BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Proses pencatatan secara sistematis atas setiap bidang tanah baik

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I. Kepastian Hukum Pengaturan Tata Cara Pengisian Blanko Akta Pejabat. Pembuat Akta Tanah di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari senantiasa akan melakukan

ini menjadikan kebutuhan akan tanah bertambah besar. Tanah mempunyai kemakmuran, dan kehidupan. Hal ini memberikan pengertian bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus

BAB I PENDAHULUAN. seutuhnya. Tujuan pembangunan itu dapat tercapai, bila sarana-sarana dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Boedi Harsono, Hukum Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2005, hlm. 560

DAFTAR PUSTAKA. Arikunto, Suharsimi, 2002, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

BAB I PENDAHULUAN. masih bercorak agraris. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Tanah mempunyai hubungan yang sangat erat dengan manusia karena

BAB I PENDAHULUAN. pembayarannya bersifat wajib untuk objek-objek tertentu. Dasar hukum

Pendayagunaan tanah secara berlebihan serta ditambah pengaruh-pengaruh alam akan menyebabkan instabilitas kemampuan tanah. 1 Jumlah tanah yang statis

BAB I PENDAHULUAN. Akta Tanah (PPAT) yang berlaku saat ini adalah Peraturan Pemerintah (PP)

BAB I PENDAHULUAN. salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan dan sebagai sarana peran serta

BAB I PENDAHULUAN. menguasai dari Negara maka menjadi kewajiban bagi pemerintah. menurut Undang-Undang Pokok Agraria yang individualistic komunalistik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peranan tanah dalam rangka pembangunan bagi pemenuhan berbagai

BAB IV. A. Analisis Hukum Mengenai Implementasi Undang-Undang Nomor 5. Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari tanah. Tanah

BAB III PRAKTEK PENDAFTARAN TANAH PEMELIHARAAN DATA DENGAN MENGGUNAKAN SURAT KUASA JUAL

BAB I PENDAHULAN. digunakan untuk pemenuhan berbagai kebutuhan dasar manusia seperti untuk

BAB I PENDAHULUAN. tanah.tanah sendiri merupakan modal utama bagi pelaksanaan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. diamanatkan dalam Pembukuan Undang-Undang Dasar 1945 antara lain

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. Tanah bagi masyarakat agraris selain sebagai faktor produksi yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dahulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia

BAB I PENDAHULUAN. pemiliknya kepada pihak lain. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Peraturan

BAB I PENDAHULUAN. yang mendasar, karena hampir sebagian besar aktivitas dari kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. tanah sebagai sarana utama dalam proses pembangunan. 1 Pembangunan. dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

BAB I PENDAHULUAN. pembuatan akta pemberian hak tanggungan atas tanah. 3 Dalam pengelolaan bidang

BAB I PENDAHULUAN. hukum tentang tanah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

I. PENDAHULUAN. kegiatannya manusia selalu berhubungan dengan tanah. Sehubungan dengan hal

BAB I PENDAHULUAN. sebuah keluarga, namun juga berkembang ditengah masyarakat. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum

BAB I PENDAHULUAN. karena tanah merupakan sumber kesejahteraan, kemakmuran, dan

BAB I PENDAHULUAN. Pertanahan Nasional juga mengacu kepada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN. bagi kelangsungan hidup umat manusia. 1. nafkah sehari-hari berupa lahan pertanian atau perladangan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Landasan hukum terhadap eksistensi atau keberadaan Pejabat Pembuat

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH. A. Pengertian dan dasar hukum pendaftaran tanah

BAB I PENDAHULUAN. Maha Esa. Tanah merupakan salah satu kebutuhan manusia yang sangat absolute dan

BAB I PENDAHULUAN. tanah terdapat hubungan yang erat. Hubungan tersebut dikarenakan. pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Berdasarkan prinsip

BAB I PENDAHULUAN. merupakan pilar-pilar utama dalam penegakan supremasi hukum dan atau. memberikan pelayanan bagi masyarakat dalam bidang hukum untuk

BAB I PENDAHULUAN. Selaras dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. tanam, berusaha dan tempat melaksanakan berbagai kegiatan pembangunan.

