BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini perjanjian jual beli sangat banyak macam dan ragamnya, salah satunya adalah perjanjian kredit pembiayaan. Perjanjian pembiayaan adalah salah satu bentuk perjanjian bentuk baru yang mengakomodir bentuk sewa-menyewa dengan jual beli. Perjanjian pembiayaan dewasa ini sering digunakan dalam rangka pembelian produk konsumsi seperti mobil, motor, bahkan barang-barang rumah tangga yang harganya tidak terlalu mahal. Latar belakang timbulnya perjanjian pembiayaan pertama kali adalah untuk menampung persoalan bagaimanakah caranya memberikan jalan keluar apabila pihak penjual menghadapi banyak permintaan atau hasrat untuk membeli barangnya tetapi calon pembeli itu tidak mampu membayar harga barang-barang tersebut sekaligus. 1 Maka dari itu, diketemukan suatu macam perjanjian dimana selama harga belum dibayar lunas, si pembeli menjadi penyewa dahulu dari barang yang ingin dibelinya. Sedangkan penyerahan hak milik atas barang baru akan dilakukan pada waktu dibayarnya angsuran terakhir. Di samping itu, perjanjian pembiayaan ini memang diperbolehkan berlaku disebabkan hukum perjanjian di Indonesia yakni KUHPerdata menganut sistem terbuka atau asas kebebasan berkontrak. Perjanjian pembiayaan ini timbul dikarenakan adanya penawaran yang tinggi yang tidak diimbangi oleh kemampuan perekonomian masyarakat, sehingga penjual mengakomodir dengan perjanjian pembiayaan. Di samping itu timbulnya perjanjian pembiayaan juga karena pasaran 1 Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, Hlm. 52
barang-barang hasil dari industri yang semakin meyempit. 2 Perjanjian pembiayaan ini berbeda dengan perjanjian jual beli biasa dimana perjanjian pembiayaan ini pemindahan hak kepemilikan atas barang beralih disaat pembayaran angsuran terakhir, berbeda dengan perjanjian jual beli biasa yang hak kepemilikan langsung beralih atas dasar pembayaran dan kesepakatan. Seiring dengan banyaknya perjanjian pembiayaan yang timbul sekarang ini, terdapat juga masalah yang muncul. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan isi kontrak yang telah disepakatinya, namun dalam kenyataanya banyak persoalan yang muncul dalam pelaksanaan kontrak pembiayaan. Permasalahan yang sering muncul adalah penarikan secara paksa objek pembiayaan dari tangan pembeli sewa oleh penjual sewa. Kontrak pembiayaan ini sangat merugikan pihak konsumen. Karena konsumen kurang mendapatkan perlindungan hukum. Konsumen lebih berada pada pihak atau posisi yang lemah. Hal ini menyebabkan fenomena yang menarik untuk diteliti mengenai perlindungan hukum yang cukup bagi para konsumen untuk menghadapi atau mengatasi permasalahan yang timbul dalam praktek. Di sisi lain, perusahaan pembiayaan harus melindungi hak atas barang yang akan dijual sehingga dalam satu sisi terlihat merugikan pihak konsumen. Dalam hal ini, saya tertarik untuk melakukan penelitian dalam perusahaan pembiayaan apakah dalam praktek terdapat banyak kendala dalam pelaksanaan. Dan bagaimanakah solusi untuk mengatasi permasalahan angsuran yang macet dari konsumen. Serta bagaimanakah solusi bagi konsumen yang objek sewanya ditarik, apakah memiliki upaya hukum atau perlindungan hukumnya. Walaupun perjanjian pembiayaan banyak sekali dipergunakan di Indonesia, namun hal itu tidak diatur baik dalam KUHPdt maupun dalam undang-undang tersendiri. Penjual tidak menyerahkan hak milik atas barang yang diijualnya kepada pembeli membayarnya secara 2 M.N. Ngani dan A. Quron, 1984, Pembiayaan Dalam Praktek dan Teori, Liberty, Yogyakarta, hlm.7
angsuran setiap bulan sekali atau setiap minggu sekali sesuai dengan penerimaan gaji bulanan. Kepemilikan barang kendaraan bermotor sudah beralih disaat pembiayaan secara angsuran dilaksanakan. Dalam hal ini kepemilikan sudah beralih, tetapi diperlukan jaminan bagi penjual untuk mengurangi resiko kerugian dalam perjanjian pembiayaan. Selama barang belum dibayar lunas, BPKB masih belum diberikan, hal mana merupakan jaminan bagi penjual bahwa pembeli tidak akan berniat menjual barang yang dibelinya tetapi belum lunas dibayarnya kepada pihak ketiga karena perbuatan membeli itu akan merupakan penggelapan yang menurut pasal 372 KUHP dapat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat (4) tahun. Namun demikian tentu saja ada konsumen yang nakal yang kabur dari tempatkediamannya semula dimana ia melakukan pembiayaan, itulah resiko yang perjanjian pembiayaan namun demikian penjual mengambil resiko itu karena keuntungan yang diperoleh secara pembiayaan bisa