BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Proses modernisasi menyisakan problematika yang tidak kunjung usai,

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Proses modernisasi menyisakan problematika yang tidak kunjung usai,"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Proses modernisasi menyisakan problematika yang tidak kunjung usai, contohnya adalah perubahan sosial budaya. Perubahan sosial dan kebudayaan yang mencolok berlangsung secara normal sebagai yang dikehendaki masyarakat, dan perubahan sosial dan kebudayaan yang tidak dikehendaki merupakan gejala abnormal atau gejala patologis. Gejala abnormal disebabkan oleh kekecewaan dan penderitaan, gejala abnormal yang berkepanjangan maka akan menciptakan suatu masalah social. Salah satu masalah social yang terjadi di masyarakat adalah adanya perilaku patologis pada gelandangan. Perilaku patologis yang dimaksud seperti tingginya angka kriminalitas, kejahatan, kekerasan, perilaku menyimpang, dan gangguan kejiwaan. Gangguan jiwa pada gelandangan adalah salah satu pelaku patologis masalah sosial yang diakibatkan adanya perubahan-perubahan sosial. Gelandangan yang mengalami gangguan jiwa merupakan penderita gangguan jiwa kronis yang keluyuran di jalan-jalan umum, dapat mengganggu ketertiban umum dan merusak keindahan lingkungan. Fenomena sosial mengenai gelandangan yang mengalami gangguan jiwa dapat ditemui secara langsung di sepanjang jalan, trotoar, jembatan, di pasar ataupun di pusat pertokoan. Gelandangan dengan gangguan jiwa hidup secara nomaden (berkeliaran di lingkungan masyarakat) dan serta memiliki keterbelakangan mental (gangguan 1

2 jiwa) ini sangat merugikan masyarakat sekitar dan Pemerintah. Tekanan kehidupan dan ketidaksiapan dalam perubahan sosial salah satu penyebab utama terhadap pertambahan gangguan jiwa pada gelandangan gelandangan. Seperti yang diketahui, bahwa didalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) sudah diatur secara jelas mengenai kesejahteraan tiap individunya, ini terimplementasi pada Pasal 27 ayat (2) dan pasal 34. Dan peraturan mengenai gelandangan yang memiliki gangguan jiwa tertuang dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Dalam Pasal 149 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, menyebutkan : 1) Penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan difasilitas pelayanan kesehatan; 2) Pemerintah, Pemerintah daerah, dan masyarakat wajib melakukan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum; 3) Pemerintah dan Pemerintah daerah bertanggung jawab atas pemerataan penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat; 4) Tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pembiayaan pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa untuk masyarakat miskin. Pemerintah Kota Magelang tidak mempunyai Perda khusus yang dibuat untuk menanggulangi gelandangan yang mengalami gangguan jiwa 1. Akan tetapi dalam penanggulangan gelandangan dan pengemis yang mengalami gangguan 1 Wawancara dengan Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kota Magelang, Bapak A. Arif S.K., SH 2

3 jiwa, Pemerintah Kota Magelang mengacu pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Peraturan Pemerintah No 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis dan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,. Dalam pelaksanaannya, penanggulangan gelandangan yang mengalami gangguan jiwa di Kota Magelang dilakukan berdasarkan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 149 ayat (4) yang berbunyi tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pembiayaan pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa untuk masyarakat miskin dan Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 1980 Pasal 4 ayat (1) dan (2) yang berbunyi: (1) Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kebijaksanaan khusus berdasarkan kondisi daerah sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini. (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan petunjuk teknis dari Menteri Sosial dan petunjuk-petunjuk Menteri Dalam Negeri. Berdasarkan pasal tersebut Pemerintah Kota Magelang menunjuk pada Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Sosial dengan berkoordinasi dengan Satuan Polisi Pamong Praja dan Dinas Kesehatan dalam menangani gelandangan yang mengalami gangguan jiwa. Dari ketiga lembaga tersebut yang memiliki peran utama adalah Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Sosial yaitu melaksanakan perencanaan, pembinaan, pengendalian dan pengembangan peningkatan pelayanan dibidang sosial, dalam penjaringan gelandangan Disnakertransos Kota 3

4 Magelang dibantu oleh Satpol PP dan dalam upaya penyembuhan gelandangan yang mengalami gangguan jiwa Disnakertransos Kota Magelang berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan. Banyaknya gelandangan di Kota Magelang dapat disebabkan karena semakin berkembangnya Kota Magelang sehingga menarik para penduduk wilayah sekitar Kota Magelang untuk datang ke kota Magelang. Akan tetapi karena lapangan kerja yang ada di Kota Magelang tidak memadai, banyak pendatang yang memilih menjadi pengemis. Tekanan ekonomi yang berada di kota kadang membuat pengemis tidak kuat dalam menghadapi tekanan tersebut sehingga menyebabkan mereka tertekan dan stress yang akhirnya mereka menjadi gila. Selain itu dengan adanya Rumah Sakit Jiwa di Kota Magelang ternyata tidak juga mengurangi jumlah gelandangan dan pengemis yang mengalami gangguan jiwa. Hasil pra research penulis, bahwa gelandangan yang mengalami gangguan jiwa di Kota Magelang menunjukan jumlah yang cukup banyak antara lain di tempat yang ramai orang seperti di pasar raya, lapangan alun-alun kota Magelang dan terminal Magelang. 2 Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana upaya Pemerintah Kota Magelang dalam menangani gelandangan yang mengalami gangguan jiwa. Berdasarkan hal tersebut penulis memilih judul Peran Disnakertransos Kota Magelang Dalam Menangani Gelandangan yang Memiliki Gangguan Jiwa. 2 Hasil observasi penulis pada tanggal 8-12 APRIL 2013 di Kota Magelang 4