: AKIBAT HUKUM PENUNDAAN PROSES BALIK NAMA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini dikarenakan bahwa negara Indonesia merupakan negara agraris, terdapat simbol status sosial yang dimilikinya.

BAB I PENDAHULUAN. berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Hukum tanah disini bukan

BAB I PENDAHULUAN. Tanah adalah permukaan bumi yang dalam penggunaannya meliputi juga

PELAKSANAAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH BERDASARKAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI DAN KUASA UNTUK MENJUAL YANG DIBUAT OLEH NOTARIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di dalam perkembangan kehidupan masyarakat saat ini suatu

BAB I PENDAHULUAN. sosial, tidak akan lepas dari apa yang dinamakan dengan tanggung jawab.

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini karena hampir sebagian besar aktivitas dan kehidupan manusia

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhan negara dan rakyat yang makin beragam dan. atas tanah tersebut. Menurut A.P. Parlindungan 4

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan kekayaan alam yang mempunyai arti sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. dengan obyek benda tetap berupa tanah dengan atau tanpa benda-benda yang

BAB I PENDAHULUAN. Tanah mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia. Manusia hidup dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN. commit to user. Akta Tanah. 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, bahwa Pejabat Pembuat

Lex Privatum Vol. VI/No. 1/Jan-Mar/2018

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Wiwit Khairunisa Pratiwi, 2015

BAB I PENDAHULUAN. Hukum waris perdata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, termasuk

BAB I PENDAHULUAN. dikuasai atau dimiliki oleh orang perorangan, kelompok orang termasuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang

BAB I PENDAHULUAN. Konstitusional Undang-Undang Dasar Pasal 33 ayat (3) Undang-

BAB I PENDAHULUAN. kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Secara konstitusional Undang-undang Dasar 1945 dalam Pasal 33 ayat

BAB I PENDAHULUAN. negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai orang perseorangan dan badan hukum 3, dibutuhkan penyediaan dana yang. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari senantiasa akan melakukan

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya pembangunan dapat diketahui suatu daerah mengalami kemajuan

BAB I PENDAHULUAN. dalam Pasal 1 ayat (3) menentukan secara tegas bahwa negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. tempat tinggal yang turun temurun untuk melanjutkan kelangsungan generasi. sangat erat antara manusia dengan tanah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tanah merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. Pentingnya tanah bagi manusia, menyebabkan tanah mempunyai nilai tinggi, dimana

BAB I PENDAHULUAN. terakhirnya. Selain mempunyai arti penting bagi manusia, tanah juga mempunyai kedudukan

BAB I PENDAHULUAN. Buku Pintar, Yogyakarta, 2012, hlm. 4 3 Elza Syarief, Menuntaskan Sengketa Tanah melalui Pengadilan Khusus Pertanahan, ctk.

BAB I PENDAHULUAN. Setiap makhluk hidup pasti akan mengalami kematian, demikian juga

TINJAUAN PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH SECARA SISTEMATIK DI KABUPATEN BANTUL. (Studi Kasus Desa Patalan Kecamatan Jetis dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam arti hukum, tanah memiliki peranan yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Hak atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional (HTN), memberikan ruang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di dalam pelaksanaan administrasi pertanahan data pendaftaran tanah yang

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan yaitu mewujudkan pembangunan adil dan makmur, berdasarkan. Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945.

BAB I PENDAHULUAN. penghidupan masyarakat, bukan hanya aspek hubungan sosial-ekonomis, tetapi

rakyat yang makin beragam dan meningkat. 2 Kebutuhan tanah yang semakin

BAB I PENDAHULUAN. Mengenai definisi perusahaan dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan.

