BAB I PENDAHULUAN. bermasyarakat. Secara umum timbulnya gangguan jiwa pada seseorang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. berpikir, gangguan perilaku, gangguan emosi dan gangguan persepsi

2 Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetuju

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang. Namun tidak semua orang beruntung memiliki jiwa yang. sehat, adapula sebagian orang yang jiwanya terganggu atau dapat

BAB I PENDAHULUAN. kecacatan. Kesehatan jiwa menurut undang-undang No.3 tahun 1966 adalah

BAB I PENDAHULUAN. dalam pendidikan, pekerjaan dan pergaulan (Keliat, 2006). Menurut

HUBUNGAN ANTARA SUPPORT SYSTEM KELUARGA DENGAN KEPATUHAN BEROBAT KLIEN RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

BEBAS PASUNG PUSKESMAS TELUK LUBUK

BAB 1 PENDAHULUAN. klinis bermakna yang berhubungan dengan distres atau penderitaan dan

BAB I PENDAHULUAN. (WHO, 2005). Kesehatan terdiri dari kesehatan jasmani (fisik) dan

BAB 1 PENDAHULUAN. serta perhatian dari seluruh masyarakat. Beban penyakit atau burden of disease

BAB I PENDAHULUAN. signifikan dengan perubahan sosial yang cepat dan stres negatif yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Proses modernisasi menyisakan problematika yang tidak kunjung usai,

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini

1

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta perbedaan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN JIWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan nasional. Meskipun masih belum menjadi program prioritas utama

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN JIWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Adiktif lainnya. Kata lain yang sering dipakai adalah Narkoba (Narkotika,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN JIWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2014, No Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Den

BAB I PENDAHULUAN. penyimpangan dari fungsi psikologis seperti pembicaraan yang kacau, delusi,

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan dinamisnya kehidupan masyarakat. Masalah ini merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mencapai. salah satunya adalah pembangunan dibidang kesehatan.

BAB 1 PENDAHULUAN. yang penting secara klinis yang terjadi pada seseorang dan dikaitkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. tinggal di sana. Kehidupan perkotaan seperti di Jakarta menawarkan segala

BAB I PENDAHULUAN. mengadaptasikan keinginan-keinginan dengan kenyataan-kenyataan yang

BAB I PENDAHULUAN. yang terbatas antara individu dengan lingkungannya (WHO, 2007). Berdasarkan data dari World Health Organisasi (WHO, 2015), sekitar

7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Banyuasin di Provinsi Sumatera Selatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

MENGIMPLEMENTASIKAN UPAYA KESEHATAN JIWA YANG TERINTEGRASI, KOMPREHENSIF,

BAB I PENDAHULUAN. Tesis ini mengkaji tentang perilaku keluarga dalam penanganan penderita

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Definisi sehat menurut kesehatan dunia (WHO) adalah suatu keadaan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN JIWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kesalahpahaman, dan penghukuman, bukan simpati atau perhatian.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN. TENTANG KESEHATAN JIWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Secara konsepsional, pembangunan yang telah dan sedang dilaksanakan pada

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan jiwa adalah salah satu masalah kesehatan yang masih. banyak ditemukan di setiap negara. Salah satunya adalah negara

BAB 1 PENDAHULUAN. perilaku berkaitan dengan gangguan fungsi akibat gangguan biologik, sosial,

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya

BAB I PENDAHULUAN. Penyebab yang sering disampaikan adalah stres subjektif atau biopsikososial

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan jiwa di masyarakat yang sangat tinggi, yakni satu dari empat

BAB I PENDAHULUAN. adalah lingkungan pertama yang dimiliki seorang anak untuk mendapatkan pengasuhan,

BAB I PENDAHULUAN. serta ketidakpastian situasi sosial politik membuat gangguan jiwa menjadi

BAB I PENDAHULUAN. terencana melalui pendidikan. Pengetahuan dapat dipengaruhi oleh berbagai

BAB I PENDAHULUAN. melangsungkan pernikahan dengan calon istrinya yang bernama Wida secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan jiwa bukan hanya sekedar terbebas dari gangguan jiwa,

BAB I PENDAHULUAN. daya yang dimaksud disini adalah mereka yang memiliki peran dan tanggung

BAB I PENDAHULUAN. membuat arti ketidakmampuan serta identitas secara individu maupun kelompok akan