5 Tabel Perbandingan Skripsi ISI Ananto Ariwibowo Y.E. Ari Andani Judul Peran Dinas Sosial Kota Magelang Pelaksanaan penanggulangan Dalam Melakukan Perlindungan gelandangan dan pengemis oleh Gelandangan yang Memiliki dinas Kodya Dati II Salatiga Gangguan Jiwa Rumusan masalah - Bagaimana upaya yang telah - Bagaimana pelaksanaan dilakukan Pemerintah Kota penanggulangan pengemis Magelang melalui Dinas dan gelandangan telah Sosial Kota Magelang untuk dilaksanakan oleh Dinas mengatasi masalah sosial Sosial Cabang Dinas gelandangan yang Kotamadya Salatiga? mengalami gangguan jiwa? - Faktor factor apakah - Apa saja hambatanhambatan yang menyebabkan yang dihadapi pelaksanaan tersebut tidak oleh Dinas Sosial Kota memperoleh hasil seperti Magelang dalam mengatasi yang diharapkan? masalah sosial gelandangan - Sejauh manakah yang mengalami gangguan koordinasi antara Cabang jiwa Dinas Sosial dengan instansi terkait yang lain dilaksanakan? Perbedaan Sudah dikaitkan dengan : Belum dikaitkan dengan : - Undang Undang Nomor 36 - Undang Udang Nomer tahun 2009 tentang 23 tahun 2002 tentang 3 Skripsi, Y.E. Ari Andani, , Pelaksanaan penanggulangan gelandangan dan pengemis oleh dinas Kodya Dati II Salatiga. 5

6 kesehatan. Objek penelitian: gelandangan dan pengemis yang sakit jiwa Lokasi: Kota Magelang Dasar Hukum: - Undang-Undang Nomor 36 Tahun Undang-Undang No. 11 Tahun Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1980 Tujuan penelitian - Mengetahui upaya yang telah dilakukan Dinas Sosial Kota Magelang untuk mengatasi masalah sosial gelandangan yang mengalami gangguan jiwa. - Mengetahui hambatan yang dihadapi oleh Dinas Sosial Kota Magelang untuk mengatasi masalah sosial gelandangan yang mengalami gangguan jiwa. perlindungan anak. Sudah dikaitkan : - Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomer 15 Tahun 1983 tentang organisasi dan tata kerja departemen sosial. - Untuk menggambarkan struktur organisasi pelaksana penanggulangan pengemis dan gelandangan - Ingin menggambarkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh Dinas Sosial Cabang Dinas Kodya Salatiga - Ingin memberikan alternatif jalan keluarnya. 6

7 Jenis Penelitian Jenis penelitian hukum yuridis empiris atau yuridis sosiologis, yaitu penelitian yang mengkaji hukum dalam realitas atau kenyataan di dalam masyarakat. Dalam melakukan penulisan hukum ini Penulis melakukan penelitian dan memperoleh informasi yang berkaitan dengan materi penulisan dari Pemerinta Daerah Kota Magelang dan dinas sosial Kota Magelang. Unit amatan - Rumah Sakit Jiwa Kota Magelang - Dinsosnakertrans, - Gelandangan yang mengalami gangguan jiwa Unit analisa Unit analisanya adalah bagaimana program pemerintah dalam menangani gelandangan yang mengalami gangguan jiwa. 7

8 B. Latar Belakang Sampai saat ini, Indonesia masih tergolong Negara yang sedang maju dan belum mampu menyelesaikan masalah kemiskinan. Dari beberapa banyak masalah sosial yang ada sampai saat ini, gelandangan dan pengemis adalah masalah yang perlu harus diperhatikan lebih dari pemerintah, karena saat ini masalah tersebut sudah menjadi bagian dari kehidupan kota-kota yang sedang berkembang, terutama seperti Magelang. Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial Pasal 1 ayat (1), menyatakan : " Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri,sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.". Gelandangan dan pengemis adalah merupakan salah satu masalah yang menyangkut bidang kesejahteraan sosial yang berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009, penanggulangannya merupakan sebagian dari tugas pokok Departemen Sosial. Berdasarkan data BPS jumlah gelandangan terbanyak di Jawa Tengah berada di Kota Magelang 4. Keberadaan gelandangan dan pengemis (gepeng) di kota Magelang saat ini semakin banyak dan sulit diatur. Mereka dapat ditemui di berbagai pertigaan, perempatan, lampu merah dan tempat umum, bahkan di kawasan pemukiman, sebagian besar dari mereka 4 Tempo Interaktif, Magelang Senin (28 / 6 / 2013) 8

9 menjadikan mengemis sebagai profesi. Hal ini tentu sangat mengganggu pemandangan dan meresahkan masyarakat. Oleh sebab itulah, apabila masalah gelandangan dan pengemis tidak segera mendapatkan penanganan, maka dampaknya akan merugikan diri sendiri, keluarga, masyarakat serta lingkungan sekitarnya. Gelandangan di kota Magelang semakin meresahkan dengan munculnya para gelandangan yang mengalami gangguan jiwa. Berdasarkan data Dinas Kesejahteraan Sosial Kota Magelang tahun 2010 terdapat penyandang masalah kesejahteraan sosal tersebut dalam beberapa jenis, diantaranya termasuk penyandang psikotik atau penyandang tuna laras. Penyandang masalah sosial adalah seseorang, keluarga, atau masyarakat yang karena hambatan, kesulitan atau gangguan, tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya dan karena tidak dapat menjalin hubungan yang serasi dan kreatif dengan lingkungannya, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya (Jasmani, rohani, dan sosialnya secara memadai dan wajar) 5. Sedangkan penyandang tuna laras, yaitu orang-orang yang mengalami gangguan jiwa, merupakan permasalahan yang spesifik. Pada umumnya mereka tidak dapat disembuhkan seratus persen (100%). Suatu saat mereka dapat kambuh, atau bahkan perilaku mereka masih menunjukkan tingkah laku gila dalam kehidupan sehari-hari. 5 Dinsos,

