BAB V PENUTUP Salah satu hal yang diharapkan akan memberikan kontribusi nyata bagi kepentingan nasional dalam UU Minerba adalah adanya kewajiban

dokumen-dokumen yang mirip
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... 1 LEMBAR PENGESAHAN 2 LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TESIS.. 3 KATA PENGANTAR. 4 ABSTRACK... 7 INTISARI 8 DAFTAR ISI...

Dilema Ancaman PHK dan UU Minerba. Ditulis oleh David Dwiarto Rabu, 08 Januari :27 - Terakhir Diperbaharui Rabu, 08 Januari :29

Pemerintah Memastikan Larangan Ekspor Mineral Mentah

Oleh Rangga Prakoso dan Iwan Subarkah

Jakarta, 15 Desember 2015 YANG SAYA HORMATI ;

BAB I PENDAHULUAN. kepulauan Indonesia dengan jumlah yang sangat besar seperti emas, perak, nikel,

Perlukah Nasionalisasi Freeport Indonesia? Luqmannul Hakim

REPUBLIK INDONESIA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN HILIRISASI INDUSTRI DALAM RANGKA MENCAPAI TARGET PERTUMBUHAN INDUSTRI NASIONAL

PERUBAHAN UNDANG-UNDANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA: Upaya Untuk Menata Kembali Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia Oleh: Zaqiu Rahman *

Divestasi Minerba tak Kunjung Pasti, Pengaturan tak Tegas? Oleh : Olsen Peranto *

BAB I PENDAHULUAN. Allah SWT mengkaruniai Indonesia kekayaan alam yang sangat berlimpah dan

Indonesia for Global Justice (IGJ, Seri Diskusi Keadilan Ekonomi. Menguji Kedaulatan Negara Terhadap Kesucian Kontrak Karya Freeport, Kamis, 13 Juli

Tentang Pemurnian dan Pengolahan Mineral di Dalam Negeri

KERANGKA ACUAN KERJA GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SUMBER DAYA ALAM (SDA) INDONESIA SEKTOR PERTAMBANGAN MINERBA

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

A. RENEGOSIASI KONTRAK KARYA (KK) / PERJANJIAN KARYA PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN BATUBARA (PKP2B)

Bedah Permen ESDM No. 7 Tahun Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral

pada tanggal 12 Juli 2014

KEBIJAKAN MINERAL DAN BATUBARA

REPORT MONITORING TERHADAP SENGKETA PEMERINTAH INDONESIA DAN FREEPORT 2017 INDONESIA FOR GLOBAL JUSTICE

Apa alasan Freeport inengajukan perpanjangan kontrak karya di Papua hingga 2041?

Inception Report. Pelaporan EITI Indonesia KAP Heliantono & Rekan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya akan bahan galian (tambang). Bahan

Oleh: Hendra Sinadia/Resources

KEBIJAKAN EKSPOR PRODUK PERTAMBANGAN HASIL PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

KEBIJAKAN UMUM SEKTOR PERTAMBANGAN

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

Ditulis oleh David Dwiarto Kamis, 21 Februari :41 - Terakhir Diperbaharui Kamis, 21 Februari :47

Oleh Rangga Prakoso. Batasan Ekspor Mineral Diperlonggar

Pembangunan Pertambangan Nasional. Apakah Divestasi Sebagai Salah satu Jawaban?

I. PENDAHULUAN. alam. Meskipun minyak bumi dan gas alam merupakan sumber daya alam

sektor investasi dalam negeri, namun peningkatan dari sisi penanaman modal asing mampu menutupi angka negatif tersebut dan menghasilkan akumulasi

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia

Laporan dan Ulasan Seri Diskusi Keadilan Ekonomi -Indonesia for Global Justice- 24 Februari 2017

BAB I PENDAHULUAN. antara satu negara dengan negara lainnya. Salah satu usaha yang selalu dilakukan

