BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Telur merupakan bahan pangan berkualitas, telah lama diketahui bahwa telur mempunyai kandungan asam amino yang sangat baik serta memiliki nilai protein tinggi. Hanya protein ikan yang berada satu kelas dengan telur, akan tetapi telur lebih superior sebagai sumber asam amino bagi manusia. Bila dilihat secara kuantitatif dua butir telur mengandung 154 kalori atau lima persen dari kebutuhan energi untuk anak umur 10 tahun, serta mengandung asam linoleat sebanyak 18% dari total asam- asam lemak yang terdapat dalam telur, selain itu juga mampu memenuhi 25 % kebutuhan vitamin A dan D untuk anak usia 10 tahun (Wahju, 1988). Sumber lain menyebutkan bahwa dalam satu butir telur dengan berat 60 g mengandung protein (6,4 sampai 7,0 %), lemak (6,1 sampai 6,9 %), kolestrol (0,024 sampai 0,027 %), glukosa (0,15 sampai 0,2 %), serta mineral (0,45 sampai 0,55 %) (Yuwanta, 2004). Menurut Zaini (2011) perkembangan produksi telur dunia semakin meningkat. Produksi telur dunia pada tahun 2002 sebesar 55 juta ton meningkat menjadi 57,9 ton pada tahun 2004. Perkembangan produksi telur diikuti pula dengan konsumsi telur per kapita per tahun di beberapa Negara dunia. Konsumsi telur di ASEAN dan RRC pada tahun 2005 adalah sebagai berikut (1) Kamboja 16 butir/ kapita/tahun, (2) Vietnam 41 butir/kapita/tahun, (3) Singapura 64 butir/kapita/tahun, (4) Indonesia 67 butir/kapita/tahun, (5) Thailand 93 butir/
kapita/ tahun, (6) China 304 butir/kapita/tahun, (7) Malaysia 311 butir/kapita/tahun. Sama halnya dengan perkembangan konsumsi telur dunia di Indonesia sendiri juga terus mengalami peningkatan sepanjang tahun. Pada tahun 2008 konsumsi telur ayam ras 5,78 kg/kapita/tahun meningkat menjadi 5,84 kg/kapita/tahun pada tahun 2009. Dibandingkan dengan negara lain di Asia, konsumsi telur di Indonesia tahun 2011 termasuk paling rendah yaitu sebesar 101 butir/kapita/tahun atau sekitar 6,31 kg/kapita/tahun. Konsumsi telur di Indonesia sebagian besar dipenuhi dari telur ayam ras dengan persentase mencapai 91,82 % (Setyono dkk., 2013). Ayam ras petelur sudah memasyarakat di Indonesia, karena disamping telur sebagai tujuan utama produksi, dagingnya juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein hewani yang mudah didapat dengan harga yang relatif terjangkau. Sebagai dampak adanya krisis moneter yang melanda bangsa Indonesia, maka ketersediaan day old chick (DOC) dan pullet di pasaran nampak langka dan kalaupun ada maka harganya sangat tinggi, sementara pada dasarnya ayam petelur mampu bertelur lebih dari 260 butir per tahun produksi hen house dengan usia produktif berkisar 22 sampai 72 minggu (Rasyaf, 1995). Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam ovarium ayam terdapat sekitar 3000 ovum. Hal ni berarti jumlah ovum yang belum menjadi telur setelah masa produktif selesai masih sangat banyak. Indonesia merupakan daerah tropis yang cocok untuk mengembangkan ayam petelur, namun beberapa tahun belakangan dunia
perunggasan di Indonesia kian terpuruk. Hal ini dipicu oleh tingginya harga DOC final stok di pasaran dan hancurnya harga live bird serta harga telur di tingkat peternak. Hal tersebut mengakibatkan ketidakseimbangan antara biaya pemeliharaan dengan harga jual produksi yang didapat sehingga banyak peternakan rakyat yang gulung tikar. Berdasarkan fase pemeliharaan ayam ada tiga, (1) ayam nol sampai tiga minggu, (2) ayam umur empat sampai 18 minggu (grower/ pullet) dan (3) umur 18 minggu sampai afkir. Adanya kebutuhan pakan selama 18 minggu akan berdampak pada biaya pemeliharaan yang tinggi. Selain itu peternak tidak mengetahui bahwa sebenarnya ayam afkir masih dapat dipicu kembali produksi telurnya. Guna menjawab tantangan tersebut maka perlu kiranya diterapkan metode molting untuk menaikan kembali produksi telur ayam tua tersebut, antara lain dengan memberi cekaman pengurangan makan atau minum sampai pada kondisi luruh bulu paksa yang dipandang lebih menguntungkan (Suprijatna dkk., 2005 ; Wibowo, 2010). Harimurti et al., (1979) menyatakan bahwa ditinjau dari segi ekonomi metode molting dapat memperpanjang produksi telur, sehingga mampu mendayagunakan ayam petelur yang sudah waktunya afkir. Metode molting bertujuan agar ayam mempunyai waktu istirahat bertelur, yang selanjutnya siap bertelur lagi di masa produksi. Bila selama perlakuan molting ayam benar-benar berhenti bertelur, dapat diduga nanti di masa produksi berikutnya, ayam akan bertelur banyak dan ukurannya lebih besar (Mulyono et al., 2008).
Pada kondisi normal perontokan bulu yang terjadi lebih awal dapat menandai bahwa ayam tersebut adalah petelur yang buruk, demikian sebaliknya (Ensminger, 1990). Menurut North dan Bell (1990), program rontok bulu paksa pada kondisi tertentu dipandang lebih menguntungkan dalam banyak hal yaitu lebih hemat biaya, peremajaan, hemat biaya pakan, meningkatkan ukuran telur, memperbaiki kualitas cangkang dan menaikkan angka produksi telur. Penelitian mengenai penerapan metode molting pada ayam afkir tidak banyak dilakukan, maka perlu adanya penelitian mengenai pengaruh penerapan metode tersebut terhadap produksi telur ayam afkir sehingga diharapkan dapat digunakan untuk mengetahui puncak produksi ayam afkir setelah dilakukan molting. A. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui lama produksi telur optimal setelah dilakukan proses molting. B. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai gambaran produksi telur setelah dilakukan molting pada ayam petelur pasca produksi. C. Hipotesis Produksi telur ayam afkir meningkat setelah dilakukan molting paksa. Regenerasi organ reproduksi terjadi selama molting.