BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. telah membawa perubahan bagi politik dan sistem pemerintahan maupun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adalah teori agensi. Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan adanya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Terjadinya krisis pada tahun 1996 merupakan faktor perubahan

BAB I PENDAHULUAN. krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Krisis ekonomi yang terjadi pada awal

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Dalam teori agensi, Jensen dan Meckling (1976) dalam Nugroho (2014)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional.

BAB I PENDAHULUAN. 2004) tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Mustikarini, 2012).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pengalokasian sumber daya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Otonomi

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. yang dapat dijadikan milik Negara (UU no 17 pasal1 ayat1). Undang undang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan atau berkembangnya suatu daerah adalah tidak terlepas dari

BAB I PEDAHULUAN. Pemerintahan Daerah, desentralisasi diartikan sebagai penyerahan kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Otonomi Daerah di Indonesia, Pemerintah Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang Rebulik Indonesia (UU RI) No. 32 Tahun 2004 tentang. Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa efisiensi dan efektivitas

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. memiliki sumbangsih paling potensial. Berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. ini menimbulkan peningkatan tanggung jawab penyelenggara pemerintah di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Teori entitas yang dikemukakan oleh Paton menyatakan bahwa organisasi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Krisis ekonomi yang terjadi pada awal tahun 1996 dan puncaknya pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas terukur (PP Nomor 8

BAB I PENDAHULUAN. khususya di tingkat Pemerintah Daerah. Korupsi sebenarnya termasuk salah

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Seiring dengan adanya perubahan masa dari orde baru ke era

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pengelolaan keuangan, pemerintah melakukan reformasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera, pemerintah Indonesia berusaha untuk mewujudkan tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pertimbangan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah menantang pemerintah daerah untuk. mewujudkan pemerintah yang akuntabilitas dan transparan.

BAB I PENDAHULUAN. satu indikator baik buruknya tata kelola keuangan serta pelaporan keuangan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. keagenan di dalam teori keagenan bahwa perusahaan merupakan kumpulan

PENINGKATAN AKUNTABILITAS KEUANGAN NEGARA HARUS BERKELANJUTAN

BAB I PENDAHULUAN. keuangan yang tepat, jelas, dan terukur sesuai dengan prinsip transparansi dan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat terhadap hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Kesadaran tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Good Government Governance di Indonesia semakin meningkat.

BAB I PENDAHULUAN. publik dalam rangka pemenuhan hak publik. Untuk pengertian good governance,

BAB 1 PENDAHULUAN. banyak mendapatkan perhatian khusus dibandingkan masa-masa sebelumnya

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kebijakan yang telah ditetapkan, dan ketentuan. Selain itu, pengawasan intern atas

BAB I PENDAHULUAN. dikeluarkannya UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.25

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

BAB 1 PENDAHULUAN. menguatnya tuntutan akuntabilitas atas lembaga-lembaga publik, baik di pusat

BAB I PENDAHULUAN. salah satunya prinsip transparansi dan akuntabilitas. Berdasarkan Undang-Undang

commit to user I.1 Latar Belakang Masalah Titik awal terpenting dari sejarah desentralisasi di Indonesia yaitu pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi dalam bidang pengelolaan keuangan daerah. membuat pemerintah daerah dituntut membawa perubahan dalam

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003, pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas yang dihasilkan dari suatu sistem informasi. Informasi yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian. Ditetapkannya Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Dalam rangka mendukung terwujudnya tata kelola yang baik

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

BAB 1 PENDAHULUAN. Pemerintah telah menerbitkan peraturan tentang tingkat pengungkapan

dalam pelaksanaan kebijakan otonomi daerah. Sejak diberlakukannya otonomi desantralisasi mendorong perlunya perbaikan dalam pengelolaan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Akuntabilitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. arah dan tujuan yang jelas. Hak dan wewenang yang diberikan kepada daerah,

BAB I PENDAHULUAN. sebagai organisasi nirlaba. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. akuntansi pemerintahan yang telah diterima secara umum. Kualitas informasi dalam laporan