dikatakan sangat besar, sedangkan jumlah pembeli kredit yang nakal rupanya hanya merupakan presentasi kecil dari jumlah pembeli kredit yang jujur. Dalam implementasinya, perjanjian pembiayaan kendaraan bermotor ini terkadang menimbulkan berbagai hambatan atau masalah yang dialami konsumen. Minimnya pendidikan dan kesadaran masyarakat mengenai hak-haknya sebagai konsumen seperti: hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur kondisi barang, hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, hak untuk mendapatkan perlindungan serta upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, disinyalir menjadi penyebab munculnya hambatan atau masalah ini. Selama ini, praktik pembiayaan itu diserahkan kepada asas kebebasan berkontrak yang merupakan asas yang penting dalam hukum perjanjian, namun mengenai ijin kegiatan
pembiayaan oleh perusahaan telah didasari oleh SK Memperdagkop No.34/KP/II/1980 tentang Perizinan Kegiatan Usaha Pembiayaan, namun surat keputusan itu sesungguhnya hanya mengatur masalah perijinan perusahaan yang bergerak pada usaha pembiayaan. Perjanjian pembiayaan yang diteliti dalam tesis ini adalah perjanjian pembiayaan kendaraan bermotor, yang ternyata paling banyak dipakai dalam praktek dan sesuai dengan kemampuan keuangan untuk dapat memiliki barang yang diinginkan tersebut. Dalam praktek perjanjian pembiayaan, bukan merupakan perjanjian konsesual yang sekaligus diikuti dengan perjanjian riil (penyerahan uang muka dan penyerahan barang). Sepanjang uang muka belum ada dan barang belum diserahkan, maka pembeli belum merasa dirinya terikat oleh perjanjian itu. Dalam perjanjian dimana bentuk, syarat atau isi yang dituangkan dalam klausul-klausul telah dibuat secara baku (standard contract) maka kedudukan hukum pembeli tidak leluasa atau bebas dalam mengutarakan kehendaknya. Hal ini bisa terjadi karena pembeli tidak mempunyai kekuatan menawar. Penggunaan standard kontrak jelas merugikan konsumen dalam perjanjian pembiayaan. Menurut Hartono, perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materiil ataupun formal makin terasa sangat penting, mengingat makin lajunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktifitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha. 3 Dalam standard form of contract pembeli disodori perjanjian, dengan syarat-syarat yang ditetapkan sendiri oleh penjual, sedangkan pembeli hanya dapat mengajukan perubahan pada hal-hal tertentu, umpamanya tentang harga, tempat penyerahan barang dan cara pembayaran dala, hal ini pun apabila dimungkinkan oleh penjual. 3 Sunaryati Hartono, 2000, Perlindungan Konsumen dan Peradilan di Indonesia, BPHN, Jakarta, hlm.13
Format baku yang ditetapkan sepihak tersebut, menunjukkan bahwa, lembaga pembiayaan dalam praktek memilik ciri tersendiri, yaitu upaya memperkuat hak penjual dari berbagai kemungkinan terburuk, yang selama masa kontrak atau sebelum waktu pelunasan angsuran, untuk menjamin kepentingan penjual. Adanya banyak persoalan yang timbul dalam perjanjian pembiayaan, disebabkan klausula-klausula yang memberikan hak kepada penjual untuk menuntut dan penarikan barang menurut perjanjian yang dilakukannnya. Jika terjadi persoalan, umumnya yang ditarik adalah obyek dari perjanjian. Penarikan menurut Undang-Undang akan memerlukan waktu yang relatif lama, karena harus melalui perintah Hakim. Untuk menghindari resiko tersebut, sering pihak penjual menempuh jalan pintas dengan penarikan barang obyek pembiayaan secara langsung. Dalam perjanjian baku sering ditemukan pencantuman klausula-klausula yang antara lain mengatur cara, penyelesaian sengketa, dan klausula eksonerasi, yaitu klausula yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan pada pihak pelaku usaha. 4 Praktek penggunaan klausula eksonerasi dalam perjanjian baku sebagai suatu kebutuhan dan tuntutan dalam masyarakat dunia usaha yang membutuhkan efisiensi di dalam aktivitasnya tidak dapat dibendung lagi, bahkan menunjukkan gejala-gejala peningkatan sebagai dampak globalisasi dunia. Hukum bertujuan untuk memberi keadilan dan mengayomi semua pihak, dalam adanya ketidakseimbagan dalam perjanjian tersebut memberi dampak pada perlindungan hak yang sepihak pada penjual dari pada pembeli. Hal ini menyebabkan lebih banyak resiko atau kerugian yang harus dipikul oleh pembeli. Bentuk perlindungan hukum bagi konsumen dalam melakukan perjanjian pembiayaan sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen No.8 Tahun 1999 4 Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, hlm.120.