BAB I PENDAHULUAN. mendirikan masyarakat Indonesia dalam rangka meningkatkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. merupakan suatu keadaan dimana seseorang yang terbebas dari gangguan

BAB III DESKRIPSI PENELANTARAN ANAK DALAM RUMAH TANGGA MENURUT UU NO.23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. digambarkan sebagai perasaan yang negatif terhadap diri sendiri, merasa gagal

BAB I PENDAHULUAN. adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku dimana. individu tidak mampu mencapai tujuan, putus asa, gelisah,

BAB I PENDAHULUAN. negara berkembang seperti Indonesia bertambahnya atau semakin tinggi. Menurut Dr. Uton Muchtar Rafei, Direktur WHO ( World Health

BAB 1 PENDAHULUAN. sehat, serta mampu menangani tantangan hidup. Secara medis, kesehatan jiwa

BAB I PENDAHULUAN. halusinasi, gangguan kognitif dan persepsi; gejala-gejala negatif seperti

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 53 TAHUN 2013 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat serius dan memprihatinkan. Kementerian kesehatan RI dalam

GAMBARAN POLA ASUH KELUARGA PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID (STUDI RETROSPEKTIF) DI RSJD SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. dibutuhkan oleh semua orang. Menurut Yosep (2007), kesehatan jiwa adalah. dan kecakapan dalam beradaptasi dengan lingkungan.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN. tahunnya. World Health Organization (WHO) memperkirakan. mendatang diperkirakan sekitar 29% warga dunia menderita

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. faktor peningkatan permasalahan kesehatan fisik dan juga masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain apa adanya dan

BAB I PENDAHULUAN. masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-undang no.36 tahun 2009 tentang Kesehatan, kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi segala kebutuhan dirinya dan kehidupan keluarga. yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam

BUPATI TAPIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 01 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK

BAB I 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. saja fenomena - fenomena yang kita hadapi dalam kehidupan sehari - hari dalam

BAB I PENDAHULUAN. adanya dan mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain (Depkes RI,

Bab 2 KONSEP ANAK JALANAN FENOMENA SOSIAL ANAK JALANAN 11

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya

BAB I PENDAHULUAN. siklus kehidupan dengan respon psikososial yang maladaptif yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. kecacatan. Maka secara analogi kesehatan jiwa pun bukan hanya sekedar bebas dari

BAB 1 PENDAHULUAN. Tujuan Nasional Bangsa Indonesia yang tercantum dalam Undang-Undang. kebutuhan dasar manusia termasuk di bidang kesehatan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Anak adalah amanat sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR REHABILITASI SOSIAL DENGAN PENDEKATAN PROFESI PEKERJAAN SOSIAL

GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. oleh penderita gangguan jiwa antara lain gangguan kognitif, gangguan proses pikir,

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan jiwa di seluruh dunia memang sudah menjadi masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI Kesenjangan. tenaga non-medis seperti dukun maupun kyai, (Kurniawan, 2015).

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Soekanto (1982: 243) berpendapat bahwa peranan adalah. seseorang dalam suatu masyarakat.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan bangsa yang signifikan tidak terlepas dari Pembangunan

BAB 1 PENDAHULUAN. sisiokultural. Dalam konsep stress-adaptasi penyebab perilaku maladaptif

BUPATI PASER PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASER NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PELAKSANAAN TUGAS INSTITUSI PENERIMA WAJIB LAPOR DI PUSKESMAS PERKOTAAN RASIMAH AHMAD BUKITTINGGI

WALIKOTA BENGKULU PROVINSI BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 05 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan jiwa muncul karena menurunnya fungsi mental pada seseorang sehingga implikasi dari penurunan fungsi tersebut ialah orang dengan gangguan jiwa akan bertingkah laku yang tidak wajar dalam kehidupan bermasyarakat. Secara umum timbulnya gangguan jiwa pada seseorang diakibatkan karena adanya stres yang berlebihan, depresi, alkoholic (pecandu alkohol) dan faktor tekanan yang mempengaruhi dari luar dan dari dalam diri seseorang baik secara lansung maupun tidak langsung. Fenomena keberadaan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) bukan hal baru dalam kehidupan manusia. Sejak dulu mereka yang tergolong ODGJ dikenal dengan sebutan orang gila dan selanjutnya dikenal dengan istilah tuna laras. Menurut Astati (2008:27) istilah tunalaras berasal dari kata tuna yang berarti kurang dan laras berarti sesuai. Penggunaan istilah tunalaras sangat bervariasi berdasarkan sudut pandang tiap-tiap ahli yang menanganinya, seperti halnya pekerja sosial menggunakan istilah social maladjustment terhadap anak yang melakukan penyimpangan tingkah laku. Para ahli hukum menyebutkan dengan juvenile delinquency. Dalam Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1991 Tentang Pendidikan Luar Biasa dalam penjelasan pasal 3 ayat (3) disebutkan bahwa tunalaras adalah gangguan atau hambatan atau kelainan tingkah laku sehingga kurang dapat 1

