BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut USP (2007), sifat fisikokimia cefadroxil adalah sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mengkompromikan daya pisah kromatografi, beban cuplikan, dan waktu analisis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN PRAKTIKUM HPLC : ANALISA TABLET VITAMIN C

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Ditjen. BKAK (2014), sifat fisikokimia pirasetam adalah : Gambar 2.1 Struktur Pirasetam. : 2-Oxopirolidin 1-Asetamida

High Performance Liquid Chromatography (HPLC) Indah Solihah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sifat Fisikokimia Sifat fisikokimia menurut Ditjen POM (1995) adalah sebagai berikut :

High Performance Liquid Chromatography (HPLC) Indah Solihah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk tabung pipih atau siskuler, kedua permukaannya rata atau cembung,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tuberkulosis, singkatnya TB adalah suatu penyakit menular yang paling

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut British Pharmacopeia (2009), sifat fisikokimia domperidone

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Obat Generik (Unbranded Drug) adalah obat dengan nama generik, nama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

High Performance Liquid Chromatography (HPLC) Indah Solihah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKAA Sifat. Fisikokimia. berikut: Rumus struktur : Nama Kimia. Rumus Molekul. : C 6 H 12 NNaO. Berat Molekul.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bahan Tambahan Makanan (BTM) atau food additives adalah senyawa

Kromatografi Gas-Cair (Gas-Liquid Chromatography)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. A (retinol) atau disebut juga tretinoin. Bahan ini sering dipakai pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saus cabai atau yang biasa juga disebut saus sambal adalah saus yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau diagnosis suatu penyakit, kelainan fisik, atau gejala-gejalanya pada manusia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Fase gerak : dapar fosfat ph 3,5 : asetonitril (80:20) : panjang gelombang 195 nm

MATA KULIAH FARMAKOLOGI DASAR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terbuat dari pati atau bahan lain yang sesuai (Ditjen POM RI, 1995).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sering (sekitar 80%) terjadi di paru-paru. Penyebabnya adalah suatu basil Grampositif

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Tahapan-tahapan disintegrasi, disolusi, dan difusi obat.

BAB I PENDAHULUAN. Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOKINETIKA PERCOBAAN 1 SIMULASI INVITRO MODEL FARMAKOKINETIK PEMBERIAN INTRAVASKULAR (INTRAVENA) Disusun oleh : Kelompok 2

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB I PENGANTAR FARMAKOKINETIKA. meliputi ruang lingkup ilmu farmakokinetik dan dasar-dasar yang menunjang ilmu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. meringankan gejala batuk dan pilek, penyakit yang seluruh orang pernah

KROMATOGRAFI. Adelya Desi Kurniawati, STP., MP., M.Sc.

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

ANALISIS KADAR METANOL DAN ETANOL DALAM MINUMAN BERALKOHOL MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI GAS. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. kuat dilaboratorium kimia. Metode kromatografi, karena pemanfaatannya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

merupakan masalah umum yang menimpa hampir 35% dari populasi umum, khususnya pediatri, geriatri, pasien stroke, penyakit parkinson, gangguan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dibuat dengan penambahan bahan tambahan yang sesuai. Tablet dapat berbedabeda

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sediaan pemutih wajah. Hal ini dikarenakan efektivitas kerja dari hidrokuinon

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

oleh tubuh. Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui rangkaian proses yaitu disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat;

FARMAKOKINETIKA. Oleh Isnaini

mempermudah dalam penggunaannya, orally disintegrating tablet juga menjamin keakuratan dosis, onset yang cepat, peningkatan bioavailabilitas dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dengan penambahan bahan tambahan yang sesuai. Tablet dapat berbeda-beda

BAB I PENDAHULUAN. kembali pada awal tahun 1920-an. Pada tahun 1995-an, metode kromatografi

APLIKASI FARMAKOKINETIKA DALAM FARMASI KLINIK MAKALAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian farmakokinetik Proses farmakokinetik Absorpsi (Bioavaibilitas) Distribusi Metabolisme (Biotransformasi) Ekskresi