10 Mengatasi penyandang tuna laras penting terutama di saat kondisi krisis ekonomi, dan kondisi yang semakin tidak menentu. Pengelolaan pembangunan kesejahteraan sosial memang menjadi tugas, wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah. Akan tetapi tidak kalah pentingnya juga keikutsertaan masyarakat melalui organisasi kemasyarakatan, Lembaga Swadaya, organisasi lainnya untuk ikut berpartisipasi dalam mengatasi permasalahan kesejahteraan sosial. Dalam mengatasi gelandangan dan pengemis peranan Disnakertransos sangat penting. Peranan adalah suatu bagian dari tugas utama yang dilaksanakan oleh seseorang sesuai dengan kedudukan dan fungsinya. Dalam hal ini peranan Disnakertransos adalah sebagai pelaku penyelenggaraan kesejahteraan sosial seperti yang termuat dalam UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Untuk mengatasi masalah gelandangan dan pengemis (gepeng), pemerintah Kota Magelang mengutus Disnakertransos untuk menanganani gelandangan dengan berkoordinasi dengan Polisi Pamong Praja Satpol PP untuk merazia semua gelandangan dan pengemis (gepeng) yang ada di seluruh sudut kota Magelang, untuk kemudian dijaring dan ditampung di Liponsos (lingkungan pondok sosial) Dinas Sosial Magelang. Sedangkan untuk gelandangan yang mengalami gangguan jiwa ditampung di rumah sakit jiwa kota Magelang, dalam hal ini Disnakertransos bekerjasama dengan Dinas Kesehatan. Hal ini bertujuan untuk membersihkan kota dari gelandangan dan pengemis, serta berupaya untuk memberikan penyadaran kepada mereka. 10

11 Berdasarkan wawancara dengan kepala Dinas Sosial Kota Magelang, Drs. Ari Nugroho, M.Si, penanganan gelandangan yang mengalami gangguan jiwa telah dilakukan mengacu pada Undang-Undang Kesejahteraan Sosial dan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Hasil dari penanganan gelandangan yang mengalami gangguan jiwa telah menunjukkan adanya penurunan jumlah gelandangan yang mengalami gangguan jiwa. Jumlah gelandangan yang mengalami gangguan jiwa di Kota Magelang berjumlah 21 orang pada tahun 2011, 14 orang pada tahun 2012, dan 10 orang pada tahun Dari data tersebut dapat terlihat bahwa setiap tahunnya terdapat penurunan jumlah gelandangan yang mengalami gangguan jiwa dengan adanya penanganan dari Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Sosial Kota Magelang. Namun dari hasil observasi masih terdapat gelandangan yang mengalami gangguan jiwa yang berkeliaran di jalanan. Hal ini dapat disebabkan karena pertama, tidak seluruhnya gelandangan yang mengalami gangguan jiwa terjaring razia yang dilakukan oleh petugas, dan kedua adanya gelandangan yang mengalami gangguan jiwa menunjukkan sikap yang lebih baik pada saat dilakukan rehabilitasi, akan tetapi pada saat dikembalikan kepada keluarga mereka mengalami gangguan kembali dan pergi dari rumah yang pada akhirnya menjadi gelandangan kembali. 6 Wawancara dengan Kepala Dinsos Kota Magelang,, Drs. Ari Nugroho, M.Si pada tanggal 12 Agustus

12 Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1980 tentang penanggulangan gelandangan dan pengemis. Pasal 2 menyebutkan bahwa : Penanggulangan gelandangan dan pengemisan yang meliputi usaha-usaha preventif, represif, rehabilitatif bertujuan agar tidak terjadi pergelandangan dan pengemisan, serta mencegah meluasnya pengaruh akibat pergelandangan dan pengemisan di dalam masyarakat, dan memasyarakatkan kembali gelandangan dan pengemis menjadi anggota masyarakat yang menghayati harga diri, serta memungkinkan pengembangan para gelandangan dan pengemis untuk memiliki kembali kemampuan guna mencapai taraf hidup, kehidupan, dan penghidupan yang layak sesuai dengan harkat martabat manusia. Hal tersebut diatas sesuai dengan Pasal 149 ayat (2) yang menyebutkan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat wajib melakukan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum. Berdasarkan bunyi pasal diatas menunjukan bahwa penanggulangan gelandangan dan pengemis perlu diupayakan untuk mencegah meluasnya pengaruh akibat gelandangan dan pengemis, termasuk di dalamnya adalah gelandangan yang mengalami gangguan jiwa. Hal ini juga yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Magelang dalam upaya melindungi gelandangan dan pengemis yang mengalami gangguan jiwa agar mendapatkan perawatan dan pelayanan kesehatan. Dalam bidang sosial yang termasuk di dalamnya adalah masalah gelandangan dan pengemis menjadi salah satu bagian dari tugas pokok dan fungsi 12

13 bidang sosial pada Disnakertransos yaitu dinyatakan bahwa Kepala Bidang Sosial mempunyai tugas membantu Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Sosial dalam melaksanakan perencanaan, pembinaan, pengendalian dan pengembangan peningkatan pelayanan dibidang sosial. Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud di atas, Kepala Bidang Sosial mempunyai fungsi: perencanaan penyusunan program dan kegiatan bidang sosial, pengkoordinasian pelaksanaan program dan kegiatan bidang sosial, pelaksanaan kegiatan bidang sosial dan pembinaan dan pengendalian program dan kegiatan bidang sosial. C. Rumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana peran yang telah dilakukan Pemerintah Kota Magelang melalui Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Sosial Kota Magelang untuk mengatasi masalah sosial gelandangan yang mengalami gangguan jiwa? 2. Apa saja hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Sosial Kota Magelang dalam mengatasi masalah sosial gelandangan yang mengalami gangguan jiwa 13

14 D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Peran Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Sosial kota Magelang dalam melakukan perlindungan gelandangan yang memiliki gangguan jiwa. 2. Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk: 1. Mengetahui upaya yang telah dilakukan Disnakertransos Kota Magelang untuk mengatasi masalah sosial gelandangan yang mengalami gangguan jiwa. 2. Mengetahui hambatan yang dihadapi oleh Disnakertransos Kota Magelang untuk mengatasi masalah sosial gelandangan yang mengalami gangguan jiwa. 3. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Bagi Kepentingan Akademis Sebagai sumbangan pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu pengembangan sumber daya manusia dan dapat menjadi dasar penelitian selanjutnya. 14