2015, No Sumber Daya Mineral tentang Ketentuan dan Tata Cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan Serta Harga Gas Bumi; Mengingat : 1. Undang-Und

RESUME SKRIPSI PENINGKATAN PERSAINGAN CINA AS DALAM MEMPEREBUTKAN PASAR DI AFRIKA. Oleh : ELFA FARID SYAILILLAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013

BAB I PENDAHULUAN. teknologi modern saat ini. Pada tahun 2014, Indonesia, menurut Survei

2016, No Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nom

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERINDUSTRIAN

Hikayat Kekayaan Yang Terus Mengalir Keluar

BAB V PENUTUP. rahim kedaulatan internal sebuah negara pantai / kepulauan atas territorial laut dan

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN ACEH TIMUR

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN Kondisi umum Tujuan dan Sasaran Strategi 1 Rencana Strategis Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH

PENERAPAN KEBIJAKAN PERTAMBANGAN DI DAERAH, TATA KELOLA PEMERINTAH DAERAH DALAM PRAKTEK LAPANGAN

BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Gambaran Umum Objek Penelitian Sejarah Singkat PT. Freeport Indonesia

Menimbang ; a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 37

DRAFT. Pelaporan EITI Indonesia KAP Heliantono & Rekan

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki 34 provinsi yang kini telah tumbuh menjadi beberapa wacana

Tadinya, PT Freeport mematok penjualan emas akan 50,5% dibanding tahun lalu

DAFTAR ISI. PERATURAN BUPATI MURUNG RAYA KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... vii

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya tambang (bahan galian). Negara Indonesia termasuk negara yang

PERUBAHAN ATAS PP NO. 23 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam perekonomian saat ini Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)

PROGRES IMPLEMENTASI 5 (LIMA) SASARAN RENCANA AKSI KOORDINASI DAN SUPERVISI PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DI PROVINSI SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN. kemakmuran sebagai tujuan lainnya (Gitosudarmo, 2002:5). Suatu entitas

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 18 TAHUN 2017

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB IV UPAYA PT NEWMONT DALAM MEMPENGARUHI KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA. Dalam penerapan kebijakan pemerintah terkait dalam UU minerba no 4

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TATA KELOLA INDUSTRI EKSTRAKTIF DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sektor. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. hewan tumbuan dan organisme lain namun juga mencangkup komponen abiotik

LAPORAN KUNJUNGAN KERJA SPESIFIK KOMISI VII DPR RI KE ALUMINA REFINERY, ANTAM DAN PLN DI KETAPANG KALIMANTAN BARAT. 2 4 April 2015

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN KENDAL

EXECUTIVE SUMMARY. Optimalisasi Pengelolaan Sumber Daya Alam Untuk Kesejahteraan Dan Pembangunan Daerah

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEYNOTE SPEECH BIMBINGAN TEKNIS REKLAMASI DAN PASCATAMBANG

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya

SUARA TAMBANG. Keinginan pemerintah Republik Indonesia untuk. Renegosiasi Kontrak Tambang, Soal Keberanian Pemimpin?

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk

HASIL SURVEI PERTAMBANGAN KABUPATEN DAN PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2015

BAB II DESKRIPSI PERUSAHAAN

2 sebagaimana mestinya perlu ditetapkan suatu peraturan pemerintah yang mendorong percepatan pembangunan daerah tertinggal. Meskipun pembentukan perat

BUPATI BUTON PROVINSI SULAWESI TENGGARA

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN Pada Acara SEMINAR DAMPAK PENURUNAN HARGA MINYAK BUMI TERHADAP INDUSTRI PETROKIMIA 2015 Jakarta, 5 Maret 2014

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai

SOSIALISASI DAN SEMINAR EITI PERBAIKAN TATA KELOLA KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERBA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN NOMOR: 3 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Di era Globalisasi dan persaingan bebas Dewasa ini, pelatihan karyawan

Mendukung terciptanya kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Meningkatnya jumlah minat investor untuk melakukan investasi di Indonesia