Analisis Fisiko Kimia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Betametason (Bm) dan Deksklorfeniramin Maleat (Dk) adalah kombinasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lunak yang dapat larut dalam saluran cerna. Tergantung formulasinya kapsul terbagi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bahan Tambahan Makanan (BTM) atau food additives adalah senyawa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh:

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

UJI STABILITAS FISIK DAN KIMIA SEDIAAN SIRUP RACIKAN

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan analisis obat semakin dikenal secara luas dan bahkan mulai

TUGAS FARMAKOKINETIKA

bebas dari kerusakan fisik, serta stabil cukup lama selama penyimpanan (Lachman et al., 1986). Banyak pasien khususnya anak kecil dan orang tua

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi

Difusi adalah Proses Perpindahan Zat dari konsentrasi yang tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah.

BAB I PENDAHULUAN. digunakan sebagai obat influenza. PCT merupakan analgesik-antipiretik, dalam

OBAT-OBATAN DI MASYARAKAT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berbagai infeksi virus pada manusia disebabkan oleh virus herpes. Infeksi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

UJI BIOEKIVALENSI TABLET METOKLOPRAMID BAHAN TAMBAHAN SARI TAPE DIBANDINGKAN DENGAN TABLET METOKLOPRAMID MEREK DAGANG PADA HEWAN KELINCI SECARA KCKT

Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Pelepasan, Pelarutan dan Absorbsi Obat

BAB I PENDAHULUAN. Tuberculosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi alam tropis Indonesia sangat menunjang pertumbuhan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilaksanakan di RSGM UMY dengan tujuan untuk melihat adanya

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FARMAKOLOGI EKSPERIMENTAL II PERCOBAAN II

BAB I PENDAHULUAN. persyaratan kualitas obat yang ditentukan oleh keamanan, keefektifan dan kestabilan

BAB I PENDAHULUAN. menghambat enzim HMG-CoA reduktase. HMG-CoA merupakan pembentuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sering (sekitar 80%) terjadi di paru-paru. Penyebabnya adalah suatu basil Grampositif

LAPORAN PRAKTIKUM PENGANTAR KIMIA MEDISINAL SEMESTER GANJIL PENGARUH ph DAN PKa TERHADAP IONISASI DAN KELARUTAN OBAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Suspensi Kotrimoksazol mengandung Sulfametoksazol C 10 H 11 N 3 O 3 S dan. Rumus struktur : H 2 N SO 2 NH N.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tubuh terhadap obat, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Dalam

Kelompok 2: Kromatografi Kolom

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit menular yang paling sering

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. sumber pemenuhan kebutuhan tubuh untuk melakukan metabolisme hingga

BAB I PENDAHULUAN. ketersediaan hayati obat. Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. a. Pemilihan komposisi fase gerak untuk analisis levofloksasin secara KCKT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Metoclopramidi Hydrochloridum 2.1.1 Tinjauan umum Gambar 2. Rumus bangun Metoclopramidi Hydrochloridum Rumus molekul: C 14 H 22 ClN 3 O 2. HCl.H 2 O Nama kimia: 4-Amino-5-kloro-N-[2-(dietilamino)etil-o-anisamida monohidroklorida, monohidrat [54143-57-6] Berat molekul: 354,28 Pemerian: Serbuk hablur, putih atau praktis putih; tidak berbau atau praktis tidak berbau. Kelarutan: Sangat mudah larut dalam air; mudah larut dalam etanol; agak sukar larut dalam klorofom; praktis tidak larut dalam eter. (Ditjen POM, 1995).

