BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Di akhir tahun 2008 dan awal 2009 hampir seluruh negara di dunia mengalami krisis moneter sehingga menimbulkan kesulitan yang sangat besar terhadap perekonomian hampir di semua negara pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya, terutama kemampuan dunia usaha di negara-negara tersebut, untuk mempertahankan kelangsungan kegiatan usaha mereka. Bagi dunia usaha akibat dari krisis moneter ini adalah kemampuan untuk memenuhi kewajiban pembayaran kepada kreditor menurun. Bagi kreditor untuk penyelesaian masalah utang ini harus dilakukan secara cepat dan efektif. Untuk memberikan kesempatan kepada pihak kreditor untuk mengupayakan penyelesaian yang adil, diperlukan sarana hukum yang dapat digunakan secara cepat, terbuka dan efektif. Salah satu sarana hukum yang menjadi landasan penyelesaian utang-piutang adalah peraturan tentang kepailitan. Kepailitan diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUK) yang mana undang-undang ini diharapkan dapat mengantisipasi penyelesaian utang-piutang tersebut, dan merupakan upaya terakhir dalam rangka penyelesaian masalah utang-piutang yang dapat dilaksanakan dengan mudah, cepat dan efektif. Untuk menanggulangi penyelesaian masalah utang piutang secara mudah, cepat dan efektif dapat dipakai lembaga lelang sebagai alternatif penjualan harta pailit atau kekayaan yang dimiliki oleh perusahaan yang dinyatakan pailit sebagaimana yang diatur dalam pasal 185 ayat (1) UUK. Bunyi pasal 185 ayat (1) Semua benda harus dijual di muka umum sesuai dengan tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Kepailitan mensyaratkan bahwa penjualan harta pailit harus dilakukan di muka umum. Di lain pihak penjualan di muka umum yang dikenal dalam hukum positif sebagai lelang, diatur dalam peraturan perundangan tentang lelang. Hal tersebut dikarenakan lelang merupakan suatu 1
2 cara yang tepat untuk menuntaskan masalah kepailitan, mengingat dalam melakukan suatu penyelesaian yang adil diperlukan sarana hukum yang dapat digunakan secara terbuka, cepat, efisien dan dapat mewujudkan harga yang wajar. Selanjutnya dalam Undang-Undang Kepailitan di atur juga jika penjualan di muka umum tidak tercapai, maka dimungkinkan dilakukan penjualan di bawah tangan yang dilakukan dengan izin Hakim Pengawas. Jadi dalam Undang-Undang Kepailitan untuk penyelesaian masalah kepailitan dapat dilakukan dengan dengan 2 (dua) alternatif yaitu penjualan secara lelang dan secara di bawah tangan. Yang mana dilakukan secara berurutan, maksudnya adalah dilakukan penjualan lelang terlebih dahulu, dan jika tidak terjual maka dapat dilakukan penjualan secara di bawah tangan. Di Indonesia lelang secara resmi masuk dalam perundang-undangan sejak tahun 1908, yaitu dengan berlakunya Vendu Reglement atau Peraturan Lelang yang diumumkan dalam Staatblad tahun 1908 Nomor 189 dan Vendu Instructie atau Instruksi Lelang yang diumumkan dalam Staatblad tahun 1908 Nomor 190. Peraturan-peraturan dasar lelang ini masih berlaku sampai saat ini dan menjadi dasar hukum penyelenggaraan lelang di Indonesia. Dalam peraturan perundangan di Indonesia, lelang digolongkan sebagai suatu bentuk jual beli yang khusus, oleh karena cara penjualan lelang tersebut diatur dalam undang-undang tersendiri. Kekhususan lelang ini antara lain tampak pada sifatnya yang transparan dengan cara pembentukan harga yang kompetitif dan adanya ketentuan yang mengharuskan pelaksanaan lelang yang dipimpin oleh seorang Pejabat Umum, yaitu Pejabat Lelang yang independen dan profesional. Meskipun Vendu Reglement statusnya hanya Reglement tetapi karena merupakan satu-satunya peraturan lelang dan pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah, maka Vendu Reglement kiranya dapat disamakan dengan undang-undang. Adapun peraturan pemerintah yang merupakan pelaksanaan Vendu Reglement tersebut diatur dalam Vendu Instructie Staatblad 1908 Nomor 190, Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2003 tanggal 31 Juli 2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Keuangan; serta yang terakhir adalah Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 40/PMK.07/2006 tanggal 30 Mei 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang (selanjutnya disebut Permenkeu).