Pengaruh Karakteristik Pemerintah Daerah Dan Temuan Audit BPK RI Terhadap Akuntabilitas Kinerja Pemerintah Daerah

BAB I PENDAHULUAN. meningkat, peran akuntansi semakin dibutuhkan, tidak saja untuk kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. keuangan pemerintah masih menemukan fenomena penyimpangan informasi laporan

BAB I PENDAHULUAN. Tata kelola pemerintahan yang baik (Good Government Governance)

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan dan pertanggungjawaban, maka dalam era otonomi daerah sekarang ini

BAB I PENDAHULUAN. yang baik (good governance government), telah mendorong pemerintah pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. akuntabilitas sesuai dengan prinsip-prinsip dasar good governance pada sektor

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik (good government governance), telah mendorong

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada awal tahun 2001 mulai diberlakukannya kebijakan otonomi daerah,

BAB I PENDAHULUAN. telah membawa perubahan terhadap sistem politik, sosial, kemasyarakatan serta

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Krisis ekonomi di Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar

I. PENDAHULUAN. Perubahan paradigma pengelolaan keuangan baik pemerintah pusat maupun

BAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan

BAB I PENDAHULUAN. governance) ditandai dengan diterbitkannya Undang undang Nomor 28 Tahun

BAB 5 SIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, keaslian penelitian, dan sistematika pembahasan.

BAB I PENDAHULUAN. untuk menerapkan akuntabilitas publik. Akuntabilitas publik dapat diartikan sebagai bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi merupakan suatu langkah yang telah dilakukan oleh pemerintah,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. keagenan dimana suatu pihak tertentu (principal) mendelegasikan pekerjaan

BAB I PENDAHULUAN. yang menyajikan laporan keuangan diharuskan memberi pernyataan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. pengaruh karakteristik pemerintah daerah terhadap audit delay. Hubungan

BAB I PENDAHULUAN. menerapkan adanya Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.

BAB I PENDAHULUAN. transparansi pada laporan keuangan pemerintah daerah. Munculnya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Good Government Governance merupakan function of governing. Salah

PENGARUH KARAKTERISTIK PEMERINTAH DAERAH DAN TEMUAN AUDIT BPK TERHADAP KINERJA PEMERINTAH DAERAH (Studi pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Ulum, 2004). (Stanbury, 2003 dalam Mardiasmo, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. pun berlaku dengan keluarnya UU No. 25 tahun 1999 yang telah direvisi UU No. 33 Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 pasal 32 ayat 1 dan 2 tentang keuangan

KARAKTERISTIK PEMERINTAH DAERAH DAN OPINI AUDIT PADA KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH. NI MADE SURYANINGSIH 1 EKA ARDHANI SISDYANI 2

BAB 1 PENDAHULUAN. yang dapat diraih melalui adanya otonomi daerah.indonesia memasuki era otonomi

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik (good government governance), telah mendorong

BAB I PENDAHULUAN. tata kelola yang baik diperlukan penguatan sistem dan kelembagaan dengan

PEMPROV SULTRA KEMBALI RAIH PENILAIAN KEUANGAN WTP

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam rangka meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik (good government governance), telah mendorong

BAB I PENDAHULUAN. mencatat desentralisasi di Indonesia mengalami pasang naik dan surut seiring

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undangundang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pencapaian tujuan-tujuan. Kinerja terbagi dua jenis yaitu kinerja tugas merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bagi bangsa ini. Tuntutan demokratisasi yang diinginkan oleh bangsa ini yaitu