15 2. Bagi Instansi 1. Menjadi masukan informasi bagi Dinas terkait dalam meningkatkan peranan terhadap masyarakat 2. Dapat digunakan sebagai salah satu penilaian untuk meningkatkan kinerja instansi terkait. 3. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang penulis pergunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah jenis penelitian yang bersifat deskriptif, karena dalam penelitian ini bermaksud untuk mendeskripsikan atau menggambarkan dan memaparkan mengenai peranan Disnakertransos Kota Magelang dalam mengatasi penyandang masalah sosial gelandangan yang mengalami gangguan jiwa. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang tata kerjanya memberikan data seteliti mungkin tentang sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas manusia, sifat-sifat, karya manusia, keadaan, dan gejala-gejaka lainnya Pendekatan Masalah Penelitian ini mengungkapkan tentang peran Disnakertransos Kota Magelang dalam mengatasi penyandang masalah sosial gelandangan yang mengalami gangguan jiwa merupakan penelitian yang spesifikasinya yuridis 7 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Kajarta: UI Press. Hal

16 sosiologis. Dikatakan yuridis sosiologis karena mengikuti pola penelitian ilmu-ilmu sosial. 8 Penelitian ini meneliti tentang peran Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Sosial Kota Magelang dalam menangani gelandangan yang mengalami gangguan jiwa. Orientasi pengkajiannya menitikberatkan pada aspek perlakuan norma-norma yakni penanganan gelandangan yang mengalami gangguan jiwa. 3. Bahan Hukum a. Primer Berupa UUD 1945, Ketetapan MPR, Peraturan Perundangundangan pelaksanaannya terkait dengan pemerintah daerah, lingkungan hidup dan perizinan. 9 Data yang berupa keterangan-ketreangan yang diperoleh secara langsung dari lapangan melalui wawancara dengan pihak-pihak yang dipandang mengetahui objek yang diteliti. Dalam penelitian ini digunakan bahan hokum primer yang berupa Undang- Undang No. 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial, Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, serta Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis. 8 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 1998, Hal Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad Ke-20. Penerbit: Alumni Bandung, Hal. 19 yang menyatakan perundang-undangan dan yurisprudensi menjadi bahan hukum primer 16

17 b. Sekunder Penelitian ini menggunakan jenis data yang berasal dari sumber data sekunder yaitu yang berasal dari bahan-bahan pustaka, yang meliputi dokumen-dokumen tertulis seperti data dari Disnakertransos Kota Magelang. c. Tersier Berupa bahan-bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder seperti yang berasal dari kamus, ensiklopedia, dan sebagainya yang terkait dengan sistem hukum penanganan gelandangan yang mengalami gangguan jiwa. 4. Tehnik Pengambilan Data a. Studi Pustaka Yaitu suatu pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mempelajari data-data sekunder yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. b. Wawancara Yaitu suatu metode pengumpulan data primer yang dilakukan melalui wawancara langsung dengan pihak Dinas Sosial yaitu Kepala Dinas Sosial Kota Magelang, Bapak Imam Fatchi SH serta Pihak Rumah Sakit Jiwa Kota Magelang. 17

18 5. Analisis Data Mengingat data yang ada maka penelitian ini bersifat kualitatif. dimana penelitian ini memang terjadi secara alamiah, apa adanya, dalam situasi normal yang tidak dimanipulasi keadaan dan kondisinya, serta menekankan pada diskripsi secara alami. Pengambilan data dan penjaringan fenomena yang dilakukan dari keadaan sewajarnya ini dikenal dengan sebutan pengambilan data secara alami atau natural atau sering juga disebut penelitian kualitatif naturalisik Unit Amatan - UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial - UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan - Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1980 tentang penanggulanan Gelandangan dan Pengemis - Dinsosnakertrans Kota Magelang - Rumah Sakit Jiwa Kota Magelang - Gelandangan yang mengalami gangguan jiwa di Kota Magelang 7. Unit Analisis Unit analisanya adalah bagaimana pelaksanaan Tugas pokok dan fungsi Disnakertransos Pemerintah Kota Magelang dalam menanggulangi gelandangan dan pengemis yang mengalami gangguan jiwa. 10 Tajul Arifin, Metode Penelitian Hukum, Bandung, CV Pustaka Setia, 2009 hlm

BAB I PENDAHULUAN. jalan maupun di berbagai tempat umum. Padahal dalam Pasal 34 Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. jalan maupun di berbagai tempat umum. Padahal dalam Pasal 34 Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang tergolong dalam negara berkembang. Infrastruktur yang terus berkembang hingga sarana dan prasarana yang menunjang kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

WALIKOTA PALANGKA RAYA

WALIKOTA PALANGKA RAYA WALIKOTA PALANGKA RAYA PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENANGANAN GELANDANGAN, PENGEMIS, TUNA SUSILA DAN ANAK JALANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALANGKA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan permasalahan kesejahteraan sosial di Kota cenderung meningkat,

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan permasalahan kesejahteraan sosial di Kota cenderung meningkat, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan permasalahan kesejahteraan sosial di Kota cenderung meningkat, munculnya berbagai fenomena sosial bersumber baik dari dalam masyarakat maupun akibat

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KABUPATEN SIDOARJO (Studi Kasus di UPTD Liponsos Sidokare)

PEMBERDAYAAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KABUPATEN SIDOARJO (Studi Kasus di UPTD Liponsos Sidokare) PEMBERDAYAAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KABUPATEN SIDOARJO (Studi Kasus di UPTD Liponsos Sidokare) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Administrasi Negara pada Fakultas

Lebih terperinci

Perda No. 11 / 2002 Tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis di Kabupaten Magelang. PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 11 TAHUN 2002

Perda No. 11 / 2002 Tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis di Kabupaten Magelang. PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 11 TAHUN 2002 Perda No. 11 / 2002 Tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis di Kabupaten Magelang. PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 11 TAHUN 2002 TENTANG PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KABUPATEN

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Hasil Penelitian 1. Struktur Organisasi Dinas Tenaga Kerja Dan Sosial Kota Magelang Dinas Sosial, Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Magelang, yang beralamat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 31 TAHUN 1980 (31/1980) TENTANG PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa gelandangan dan pengemis tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Negara Republik Indonesia adalah: melindungi segenap bangsa

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Negara Republik Indonesia adalah: melindungi segenap bangsa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembukaan UUD 1945 Alinea IV menegaskan bahwa tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Republik Indonesia adalah: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

