51 1.609 2,52 5 Barito Utara 2.166 3,50 1.502 2,30 428 0,70 6 Sukamara 988 5,66 1.122 5,32 132 0,58 7 Lamandau 1.319 4,86 912 2,95 863 2,53 8 Seruyan 1.743 3,52 2.925 4,46 1.787 2,41 9 Katingan 3.046 4,42 1.893 3,34 1.937 2,61 10 Pulang Pisau 1.608 2,26 1.199 2,11 1.659 2,62 11 Gunung Mas 1.741 4,15 2.050 4,45 1.130 2,38 12 Barito Timur 1.622 3,22 731 1,35 1.055 2,07 13 Murung Raya 637 1,62 489 1,03 610 1,32 14 Palangka Raya 8.044 9,17 8.462 8,48 4.219 3,82 Kalimantan Tengah 48.435 4,62 44.153 4,14 28.886 2,55 Sumber : BPS Provinsi Kalimantan Tengah, 2012 TPT (%) Keberhasilan pembangunan ekonomi daerah juga ditentukan oleh angka pengangguran, makin tinggi angka pengangguran mengidikasikan kinerja pembangunan ekonomi daerah makin buruk (Noor, 2013). Berdasarkan Tabel 1.5 jumlah dan persentase penduduk Provinsi Kalimantan Tengah yang menganggur terus mengalami penurunan. Pada Tahun 2009 jumlah Pengangguran di Provinsi 13

Kalimantan Tengah adalah 48.435 orang dan turun menjadi 28.886 orang pada tahun 2011. Jumlah pengangguran terbanyak berada di Kabupaten Kapuas yang mencapai 6.000 orang atau sekitar 3,52 persen dari jumlah penduduk yang menganggur di Provinsi Kalimantan Tengah, sedangkan jumlah Pengangguran tersedikit adalah di Kabupaten Sukamara pada Tahun 2011. Penurunan angka pengangguran tidak sepenuhnya mempengaruhi kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Hal ini mengingat salah satu indikator yang sering dipergunakan untuk mengukur kesejahteraan masyarakat saat ini adalah dengan melihat Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM merupakan salah satu cara yang dipergunakan untuk mengukur keberhasilan atau kinerja ekonomi daerah dalam bidang penyiapan modal manusia ( human capital). Modal manusia yang baik diukur melalui kualitas fisik yang tercermin dari angka harapan hidup, sedangkan kualitas non fisik tercermin dari kualitas pendidikan dan mempertimbangkan kemampuan ekonomi. Dengan demikian dalam rangka mewujudkan daerah dengan kualitas human capital yang baik, pemerintah daerah menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk membiayai pembangunan di sektor-sektor pelayanan dasar, yaitu pendidikan dan kesehatan. IPM yang terdiri dari 3 (tiga) komponen utama, yaitu: 1) kesehatan yang diukur melalui angka harapan hidup; 2) pendidikan yang diukur melalui angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah; dan 3) kehidupan yang layak diukur melalui pengeluaran per kapita riil. Dengan memadukan data sosial dan ekonomi, konsep HDI memungkinkan negara-negara untuk mengambil ukuran yang lebih 14