3 Dalam pasal 1 Permenkeu, disebutkan bahwa penjualan umum atau lelang adalah setiap penjualan barang di muka umum dengan cara penawaran harga secara lisan dan atau tertulis melalui usaha mengumpulkan para peminat / peserta lelang. Sesuai dengan UUK dalam pasal 185, ditentukan bahwa harta pailit dijual secara lelang atau jika tidak tercapai penjualan secara lelang maka dapat dijual di bawah tangan dengan izin Hakim Pengawas. Mengenai penyelesaian harta kepailitan secara lelang tunduk pada peraturan lelang yang berlaku, dan masalah akan timbul jika lelang tidak tercapai (barang lelang tidak terjual) dan UUK memberikan jalan keluar yaitu dibolehkan menjual secara di bawah tangan dengan izin Hakim Pengawas. Dalam Undang-Undang Kepailitan tidak ada penjelasan bagaimana kriteria untuk melakukan penjualan di bawah tangan. Jadi dalam UUK tersebut secara gramatikal dapat ditafsirkan bahwa lelang adalah merupakan alternatif utama, sedangkan penjualan di bawah tangan dengan izin Hakim Pengawas adalah alternatif lainnya. Dalam era globalisasi dan reformasi saat ini, dimana transparansi, efisiensi, dan efektivitas merupakan semangat masyarakat di segala bidang kehidupan, kiranya penjualan lelang merupakan cara utama yang tepat untuk dipergunakan dalam penyelesaian masalah kepailitan, hal ini tercermin dari pasal 185 UUK. Penting untuk diketahui bahwa salah satu pertimbangan hukum dari UUK adalah untuk mengupayakan penyelesaian yang adil diperlukan sarana hukum yang dapat digunakan secara cepat, terbuka dan efektif. Kiranya lelang dapat memenuhi kebutuhan akan salah satu sarana hukum dimaksud, sedangkan penjualan di bawah tangan merupakan cara penyelesaian jika lelang tidak tercapai, sebagai jalan keluarnya. Pelelangan harta pailit dan penjualan di bawah tangan dilakukan oleh Kurator. Dalam hal ini pelelangan dapat dilakukan tanpa persetujuan atau bantuan dari debitor, sedangkan untuk penjualan di bawah tangan diperlukan bantuan dari debitor. Selanjutnya, sehubungan dengan pelelangan harta pailit ini perlu diperhatikan ketentuan pasal 56, pasal 57, dan pasal 58 UUK. Pasal-pasal ini menentukan bahwa piutang-piutang yang dijamin dengan hak tanggungan, gadai dan hak tanggungan atas kebendaan lainnya dapat dieksekusi seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Meskipun demikian, pelaksanaan eksekusi hak
4 tanggungan dan gadai tersebut dapat ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak putusan pailit ditetapkan (jangka waktu stay). Permohonan lelang dan penjualan di bawah tangan diajukan oleh Kurator harta pailit, yang terdaftar di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Menurut Permenkeu, harga limit atau harga minimal dari barang yang dilelang ditentukan oleh pemohon lelang. Agar lelang dapat lebih baik, dapat saja Kurator memanfaatkan jasa penilai untuk menilai barang yang akan dilelang atau jasa Balai Lelang/perusahaan lain secara kontraktual atas beban Kurator untuk memfasilitasi marketing, warehousing, labeling serta penyelenggaraan dan sebagainya. Upaya marketing pada pelaksanaan lelang kepailitan dan eksekusi pada umumnya hanya mengandalkan pengumuman di surat kabar/harian. Adapun dasar hukumnya adalah ketentuan dalam Pelaksanaan Lelang sebagaimana diatur dalam Permenkeu, yang antara lain untuk lelang eksekusi pengumumam lelangnya mengadopsi Pasal 200 HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata) Staatblad 1941 Nomor 44. Sebagai sarana pemasaran, pengumuman lelang tersebut kurang menarik karena pengumuman lelang lebih banyak berfungsi untuk memberi kesempatan pada pihak-pihak yang berkepentingan mendapat perlindungan hukum. Dalam pelaksanaan lelang harta pailit seringkali barang yang akan dilelang kurang dipersiapkan dengan baik. Akibatnya animo peminat kurang dan pada akhirnya lelang tidak terjadi, atau barang yang dilelang tidak terjual. Jika hal ini terjadi beberapa kali, maka UUK memberikan jalan keluar yaitu dengan cara penjualan di bawah tangan, setelah mendapat izin dari Hakim Pengawas. Perlu diketahui bahwa otoritas, Regulator dan Pembina Lelang adalah Menteri Keuangan melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, termasuk menentukan penggolongan lelang kepailitan sebagai lelang eksekusi dan sebagainya. Penegasan ini perlu disampaikan mengingat akhir-akhir ini ada penetapan dan penjelasan dari sementara Hakim Pengawas yang mengatakan bahwa lelang harta kepailitan adalah lelang sukarela 15. 15 Hasil wawancara dengan beberapa orang Kurator