PELAKSANAAN UU 23 TAHUN 2014 DI PROVINSI JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi suatu negara merupakan salah satu tolak ukur untuk

BAB I PENDAHULUAN. demokratisasi. Tujuan Otonomi Daerah adalah untuk meningkatkan kualitas

Pelanggaran Etika Bisnis dan Hukum PT Freeport di Papua

Kontribusi Ekonomi Nasional Industri Ekstraktif *) Sekretariat EITI

BAB 6 P E N U T U P. Secara ringkas capaian kinerja dari masing-masing kategori dapat dilihat dalam uraian berikut ini.

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi. Dinamika penanaman modal memengaruhi tinggi rendahnya

BAB I PENDAHULUAN. Sumber Daya Alam (SDA) yang terkandung dalam wilayah hukum. pertambangan Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA KEDAULATAN ENERGI

Transkripsi:

BAB V PENUTUP Salah satu hal yang diharapkan akan memberikan kontribusi nyata bagi kepentingan nasional dalam UU Minerba adalah adanya kewajiban perusahaan tambang seperti Freeport untuk mengolah dan memurnikan mineral mentah (ore) dalam negeri sebelum diekspor. Hal ini diyakini akan mendatangkan multiplier effects seperti peningkatan pendapatan negara serta memberikan manfaat ekonomi melalui penyerapan tenaga kerja baru. Namun sangat disayangkan, dalam kurun 2009-2014 proses pengolahan dan pemurnian sebagaimana diamanatkan dalam UU Minerba belum terlaksana yang ditandai dengan tidak adanya smelter. Ironisnya lagi, pemerintah malah membuat peraturan yang memberikan kelonggaran ekspor mineral yakni Peraturan Menteri ESDM No.1 Tahun 2014 yang ditindaklanjuti dengan pemberian SPE kepada Freeport. Peraturan tersebut dinilai oleh sejumlah pihak menyalahi amanat UU Minerba. Atas dasar itulah penelitian ini hadir untuk mengkaji faktor apa yang menyebabkan pemerintah sehingga tidak konsisten dalam mengimpelementasikan amanat UU Minerba dengan memberikan SPE kepada Freeport. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan melalui metode library research dan interview, penulis menemukan jawaban bahwa inkonsistensi pemerintah dalam mengimplementasikan amanat UU Minerba dengan memberikan SPE kepada Freeport disebabkan oleh dua hal yakni; pertama, bargaining power pemerintah Indonesia lemah dibandingkan dengan bargaining power Freeport. Meskipun pemerintah unggul dalam hal sumber daya alam dengan memiliki cadangan tembaga, emas dan perak yang cukup melimpah namun hal ini tidak cukup menguatkan bargaining power-nya. Ada sejumlah hal penting yang turut melemahkan bargaining power pemerintah Indonesia seperti tenaga kerja yang kurang terdidik dan terampil (unskilled labour), infrastruktur buruk atau tidak memadai, modal domestik tidak cukup atau bahkan sama sekali tidak ada dan kualitas birokrasi yang buruk dalam hal regulasi. Di samping itu, juga karena mentalitas sebagian birokrat yang korup. Kelemahan bargaining power pemerintah Indonesia tersebut memang tidak bisa dipisahkan dari faktor politis. Pernyataan Mantan Ketua KPK, Abraham Samad bahwa banyak 97