namun dalam praktik sangat merugikan konsumen karena tidak diberikan kebebasan untuk memilih dan kenyamanan dalam menikmati produk. Di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen terdapat pasal yang dapat membatasi kebebasan penerapan klausula baku, sehingga dapat tercipta suatu perjanjian baku yang didasari oleh asas kebebasan berkontrak yang tidak bertentangan dengan Pasal 18 UUPK. Pelaku usaha dalam pelaksanaan perjanjian pembiayaan lebih mengutamakan klausulaklausula yang mengikat satu pihak saja dikarenakan resiko yang ditanggung oleh pelaku usaha lebih besar, terlebih dengan banyak terjadinya pencurian kendaraan bermotor, kecelakaan. Sehingga terkadang hal tersebut dapat dikatakan memberatkan bagi pihak konsumen. B. Rumusan Masalah : Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka peneliti merumuskan beberapa permasalahan yang relevan dengan judul yang dipilih. Adapun rumusan yang dimaksud adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap konsumen dalam pelaksanaan perjanjian pembiayaan di PT ADIRA FINANCE cabang KOTA SURAKARTA? 2. Bagaimanakah peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam perjanjian pembiayaan di kota Surakarta? C. Keaslian Penelitian Untuk melihat keaslian penelitian telah dilakukan penelusuran penelitian pada berbagai referensi, kepustakaan dan hasil penelitian terdahulu. Sepengetahuan penulis, dengan melakukan penulusuran di perpustakaan Fakultas FH UGM, penelitian dengan judul : Perlindungan terhadap
para pihak dalam perjanjian pembiayaan (kajian KOTA SURAKARTA), belum pernah dilakukan namun demikian berdasarkan penelusuran kepustakaan tersebut terdapat beberapa hasil penelitian yang terkait dengan judul penelitian ini antara lain : 1. PELAKSANAAN PERJANJIAN PEMBIAYAAN MOBIL PADA PT. ANDALAN FINANCE INDONESIA (AFI) CABANG YOGYAKARTA yang ditulis oleh Antariksa Agung Tri Cahyono. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : a. Bagaimana tanggung jawab konsumen dalam hal melakukan wanprestasi berupa rusak dan musnahnya obyek pembiayaan pada pelaksanaan perjanjian pembiayaan mobil di PT. Andalan Finance Indonesia Cabang Yogyakarta? b. Bagaimana cara penyelesiaan ganti rugi oleh konsumen dalam hal melakukan wanprestasi tersebut pada perjanjian pembiayaan mobil di PT. Andalan Finance Indonesia Cabang Yogyakarta? 2. PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN KENDARAAN BERMOTOR ANTARA PERUSAHAAN PEMBIAYAAN DENGAN KONSUMEN DI KOTA BEKASI yang ditulis oleh M. Ananda S.A.B. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : a. Apakah isi perjanjian pembiayaan konsumen itu sudah melindungi pihak debitur? b. Bagaimanakah Penyelesaian Sengketa Wanprestasi dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen?
Penelitian yang dilakukan oleh penulis lebih menekankan pada perlindungan hukum bagi konsumen terhadap klausula baku yang digunakan oleh kreditur. Selain itu, obyek penelitian dari penulis juga berbeda yaitu di PT. ADIRA FINANCE. Dengan demikian penulis menyatakan bahwa penelitian ini asli. D. Tujuan Penelitian Berdasarkan dengan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk menganalisis dan mengetahui perlindungan hukum terhadap para pihak dalam perjanjian pembiayaan. 2. Untuk menganalisis dan mengetahui secara lebih menyeluruh terhadap perjanjian yang lebih tepat dan lebih objektif terhadap para pihak. 3. Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Kenotariatan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. E. Manfaat Penelitian 1. Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan wacana dan sumbangan pemikiran bagi akademisi, praktisi hukum serta masyarakat luas di bidang ilmu hukum, khususnya di bidang perikatan, serta menambah wawasan dan pengetahuan penulis.
2. Secara praktis, dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian ilmiah dan pertimbangan yang sangat berarti bagi para pihak sebagai perlindungan terhadap perjanjian pembiayaan kendaraan bermotor.