2.1.2 Farmakologi Mual dan muntah mempunyai banyak penyebab, termasuk obat-obatan (misalnya sitotoksik, opioid, anastetik, digoksin), penyakit vestibular, gerakan provokatif (misalnya mabuk laut), migren dan kehamilan. Lebih mudah untuk mencegah muntah daripada menghentikannya bila muntah sudah terjadi. Oleh karena itu, bila memungkinkan antiemetik sebaiknya diberikan sesaat sebelum stimulus emetik (Neal, 2005). Metoklopramida HCl berkhasiat antiemetik kuat berdasarkan blokade reseptor dopamin di CTZ (chemoreceptor Trigger Zone). Di samping itu, zat ini juga memperkuat pergerakan dan pengosongan lambung. Efektif pada jenis muntah akibat kemoterapi dan migrain. Reabsorpsinya dari usus cepat, mulai kerjanya dalam 20 menit (Tjay dan Rahardja, 2002) 2.1.3 Efek samping dan interaksi obat. Efek samping yang terpenting adalah sedasi dan gelisah. Efek samping lainnya berupa gangguan lambung dan usus serta gangguan ekstrapiramidal, terutama pada anak kecil. Interaksi obat, obat-obat seperti digoksin yang terutama diserap di lambung akan mengurangi reabsorpsinya bila diberikan bersamaan dengan metoklopramida (Tjay dan Rahardja, 2002). 2.2 Fase Biofarmasetik Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia formulasi obat terhadap bioavaibilitas obat. Bioavaibilitas menyatakan kecepatan dan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik (Shargel dan Yu, 2005).

Fase biofarmasetik melibatkan seluruh unsur-unsur yang terkait mulai saat permberian obat hingga terjadinya penyerapan zat aktif. Peristiwa tersebut tergantung pada cara pemberian dan bentuk sediaan. Fase biofarmasetik dapat diuraikan dalam tiga tahap utama yaitu liberasi (pelepasan), disolusi (pelarutan) dan absorpsi (penyerapan) (Aiache, 1993). 2.2.1 Liberasi (Pelepasan) Apabila pasien menerima obat berarti ia mendapat zat aktif yang diformulasi dalam bentuk sediaan dan dosis tertentu. Proses pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan tergantung pada jalur pemberiaan dan bentuk sediaan serta dapat terjadi secara cepat. Pelepasan zat aktif dipengaruhi oleh keadaan lingkungan biologis dan mekanisme pada tempat pemasukan obat, misalnya gerak peristaltik usus, hal ini penting untuk bentuk sediaan yang keras atau yang kenyal (tablet, supositoria dan lain-lain). Tahap pelepasan ini dapat dibagi dalam dua tahap yaitu tahap pemecahan dan peluruhan, misalnya untuk sebuah tablet (Aiache, 1993). 2.2.2 Disolusi (Pelarutan) Setelah terjadi pelepasan, maka tahap kedua adalah pelarutan zat aktif. Tahap kedua ini merupakan keharusan agar selanjutnya terjadi penyerapan (Aiache, 1993). 2.2.3 Absorpsi (Penyerapan) Absorpsi atau penyerapan suatu zat aktif adalah masuknya molekulmolekul obat ke dalam tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh setelah melewati membran biologik. Penyerapan ini hanya dapat terjadi bila zat aktif

berada dalam bentuk terlarut. Tahap ini merupakan bagian dari fase biofarmasetik dan tahap awal dari fase farmakokinetika. Penyerapan zat aktif bergantung pada berbagai parameter, terutama sifat fisikokimia molekul obat. Dengan demikian proses penyerapan zat aktif terjadi apabila sudah dibebaskan dari sediaan dan sudah melarut dalam cairan biologis (Aiache, 1993). Menurut Shargel dan YU (2005) pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui suatu rangkaian proses. Proses itu meliputi: 1. Disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat. Sebelum absorpsi terjadi, suatu produk obat padat harus mengalami disintegrasi ke dalam partikel partikel kecil melepaskan obat. 2. Pelarutan obat dalam media aqueous Pelarutan merupakan proses di mana suatu bahan kimia atau obat menjadi terlarut dalam suatu pelarut. Dalam sistem biologik pelarutan obat dalam media aqueous merupakan suatu bagian penting sebelum kondisi absorpsi sistemik. 3. Absorpsi melewati membran sel menuju sirkulasi sistemik. Agar suatu obat dapat mencapai tempat kerja di jaringan suatu organ, obat tersebut harus melewati berbagai membrane sel. Pada umumnya, membrane sel mempunyai struktur lipoprotein yang bertindak sebagai membrane lipid semipermeabel. Banyak obat mengandung substituen lipofilik dan hidrofilik. Obat obat yang lebih larut dalam lemak lebih mudah melewati membrane sel daripada obat yang kurang larut dalam lemak atau obat yang lebih larut dalam air.