BAB I PENDAHULUAN. masih tetap berlaku sebagai sumber utama. Unifikasi hak-hak perorangan atas

BAB I PENDAHULUAN. hubungan dengan manusia lainnya karena ingin selalu hidup dalam. kebersamaan dengan sesamanya. Kebersamaannya akan berlangsung baik

BAB I PENDAHULUAN. bumi yang paling atas. Yang dimanfaatkan untuk menanami tumbuh-tumbuhan disebut

BAB I PENDAHULUAN. berkembang biak, serta melakukan aktivitas di atas tanah, sehingga setiap saat manusia

II. TINJAUAN PUSTAKA. menurut ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Peraturan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara bercorak

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah. bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

BAB II PROSES PELAKSANAAN PENINGKATAN STATUS TANAH DARI HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK MILIK DI PERUMNAS MARTUBUNG MEDAN

BAB I PENDAHULUAN. besar. Oleh karena itu untuk memperoleh manfaat yang sebesarbesarnya. bagi kemakmuran dan kesejahteraan, bangsa Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat

BAB I PENDAHULUAN. kemakmuran, dan kehidupan. bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang

BAB I PENDAHULUAN. di dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat (3) telah ditentukan bahwa bumi, air,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA Nomor: 37 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. segala aspeknya melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan sarana teknologi menjadikan interaksi antar negara dan antara

BAB I PENDAHULUAN. pada tanggal 15 Januari Dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 30

BAB I PENDAHULUAN. bisa digunakan manusia untuk dipakai sebagai usaha. Sedangkan hak atas

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pencatatan secara sistematis atas setiap bidang tanah baik mengenai data fisik maupun data yuridis dikenal dengan sebutan pendaftaran tanah. 1 Ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah mempunyai kedudukan yang sangat strategis dan menentukan, bukan hanya sekedar sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, LNRI Tahun 1960 Nomor 104-TLNRI Nomor 2043, tetapi lebih dari itu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menjadi tulang punggung yang mendukung berjalannya administrasi pertanahan sebagai salah satu program Catur Tertib Pertanahan dan Hukum Pertanahan di Indonesia. 2 Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dilatarbelakangi oleh kesadaran pentingnya peran tanah dalam pembangunan yang memerlukan dukungan kepastian hukum di bidang pertanahan. Secara normatif, kepastian hukum itu memerlukan tersedianya perangkat peraturan perundang-undangan yang secara operasional mampu mendukung pelaksanaannya, sedangkan secara empiris, keberadaan peraturan perundang-undangan itu perlu dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen oleh sumber daya manusia pendukungnya. 3 1 Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertipikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang dibebaninya. Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, LNRI Tahun 1997 Nomor 59-TLNRI Nomor 3696. 2 Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm 5. 3 Maria S.W. Sumardjono, 1997, Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum Dalam Pendaftaran Tanah, Makalah, Seminar Nasional Kebijakan Baru Pendaftaran Tanah dan Pajakpajak yang Terkait: Suatu Proses Sosialisasi dan Tantangannya, Kerja sama Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Badan Pertanahan Nasional, Yogyakarta, hlm 1.

2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria (selanjutnya ditulis UUPA) mengatur pendaftaran tanah yang bertujuan memberikan jaminan kepastian hukum. Jaminan kepastian hukum yang hendak diwujudkan dalam pendaftaran tanah ini, meliputi kepastian status hak yang didaftar, kepastian subjek hak, dan kepastian objek hak. 4 Pelaksanaan pendaftaran tanah sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah maupun kewajiban bagi pemegang hak atas tanah. Ketentuan tentang kewajiban pemerintah untuk penyelenggaraan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia diatur dalam Pasal 19 UUPA. Namun UUPA tidak menyebutkan secara tegas, siapa instansi pemerintah yang mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dan juga tidak menyebutkan apa nama surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. 5 Peraturan Pemerintah yang dimaksudkan oleh Pasal 19 ayat (1) UUPA semula adalah Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, LNRI Tahun 1961 Nomor 28-TLNRI Nomor 2171. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 ditegaskan bahwa instansi pemerintah yang mengadakan pendaftaran tanah adalah Jawatan Pendaftaran Tanah, sedangkan nama surat tanda bukti hak adalah sertipikat. 6 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 sejak tanggal 8 Juli 1997 dinyatakan tidak berlaku dengan diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah LNRI Tahun 1997 Nomor 59- TLNRI Nomor 3696. Dalam peraturan tersebut ditegaskan bahwa instansi 4 Urip Santoso, Op.cit, hlm 2. 5 Ibid, hlm 249. 6 Sertipikat adalah salinan buku tanah dan surat ukur setelah dijahit menjadi satu bersamasama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria, disebut sertipikat dan diberikan kepada yang berhak. Pasal 13 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, LNRI Tahun 1961 Nomor 28-TLNRI Nomor 2171.