5 Kehadiran UUK telah membuka peluang penyelesaian persoalan utang piutang yang segera harus diatasi untuk meredam gejolak moneter yang berakibat berat bagi perekonomian Indonesia. Berbagai penyempurnaan dalam proses penyelesaian kepailitan diharapkan dapat lebih mengefektifkan mekanisme penyelesaian sengketa utang piutang secara adil, cepat terbuka dan efisien. Lelang sebagai salah satu sarana utama penjualan untuk mendukung penyelesaian kepailitan, kiranya merupakan pilihan yang tepat karena konsep lelang sebagai sarana penjualan barang yang cepat, efisien, aman, terbuka dan dapat mewujudkan harga yang wajar pada dasarnya sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Peraturan Kepailitan. Dalam pelaksanaan di lapangan ada beberapa hal masih dijumpai permasalahan, hal ini penulis rasakan pada saat penulis melakukan lelang eksekusi harta pailit selaku anggota tim Kurator. Di samping itu juga penulis mempelajari beberapa penyelesaian kepailitan dengan cara penjualan di bawah tangan yang dalam prakteknya belum ada kriteria yang baku, tergantung dari Kurator dengan persetujuan Hakim Pengawas. Permasalahan-permasalahan tersebut perlu dikaji lebih jauh, sebagai contoh dalam lelang eksekusi, untuk melakukan suatu lelang akan memerlukan biaya - biaya yang tidak sedikit, karena sebelum melakukan lelang harus dilakukan pengumuman di surat kabar/harian, selain hal-hal tersebut diperlukan biaya-biaya yang antara lain biaya lelang dan dalam hal harta pailit yang dijual adalah tanah, maka Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 tentang penjualan tanah tetap harus dibayarkan, atas tanah yang dimaksud harus pula dimintakan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) dari Kantor Badan Pertanahan Nasional di mana tanah tersebut berada, di samping itu sering terjadi lelang tidak terjadi karena peminat lelang tidak ada. Dalam penjualan di bawah tangan, masalah timbul sampai berapa kali jika lelang eksekusi tidak terjadi yang selanjutnya dilakukan penjualan di bawah tangan, kriteria apa yang dipakai dalam penentuan harga dalam penjualan di bawah tangan dan lain sebagainya. Mengingat penjualan harta pailit dilaksanakan oleh Kurator untuk mendapatkan dana untuk penyelesaian utang utang perusahaan yang dinyatakan pailit tersebut, maka dengan adanya biaya-biaya untuk melakukan lelang seperti tersebut di atas, akan mengurangi harta pailit untuk menyelesaikan utang-utang
6 perusahaan yang dinyatakan pailit. Juga akan merugikan kreditor jika lelang yang sudah beberapa kali tetapi belum juga terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk mencari kriteria atau pertimbangan yuridis kapan sebaiknya dilakukan secara lelang atau kapan sebaiknya dilakukan penjualan di bawah tangan baik secara teori maupun yang terjadi di lapangan (praktek). Masalah-masalah tersebut merupakan suatu hal yang menarik untuk dibahas dan untuk dicarikan upaya-upaya penyelesaiannya, karena dengan melihat dan membaca apa yang telah diuraikan di atas, akan membuat lelang terlihat seperti dua sisi mata uang, di mana di satu sisi lelang merupakan suatu alternatif utama untuk melakukan penjualan harta pailit, karena dengan melakukan penjualan dengan cara lelang, maka Kurator tidak memerlukan bantuan perusahaan yang dinyatakan pailit tersebut untuk menjual harta pailit dan dengan cara yang efisien, cepat, terbuka serta dengan harga yang wajar, tetapi di sisi yang lain untuk melaksanakan penjualan secara lelang diperlukan biaya-biaya yang cukup tinggi. 1.2. Pokok Permasalahan Berdasarkan uraian di atas, penulis menemukan beberapa permasalahan dalam kasus lelang eksekusi harta pailit yang penulis alami dan pelajari sendiri sebagai anggota tim Kurator untuk perusahaan yang telah dipailitkan, yakni PT Truba Raya Trading. Di samping itu juga penulis melakukan penelitan atas perusahaan yang telah dipailitkan, yaitu PT Pulung Cooper Work Ltd dan PT Panen Djaja Abadi, yang mana harta pailitnya di jual secara di bawah tangan. Berdasarkan itu semua, permasalahan yang akan dibahas dalam tesis ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana penentuan alternatif lelang dan penjualan di bawah tangan dalam penyelesaian kepailitan, serta kriteria apa saja yang menentukan pemilihan alternatif tersebut? 2. Bagaimana pelaksanaan lelang dan penjualan di bawah tangan oleh Kurator sebagai alternatif penyelesaian kepailitan? 3. Apa saja kendala yang dihadapi oleh Kurator dalam penyelesaian kepailitan dan bagaimana penyelesaiannya?