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan Teori keagenan adalah hubungan antara dua belah pihak atau lebih, dimana satu pihak (agent) setuju bertindak dengan persetujuan pihak lain (principal). Teori keagenan telah digunakan untuk menjelaskan hubungan kompleks antara berbagai instansi pemerintah. Menurut Fadzil dan Nyoto (2011) Pemerintahan yang dipimpin oleh pemerintah daerah dan dipilih oleh mayarakat yang diharapkan akan mengakomodasi keinginan masyarakat dalam menyelenggarakan pelayanan publik yang bertindak tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat (Nurdin, 2014). Pemerintah daerah sebagai agen dan masyarakat sebagai prinsipal melakukan tindakan dengan penuh kesadaran bagi mereka sendiri dan memandang bahwa pemerintah daerah tidak dapat dipercaya untuk bertindak sebaik-baiknya bagi masyarakat. Menurut Lane (2000) dalam organisasi publik, teori keagenan dapat juga diterapkan. Agency theory beranggapan bahwa banyak terjadi information asymmetry dan ini berdampak pada penyelewengan atau korupsi oleh agen. Dan sebagai konsekuensinya, pemerintah daerah harus dapat meningkatkan akuntabilitas atas kinerjanya sebagai mekanisme check and balances karena pemerintah memiliki lebih banyak informasi mengenai sumber daya yang dimiliki daerah dalam bentuk Anggaran Pemerintah Belanja Daerah (APBD)/Anggaran Pemerintah Negara (APBN) dibandingkan dengan masyarakat. 1

Asimetri informasi ini dapat mengakibatkan konflik antara kedua pihak (agency problem) (Sudarsana, 2013). Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat adalah dengan memperlihatkan hasil dari kinerja pemerintah yang sudah tercapai (Osborne dan Gaebler, 1992 dalam Akbar dan Pilcher, 2012). Dengan menunjukkan hasil kinerja, maka agency problem yang mungkin terjadi dapat dikurangi, karena masyarakat sebagai principal dapat melihat dan mengukur hasil kinerja Pemda. Menurut Carr dan Brower (2000) dalam penelitiannya model keagenan yang sederhana mengasumsikan dua pilihan dalam kontrak : (1) behavioral-based, yakni prinsipal harus memonitor perilaku agen dan (2) outcome-based, yaitu adanya insentif yang memotivasi agen untuk mencapai kepentingaan prinsipal. 2.1.2 Kinerja Pemerintah Daerah Tujuan pengukuran kinerja keuangan menurut Bastian (2006), yaitu sebagai laporan operasi kegiatan pemerintah yang bertujuan untuk menilai kinerja keuangan organisasi dalam hal efisiensi dan efektifitas serta memonitor biaya aktual dengan biaya yang dianggarkan. Pengukuran kinerja ini dimaksudkan untuk mengetahui capaian kinerja yang telah dlakukan organisasi dan sebagai alat untuk pengawasan serta evaluasi organisasi. Mandell (1997) dan Vago (2008) mengungkapkan bahwa dengan melakukan pengukuran kinerja, pemerintah daerah memperoleh informasi yang dapat meningkatkan kualitas pengambilan keputusan sehingga akan meningkatkan pelayanan yang diberikan masyarakat. Pengukuran kinerja akan memberikan umpan balik sehingga terjadi upaya perbaikan yang berkelanjutan untuk mencapai tujuan di masa mendatang Bastian 2

(2006). Berdasarkan hal tersebut, dalam melakukan pengukuran kinerja perlu memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pemerintah daerah adalah karakteristik pemerintah daerah. Selain karakteristik pemerintah daerah, peneliti menggunakan variabel hasil pemeriksaan audit BPK dalam mengukur keterkaitan dengan kinerja keuangan pemerintah daerah. Hal tersebut diperlukan untuk menghindari adanya berbagai macam tindak kecurangan dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menyebutkan bahwa pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, obyektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Hasil pemeriksaan keuangan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dapat berupa temuan audit, opini audit maupun kesimpulan audit. Penelitian Virgasari (2009) dan Indrarti (2011) menggunakan opini audit dalam menjelaskan hasil audit BPK. Berdasarkan penelitian tersebut, peneliti menggunakan opini audit BPK dalam memproksikan hasil pemeriksaan audit. 2.1.3 Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) Akuntabilitas dapat diartikan sebagai kewajiban-kewajiban dari individuindividu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggungjawabannya sebagai instrumen untuk kegiatan control 3