2 menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Menurut UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa (UUKJ)pada Pasal 1 angka 3 menyatakan bahwa Orang dengan gangguan jiwa yang selanjutnya disingkat ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia. Dengan memperhatikan ketentuan tersebut, bahwa ODGJ membutuhkan upaya penyembuhan yang khusus dan terstruktur agar dapat kembali normal sebagaimana mestinya dalam menjalankan kehidupan. Upayatersebut merupakan hal yang harus dilakukan oleh keluarga, pemerintah dan pemerintah daerah. Data yang disampaikan Yosef dalam Gilang (2016:30) menunjukkan gangguan jiwa saat ini masih menjadi permasalahan yang serius di dunia. World Health Organization (WHO) menegaskan jumlah klien gangguan jiwa di dunia mencapai 450 juta orang yang terdiri atas 150 juta mengalami depresi, 90 juta gangguan zat dan alcohol, 38 juta epilepsy, 25 juta skizofrenia serta 1 juta melakukan bunuh diri. Selanjutnya berdasarkan data 33 Rumah Sakit Jiwa (RSJ) yang ada di seluruh Indonesia menyebutkan terdapat sekitar 2,5 juta orang gangguan jiwa berat. Di Indonesia jumlah klien gangguan jiwa mencapai 1,7 juta yang artinya 1 sampai 2 orang dari 1.000 penduduk di Indonesia mengalami gangguan jiwa.

3 Selanjutnya, Hasil Survei Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 dalam Hartanto (2014:3) juga menyebutkan bahwa penderita gangguan jiwa berat dengan usia diatas 15 tahun di Indonesia mencapai 0,46%. Hal ini berarti terdapat lebih dari 1 juta jiwa di Indonesia mengalami gangguan jiwa berat. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa 11,6% penduduk Indonesia mengalami gangguan mental emosional. Selain itu Pinilih (2015:586) menyebutkkan bahwa di daerah perdesaan menyebutkan proporsi rumah tangga dengan minimal salah satu anggota rumah tangga mengalami pemasungan mencapai 18,2%, sementara di daerah perkotaan hanya mencapai 10,7%. Adapun di Sumatera Utara prevalensi gangguan jiwa ada sekitar 4.5%. Melihat data tersebut sangat jelas upaya penyembuhan harus segera dilakukan sebab jika dibiarkan terus menerus ODGJ akan mendapatkan diskriminasi dan stigma yang berat dimasyarakat yang menganggap bahwa penderita adalah orang yang jahat, aneh, bodoh dan jorok yang tidak akan pernah bisa diterima dalam kehidupan sehari-hari. Namun demikian membutuhkan biaya yang relatif mahal untuk mendapat pelayanan kesehatan jiwa serta rehabilitasi agar dapat kembali ke kehidupan yang normal. Bagi masyarakat yang memiliki ekonomi lemah mereka tidak memiliki biaya untuk berobat. Bahkan mereka menyakini bahwa keadaan sakit jiwa bukan karena gangguan kesehatan namun merupakan penyakit yang berbau mistis. Adanya keterbatasan ekonomi membuat kebanyakan orang dengan gangguan jiwa cenderung akan dipasung, dibuang dan tidak dipelihara, yang selanjutnya disebut dengan terlantar hal ini terjadi karena mereka yang tergolong dianggap mengganggu dan merugikan masyarakat.