Obat dalam Pelepasan dengan partikel pelarutan obat absorbsi obat produk obat cara penghancuran obat dalam dalam padat larutan tubuh Menurut Siswandono dan Soekardjo (2000) Adapun faktor faktor yang mempengaruhi proses absorpsi obat di saluran cerna antara lain: Bentuk sediaan obat, meliputi ukuran partikel bentuk sediaan, adanya bahan-bahan tambahan dalam sediaan. Sifat kimia fisika obat, misalnya: bentuk garam, basa, amorf, kristal. Faktor biologis, seperti: gerakan saluran cerna, luas permukaan saluran cerna, waktu pengosongan lambung, banyaknya pembuluh darah dalam usus, aliran (perfusi) darah dari saluran cerna. Faktor-faktor lain, seperti: usia, interaksi obat dengan makanan, interaksi obat dengan obat lain, penyakit tertentu. 2.3 Bioavailabilitas Bioavailabilitas menunjukkan suatu pengukuran laju dan jumlah obat yang aktif terapetik yang mencapai sirkulasi umum. Studi bioavailabilitas dilakukan baik terhadap bahan obat aktif yang telah disetujui maupun terhadap obat dengan efek terapetik yang belum disetujui FDA (Food Drug Administration) untuk dipasarkan. Bioavalabilitas digunakan untuk menggambarkan fraksi dari dosis obat yang mencapai sirkulasi sistemik yang merupakan salah satu bagian dari aspek farmakokinetik obat. Defenisi tersebut diartikan bahwa obat yang di berikan secara intravena bioavalibilitasnya 100%. Namun, jika obat diberikan

melalui rute pemberian lain (seperti melalui oral) bioavalibilitasnya berkurang (karena absorpsi yang tidak sempurna dan metabolisme lintas pertama) (Shargel dan Yu, 2005). Bioavailabilitas relatif adalah ketersediaan dalam sistemik suatu produk obat dibandingkan terhadap suatu standar yang diketahui. Availabilitas suatu formulasi obat dibandingkan terhadap availabilitas formula standar, yang biasanya berupa suatu larutan dari obat murni, dievaluasi dalam studi cross over. Availabilitas relatif dari dua produk obat yang diberikan pada dosis dan rute pemberian yang sama dapat diperoleh dengan persamaan berikut: Availabilitas relatif = Jika dosis yang diberikan berbeda, suatu koreksi untuk dosis yang dibuat, seperti dalam persamaan berikut: Availabilitas relatif = 2.3.1 Faktor faktor yang Mempengaruhi Bioavailabilitas Obat Menurut Anonim (2006), Faktor-faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas obat antara lain: 1) Sifat Fisikokimia Obat Ukuran partikel Luas permukaan obat Kelarutan obat Bentuk kimia obat, yaitu garam, bentuk anhydrous atau hidrous Lipofilisitas Stabilitas obat

2) Faktor Formulasi Untuk merancang suatu produk obat yang akan melepaskan obat aktif dalam bentuk yang paling banyak berada dalam sistemik, farmasis harus mempertimbangkan: (1) jenis produk obat; (2) sifat bahan tambahan dalam produk obat; (3) sifat fisikokimia obat itu sendiri (Shargel dan Yu, 2005). Untuk obat yang diberikan secara oral, bioavailabilitasnya mungkin kurang dari 100% karena : Obat diabsorpsi tidak sempurna Eliminasi lintas pertama (First-Pass Elimination), Obat diabsorpsi menembus dinding usus, darah vena porta mengirimkan obat ke hati sebelum masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Obat dapat dimetabolisme di dalam dinding usus atau bahkan di dalam darah vena porta. Hati dapat mengekskresikan obat ke dalam empedu. Laju absorpsi 2.3.2. Parameter parameter Bioavailabilitas. a. T maksimum ( ) yaitu konsentrasi plasma mencapai puncak dapat disamakan dengan waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi obat maksimum setelah pemberian obat. Pada absorpsi obat adalah terbesar, dan laju absorpsi obat sama dengan laju eliminasi obat. Absorpsi masih berjalan setelah tercapai, tetapi pada laju yang lebih lambat. Harga menjadi lebih kecil (berarti sedikit waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi plasma puncak) bila laju absorpsi obat menjadi lebih cepat (Shargel dan Yu, 2005).