luas bagi kinerja pembangunan mereka, baik secara relatif maupun absolut; disamping itu kebijakan-kebijakan ekonomi dan sosial mereka dapat diarahkan ke sektor atau kawasan yang memang paling membutuhkannya (Todaro, 2000). Tabel 1.6 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah, Tahun 2007-2013 No. Kabupaten/Kota IPM 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 1 Kotawaringin Barat 72,14 72,86 73,30 73,79 74,19 74,69 75,11 2 Kotawaringin Timur 72,90 73,36 73,97 74,34 74,74 75,14 75,40 3 Kapuas 72,58 72,89 73,22 73,60 74,00 74,33 74,48 4 Barito Selatan 72,56 72,96 73,29 73,60 74,01 74,34 74,54 5 Barito Utara 74,12 74,57 74,85 75,15 75,50 75,97 76,13 6 Sukamara 70,65 71,00 71,62 71,98 72,42 72,88 73,24 7 Lamandau 71,54 71,98 72,08 72,32 72,74 73,13 73,29 8 Seruyan 71,62 72,00 72,28 72,55 72,93 73,24 73,36 9 Katingan 71,59 72,06 72,33 72,65 73,32 73,67 73,83 10 Pulang Pisau 70,10 70,63 71,18 71,53 72,37 72,75 73,18 11 Gunung Mas 72,40 72,85 73,13 73,43 73,73 74,08 74,26 12 Barito Timur 71,66 72,17 72,72 73,00 73,33 73,75 73,86 13 Murung Raya 71,62 72,18 72,46 72,84 73,34 73,77 73,98 14 Palangka Raya 77,47 77,90 78,02 78,30 78,78 79,30 79,52 Kalimantan Tengah 72,49 73,88 74,36 74,64 75,06 75,46 75,68 Sumber : BPS Provinsi Kalimantan Tengah, 2014 Perkembangan angka IPM dari tahun ke tahun memberikan indikasi peningkatan atau penurunan kinerja pembangunan manusia setiap tahunnya. IPM Provinsi Kalimantan Tengah berada pada angka 72,35 pada Tahun 2007 meningkat 3,3 poin menjadi 75,68 pada Tahun 2013. Kondisi IPM kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2007-2013 dapat dilihat pada Tabel 1.6. Pada tabel ini, diketahui bahwa pada Kota Palangka Raya dengan nilai IPM sebesar 79,52 berada pada peringkat teratas di Provinsi Kalimantan Tengah melampaui angka IPM Provinsi Kalimantan Tengah dan bahkan melampaui IPM 15

Nasional tahun 2013 sebesar 73,81. IPM terendah terdapat di Kabupaten Pulang Pisau dengan nilai IPM sebesar 73,18 pada tahun 2013. Hampir seluruh kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah berada dibawah nilai IPM provinsi, kecuali Kabupaten Barito Utara dan Kota Palangka Raya. Nilai IPM seluruh kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Tengah selalu bergerak kearah positif atau cederung meningkat, hal ini menunjukkan bahwa adanya peningkatan kesejahteraan di Provinsi Kalimantan Tengah. 1.2 Rumusan Masalah Kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan utama dari pembangunan nasional. Keberhasilan pembangunan tanpa menyertakan peningkatan kesejahteraan masyarakat akan mengakibatkan kesenjangan dan ketimpangan dalam kehidupan masyarakat. Untuk mengukur kesejahteraan masyarakat dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM Provinsi Kalimantan Tengah sudah berada di atas IPM nasional, namun jika dilihat dari IPM kabupaten/kota hanya kabupaten Barito Utara dan Kota Palangka Raya yang nilai IPM berada diatas IPM Provinsi Kalimantan Tengah dan IPM Nasional. Secara keseluruhan IPM kabupaten/kota nilai IPM mengalami peningkatan namun kemajuan ini tidak terlepas dari masalah kesenjangan karena masing-masing kabupaten/kota memiliki capaian komponen yang berbeda. Pengelolaan keuangan daerah dalam bentuk pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel diduga dapat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat, demikian pula dengan proses pembangunan ekonomi dalam memanfaatkan sumber daya yang dimiliki daerah. Perubahan struktur ekonomi masyarakat yang 16