Lebih terperinci

TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA,

TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA, SALINAN PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 22 TAHUN 2013 TENTANG STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR PELAYANAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DI UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS LINGKUNGAN PONDOK SOSIAL KEPUTIH PADA DINAS SOSIAL

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan yang telah dan sedang dilaksanakan oleh suatu negara pada

I. PENDAHULUAN. Pembangunan yang telah dan sedang dilaksanakan oleh suatu negara pada I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang telah dan sedang dilaksanakan oleh suatu negara pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, memperluas kesempatan kerja dan peluang

Lebih terperinci

BUPATI BANJAR PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS

BUPATI BANJAR PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS BUPATI BANJAR PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJAR, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KOTA MATARAM

PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KOTA MATARAM PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KOTA MATARAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MATARAM, Menimbang Mengingat :

Lebih terperinci

halnya lansia yang bekerja di sektor formal. Hal ini menyebabkan semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh lanjut usia terlantar.

halnya lansia yang bekerja di sektor formal. Hal ini menyebabkan semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh lanjut usia terlantar. digilib.uns.ac.id 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesejahteraan sosial merupakan suatu keadaan terpenuhinya kebutuhan hidup yang layak bagi masyarakat, sehingga mampu mengembangkan diri dan dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertuang dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yakni melindungi

BAB I PENDAHULUAN. tertuang dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yakni melindungi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara berkembang seperti Indonesia, secara berkelanjutan melakukan pembangunan baik fisik maupun mental untuk mencapai tujuan negara yang tertuang dalam pembukaan

Lebih terperinci

BUPATI JEMBER SALINAN PERATURAN BUPATI JEMBER NOMOR 40 TAHUN 2014 T E N T A N G PEDOMAN PENANGANAN GELANDANGANN DAN PENGEMIS DI KABUPATEN JEMBER

BUPATI JEMBER SALINAN PERATURAN BUPATI JEMBER NOMOR 40 TAHUN 2014 T E N T A N G PEDOMAN PENANGANAN GELANDANGANN DAN PENGEMIS DI KABUPATEN JEMBER BUPATI JEMBER SALINAN PERATURAN BUPATI JEMBER NOMOR 40 TAHUN 2014 T E N T A N G PEDOMAN PENANGANAN GELANDANGANN DAN PENGEMIS DI KABUPATEN JEMBER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBER, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Aparat pamong praja kota Sibolga menjalankan tugasnya sesuai dengan Pasal 4 PP Nomor 6 Tahun 2010, jadi peraturan tersebut bukan hanya menjadi sebuah teori, tapi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, Menimbang : a. bahwa Pemerintah

Lebih terperinci

WALIKOTA JAMBI PROVINSI JAMBI

WALIKOTA JAMBI PROVINSI JAMBI SALINAN WALIKOTA JAMBI PROVINSI JAMBI PERATURAN WALIKOTA JAMBI NOMOR 29 TAHUN 2016 TENTANG PENANGANAN GELANDANGAN, PENGEMIS (GEPENG) DAN ANAK JALANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA JAMBI Menimbang

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA BENGKULU dan WALIKOTA BENGKULU MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA BENGKULU dan WALIKOTA BENGKULU MEMUTUSKAN: WALIKOTA BENGKULU PROVINSI BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 07 TAHUN 2017 TENTANG PENANGANAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN DAN PENGEMIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENANGANAN PENGEMIS, GELANDANGAN, ORANG TERLANTAR DAN TUNA SUSILA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENANGANAN PENGEMIS, GELANDANGAN, ORANG TERLANTAR DAN TUNA SUSILA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENANGANAN PENGEMIS, GELANDANGAN, ORANG TERLANTAR DAN TUNA SUSILA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TEMANGGUNG, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 01 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 01 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 01 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tengah masyarakat, khususnya di negara negara berkembang. Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tengah masyarakat, khususnya di negara negara berkembang. Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan masalah sosial yang senantiasa hadir di tengah tengah masyarakat, khususnya di negara negara berkembang. Masalah kemiskinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bermasyarakat. Secara umum timbulnya gangguan jiwa pada seseorang

BAB I PENDAHULUAN. bermasyarakat. Secara umum timbulnya gangguan jiwa pada seseorang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan jiwa muncul karena menurunnya fungsi mental pada seseorang sehingga implikasi dari penurunan fungsi tersebut ialah orang dengan gangguan jiwa akan bertingkah

Lebih terperinci

- 1 - WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

- 1 - WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL - 1 - WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi merosot hingga minus 20% mengakibatkan turunnya berbagai. jumlah masyarakat penyandang masalah sosial di daerah perkotaan.

I. PENDAHULUAN. ekonomi merosot hingga minus 20% mengakibatkan turunnya berbagai. jumlah masyarakat penyandang masalah sosial di daerah perkotaan. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah membawa dampak yang luas bagi masyarakat sampai saat ini. Pertumbuhan ekonomi merosot

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL I. UMUM Pembangunan kesejahteraan sosial merupakan perwujudan dari upaya mencapai tujuan

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENANGGULANGAN PENYAKIT MASYARAKAT

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENANGGULANGAN PENYAKIT MASYARAKAT SALINAN BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENANGGULANGAN PENYAKIT MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. publik terhadap kehidupan anak anak semakin meningkat. Semakin tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. publik terhadap kehidupan anak anak semakin meningkat. Semakin tumbuh dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir ini perhatian pemerintah dan publik terhadap kehidupan anak anak semakin meningkat. Semakin tumbuh dan berkembangnya organisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yakni melindungi

BAB I PENDAHULUAN. tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yakni melindungi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara berkembang seperti Indonesia, secara berkelanjutan melakukan pembangunan, baik fisik maupun mental untuk mencapai tujuan Negara yang tertuang dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tentunya

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tentunya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dikatagorikan sebagai salah satu Negara berkembang berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, hal ini sudah menjadi amanah

Lebih terperinci

Perda No. 12 / 2002 Tentang Penanggulangan Tuna Susila di Kabupaten Magelang. PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 12 TAHUN 2002 TENTANG

Perda No. 12 / 2002 Tentang Penanggulangan Tuna Susila di Kabupaten Magelang. PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 12 TAHUN 2002 TENTANG Perda No. 12 / 2002 Tentang Penanggulangan Tuna Susila di Kabupaten Magelang. PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 12 TAHUN 2002 TENTANG PENANGGULANGAN TUNA SUSILA DI KABUPATEN MAGELANG DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan. martabat kemanusiaan (Sinegar, UUD 1945: 31).