= log b. Konsentrasi plasma puncak ( ) menunjukkan konsentrasi obat maksimum dalam plasma setelah pemberian secara oral. Untuk beberapa obat diperoleh suatu hubungan antara efek farmakologi suatu obat dan konsentrasi obat dalam plasma (Shargel dan Yu, 2005). = c. AUC (Area Under Curve) adalah permukaan dibawah kurva (grafik) yang menggambarkan naik turunnya kadar plasma sebagai fungsi dari waktu. AUC dapat dihitung secara matematis dan merupakan ukuran untuk bioavailabilitas suatu obat. AUC dapat digunakan untuk membandingkan kadar masing-masing plasma obat bila penentuan kecepatan eliminasinya tidak mengalami perubahan. Selain itu antara kadar plasma puncak dan bioavailabilitas terdapat hubungan langsung (Waldon, 2008). AUC 0- = AUC 0-t + AUC t- AUC 0-t = C n 1 + Cn ( t n - t n-1 ) 2 dan AUC t- = C K tn el 2.4 Bioekivalensi Alasan utama dilakukan studi bioekivalensi oleh karena produk obat yang dianggap ekivalen farmasetik tidak memberikan efek terapetik yang sebanding

pada penderita. Persyaratan bioekivalensi diberlakukan oleh FDA atas dasar sebagai berikut (Shargel dan Yu, 2005): 1. Adanya fakta dari percobaan klinik atau pengamatan pada penderita yang menyatakan berbagai produk obat tidak memberi efek terapik yang sebanding. 2. Adanya fakta dari studi bioekivalensi menyatakan bahwa produkproduk tersebut bukan merupakan produk obat yang bioekivalen. 3. Adanya fakta bahwa produk-produk obat memperhatikan rasio terapik yang sempit dan konsentrasi efektif minimum dalam darah, serta penggunaannya secara aman dan efektif memerlukan dosis yang cermat dan memerlukan pemantauan pada penderita. 2.5. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) merupakan sistem pemisahan dengan kecepatan dan efisiensi yang tinggi. Hal ini karena didukung oleh kemajuan dalam teknologi kolom, sistem pompa tekanan tinggi, dan detektor yang sangat sensitif dan beragam. KCKT mampu menganalisa berbagai cuplikan secara kualitatif maupun kuantitatif, baik dalam komponen tunggal maupun campuran (Ditjen POM, 1995). KCKT merupakan teknik pemisahan yang diterima secara luas untuk analisis dan pemurnian senyawa tertentu dalam suatu sampel pada sejumlah bidang antara lain; farmasi, lingkungan dan industri-industri makanan (Rohman, 2007). Kegunaan umum KCKT adalah untuk pemisahan sejumlah senyawa organik, anorganik, maupun senyawa biologis, analisis ketidakmurnian