perusahaan tambang melakukan suap kepada bupati, gubernur dan pejabat di kementerian agar izin pertambangannya tetap aman menjadi bukti bahwa pemberian SPE kepada Freeport memang juga tidak bisa dipisahkan dari persoalan politik. Kekuatan bargaining power Freeport terlihat dalam dua hal yakni teknologi dan modal. Dari sisi teknologi, teknologi Freeport dalam mengeksplorasi tambang underground sangat canggih sebagaimana diakui oleh pemerintah Indonesia sendiri bahwa teknologi Freeport merupakan teknologi terbaik yang ada di Indonesia. Dari sisi modal (uang) kontribusi Freeport melalui uang juga sangat signifikan. Hal itu terlihat melalui kontribusi Freeport sebanyak 0,8% bagi penerimaan negara (PDB nasional), 37,5% bagi PDB Papua, dan 91% bagi PDB Mimika pada tahun 2013. Wujud nyata kontribusi Freeport dalam bentuk uang melalui keuntungan langsung (royalti, dividen, pajak dan pungutan lainnya) dan keuntungan tidak langsung (gaji karyawan, pengembangan regional, pembelian barang dan jasa dalam negeri/investasi domestik dan dana kemitraan). Intinya adalah kontribusi Freeport yang cukup signifikan terhadap keuangan negara dan daerah menjadi salah satu faktor yang menyebabkan inkonsistensi pemerintah Indonesia. Kedua, birokrasi pemerintah Indonesia terfragmentasi. Fragmentasi tersebut menyebabkan koordinasi di antara Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan tidak berjalan. Koordinasi dari kementerian ESDM sebagai kementerian hulu tidak berjalan akibat fokus terhadap sejumlah gugatan terhadap UU Minerba akibatnya masing-masing kementerian hanya melaksanakan apa yang menjadi tugas pokok dan fungsinya sementara industri hilirisasi diabaikan. Fragmentasi birokrasi tersebut juga menyebabkan munculnya kebijakan dari masing-masing kementerian untuk memperjuangkan kepentingannya yang pada dasarnya bertentangan dengan UU Minerba, seperti Permen ESDM No.1/2014 yang bertujuan untuk menjaga kontribusi sektor pertambangan bagi penerimaan negara dan alasan tenaga kerja dan SPE yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan neraca perdagangan Indonesia dalam neraca perdagangan dunia agar tidak defisit. 98

Sedikitnya terdapat tiga pelajaran yang bisa dipetik dari kasus inkonsistensi pemerintah Indonesia dengan memberikan SPE kepada Freeport, yakni; a. Secara teoretis, bargaining power akan berada di tangan pemerintah host country selaku pemilik sumber daya alam tetapi dalam kasus ini berbeda. Bargaining power pemerintah Indonesia menjadi lemah atas bargaining power Freeport karena faktor-faktor penting pendukung melimpahnya sumber daya alam sebagai bargaining power yang kuat dari pemerintah Indonesia berada dalam kondisi yang buruk. Hal lain yang dengan sendirinya menguatkan bargaining power Freeport adalah adalah keputusan pemerintah Indonesia menetapkan Freeport sebagai obyek vital nasional. b. Kontrak Karya yang dipertahankan oleh sejumlah anggota parlemen menjadi bagian dari substansi UU Minerba menjadi bukti empiris bahwa MNC memang punya power dalam mempengaruhi pembuatan keputusan otoritatif bagi yang sebelumnya hanya merupakan hak prerogative negara. Selain itu, hal tersebut juga menandakan bahwa proses bisnis oleh perusahaan multinasional memang susah dipisahkan dari proses politik. Dengan berbagai cara, perusahaan multinasional akan selalu menjaga hubungannya dengan pemerintah host country agar tetap harmonis dan selalu mengusahakan hubungan yang saling menguntungkan dengan rezim penguasa, dalam kasus ini terlihat dengan adanya pembayaran uang keamanan dan suap oleh Freeport. c. Lobi petinggi Freeport McMoran ke sejumlah kementerian menjadi bukti bahwa relasi antara MNC dengan pemerintah host country tidak bisa dipisahkan dari proses politik. Lobi tersebut tidak tertutup kemungkinan merupakan lobi-lobi politik yang memberikan keuntungan pribadi bagi kedua belah pihak. Di samping itu, hal ini juga menjadi bukti bahwa perusahaan multinasional akan selalu menggunakan berbagai cara untuk mempengaruhi pemerintah host country agar memperjuangkan kepentingannya. 99