4 Padahal mereka yang sengaja menelantarkan ODGJ akan dikenakan sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 86 UUKJ yang berbunyi Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasungan,penelantaran, kekerasan dan/atau menyuruhorang lainuntuk melakukan pemasungan, penelantaran, dan/ataukekerasan terhadap Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) atau ODGJ atau tindakanlainnya yang melanggar hak asasi ODMK dan ODGJ,dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Fenomena ODGJ terlantar dan ditelantarkan ini masih dapat ditemui di kota Medan. Menurut amatan Sumut Pos (dalam www.pojoksatu.id, diakses pada 23 Mei 2017) keberadaan orang sakit jiwa terlihat berkeliaran di beberapa kawasan, diantaranya di Simpang Kantor Kecamatan Medan Labuhan, Jalan Marelan Raya Kecamatan Medan Marelan dan Jalan Sumatera Kecamatan Medan Belawan. ODGJ yang ditemukan tersebut berada di jalan raya, ada beberapa yang diterlihat mengenakan pakaian seadanya dan tidak lengkap, berbicara sendiri di jalan, menggendong boneka bahkan tidur-tiduran dijalan.pemerintah memiliki kewajiban dan tanggungjawab dalam menyembuhkan dan memberikan hak-hak ODGJ terlantar. Ketentuanyang diatur dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UUK) pada Pasal 149 ayat (2) yang menyatakan bahwa Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat wajib melakukan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum.

5 Ketentuan Pasal 147 UUK menegaskan bahwa (1) upaya penyembuhan penderita gangguan kesehatan jiwa merupakan tanggung jawab Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Masyarakat; (2) upaya penyembuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang dan di tempat yang tepat dengan tetap menghormati hak asasi penderita; (3) untuk merawat penderita gangguan kesehatan jiwa digunakan fasilitas pelayanan kesehatan khusus yang memenuhi syarat dan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut dipertegas kembali dengan ketentuan UUKJ pada Pasal 81 ayat (1) yang menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan upaya rehabilitasi terhadap ODGJ terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum. Pada kenyataanya pelaksanaan penyembuhan orang dengan gangguan jiwa tersebut dirasa masih kurang optimal. Mereka yang terlantar belum dimasukkan dalam kelompok sasaran atau kelompok rentan yang perlu mendapatkan perhatian khusus oleh pemerintah Indonesia khusunya pemerintahan daerah untuk mendapat hak pelayanannya.selain itu banyaknya orang dengan gangguan jiwa terlantar juga disebabkan karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya kesehatan jiwa dan kurangnya sosialisasi pemerintah tentang pengadaan fasilitas kesehatan jiwa untuk menampung dan membina penderita gangguan jiwa terlantar dengan pendanaan negara.

6 Sebagaimana yang disebutkan dalam Komentar Umum Konvenan Internasional mengenai Hak Sipil, Politik, Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 11 Tahun 2005,dalam hak atas kesehatan negara wajib memenuhi ketersedian, aksesbilitas, penerimaan (fasilitas) dan kualitas yang diberikan (Komnas HAM 2009:173-174). Berdasarkan hal tersebut pemerintah dituntut untuk melakukan pelayanan dan rehabilitasi ODGJ dengan menyediakan fasilitas kesehatan jiwa yang memadai. Selanjutnya demi terlaksananya upaya penyelesaian secara optimal fasilitas kesehatan Jiwa yang disediakan oleh pemerintah haruslah sesuai dengan standard minimum kesehatan jiwa yang memiliki indikator ketersediaan fasilitas perawatan, jasa kesehatan serta program-program kesehatan jiwa; aksesbilitas pelayanan kesehatan jiwa yang tidak diskriminasi dan dapat dijangkau oleh setiap orang; penerimaan segala fasilitas kesehatan jiwa, barang dan pelayanan yang sesuai dengan budaya dan etika medis; serta kualitas fasilitas, pelayanan, barang, jasa, obat-obatan kesehatan jiwa yang sesuai dengan perkembangan dunia medis atau kedokteran jiwa. Di Provinsi Sumatera Utara, ODGJ terlantar mendapatkan perlindungan di Dinas Kesehjateraan dan Sosial selanjutnya disebut dengan Dinsos. Lembaga Dinsos memiliki peran yang besar sebagai perpanjangan tangan pemerintah demi pemerataan jaminan dan perlindungan sosial. Untuk itu memudahkan melaksanakan tugasnya dibidang pelayanan dan rehabilitasi ODGJ terlantar maka Dinsos membentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) Tuna Susila dan Tuna Laras Berastagi.