(impurities) dan analisis senyawa-senyawa yang tidak mudah menguap (nonvolatil). KCKT paling sering digunakan untuk menetapkan kadar senyawasenyawa tertentu seperti asam-asam amino, asam-asam nukleat dan proteinprotein dalam cairan fisiologis, menentukan kadar senyawa-senyawa aktif obat dan lain-lain (Rohman, 2007). Menurut De Lux Putra (2007) kelebihan KCKT antara lain: Mampu memisahkan molekul-molekul dari suatu campuran Resolusinya baik Mudah melaksanakannya Kecepatan analisis dan kepekaannya tinggi Dapat dihindari terjadinya dekomposisi/kerusakan bahan yang dianalisis Dapat digunakan bermacam-macam detektor Kolom dapat digunakan kembali Instrumennya memungkinan untuk bekerja secara automatis dan kuantitatif Waktu analisis umumnya singkat Kromatografi cair preparatif memungkinkan dalam skala besar Ideal untuk molekul besar dan ion. 2.5.1 Prinsip KCKT Kromatografi merupakan tekhnik pemisahan yang mana solut atau zat-zat terlarut terpisah oleh perbedaan kecepatan elusi, dikarenakan solut-solut ini melewati suatu kolom kromatografi. Pemisahan solut-solut ini diatur oleh distribusi dalam fase gerak dan fase diam. Penggunaan kromatografi cair membutuhkan penggabungan secara tepat dari berbagai macam kondisi

operasional seperti jenis kolom, fase gerak, panjang dan diameter kolom, kecepatan alir fase gerak, suhu kolom, dan ukuran sampel (Rohman, 2007). 2.5.2 Jenis KCKT Pemisahan dapat dilakukan dengan fase normal atau fase terbalik tergantung pada polaritas relative fase diam dan fase gerak. Berdasarkan pada kedua pemisahan ini, seringkali KCKT dikelompokkan menjadi KCKT fase normal dan KCKT fase terbalik. Kromatografi fase terbalik merupakan kebalikan dari kromatografi fase normal. Kromatografi fase terbalik menggunakan fase diam yang bersifat nonpolar, dan fase geraknya yang relatif lebih polar daripada fase diam (Rohman, 2007). 2.5.3 Fase Gerak Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut yang dapat bercampur yang secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Daya elusi dan resolusi ini ditentukan oleh polaritas keseluruhan pelarut, polaritas fase diam, dan sifat komponen-komponen sampel. Untuk fase normal (fase diam lebih polar daripada fase gerak), kemampuan elusi meningkat dengan meningkatnya polaritas pelarut. Sementara untuk fase terbalik (fase diam kurang polar daripada fase gerak), kemampuan elusi menurun dengan meningkatnya polaritas pelarut (Rohman, 2007). Menurut Johnson dan Stevenson (1991) fase gerak harus: - Murni, tanpa cemaran - Tidak bereaksi dengan kemasan - Sesuai dengan detektor - Dapat melarutkan cuplikan

- Harganya wajar 2.5.4 Fase Diam Oktadesil silika (ODS atau C 18 ) merupakan fase diam yang paling banyak digunakan karena mampu memisahkan senyawa-senyawa dengan kepolaran yang rendah, sedang maupun tinggi (Watson, 2008). 2.5.5 Elusi Gradien dan Isokratik Menurut De Lux Putra (2007) elusi pada KCKT dapat dibagi menjadi dua sistem yaitu: 1. Sistem elusi isokratik. Pada sistem ini, elusi dilakukan dengan satu macam atau lebih fase gerak dengan perbandingan tetap (komposisi fase gerak tetap selama elusi). 2. Sistem elusi gradien. Pada sistem ini, elusi dilakukan dengan campuran fase gerak yang perbandingannya berubah-ubah dalam waktu tertentu (komposisi fase gerak berubah-ubah selama elusi). Elusi gradien didefinisikan sebagai penambahan kekuatan fase gerak selama suatu analisis kromatografi berlangsung. Digunakan untuk meningkatkan resolusi campuran yang kompleks terutama jika sampel mempunyai kisaran polaritas yang luas. Pengaruh yang menguntungkan dari elusi gradien adalah memperpendek waktu analisis senyawa-senyawa yang secara kuat ditahan di dalam kolom.