terutama dalam pencapaian hasil pada pelayanan publik (Azlina, 2011). Akuntabiltas mengacu pada kepada siapa organisasi (pekerja individu) bertanggung jawab dan untuk organisasi (pekerja individu harus bertanggung jawab dalam bentuk pertanggung jawaban. Standar Akuntansi Pemerintahan sangat penting untuk transparansi dan akuntabilitas suatu organisasi publik (Patton dan Bean, 2001). Menurut Mardiasmo (2002) menjelaskan bahwa pengertian akuntabilitas merupakan sebagai kewajiban pemegang amanah (agent) untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan melaporkan dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah (principal) yang memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban tersebut. Akuntabilitas merupakan salah satu unsur dari perwujudan good governance yang sedang dilakukan di Indonesia, karena menurut Suyanto (2010) akuntabilitas merupakan kunci dari konsep good governance, untuk mendukung hal tersebut diperlukan pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas, dan terukur, dan berlangsung secara berdaya guna, berhasil guna, bersih dan bertanggungjawab serta bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme. Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah adalah perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan melalui system pertenggungjawaban secara periodik (BPKP, 2007). 4

2.1.4 Karakteristik Pemerintah Daerah Karakteristik merupakan ciri-ciri khusus yang mempunyai sifat khas (kekhususan) sesuai dengan perwatakan tertentu yang membedakan sesuatu (orang) dengan sesuatu yang lain. Suhardjanto dan Yulianingtyas (2010) mendefinisikan karakteristik pemerintah daerah merupakan ciri-ciri khusus yang melekat pada pemerintah daerah, menandai sebuah daerah, dan membedakannya dengan daerah lain. Hasibuan (2009) dalam Sumarjo (2010) menemukan bahwa terdapat pengaruh karakteristik perusahaan terhadap kinerja suatu perusahaan. Hal tersebut dapat diterapkan pada sektor publik, dimana karakteristik daerah dapat menjadi prediktor yang baik dalam mengukur kinerja pemerintah daerah. Dengan demikian, perbedaan karakteristik antar daerah satu dengan daerah lainnya diasumsikan dapat mempengaruhi kinerja keuangan pemerintah daerah. Karakteristik pemerintah daerah dapat berupa ukuran daerah, kesejahteraan, functional differentiation, umur daerah, latar belakang pendidikan kepala daerah, leverage daerah, tingkat kekayaan daerah, tingkat ketergantungan daerah, belanja daerah, status daerah, dan (Suhardjanto et al., 2010). 2.1.5 Kemakmuran Pemerintah Daerah Kemakmuran (wealth) pemerintah daerah dapat dinyatakan dengan jumlah Pendapatan Asli Daerah (PAD) (Abdullah, 2004 dalam Sumarjo, 2010). Kemakmuran Pemerintah Daerah menggambarkan tingkat kemakmuran daerah tersebut (Sinaga, 2011). Menurut Undang-Undang No.33 Tahun 2004, Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber penerimaan daerah asli yang digali di daerah tersebut untuk digunakan sebagai modal dasar pemerintah daerah dalam 5

membiayai pembangunan dan usaha-usaha daerah untuk memperkecil ketergantungan dana dari pemerintah pusat. Pendapatan Asli Daerah terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah (Nugroho, 2012). Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan tulang punggung pembiayaan daerah. Kemampuan suatu daerah dalam menggali PAD akan mempengaruhi perkembangan dan pembangunan daerah tersebut. Di samping itu semakin besar kontribusi PAD terhadap APBD, maka akan semakin kecil pula ketergantungan terhadap bantuan pemerintah pusat. Sumber keuangan yang berasal dari PAD lebih penting dibanding dengan sumber yang berasal dari luar PAD. Hal ini karena PAD dapat dipergunakan sesuai dengan kehendak dan inisiatif pemerintah daerah demi kelancaran penyelenggaraan urusan daerahnya (Juliawati, et al, 2012). Dengan lancarnya penyelenggaraan urusan daerah maka Pemda akan memiliki kinerja yang baik dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat (Sudarsana, 2013). 2.1.6 Status Daerah Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) RI Tahun 1945 Pasal 18B ayat (1) disebutkan bahwa Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur undang-undang. Status daerah merupakan suatu pengakuan nasional sebuah daerah sebagai suatu kabupaten atau kota. Kabupaten dan kota adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia setelah provinsi. Secara umum, pemerintah kota dengan sumber dana yang lebih baik akan mempunyai kemungkinan yang lebih baik pula dalam 6