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan. martabat kemanusiaan (Sinegar, UUD 1945: 31). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah generasi mendatang yang sangat berharga. Bisa dikatakan bahwa baik buruknya generasi sebuah bangsa ditentukan oleh tangan-tangan pengembangnya. Dalam

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI LAMPUNG NOMOR 3 TAHUN 1994

PERATURAN DAERAH PROPINSI LAMPUNG NOMOR 3 TAHUN 1994 PERATURAN DAERAH PROPINSI LAMPUNG NOMOR 3 TAHUN 1994 TENTANG PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DIBIDANG USAHA KESEJAHTERAAN SOSIAL DARI PEMERINTAH DAERAH TINGKAT I KEPADA PEMERINTAH DAERAH TINGKAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah bagian generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 29 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS SOSIAL

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 29 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS SOSIAL SALINAN NOMOR 29/2016 PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 29 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Gambaran Umum Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis di Kota

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Gambaran Umum Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis di Kota IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Gambaran Umum Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis di Kota Bandar Lampung Selain merupakan pusat kegiatan pemerintahan, sosial, politik, pendidikan dan kebudayaan,

Lebih terperinci

USAHA KESEJAHTERAN ANAK BAGI ANAK YANG MEMPUNYAI MASALAH Peraturan Pemerintah (Pp) Nomor 2 Tahun 1988 Tanggal 29 Februari 1988

USAHA KESEJAHTERAN ANAK BAGI ANAK YANG MEMPUNYAI MASALAH Peraturan Pemerintah (Pp) Nomor 2 Tahun 1988 Tanggal 29 Februari 1988 USAHA KESEJAHTERAN ANAK BAGI ANAK YANG MEMPUNYAI MASALAH Peraturan Pemerintah (Pp) Nomor 2 Tahun 1988 Tanggal 29 Februari 1988 Menimbang : Presiden Republik Indonesia, a. bahwa anak sebagai tunas bangsa

Lebih terperinci

7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Banyuasin di Provinsi Sumatera Selatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Banyuasin di Provinsi Sumatera Selatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 70 Menimbang : Mengingat : PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUASIN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUASIN, a. bahwa setiap warga

Lebih terperinci

Dr. Alamsyah, M.Hum. Drs. Sugiyarto, M.Hum

Dr. Alamsyah, M.Hum. Drs. Sugiyarto, M.Hum POTRET DI JEPARA Dr. Alamsyah, M.Hum Drs. Sugiyarto, M.Hum Penerbit Madina dan Pemda Kabupaten Jepara. Desember 2012 i Permasalahan Sosial dan Strategi Penanganan Potret di Jepara Diterbitkan Desember

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Banyaknya tawuran antar pelajar yang terjadi di kota kota besar di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Banyaknya tawuran antar pelajar yang terjadi di kota kota besar di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Banyaknya tawuran antar pelajar yang terjadi di kota kota besar di Indonesia merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk di bahas. Perilaku pelajar yang anarkis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi penduduk merosot hingga minus 20% mengakibatkan turunnya berbagai

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi penduduk merosot hingga minus 20% mengakibatkan turunnya berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah membawa dampak yang luas bagi masyarakat sampai saat ini. Pertumbuhan ekonomi penduduk merosot

Lebih terperinci

PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL

PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL I. UMUM PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL Pembangunan kesejahteraan sosial merupakan perwujudan dari upaya mencapai tujuan bangsa yang

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA NOMOR :...TAHUN 2007 TENTANG PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA NOMOR :...TAHUN 2007 TENTANG PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA NOMOR :...TAHUN 2007 TENTANG PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA UTARA MENIMBANG : a. Bahwa dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam suatu negara, pembangunan bertujuan untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam suatu negara, pembangunan bertujuan untuk mewujudkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam suatu negara, pembangunan bertujuan untuk mewujudkan hidup yang lebih baik dari sebelumnya. Karena itu keberhasilan suatu pembangunan sedikit banyak ditentukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakatnya telah terpenuhi. Salah satu penghambat dari kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. masyarakatnya telah terpenuhi. Salah satu penghambat dari kesejahteraan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari kesejahteraan masyarakatnya, bangsa atau negara dapat dikatakan maju dan berhasil apabila kesejahteraan masyarakatnya telah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR REHABILITASI SOSIAL DENGAN PENDEKATAN PROFESI PEKERJAAN SOSIAL

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR REHABILITASI SOSIAL DENGAN PENDEKATAN PROFESI PEKERJAAN SOSIAL PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR REHABILITASI SOSIAL DENGAN PENDEKATAN PROFESI PEKERJAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI SOSIAL REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. data-data keluarga sejahtera yang dikumpulkannya. Menurut BKKBN yang

BAB I PENDAHULUAN. data-data keluarga sejahtera yang dikumpulkannya. Menurut BKKBN yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masalah angka kemiskinan ini menjadi lebih banyak diperdebatkan oleh ekonom dan non-ekonom ketika BKKBN mengumumkan angka kemiskinan dari data-data keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum. dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin.