3 pemerintah yang menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (selanjutnya ditulis BPN RI). Ketentuan Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ditegaskan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah tersebut, tugas pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota, selanjutnya dalam Pasal 6 ayat (2) ditegaskan bahwa dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya ditulis PPAT) dan pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. BPN RI selaku penyelenggara pendaftaran tanah senantiasa diberikan amanat untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 33 ayat (3) yang menyebutkan bahwa: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan UUPA dengan sebaik-baiknya. Dalam hal pendaftaran tanah peran PPAT sangat penting, terutama berkaitan dengan perbuatan hukum mengenai peralihan dan pembebanan hak atas tanah. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah, LNRI Tahun 1998 Nomor 52-TLNRI Nomor 3746, Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa: PPAT mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah

4 dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah, menyebutkan bahwa Perbuatan hukum yang dimaksud adalah: a. Jual beli; b. Tukar Menukar; c. Hibah; d. Pemasukan ke dalam Perusahaan (inbreng); e. Pembagian Hak Bersama; f. Pemberian Hak Guna Bangunan/ Hak Pakai atas Tanah Hak Milik; g. Pemberian Hak Tanggungan; h. Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. Guna melaksanakan tugas pokok tersebut maka oleh Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, PPAT diberi kewenangan untuk membuat akta otentik atas delapan macam perbuatan hukum yang dimaksud di atas. Demikian dapat disimpulkan bahwa PPAT hanya mempunyai kewenangan untuk membuat delapan macam akta tersebut di atas, di luar delapan macam akta itu PPAT tidak berwenang untuk membuatnya sehingga tidak mungkin PPAT diminta untuk membuat akta di luar delapan macam akta tersebut. 7 Peralihan hak atas tanah dalam perbuatan hukum otentisitasnya diakui jika dilakukan di hadapan PPAT, dengan produk hukum akhir berupa akta yang nantinya dijadikan dasar untuk proses pendaftaran tanah ke Kantor Pertanahan. Akta yang dibuat oleh dan di hadapan PPAT merupakan salah satu sumber data bagi pemeliharaan data pendaftaran tanah, maka wajib 7 Mustofa, 2010, Tuntunan Pembuatan Akta-Akta PPAT, KaryaMedia, Yogyakarta, hlm 2.