pelaksanaan pemerintahan daerah karena dukungan sumber daya tersebut untuk mencapai sasaran pemerintah daerah, sehingga mampu menciptakan kinerja yang lebih baik (Herningsih, 2013). Status daerah mempengaruhi kelengkapan pengungkapan dikarenakan adanya perbedaan karakteristik masyarakat dan struktur pendapatan yang dapat berimplikasi pada kontrol sosial pada penduduk kota cenderung lebih kuat, sehingga pemerintah daerah yang berstatus kota akan cenderung mematuhi standar akuntansi (Abdullah, 2006). Maka dari itu status daerah berpengaruh pada pendapatan suatu daerah, sehingga masyarakat juga ikut berpartisipasi dalam pengawasan anggaran dengan tujuan transparansi atau keterbukaan dalam anggaran. Di era globalisasi ini, pengetahuan masyarakat mengenai terselenggaranya pemerintah daerah di setiap kabupaten/kota semakin meningkat sehingga pemerintah harus mengembangkan daerah masing-masing seperti potensi daerah. 2.1.7 Tingkat Ketergantungan pada Pusat Pada penelitian Mustikarini dan Fitriasasi (2012), tingkat ketergantungan dengan pusat dinyatakan dengan besarnya Dana Alokasi Umum (DAU). Dana Alokasi Umum (DAU), adalah dana yang berasal dari Anggaran Pemerintah Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan keuangan antara daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Berkaitan dengan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, hal tersebut merupakan konsekuensi adanya penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Green 7

(2005) dalam tulisannya menyatakan bahwa desentralisasi di Indonesia lebih kepada desentralisasi administrasi daripada desentralisasi fiskal, hal ini dikarenakan Pemerintah Pusat masih membagi Pendapatan Negara untuk kebutuhan Pemda. Dengan demikian, terjadi transfer yang cukup signifikan di dalam APBN dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, dan pemerintah daerah secara leluasa dapat menggunakan dana ini apakah untuk memberi pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat atau untuk keperluan lainnya. Penggunaan DAU ditetapkan oleh daerah. Penggunaan DAU dan penerimaan umum lainnya dalam APBD harus tetap pada kerangka pencapaian tujuan pemberian otonomi kepada daerah yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, seperti pelayanan di bidang kesehatan dan pendidikan (Sudarsana, 2013). 2.1.8 Belanja Modal Daerah Menurut PP Nomor 71 Tahun 2010, belanja modal merupakan belanja Pemerintah Daerah yang manfaatnya melebihi 1 tahun anggaran akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada kelompok belanja administrasi umum. Belanja daerah digunakan untuk memperoleh aset tetap pemerintah daerah seperti peralatan, infrastruktur, dan harta tetap lainnya. Secara teoritis ada tiga cara untuk memperoleh aset tetap tersebut, yakni dengan membangun sendiri, menukarkan dengan aset tetap lain, dan membeli. Namun, untuk kasus di pemerintahan, biasanya cara yang dilakukan adalah dengan cara membeli. Proses pembelian yang dilakukan umumnya melalui sebuah proses lelang atau tender yang cukup 8