BAB I PENDAHULUAN. sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum. dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Parsudi Suparlan (1981) menyatakan kemiskinan adalah sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Lebih terperinci

IMAM MUCHTAROM C

IMAM MUCHTAROM C TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN TENAGA KERJA WANITA DITINJAU DARI UU NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN (Studi Kasus: PT. Aksara Solo Pos Surakarta) SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas

Lebih terperinci

PEMBINAAN ANAK JALANAN DI UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS (UPTD) KAMPUNG ANAK NEGERI KOTA SURABAYA S K R I P S I

PEMBINAAN ANAK JALANAN DI UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS (UPTD) KAMPUNG ANAK NEGERI KOTA SURABAYA S K R I P S I PEMBINAAN ANAK JALANAN DI UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS (UPTD) KAMPUNG ANAK NEGERI KOTA SURABAYA S K R I P S I Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Administrasi Negara Pada Fakultas

Lebih terperinci

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PEMBINAAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN, DAN PENGEMIS

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PEMBINAAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN, DAN PENGEMIS SALINAN WALIKOTA KEDIRI PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PEMBINAAN ANAK JALANAN, GELANDANGAN, DAN PENGEMIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KEDIRI, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

TENTANG ORGANISASI UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS LINGKUNGAN PONDOK SOSIAL KEPUTIH PADA DINAS SOSIAL KOTA SURABAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TENTANG ORGANISASI UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS LINGKUNGAN PONDOK SOSIAL KEPUTIH PADA DINAS SOSIAL KOTA SURABAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN SALINAN PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS LINGKUNGAN PONDOK SOSIAL KEPUTIH PADA DINAS SOSIAL KOTA SURABAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.43, 2015 KEMENSOS. Rehabilitasi Sosial. Profesi. Pekerjaan Sosial. Standar. PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR REHABILITASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak masalah sosial yang ada sampai saat ini, pengemis adalah masalah

BAB I PENDAHULUAN. banyak masalah sosial yang ada sampai saat ini, pengemis adalah masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sampai saat ini, Indonesia masih tergolong Negara yang sedang maju dan belum mampu menyelesaikan masalah kemiskinan. Dari beberapa banyak masalah sosial yang ada sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Prostitusi dalam arti terangnya adalah pelacur atau pelayan seks atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Prostitusi dalam arti terangnya adalah pelacur atau pelayan seks atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prostitusi dalam arti terangnya adalah pelacur atau pelayan seks atau Pekerja Seks Komersial (PSK) atau disebut juga penjual jasa seksual. Ternyata penduduk asli di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1945) memberikan hak kepada setiap orang untuk mendapatkan lingkungan. sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

BAB I PENDAHULUAN. 1945) memberikan hak kepada setiap orang untuk mendapatkan lingkungan. sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) memberikan hak kepada setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hal ini

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENANGANAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS UU RI NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DI WILAYAH SURAKARTA

EFEKTIVITAS UU RI NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DI WILAYAH SURAKARTA 0 EFEKTIVITAS UU RI NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DI WILAYAH SURAKARTA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kendaraan berperan sebagai sektor penunjang pembangunan (the promoting

BAB I PENDAHULUAN. kendaraan berperan sebagai sektor penunjang pembangunan (the promoting BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan kendaraan sepeda motor di Cengkareng terus mengalami peningkatan. Peningkatan jumlah kendaraan sepada motor yang demikian pesat didasarkan atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kesejahteraan (welfare state). Itulah konsep

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kesejahteraan (welfare state). Itulah konsep BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara kesejahteraan (welfare state). Itulah konsep negara yang dianut oleh bangsa Indonesia sebagaimana pernyataan Jimly Ashiddiqie (dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan Negara Hukum. Pengaturan ini termuat

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan Negara Hukum. Pengaturan ini termuat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan Negara Hukum. Pengaturan ini termuat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG PENANGANAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG PENANGANAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG PENANGANAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

cenderung meningkat, juga cukup besar dibandingkan komponen pengeluaran APBN yang lain,

cenderung meningkat, juga cukup besar dibandingkan komponen pengeluaran APBN yang lain, A. Latar Belakang Setiap tahun pemerintah mengeluarkan dana untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM). Jumlah subsidi BBM yang dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), selain cenderung

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR TAHUN TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA,

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR TAHUN TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA, RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR TAHUN TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dampak negatif bagi pihak-pihak tertentu. adalah Yayasan Lembaga Pengkajian Sosial (YLPS) Humana Yogyakarta.

BAB I PENDAHULUAN. dampak negatif bagi pihak-pihak tertentu. adalah Yayasan Lembaga Pengkajian Sosial (YLPS) Humana Yogyakarta. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) merupakan suatu wadah yang dibentuk dan digunakan oleh masyarakat untuk menyampaikan suatu aspirasi ataupun gagasan di dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya,

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, sehingga pembangunan tersebut harus mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia termasuk membangun generasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945 yang berbunyi Negara

BAB I PENDAHULUAN. dalam Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945 yang berbunyi Negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945 yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara hukum. Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diyakini telah membawa pengaruh terhadap munculnya masalah-masalah

BAB I PENDAHULUAN. diyakini telah membawa pengaruh terhadap munculnya masalah-masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Krisis moneter yang melanda hampir seluruh negara berkembang, khususnya negara-negara ASEAN, pada tahun 1997 secara tidak langsung diyakini telah membawa pengaruh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Secara konsepsional, pembangunan yang telah dan sedang dilaksanakan pada

I. PENDAHULUAN. Secara konsepsional, pembangunan yang telah dan sedang dilaksanakan pada I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara konsepsional, pembangunan yang telah dan sedang dilaksanakan pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, memperluas kesempatan kerja dan

Lebih terperinci

BAB II. GAMBARAN UMUM PANTI SOSIAL BINA KARYA YOGYAKARTA. Panti Sosial Bina Karya Yogyakarta adalah Unit Pelaksana Tehnis Dinas

BAB II. GAMBARAN UMUM PANTI SOSIAL BINA KARYA YOGYAKARTA. Panti Sosial Bina Karya Yogyakarta adalah Unit Pelaksana Tehnis Dinas BAB II. GAMBARAN UMUM PANTI SOSIAL BINA KARYA YOGYAKARTA A. Pengertian dan Domisilih Lembaga Panti Sosial Bina Karya Yogyakarta adalah Unit Pelaksana Tehnis Dinas Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai dengan Pembukaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi dan kemajuan teknologi yang terjadi dewasa ini telah menimbulkan dampak yang luas terhadap berbagai bidang kehidupan, khususnya di bidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang- meningkatkan produksi dan produktifitas kerja.