2.5.6 Instrumen KCKT Instrumen KCKT terdiri dari wadah fase gerak (reservoir), pompa (pump), tempat injeksi sampel (injector), kolom (column), detektor (detector) dan perekam (recorder) (McMaster, 2007). Gambar 3. Instrumen dasar KCKT. (sumber: McMaster, 2007). Sampel diinjeksikan ke dalam injektor KCKT menggunakan vial autosampler sebanyak 10 µl secara otomatis, kemudian melewati kolom. Didalam kolom terjadi pemisahan karena adanya perbedaan elusi dan diatur oleh adanya fase gerak dan fase diam (Oktadesil silika atau C18). Setelah dari kolom masuk ke detektor yang mendeteksi adanya komponen cuplikan dalam aliran yang keluar dari kolom. Detektor yang digunakan adalah detektor photodiode-array (PDA) pada panjang gelombang 273 nm. Rekorder yang dihubungkan ke detektor akan menangkap sinyal elektronik dari detektor dan memplotkannya ke dalam kromatogram. 2.5.6.1 Wadah Fase Gerak Wadah fase gerak harus bersih dan lembam (inert) terhadap fase gerak. Bahan yang umum digunakan adalah gelas dan baja anti karat. Daya tampung

tandon harus lebih besar dari 500 ml, yang dapat digunakan selama 4 jam untuk kecepatan alir yang umumnya 1-2 ml/menit (Munson, 1991) 2.5.6.2 Pompa Pompa digunakan untuk menggerakkan fase gerak melalui kolom. Pompa yang cocok digunakan untuk KCKT adalah pompa yang mempunyai syarat harus inert terhadap fase gerak. Bahan yang umum dipakai untuk pompa adalah gelas, baja tahan karat, teflon, dan batu nilam. Pompa yang digunakan sebaiknya mampu memberikan tekanan sampai 5000 psi dan mampu mengalirkan fase gerak dengan kecepatan alir 3 ml/menit. Aliran pelarut dari pompa harus tanpa denyut untuk menghindari hasil yang menyimpang pada detektor (Watson, 2008). Tujuan penggunaan pompa atau sistem penghantaran fase gerak adalah untuk menjamin proses penghantaran fase gerak berlangsung secara tepat, reprodusibel, konstan, dan bebas dari gangguan (Watson, 2008). 2.5.6.3 Tempat Injeksi Sampel Sampel-sampel cair dan larutan disuntikkan secara langsung ke dalam fase gerak yang mengalir di bawah tekanan menuju kolom menggunakan alat penyuntik yang terbuat dari tembaga tahan karat dan katup teflon yang dilengkapi dengan keluk sampel (sample loop) internal atau eksternal (Rohman, 2007). 2.5.6.4 Kolom Kolom adalah jantung kromatografi. Berhasil atau gagalnya suatu analisis tergantung pada pemilihan kolom dan kondisi percobaan yang sesuai. Kolom dapat dibagi menjadi dua kelompok : a. Kolom analitik: diameter khas adalah 2 6 mm. Panjang kolom tergantung pada jenis kemasan. Untuk kemasan pellikular, panjang yang lumrah

adalah 50 100 cm. Untuk kemasan poros mikropartikulat, umumnya 10 30 cm. Dewasa ini ada yang 5 cm. b. Kolom preparatif: umumnya memiliki diameter 6 mm atau lebih besar dan panjang kolom 25 100 cm. Kolom umumnya dibuat dari stainless steel dan biasanya dioperasikan pada temperatur kamar, tetapi bisa juga digunakan temperatur lebih tinggi, terutama untuk kromatografi penukar ion dan kromatografi eksklusi. Kemasan kolom tergantung pada mode KCKT yang digunakan (De Lux Putra, 2007). 2.5.6.5 Detektor Idealnya, suatu detektor harus mempunyai karakteristik sebagai berikut (Rohman, 2007): Mempunyai respon terhadap solut yang cepat dan reprodusibel Mempunyai sensitifitas yang tinggi, yakni mampu mendeteksi solut pada kadar yang sangat kecil Stabil dalam pengoperasiannya Mempunyai sel volume yang kecil sehingga mampu meminimalkan pelebaran pita. Tidak peka terhadap perubahan suhu dan kecepatan alir fase gerak.