5 dibuat sedemikian rupa sehingga dapat menjadi dasar yang kuat untuk pendaftaran peralihan dan pembebanan hak yang bersangkutan. Oleh karena itu PPAT juga bertanggung jawab untuk mencocokkan data yang terdapat dalam sertipikat dengan data yang ada di Kantor Pertanahan. Akta PPAT sudah ditentukan bentuknya, yaitu bentuk yang ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN RI. Penegasan keharusan penggunaan bentuk akta ini dinyatakan dalam: 1. Pasal 38 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang berbunyi: Bentuk, isi dan cara pembuatan akta-akta PPAT diatur oleh Menteri ; 2. Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 yang berbunyi Akta PPAT dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh Menteri ; 3. Pasal 51 Peraturan Kepala BPN RI Nomor 1 Tahun 2006 yang menentukan: Blanko akta PPAT dibuat dan diterbitkan oleh BPN RI ; dan 4. Pasal 96 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN RI (PMNA/ Kepala BPN RI) Nomor 3 Tahun 1997, yang berbunyi: (1). Bentuk-bentuk akta yang dipergunakan di dalam pembuatan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) dan cara pengisiannya adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran 16 s/d 23 dan terdiri dari bentuk: a. Akta Jual Beli (lampiran 16); b. Akta Tukar Menukar (lampiran 17); c. Akta Hibah (lampiran 18); d. Akta Pemasukan ke dalam Perusahaan (lampiran 19); e. Akta Pembagian Hak Bersama (lampiran 20); f. Akta Pemberian Hak Tanggungan (lampiran 21); g. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/ Hak Pakai atas Tanah Hak Milik (lampiran 22); h. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (lampiran 23). (2). Pembuatan akta sebagimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) dan (2) harus dilakukan dengan menggunakan formulir sesuai dengan bentuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disediakan; (3). Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) dan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam

6 Pasal 95 ayat (2) tidak dapat dilakukan berdasarkan akta yang pembuatannya melanggar ketentuan pada ayat (2). 8 Menutut Mustofa, dalam bukunya yang berjudul Tuntunan Pembuatan Akta-Akta PPAT, salah satu masalah yang berkembang dalam praktek PPAT adalah mengenai haruskah PPAT menggunakan blanko PPAT yang telah ditentukan bentuknya dan dicetak oleh Pemerintah. Pasal 51 Peraturan Kepala BPN RI Nomor 1 Tahun 2006 (diubah dengan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 23 Tahun 2009) menyatakan bahwa Blanko akta PPAT dibuat dan diterbitkan oleh BPN RI dengan demikian berarti BPN RI mengharuskan PPAT untuk menggunakan blanko-blanko akta yang dicetak oleh BPN RI, sedangkan sebagian PPAT menginginkan agar PPAT dibolehkan untuk membuat akta dengan kalimat-kalimatnya sendiri sebagaimana Notaris membuat akta, dengan kata lain tidak harus menggunakan blanko-blanko yang dicetak oleh BPN RI. 9 Keinginan sebagian PPAT ini sulit untuk direalisasikan karena bertentangan dengan ketentuan: 1. Pasal 53 ayat (1) Peraturan Kepala BPN RI Nomor 1 Tahun 2006 yang berbunyi: Akta PPAT dibuat dengan mengisi blanko akta yang tersedia secara lengkap sesuai petunjuk pengisiannya ; 2. Pasal 96 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria (PMNA) / Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 1997 yang menentukan bahwa pembuatan akta-akta harus dilakukan dengan menggunakan formulir sesuai dengan bentuk yang telah ditentukan dalam lampiran PMNA ini. Bahkan menurut ketentuan dalam ayat (3), pelanggaran tersebut akan menyebabkan pendaftaran peralihan hak atau pembebanan haknya tidak dapat dilakukan. Dengan tidak dapat didaftarkannya peralihan atau pembebanan hak pada Kantor Pertanahan berpotensi menimbulkan kerugian pada penerima hak yang pada akhirnya berpotensi pula pada penuntutan ganti rugi kepada PPAT yang membuat akta, oleh karena itu PPAT harus bersikap hati-hati menyikapi hal ini. 10 c Kondisi tersebut membuat PPAT selama ini sangat bergantung pada BPN RI jika akan melayani masyarakat dalam pembuatan akta terkait transaksi pertanahan karena harus menggunakan blanko akta PPAT yang 8 Ibid, hlm 7. 9 Ibid, hlm 9. 10 Ibid, hlm 7-8.