BAB I PENDAHULUAN. merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang- meningkatkan produksi dan produktifitas kerja. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otoriter juga dipicu oleh masalah ekonomi dan adanya perubahan sosial dalam

BAB I PENDAHULUAN. otoriter juga dipicu oleh masalah ekonomi dan adanya perubahan sosial dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Arus reformasi telah berhasil menumbangkan pemerintahan Orde Baru yang otoriter. Faktor keruntuhan Orde Baru selain karena kekuasaan yang otoriter juga dipicu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara anggota masyarakat terkadang menimbulkan gesekan-gesekan yang

BAB I PENDAHULUAN. antara anggota masyarakat terkadang menimbulkan gesekan-gesekan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat, di manapun berada, selalu terdapat penyimpangan-penyimpangan sosial yang dilakukan oleh anggotanya, baik yang dilakukan secara sengaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bahwa pada hakekatnya pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bahwa pada hakekatnya pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional merupakan sarana yang penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bahwa pada hakekatnya pembangunan nasional itu adalah pembangunan

Lebih terperinci

2 Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetuju

2 Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetuju LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.185, 2014 KESEHATAN. Jiwa. Kesehatan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5571) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2014

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut dapat dilihat dari adanya indikasi angka kecelakaan yang terus

BAB I PENDAHULUAN. tersebut dapat dilihat dari adanya indikasi angka kecelakaan yang terus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Terjadinya pelanggaran lalu lintas merupakan salah satu bentuk problematika yang sering menimbulkan permasalahan di jalan raya. Hal tersebut dapat dilihat

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. dalam kajian ilmu sosial. Di setiap daerah-daerah atau kota besar di Indonesia

BAB V PENUTUP. dalam kajian ilmu sosial. Di setiap daerah-daerah atau kota besar di Indonesia BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Fenomena gepeng di Indonesia bukan merupakan fenomena yang baru dalam kajian ilmu sosial. Di setiap daerah-daerah atau kota besar di Indonesia fenomena gepeng ini kerap kali

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Di tangan mereka peranperan strategis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diukur berdasarkan kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) berdasarkan hasil survei oleh Badan Pusat Statistik (bps.go.id:

Lebih terperinci

PENGANGKATAN ANAK BERDASARKAN PENETAPAN PENGADILAN SERTA PERLINDUNGANNYA MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002 (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Pacitan)

PENGANGKATAN ANAK BERDASARKAN PENETAPAN PENGADILAN SERTA PERLINDUNGANNYA MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002 (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Pacitan) PENGANGKATAN ANAK BERDASARKAN PENETAPAN PENGADILAN SERTA PERLINDUNGANNYA MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002 (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Pacitan) Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Primary needs, Pengalaman-pengalaman tersebut menghasilkan nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. Primary needs, Pengalaman-pengalaman tersebut menghasilkan nilai-nilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Pergaulan hidup manusia diatur oleh berbagai macam kaidah atau norma yang pada hakekatnya bertujuan untuk menghasilkan kehidupan bersama yang tertib dan

Lebih terperinci

Sikap Dan Tindakan Kepolisian Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Premanisme Yang Terjadi Di Masyarakat. Oleh : Suzanalisa

Sikap Dan Tindakan Kepolisian Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Premanisme Yang Terjadi Di Masyarakat. Oleh : Suzanalisa Sikap Dan Tindakan Kepolisian Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Premanisme Yang Terjadi Di Masyarakat Oleh : Suzanalisa ABSTRAK Tindak pidana kekerasan premanisme yang sangat lekat dengan pelanggaran hukum

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 36 TAHUN TENTANG STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR PENANGANAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial, sebagai makhluk individual manusia memiliki kepentingan masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. sosial, sebagai makhluk individual manusia memiliki kepentingan masing-masing BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia dilahirkan sebagai makhluk yang bersifat individual dan juga bersifat sosial, sebagai makhluk individual manusia memiliki kepentingan masing-masing yang tentu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian terhadap efektifitas hukum. 56 Dalam penelitian ini, peneliti

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian terhadap efektifitas hukum. 56 Dalam penelitian ini, peneliti 51 BAB III METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian hukum empiris atau penelitian hukum sosiologis, yaitu mencakup penelitian terhadap identifikasi hukum dan penelitian terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai, seperti makanan,

BAB I PENDAHULUAN. dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai, seperti makanan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemiskinan adalah salah satu masalah sosial, karena kemiskinan telah menjadi sebuah persoalan dalam kehidupan manusia. Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kriminalitas merupakan salah satu masalah publik yang sulit diatasi. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Kriminalitas merupakan salah satu masalah publik yang sulit diatasi. Salah satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kriminalitas merupakan salah satu masalah publik yang sulit diatasi. Salah satu contoh dari bentuk tindak kriminalitas adalah mengkonsumsi minuman beralkohol. Minuman

Lebih terperinci

sendiri diatur dalam pasak 303 ayat (3) KUHP yang berbunyi:

sendiri diatur dalam pasak 303 ayat (3) KUHP yang berbunyi: Saat ini, berbagai macam dan bentuk perjudian sudah meluas dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Sebagian masyarakat memandang bahwa perjudian sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ataupun pekerjaan. Baik pekerjaan yang diusahakan sendiri maupun bekerja pada orang lain.

BAB I PENDAHULUAN. ataupun pekerjaan. Baik pekerjaan yang diusahakan sendiri maupun bekerja pada orang lain. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam menjalani kehidupan ini manusia mempunyai kebutuhan yang beraneka ragam, untuk memenuhi semua kebutuhan tersebut manusia dituntut untuk melaksanakan suatu usaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Hal ini terbukti dari banyaknya jenis tindak pidana dan modus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penegakan hukum dan ketertiban merupakan syarat mutlak dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penegakan hukum dan ketertiban merupakan syarat mutlak dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum dan ketertiban merupakan syarat mutlak dalam upaya menciptakan kehidupan bangsa Indonesia yang aman, damai dan sejahtera. Tanpa adanya penegakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pangan, dan papan tercukupi. Akan tetapi pada kenyataannya, masih ada

BAB I PENDAHULUAN. pangan, dan papan tercukupi. Akan tetapi pada kenyataannya, masih ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah sebuah negara yang kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusianya. Dengan kekayaan yang melimpah tersebut, seharusnya semua kebutuhan

Lebih terperinci