terjadi menunjukkan bahwa terjadi pergeseran perubahan ke arah yang lebih baik yang menuju pada kesejahteraan masyarakat. Otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Untuk menyelenggarakan otonomi daerah tersebut, maka daerah diberikan kewenangan untuk menggali sumber keuangan daerah sendiri yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta antara provinsi dan kabupaten/kota sebagai prasyarat dalam sistem pemerintahan daerah. Pengelolaan keuangan daerah memiliki hubungan yang kuat dengan pembangunan ekonomi daerah terutama melalui pendapatan dan belanja daerah yang mengarah pada pencapaian kesejahteraan masyarakat. Keuangan daerah dapat digunakan untuk mendorong dan meningkatkan pembangunan ekonomi daerah yang selanjutnya dapat mensejahterakan masyarakat. Pengelolaan keuangan daerah memang tidak dapat dirasakan dalam jangka pendek melainkan baru dapat dirasakan dalam jangka panjang. Oleh karena itu dalam penelitian ingin melihat pengaruh kinerja keuangan daerah, pembangunan ekonomi dan perubahan struktur ekonomi terhadap kesejahteraan masyarakat di Provinsi Kalimantan Tengah. Karena hasil dan bukti berbeda antar satu negara dengan negara lain ataupun satu daerah dengan daerah lain menghasilkan sifat dan dampak yang tergantung pada kondisi masing-masing daerah. 17

Berdasarkan uraian latar belakang dirumuskan masalah untuk diteliti sebagai berikut, yaitu. 1) Bagaimanakah pengaruh kinerja keuangan daerah terhadap kinerja pembangunan ekonomi di Provinsi Kalimantan Tengah? 2) Bagaimanakah pengaruh kinerja keuangan daerah dan kinerja pembangunan ekonomi terhadap perubahan struktur ekonomi di Provinsi Kalimantan Tengah? 3) Bagaimanakah pengaruh kinerja keuangan daerah, kinerja pembangunan ekonomi dan perubahan struktur ekonomi terhadap kesejahteraan masyarakat di Provinsi Kalimantan Tengah? 4) Apakah kinerja keuangan daerah berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat melalui kinerja pembangunan ekonomi dan perubahan struktur ekonomi di Provinsi Kalimantan Tengah? 5) Apakah kinerja keuangan daerah berpengaruh terhadap perubahan struktur ekonomi melalui kinerja pembangunan ekonomi di Provinsi Kalimantan Tengah? 6) Apakah kinerja pembangunan ekonomi berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat melalui perubahan struktur ekonomi di Provinsi Kalimantan Tengah? 1.3 Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan menguji pengaruh kinerja keuangan daerah, kinerja pembangunan ekonomi, dan perubahan struktur ekonomi terhadap kesejahteraan masyarakat di Provinsi Kalimantan 18

Tengah. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan menguji hal-hal sebagai berikut. 1) Pengaruh kinerja keuangan daerah terhadap kinerja pembangunan ekonomi di Provinsi Kalimantan Tengah. 2) Pengaruh kinerja keuangan daerah dan kinerja pembangunan ekonomi terhadap perubahan struktur ekonomi di Provinsi Kalimantan Tengah. 3) Pengaruh kinerja keuangan daerah, kinerja pembangunan ekonomi dan perubahan struktur ekonomi terhadap kesejahteraan masyarakat di Provinsi Kalimantan Tengah. 4) Pengaruh kinerja keuangan daerah terhadap kesejahteraan masyarakat melalui kinerja pembangunan ekonomi dan perubahan struktur ekonomi di Provinsi Kalimantan Tengah. 5) Pengaruh kinerja keuangan daerah terhadap perubahan struktur ekonomi melalui kinerja pembangunan ekonomi di Provinsi Kalimantan Tengah. 6) Pengaruh kinerja pembangunan ekonomi terhadap kesejahteraan masyarakat melalui perubahan struktur ekonomi di Provinsi Kalimantan Tengah. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat atau kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Untuk pengembangan ilmu pengetahuan dapat diperoleh dari menganalisis berbagai indikator pembangunan untuk melihat keberhasilan pemerintah dalam melakukan pembangunan ekonomi secara utuh. Dengan menggunakan alat analisis penelitian berarti menambah referensi mendorong minat peneliti 19

selanjutnya untuk melakukan penelitian lanjutan terutama penelitian mengenai pembangunan ekonomi daerah. 2) Memberikan sumbangan pemikiran terhadap pembentukkan kebijakan perencanaan pembangunan ekonomi daerah, sehingga dapat dipakai untuk mengukur keberhasilan pembangunan demi mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan sosial dengan struktur ekonomi yang kuat. 20