Terdapat beberapa kontribusi yang diberikan oleh kajian ini bagi studi Hubungan Internasional. a. Kajian ini diharapkan dapat menegaskan betapa pentingnya peran pemerintah host country dalam membenahi sejumlah persoalan krusial dalam industri ekstraktif seperti tenaga kerja, infrastruktur, modal dan persoalan birokrasi khususnya menyangkut mentalitas birokrat yang korup dan kualitas pemerintah selaku regulator. Persoalan ini merupakan hal yang urgent karena jika hal-hal tersebut tidak dibenahi, bargaining position host country selamanya akan lemah ketika berhadapan dengan MNC. b. Kajian ini juga diharapkan mempertegas kajian-kajian sebelumnya bahwa MNC memang memiliki power dalam mempengaruhi pembuatan dan penerapan kebijakan di negara tempat kegiatan operasionalnya berlangsung. c. Kajian ini juga turut mempertegas kajian-kajian terdahulu bahwa jika tidak dimanage dengan baik, relasi antara pemerintah host country dengan MNC selamanya akan bersifat konfliktual karena adanya perbedaan kepentingan di antara kedua belah pihak. Di satu sisi, MNC mengejar kepentingan privat demi maksimalisasi profit namun di sisi lain host country mengejar kepentingan publik. d. Kajian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi riset-riset selanjutnya yang akan memfokuskan pembahasannya pada relasi MNC dengan host country. Dengan adanya kasus ini, diharapkan dapat memberikan sedikit gambaran bagaimana seharusnya relasi antara MNC dengan host country agar keduanya memetik keuntungan dari ekplorasi sumber daya alam. Kritik terhadap kajian ini adalah berhubung kasus ini terbilang cukup baru dan merupakan kasus on-going process maka keterbatasan referensi menjadi persoalan utama dalam membahas isu tersebut. Untuk itu, diperlukan kejelian dan kecermatan dalam memilah referensi yang relevan dengan kasus ini sebagai bahan rujukan. Kekurangan dari riset ini dapat menjadi basis bagi riset selanjutnya untuk menemukan pengetahuan baru terkait penyebab pemerintah host country inkonsisten terhadap regulasi yang telah mereka sahkan. Riset selanjutnya dapat lebih memfokuskan kajiannya pada studi komparatif antara Indonesia dengan negara lain mengenai implementasi UU khususnya dalam bidang pertambangan 100

sebagai wujud nasionalisme sumber daya pemerintah host country yang bersangkutan. Pertanyaan tentang mengapa nasionalisme sumber daya di negara lain yang juga kaya akan sumber daya alam berhasil sementara di Indonesia tidak sepenuhnya berhasil menarik untuk dikaji lebih lanjut. Dengan berakhirnya penelitian ini, ada beberapa hal yang ingin penulis sampaikan untuk menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah selaku garda terdepan bangsa dalam memperjuangkan kepentingan nasional khususnya dalam bidang pertambangan, yakni; 1. Diperlukan adanya sinkronisasi UU dengan permasalahan yang ada di lapangan. 2. Infrastruktur khususnya ketersediaan tenaga listrik merupakan hal yang mendesak dalam sektor pertambangan Indonesia. 3. Reformasi birokrasi juga menjadi hal yang penting dilakukan dalam sektor pertambangan Indonesia. 4. Koordinasi atas implementasi sebuah kebijakan yang melibatkan banyak kementerian harus dilakukan secara berkesinambungan. 5. Diperlukan konsistensi pemerintah dalam implementasi UU agar tidak menjadi preseden yang buruk bagi sektor lain terlebih bagi pelaku usaha asing. Tidak kalah pentingnya adalah ketegasan pemerintah karena ketegasan merupakan syarat mutlak terjadinya perubahan demi perbaikan. 6. Bahasa yang tegas dan lugas dalam UU ekplorasi SDA merupakan suatu keharusan agar sumber daya yang dimiliki oleh bangsa ini tidak menjadi curse tetapi menjadi blessing. 101