rumit (Abdullah, 2006). Aset tetap yang dimiliki sebagai akibat adanya belanja modal merupakan prasyarat utama dalam memberikan pelayanan publik oleh pemerintah daerah. Biasanya setiap tahun diadakan pengadaan aset tetap oleh pemerintah daerah, sesuai dengan prioritas anggaran dan pelayanan publik yang memberikan dampak jangka panjang secara finansial (Abdulah, 2006). 2.1.9 Opini Audit Audit adalah bentuk dari pembuktian indepeden yang dilakukan oleh ahli auditor yang menyatakan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan perusahaan. Opini audit merupakan pernyataan auditor terhadap kewajaran laporan keuangan dari entitas yang telah diaudit. Kewajaran ini menyangkut materialitas, posisi keuangan, dan arus kas. Keyakinan publik pada keandalan laporan keuangan yang dihasilkan secara internal bergantung secara langsung pada validasi oleh auditor ahli yang independen. Hasil dari pemeriksaan yang dilakukan BPK tersebut berupa opini, temuan, kesimpulan atau dalam bentuk rekomendasi. Terdapat lima opini yang dikeluarkan oleh BPK RI, yaitu unqualified (wajar tanpa pengecualian/wtp), unqualified opinion with modified wording (Opini wajar tanpa pengecualian dengan paragraph penjelas/wtp-dpp), qualified (wajar dengan pengecualian/ WDP), adverse (tidak wajar /TW), dan disclamer (tidak memberikan pendapat/tmp). Dari kelima opini tersebut opini terbagus adalah unqualified yang berarti bahwa laporan LKPD telah disajikan dan diungkapkan secara wajar dalam semua hal yang material, informasi laporan keuangan bisa digunakan oleh pemakai laporan keuangan. Sedangkan opini terjelek adalah tidak wajar karena informasi laporan keuangan (LKPD) tidak diungkapkan secara wajar dalam semua hal yang material, sehingga 9

informasi dalam laporan keuangan tidak dapat dipakai oleh penggunanya. Dan berbeda dengan disclamer terjadi bila auditor menolak memberikan pendapat, kondisi ini disebabkan karena lingkup audit yang dibatasi atau karena laporan keuangan tidak dapat diaudit sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan Negara (SPKN), sehingga baik opini adverse maupun disclaimer tidak dapat digunakan oleh pengguna laporan keuangan. Penelitian yang dilakukan Bernstein (2000) menyimpulkan antara pengukuran kinerja Pemda dan system pengawasan termasuk audit kinerja dan evaluasi program. 2.1.10 Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (EKPPD) Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EKPPD) merupakan suatu proses pengumpulan dan analisis data secara sistematis terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan menggunakan sistem pengukuran kinerja (Permendagri No. 73 Tahun 2009). Tujuan dari adanya Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yaitu untuk mengetahui keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam mengelola daerahnya dan hasil yang dicapai. Pelaksanaan EKPPD meliputi pengukuran kinerja penyelenggaraan pemerintahan provinsi, penentuan peringkat, dan penentuan status kinerja penyelenggaraan pemerintahan provinsi, kabupaten, dan kota secara nasional (Sudarsan, 2013). Sumber informasi dari Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (EKPPD) antara lain, laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, informasi keuangan daerah dan laporan kinerja instansi pemerintah. Hasilnya digunakan pemerintah untuk program pengembangan kapasitas peningkatan kinerja dan pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah, terutama kepada daerah-daerah yang memiliki prestasi kinerja rendah. 10

Pemerintah mempersiapkan pemberian penghargaan (award) kepada daerah yang mempunyai prestasi kinerja tertinggi secara nasional ataupun yang berkinerja tinggi selama 3 tahun berturut-turut (Juknis EKPPD, 2014 dalam Sedyaningsih, 2014). Peraturan menteri dalam negeri Nomor 73 tahun 2009 pasal 17 menyebutkan Total Indeks komposit kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan penjumlahan hasil penilaian yang meliputi, indeks capaian kinerja dan indeks kesesuaian materi. Peraturan menteri dalam negeri Nomor 73 tahun 2009 Pasal 32 menyebutkan 1) Pemeringkatan kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota secara nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) disusun berdasarkan peringkat, skors dan status. 2) Pemeringkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Direktur Jenderal Otonomi Daerah selaku Ketua Tim Teknis Nasional EPPD berdasarkan hasil Rapat Kerja Tim teknis Nasional. 3) Peringkat, skors dan status sebagaimana pada ayat (1) terdiri atas: a. Provinsi, kabupaten dan kota di atas 10 (sepuluh) tahun; b. Provinsi, kabupaten dan kota berusia diatas 3 (tiga) tahun dan dibawah 10 (sepuluh) tahun: c. Kabupaten dan kota di dalam wilayah provinsi otonomi khusus berusia di atas 3 alga) tahun; dan d. Provinsi, kabupaten dan kota berusia di atas 3 (tiga) tahun dan dibawah 10 (sepuluh) tahun dalam: 1. Penyelenggaraan urusan wajib; 11