7 1.3. Metode Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian yuridis normatif dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research), yaitu metode yang mencari sumber-sumber dari perundang-undangan yang berlaku, buku-buku, artikel, majalah, internet, dan sebagainya. Tipologi penelitian yang digunakan penyusunan ditinjau dari beberapa sudut antara lain : 1. Dari segi sifatnya menggunakan penelitian eksplanatoris yaitu penelitian yang mencoba mencari penyelesaian masalah ditinjau dari hubungan sebab akibat atas suatu permasalahan. 2. Dari segi tujuannya adalah fact finding dan penelitian problem identification, yaitu mencoba menelusuri penyebab yang timbul dari permasalahan yang telah ada; 3. Dari segi ilmu yang dipergunakan adalah penelitian inter disipliner, yaitu penelitian yang menggabungkan berbagai ilmu di bidang hukum yang saling berkaitan dan saling melengkapi satu sama lain. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari studi dokumen di perpustakaan yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier; dan jenis data primer yang diperoleh dari wawancara dengan informan-narasumber untuk melengkapi penyusunan penelitian. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen atau studi kepustakaan dan wawancara. Untuk studi dokumen atau bahan pustaka meliputi : 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang berasal dari Peraturan perundang-undangan yang berupa peraturan dasar seperti UUK dan yurisprudensi berupa putusan pengadilan negeri yang telah berkekuatan hukum tetap, Vendu Reglement (VR) yang dimuat dalam Staatblad 1908 Nomor 189, dan Vendu Instructie Staatblad 1908 Nomor 190 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi atau hal-hal yang berkaitan dengan isi sumber primer serta implementasinya, antara lain buku-buku dan artikel yang membahas mengenai lelang eksekusi khususnya harta pailit.
8 3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap sumber hukum primer atau sumber sekunder. Contohnya adalah kamus hukum dan kamus Bahasa Indonesia. Untuk alat pengumpulan data dengan wawancara adalah wawancara dengan informan-narasumber, yaitu beberapa Kurator pada yang ditetapkan dalam penetapan pailit, dengan instrumen wawancara adalah daftar pertanyaan (questioner). Untuk metode analisa data dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan kualitatif yang akan disajikan adalah data yang berupa kalimat yang selanjutnya data tersebut akan di analisa dan dikonstruksikan agar segala sesuatu yang didapat tersebut dapat dipelajari dan diteliti secara utuh. Dan pada akhirnya bentuk hasil penelitan ini adalah yuridis normatif dengan problem solution atas pokok permasalahan. 1.4. Sistimatika Penulisan Dalam pembahasan tesis ini penulis membahasnya terbatas hanya dalam hal-hal yang tercantum pada bab-bab yang dikemukan yaitu : Bab 1 Memuat latar belakang masalah pemilihan topik pokok permasalahan; Pokok Permasalahan, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan Bab 2 Pembahasan mengenai lelang dimulai dengan pengertian lelang, dasar hukum lelang, asas lelang, fungsi lelang, jenis-jenis lelang, dan hak dan kewajiban pemohon/penjual dan peserta/pembeli lelang; kemudian dilanjutkan pembahasan mengenai kepailitan yang didalamnya diuraikan pengertian kepailitan, asas-asas dalam kepailitan, syarat umum dan khusus, pelaku utama, insolvensi, pemberesan, sebab pengakhiran dan setelah pemberesan; pembahasan dilanjutkan pertama mengenai lelang eksekusi harta pailit yang didalamnya diuraikan mengenai pengertian, dasar hukum, pelaksanaan, tata cara, pembatalan lelang; kedua mengenai penjualan di bawah tangan harta pailit; kemudian pembahasan mengenai penemuan dan analisa masalah dengan mengambil studi kasus lelang eksekusi harta pailit pada PT Truba Raya Trading dan studi kasus penjualan di bawah tangan harta pailit pada PT Pulung Cooper Works Ltd serta PT Panen Djaja Abadi
9 Bab 3 Merupakan kesimpulan dari materi tesis, dari penelitian ini secara umum dapat memilih suatu alternatif penyelesaian yang dapat diambil oleh para pihak untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada dalam hal lelang eksekusi harta pailit dan penjualan di bawah tangan harta pailit, dan saran-saran yang ada.