BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam sebuah percakapan, pemahaman tentang implikatur mutlak diperlukan untuk dapat memahami makna tersirat suatu ujaran. Konsep mengenai implikatur ini dipakai untuk memperhitungkan apa yang disarankan atau apa yang dimaksudkan oleh penutur sebagai hal yang berbeda dari apa yang dinyatakan secara harafiah (Brown dan Yule, 1983:11). Implikatur percakapan adalah proporsi atau pernyataan implikatif, yaitu apa yang mungkin diartikan, disiratkan, atau dimaksudkan oleh penutur, yang berbeda dari apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur di dalam suatu percakapan (Grice, 1975:43). Sesuatu yang berbeda tersebut adalah maksud penutur yang tidak dikemukakan secara eksplisit sehingga konsep implikatur digunakan untuk dapat menerangkan perbedaan antara hal yang diucapkan dengan hal yang diimplikasikan. Implikatur suatu ujaran ditimbulkan akibat adanya pelanggaran prinsip percakapan. Teori implikatur percakapan dicetuskan oleh Grice pada tahun 1975. Pencetusan konsep implikatur ini merupakan upayanya dalam rangka menanggulangi persoalan makna yang tidak dapat diselesaikan dengan teori semantik. Bahasa yang digunakan dalam suatu masyarakat tutur (speech comunity) tentunya tidak bisa terlepas dari penuturnya. Labov dalam Wardaugh (1994:119) menyampaikan bahwa speech comunity tidak hanya berpegang pada kesamaan bentuk bahasa yang dipakai oleh sekelompok penutur, tetapi juga di dalamnya
terkandung norma-norma yang dijunjung tinggi oleh para penutur bahasa. Norma yang berlaku pada suatu masyarakat tentunya sangat bervariasi. Dengan kata lain, suatu masyarakat sangat mungkin menjunjung norma yang berbeda dari masyarakat lain dalam penggunaan bahasa. Maka tentunya dapat dikatakan bahwa bahasa memiliki kaitan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan. Untuk dapat benar-benar berbahasa asing, seseorang tidak dapat hanya menjadi orang yang dwibahasa atau bilingual, melainkan juga harus dwibudaya atau bicultural agar tidak merusak esensi budaya dalam suatu bahasa. Demikian juga agar dapat memahami bahasa Jepang dengan baik, harus pula memahami budaya yang melatarbelakanginya. Dengan memahami budaya Jepang, akan lebih mudah lagi bagi pembelajar bahasa Jepang untuk dapat berkomunikasi dalam bahasa Jepang dengan lebih natural dan tidak kaku. Salah satu karakteristik budaya Jepang yang terkenal dan berdampak jelas pada pola komunikasi masyarakatnya adalah konsep ambiguitas atau yang lazim dikenal dengan konsep aimai. Menurut Davies (2002: 9), Konsep aimai merupakan keadaan lebih dari satu makna yang dimaksudkan, sehingga pada akhirnya malah menimbulkan ketidakjelasan, penjelasan yang sulit dipahami maupun keadaan yang dirasa samar. Jadi sesungguhnya untuk menciptakan dan menjaga keharmonisan serta keselarasan hidup itulah konsep aimai berperan pada komunikasi mereka sehingga bisa menghindari konflik yang mungkin akan merugikan semua pihak. Dalam kelompok akhirnya mereka belajar untuk lebih berhati-hati ketika berurusan dengan pikiran dan perasaan orang lain. Masyarakat Jepang sangat
waspada dalam menjaga atmosfer lingkungan mereka agar tetap harmonis. Masyarakat Jepang menggunakan konsep aimai ini dalam komunikasi sehari-hari mereka dengan semua orang yang ada di lingkungan mereka, bahkan dalam tahap menerapkan konsep tersebut secara instingtif. Permasalahan yang sering terjadi adalah ketika pembelajar bahasa asing khususnya bahasa Jepang hanya mempelajari bahasa Jepang berdasarkan apa yang tertera di buku sehingga kemampuan berbahasa cenderung sangat formal. Padahal dalam situasi keseharian, bentuk bahasa formal sangat jarang digunakan. Ketika dihadapkan pada komunikasi yang sebenarnya, pembelajar bahasa Jepang cenderung menemukan kesulitan karena ternyata pola komunikasi dalam budaya masyarakat penutur asli bahasa tersebut berbeda dengan pola baku yang dipelajari. Permasalahan tersebut juga sering dikarenakan kurangnya pemahaman konteks percakapan secara pragmatis dikarenakan hanya terfokus pada segi semantis saja. Konsep aimai sebagai bagian dari budaya dan norma dalam berkomunikasi dalam masyarakat Jepang sangat erat kaitannya dengan konsep implikatur yang telah dijelaskan sebelumnya. Misalnya pada contoh dalam penggalan percakapan pada film Kimi ni todoke berikut: Konteks: Kuronuma yang suka rela berperan menjadi hantu pada acara jerit malam dalam rangka menyambut liburan musim semi, bersembunyi di balik pepohonan untuk menakut-nakuti temantemannya. Kazehaya yang bertugas sebagai koordinator menemui Kuronuma dan bertanya Kazehaya: hitori de kono tokoro kowakunai no? Apa tidak takut sendirian di tempat ini?