7 dikeluarkan oleh BPN RI. Seringkali masalah blanko akta menjadi problem besar jika persediaannya habis, sementara kegiatan masyarakat yang terkait dengan transaksi pertanahan tidak bisa dibatasi. Pada tahun 2008 sampai 2009 timbul kejadian kelangkaan blanko khususnya yang berhubungan dengan pelalihan hak dan pemasangan hak tanggungan. Kelangkaan blanko sangat mempengaruhi kinerja PPAT, sehingga PPAT berburu blanko dengan nilai harga berapapun, sampai-sampai satu blanko akta pernah dihargai sebesar Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah). Padahal ketersediaan blanko sudah menjadi tanggung jawab pemerintah melalui BPN RI. 11 Berdasarkan permasalahan tersebut, guna meningkatkan pelayanan pertanahan pada tahun 2013 menjadi lebih baik lagi maka BPN RI mengeluarkan kebijakan baru melalui Peraturan Kepala BPN RI Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN RI Nomor 3 tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan baru tersebut berkaitan dengan blanko akta PPAT. Inti dari Peraturan Kepala BPN RI Nomor 8 Tahun 2012 tersebut menghapus ketentuan dalam Pasal 96 ayat (2) dari Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 1997 yang menyebutkan bahwa: Pembuatan akta sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 95 ayat (1) dan (2) harus dilakukan dengan menggunakan formulir sesuai dengan bentuk sebagaimana yang 11 Bambang Syamsuzar Oyong, Kado Istimewa Bagi Pembuat Akta, Banjarmasin Post, Senin, 7 Januari 2013, diakses pada hari Senin tanggal 4 November 2013.

8 dimaksud ayat (1) yang disediakan. Selanjutnya dalam ketentuan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 8 Tahun 2012 terdapat 2 (dua) tambahan ayat baru pada Pasal 96 yaitu ayat (4) yang berbunyi: Penyiapan dan pembuatan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh masing-masing PPAT, PPAT Pengganti, PPAT Sementara, atau PPAT Khusus dan ayat (5) berbunyi: Kepala Kantor Pertanahan menolak pendaftaran akta PPAT yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur pada ayat (1). Berrdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa PPAT dapat mencetak sendiri akta tanpa harus menggunakan blanko dari BPN RI lagi. Mengenai tata cara pengisian akta PPAT menurut ketentuan Pasal 96 ayat (1) Peraturan Kepala BPN RI Nomor 8 Tahun 2012 dibuat sesuai dengan lampiran peraturan ini, namun pada kenyataannya lampiran akta yang dimaksud berisi tentang tata cara dan bentuk akta pada saat peraturan ini dikeluarkan belum diterbitkan. Akibatnya pada awal pelaksansaan peraturan ini para PPAT mengalami kesulitan dan belum bisa mencetak akta sendiri, sehingga banyak transaksi yang menggunakan akta PPAT membutuhkan waktu lama dikarenakan PPAT yang membuat akta tersebut kebingungan dalam mempersiapkannya dan harus bolak balik berkonsultasi terlebih dahulu dengan Kepala Kantor Pertanahan setempat mengenai tata cara pengisian dan bentuk akta yang akan dibuat. 12 Kesulitan pada awal atau masa transisi pelaksanaan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 8 Tahun 2012 ini juga dialami oleh para PPAT yang ada di 12 Ibid.