7 UPT Tuna Susila dan Tuna Laras ini dibentuk berdasarkan Peraturan Gubernur Sumatera Utara (PerGubSu) No. 33/2010 tentang Organisasi Tugas, Fungsi dan Uraian Tugas UPT pada Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara. Tugas UPT ialah membantu kepala dinas dalam menyelenggarakan dukungan teknis operasional dan administrasi dalam menyelenggarakan urusan dibidang ketatausahaan dan pelayanan sosial bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial dan bertanggungjawab memberikan pelayanan dan rehabilitasi tuna laras dengan sistem panti. Mengingat peran UPT Tuna Susila dan Tuna Laras sebagai aktor pelayanan dan rehabilitasi bagi ODGJ terlantar sangat strategis dalam pemerataan kesehatan jiwa yang layak, maka sangat tertarik untuk dilakukan suatu penelitian hukum dengan judul HAK PELAYANAN DAN REHABILITASI ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA TERLANTAR MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN JIWA (STUDI KASUS UPT WANITA TUNA SUSILA DAN TUNA LARAS). B. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, agar penelitian menjadi terarah dan jelas tujuannya, maka perluidentifikasi masalah. Menurut Setiawan (2015:97) dalam suatu penelitian perlu diidentifikasi masalah yang akan diteliti menjadi terarah dan jelas tujuannya sehingga tidak mungkin terjadi kesimpangsiuran dan kekaburan didalam membahas dan memeliti masalah yang ada. Jika identifikasi masalah sudah jelas, tentu dapat dilakukan penelitian lebih mendalam.

8 Berdasarkan latar belakang masalah dan data awal yang ditemukan, dapat dindentifikasikan masalah dalam penelitian ini, antara lain: 1. Minimnya upaya pelayanan dari pemerintah bagi orang dengan gangguan jiwa terlantar ditinjau dari UUKJ. 2. Masih banyak orang dengan gangguan jiwa yang kehilangan haknya dengan ditelantarkan dan diabaikan. 3. Keterbatasan ekonomi untuk membayar biaya yang relatif mahal untuk mendapat pelayanan dan rehabilitasi kesehatan jiwa 4. Minimnya pengetahuan masyarakat mengenai sistem dan mekanisme pelayanan dan rehabilitasi ODGJ menurut UUKJ 5. Minimnya upaya penderita gangguan jiwa terlantar untuk mendapat hak pelayanan kesehatan menurut dengan UUKJ. 6. Belum maksimalnya upaya UPT Tuna Susila dan Tuna Laras dalam mengimplementasikan hak-hak ODGJ terlantar menurut UUKJ. C. Pembatasan Masalah Pembatasan masalah mutlak dilakukan dalam suatu penelitian agar penelitian terarah dan juga tidak meluas serta untuk menghindari hasil penelitian yang mengambang, maka yang menjadi pembatasan masalah dalam penelitian ini ialah UUKJ sebagai upaya perlindungan hukum untuk mendapat hak pelayanan dan rehabilitasi bagi ODGJ terlantar. D. Perumusan Masalah Rumusan masalah merupakan spesifikasi terhadap hakikat masalah yang akan diteliti. Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah, peneliti

9 merumuskan beberapa masalah yang akan diteliti. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanahak-hak pelayanan dan upaya rehabilitatsi ODGJ menurut UUKJ? 2. Bagaimana implementasi hak pelayanan dan upaya rehabilitasi ODGJ terlantar di UPT PS Tuna Laras Berastagi? E. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui hak-hak pelayanan dan upaya rehabilitasi ODGJ menurut UU No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa; 2. Untuk mengetahui implementasi hak pelayanan dan rehabilitasi ODGJ terlantar di UPT PS Tuna Laras Berastagi. F. Manfaat Penelitian Tidak ada penelitian yang tidak memiliki manfaat. Penelitian yang baik dan benar harus dapat dimanfaatkan dan memberikan kegunaan kepada pihakpihak yang berkepentingan baik secara lansung maupun tidak lansung. Secara umum, Syahrum (2009:98) menyebutkan sebuah penelitian memiliki manfaat terhadap pengembangan khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang penelitian tersebut. Akan tetapi dalam penelitian juga diperkenankan untuk memikirkan manfaat yang lebih luas tetapi praktis, baik bagi masyarakat, institusi tertentu, maupun kepada peneliti sendiri. Maka dari itu penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu:

10 1. Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan sarana dalam perkembangan ilmu pengethauan hukum pada umumnya dan pada khususnya terhadap terhadap ODGJ terlantar dalam mendapatkan hak pelayanan dan rehabilitasi. 2. Secara Praktis Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian penambah informasi dalam hal pelayanan kesehatan jiwa dan sebagai sumbangan dalam memberikan informasi mengenai ODGJ yang terlantar ataupun ditelantarkan.