Kuronuma: yoru wa owari to suki nanode, sore ni watashi obake yaku ga dekite, ureshikute. Saya suka saat malam berakhir, lagi pula saya senang bisa menjadi hantu. Kazehaya: obake no ni? walaupun menjadi hantu? Kuronuma: minna ni yorokonde moraeru kara, suggoku ureshiin desu. Karena bisa menyenangkan semua orang, saya senang sekali. Jawaban Kuronuma yoru wa owari to suki nanode, sore ni watashi obake yaku ga dekite, ureshikute melanggar prinsip kerja sama maksim kuantitas karena pertanyaan Kazehaya sebenarnya adalah hitori de kono tokoro kowakunai no? yang berdasarkan maksim kuantitas cukup dijawab dengan uun (tidak) jika memang tidak takut. Namun Kuronuma tidak menjawab ya atau tidak melainkan malah menerangkan bahwa ia suka suasana malam dan senang bisa menjadi hantu karena bisa menyenangkan semua orang. Adapun aimai yang terdapat pada pernyataan Kuronuma adalah kalimatnya yang tidak selesai, yaitu ureshikute. Bentuk kata tersebut merupakan rentaikei, yang berarti seharusnya masih disambung dengan kata atau frasa lain, namun Kuronuma menghentikan kalimatnya pada kata ureshikute. Penggunaan bentuk ini karena penutur yaitu Kuronuma menganggap mitra tutur yaitu Kazehaya mampu menebak kemungkinan kata selanjutnya yang dimaksud oleh Kuronuma, yaitu yoru wa owari to suki nanode, sore ni watashi obake yaku ga dekite, ureshikute, zenzen kowakunain desu.
Jadi pelanggaran prinsip kerja sama pada konteks ini adalah pelanggaran prinsip kerja sama maksim kuantitas yang menciptakan implikasi kesantunan, sedangkan penggunaan aimai bertujuan untuk bersikap santun dengan tidak menyatakan secara eksplisit bahwa Kuronuma sama sekali tidak merasa takut di malam hari. Apabila Kuronuma secara langsung menyatakan bahwa ia sama sekali tidak takut, maka hal tersebut akan melanggar prinsip kesantunan dan ia akan dianggap sombong. Apabila non penutur bahasa Jepang yang mendengar percakapan tersebut tentunya akan terasa aneh karena tidak ada jawaban secara eksplisit dari Kuronuma. Melalui contoh yang telah dikemukakan dapat dilihat ada hubungan antara aimai dengan implikatur percakapan yang terjadi dalam bahasa Jepang. Namun diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apakah implikatur percakapan dalam bahasa Jepang selalu terkait dengan aimai atau tidak. Karena itulah penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai implikatur percakapan dan kaitannya dengan aimai dalam film Kimi ni Todoke 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, penulis merumuskan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini, yaitu: (1) Bagaimanakah konsep aimai direalisasikan dalam implikatur percakapan bahasa Jepang yang terdapat pada film Kimi ni Todoke? (2) Mengapakah implikatur tersebut direalisasikan dalam film Kimi ni Todoke?
1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah: (1) mendeskripsikan aimai yang terdapat dalam implikatur percakapan dalam bahasa Jepang yang terdapat pada film Kimi ni Todoke, dan (2) menjelaskan penggunaan implikatur dalam film Kimi ni Todoke. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang sudah dicapai dalam penelitian ini antara lain : 1.4.1 Manfaat Teoritis 1. Dapat menambah pengetahuan mengenai implikatur percakapan dan kaitannya dengan aimai dalam bahasa Jepang. 2. Dapat menjadi sumber data bagi penelitian yang berhubungan dengan bidang kajian linguistik bahasa Jepang. 1.4.2 Manfaat Praktis 1 Dapat menjadi suatu sumber pengetahuan bagi masyarakat mengenai ilmu bahasa Jepang. 2 Dapat menjadi sumber data dan pengetahuan khususnya bagi para pembelajar bahasa Jepang.