9 Kota Yogyakarta. Ada beberapa PPAT yang menafsirkan berbeda mengenai isi peraturan tersebut terkait ketentuan Pasal 96 ayat (4) yang menyebutkan bahwa penyiapan dan pembuatan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh masing-masing PPAT yang bersangkutan. Artinya adalah segala ketentuan proses yang berhubungan dengan peralihan hak dan pembebanan hak saat dilaksanakannya pendaftaran tanah maupun perubahannya menjadi tanggung jawab sepenuhnya oleh PPAT yang bersangkutan, sedangkan BPN RI dalam posisi pasif dan hanya melaksanakan proses apa yang diminta oleh PPAT yang terlebih dahulu melakukan penyamaan pada data yang tercantum pada buku tanah yang telah terdaftar. Permasalahan pada awal keluarnya Peraturan Kepala BPN RI Nomor 8 Tahun 2012 di atas, membuat BPN RI mengeluarkan kebijakan pada situs Badan Pertanahan Nasional tanggal 15 Maret 2013 yang menyatakan bahwa dalam rangka persamaan persepsi terkait dengan pelaksanaan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 8 Tahun 2012 para Kepala Kantor Wilayah (selanjutnya ditulis Kanwil) BPN diminta untuk segera mengadakan sosialisasi. Kebijakan tersebut dikeluarkan Kepala BPN RI Hendarman Supandji yang tertuang dalam Surat Edaran tertanggal 15 Maret 2013 Nomor 1051/7.1/III/2013. Sosialisasi tersebut dilakukan terhadap pejabat dan pegawai Kanwil BPN di seluruh Indonesia. Selain memberikan sosialisasi kepada jajaran Kanwil, Kepala Kanwil juga diharuskan melakukan sosialisasi kepada PPAT

10 di lingkungan wilayah kerjanya. Sosialisasi tersebut dilaksanakan tanpa dipungut biaya. Setelah lampiran akta yang ditunggu-tunggu keluar dan dilakukan sosialisasi mengenai peraturan tersebut, pada kenyataannya pembuatan akta PPAT yang sekarang dapat dibuat sendiri oleh masing-masing PPAT tetap harus memperhatikan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Kepala BPN RI. Misalnya: mengenai kertas sampul, bentuk dan ukuran font, spasi, tinta yang dipergunakan, serta tata cara pengisian akta PPAT tersebut harus sesuai dengan petunjuk dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh BPN RI. Hal tersebut jelas tidak sesuai dengan keinginan para PPAT yang mengharapkan dengan keluarnya Peraturan Kepala BPN RI Nomor 8 Tahun 2012 bisa membuat akta PPAT menggunakan kalimat-kalimatnya sendiri seperti dalam membuat akta Notaris, apabila ketentuan-ketentuan tersebut tidak dipenuhi oleh PPAT dalam pembuatan akta PPAT, Kepala Kantor Pertanahan dapat menolak akta yang diajukan oleh PPAT tersebut. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka peneliti merumuskan beberapa permasalahan yang relevan dengan judul yang dipilih. Adapun rumusan yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pelaksanaan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 di Kota Yogyakarta?

11 2. Bagaimana pengaruh dari pelaksanaan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 terhadap kinerja PPAT di Kota Yogyakarta? C. Keaslian Penelitian Guna melihat keaslian penelitian telah dilakukan penelusuran penelitian pada berbagai referensi, kepustakaan dan hasil penelitian terdahulu. Berdasarkan hasil penelusuran peneliti, ditemukan sejumlah tesis yang membahas topik kajian mengenai blanko akta PPAT, antara lain: 1. Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Blanko Akta PPAT Dikaitkan Dengan Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang PPAT oleh Herlindah (2007). Penelitian ini membahas mengenai tujuan adanya ketentuan penggunaan blanko akta PPAT dalam membuat akta PPAT adalah untuk tertib administrasi dan untuk mempermudah pelaksanaan tugas dan wewenang PPAT, akibat hukum bila tidak menggunakan blanko akta PPAT di dalam membuat akta PPAT yaitu akta yang dibuat akan ditolak oleh Kepala Kantor Pertanahan yang menyebabkan akta PPAT tersebut tidak dapat di daftarkan di Kantor Pertanahan sehingga tidak ada kepastian hukum. Pelaksanaan tugas dan wewenang PPAT mengalami hambatan, khususnya ketika terjadi kekosongan/ kelangkaan akta PPAT. 13 13 Herlindah, 2007, Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Blanko Akta PPAT Dikaitan Dengan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang PPAT, Tesis Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm 8.

12 2. Kelangkaan Blanko Akta Pertanahan (PPAT) Dan Implikasinya Dalam Pendaftaran Tanah oleh Melwani Rasyid (2009). Penelitian ini membahas mengenai kelangkaan blanko akta PPAT yang terjadi adalah karena permainan para spekulan akta PPAT dengan tujuan untuk mengambil keuntungan dari harga jual balnko akta yang dinaikkan dengan mengingat bahwa PPAT diharuskan oleh Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN RI untuk membuat akta dengan menggunakan blanko tersebut, serta berdampak pada kepastian hukum atas tanah mengalami hambatan dan PPAT tidak bisa dengan cepat memberikan jasa pelayanan kepada masyarakat yang juga mempengaruhi pemasukan bagi PPAT. 14 3. Akibat Hukum Penggunaan Formulir/ Blanko Pada Pembuatan Akta PPAT Terhadap Kedudukan PPAT Sebagai Pejabat Umum Dalam Pendaftaran Tanah oleh Akbar Zulhaq (2009). Penelitian ini membahas mengenai akibat hukum yang ditimbulkan dari penggunaan blanko akta terhadap kedudukan PPAT sebagai pejabat umum dalam menjalankan kewenangannya tidak sepenuhnya mandiri yang berakibat PPAT tidak bisa optimal memberikan pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan jasanya serta kedudukan PPAT Notaris sebagai pejabat umum masih terdapat 14 Melwani Rasyid, 2009, Kelangkaan Blanko Akta Pertanahan (PPAT) dan Implikasinya dalam Pendaftaran Tanah, Tesis Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm 10.

13 ketidakpastian yang dapat dilihat dari produk hukumnya berupa akta otentik tidak memenuhi kriteria akta otentik. 15 Berdasarkan temuan dari ketiga peneliti tersebut di atas yakni Herlindah, Melwani Rasyid dan Akbar Zulhaq dapat disimpulkan bahwa permasalahan yang menjadi fokus penelitian dalam tesis ini berbeda dengan permasalahan yang pernah diteliti oleh ketiga peneliti tersebut. Di dalam penelitian yang berkaitan dengan Pelaksanaan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 Terkait Dengan Kinerja PPAT Di Kota Yogyakarta peneliti menganalisis mengenai pelaksanaan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 8 Tahun 2012 di Kota Yogyakarta dan pengaruh pelaksanaan peraturan tersebut terdahap kinerja PPAT di Kota Yogyakarta. Dengan demikian, permasalahan dalam penelitian ini dapat dijamin orisinalitasnya. D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini bagi ilmu pengetahuan adalah diharapkan secara teoritis hasil dari penelitian ini akan dapat memberikan suatu kontribusi dan masukan dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu hukum, serta dapat menambah kekayaan referensi dalam hukum pendaftaran tanah yang berkaitan dengan masalah blanko akta PPAT. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para pembentuk peraturan perundang-undangan atau pengambil kebijakan dalam membuat 15 Akbar Zulhaq, 2009, Akibat Hukum Penggunaan Formulir/ Blanko Pada Pembuatan Akta PPAT Terhadap Kedudukan PPAT Sebagai Pejabat Umum Dalam Pendaftaran Tanah, Tesis Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm 7.

14 peraturan perundang-undangan selanjutnya yang khusus berkaitan dengan blanko akta PPAT. Selain kegunaan bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan sumbangan pikiran bagi para PPAT khususnya di Kota Yogyakarta dalam pelaksanaan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 terkait dengan kinerja PPAT serta sebagai masukan bagi pihak yang tertarik untuk melakukan penelitian dan penulisan hukum yang sejenis. E. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini meliputi dua hal yaitu tujuan objektif dan tujuan subjektif. Tujuan objektif adalah: 1. Mengetahui pelaksanaan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 di Kota Yogyakarta; dan 2. Mengetahui pengaruh dari pelaksanaan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 terhadap kinerja PPAT di Kota Yogyakarta; Tujuan subjektif dari penelitian ini adalah untuk memperoleh data dan informasi yang lengkap dan akurat dalam rangka menyusun tesis sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Kenotariatan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.