2. Penyelenggaraan bidang pengelolaan keuangan daerah dan aset daerah; 3. Penyelenggaraan bidang perencanaan pembangunan daerah; dan 4. Penerapan standar pelayanan minimal. 4) Pemeringkatan kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Direktur Jenderal Otonomi Daerah kepada Menteri Dalam Negeri untuk dijadikan bahan dalam pemberian peringkat kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota secara nasional. 5) Pemberian peringkat kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri setelah mempertimbangkan hasil Sidang Tim Nasional EPPD (Kemendagri, 2015). 2.2 Hipotesis Penelitian Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, oleh karena itu rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam bentuk pertanyaan (Sugiyono, 2014:94) 2.2.1 Pengaruh Kemakmuran Pemerintah Daerah pada Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota Pendapatan Asli Daerah merupakan modal dasar pemerintah daerah dalam membiayai pembangunan dan usaha-usaha daerah untuk memperkecil ketergantungan dana dari pemerintah pusat yang bersumber dari penerimaan daerah asli yang digali di daerah tersebut (Nugroho, 2012). Pendapatan Asli Daerah menjadi salah satu tolak ukur kemampuan dan cermin kemandirian daerah 12

(Nurdin, 2014). Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan peningkatan kemandirian Pemerintah Daerah akan mempengaruhi meningkatnya Pendapatan Asli Daerah, ini menandakan Pemerintah Daerah berhasil membuat dan melaksanakan kebijakan/program guna meningkatkan penerimaan daerah (Nurdin, 2014). Menurut Christiaens (1999) dalam Syafitri (2012), Kemakmuran Pemerintah Daerah berhubungan positif dengan peningkatan pengungkapan. Dari uraian diatas didukung oleh penelitan (Julitawati 2012) juga menemukan bahwa Pendapatan Asli daerah (PAD) berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah kabupaten/kota. Sedangkan hasil penelitian Marfiana (2013) menunjukkan PAD tidak berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota. Karena pemerintah daerah dengan aset dan kekayaan yang besar pasti memiliki tekanan yang lebih besar pula dari masyarakat untuk lebih baik dalam mengelola dan menggunakan segala sumber daya yang dimilikinya itu guna perbaikan kinerja. Oleh karena itu, hipotesis pada penelitian ini adalah: H 1 : Kemakmuran Pemerintah Daerah berpengaruh pada kinerja keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota 2.2.2 Status Daerah berpengaruh pada Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Status daerah merupakan suatu otonomi yang diberikan antara pusat kepada daerah dengan dibedakannya antara otonomi yang bersifat khusus dan istimewa untuk diberi kewenangan mengatur daerah kabupaten maupun kota. Kontrol sosial pada penduduk kota cenderung lebih kuat, sehingga Pemerintah Daerah yang berstatus sebagai Kota akan cenderung mematuhi standar akuntansi (Nugroho, 2012). 13

Dalam UUD RI Tahun 1945 Pasal 18B ayat (1) disebutkan bahwa Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur undang-undang. Analisis atas pengaruh status/jenis daerah dalam penelitian ini perlu untuk memberikan bukti bahwa kelengkapan pengungkapan wajib berkaitan dengan status daerah sebagai kota atau kabupaten (Abdullah, 2006). Pandangan bahwa jenis daerah mempengaruhi kelengkapan pengungkapan dikarenakan adanya perbedaan karakteristik masyarakat dan struktur pendapatan berimplikasi pada kontrol sosial yang berbeda pula (Abdullah, 2006). Masyarakat kota memiki kontrol sosial yang lebih kuat (Abdullah, 2006). Dengan adanya kontrol sosial tersebut, tuntutan gencar dilakukan oleh masyarakat kepada pemerintah agar terselenggara pemerintahan yang baik sejalan dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat serta adanya pengaruh globalisasi menuntut adanya keterbukaan (Hermningsih, 2009). Berdasarkan uraian tersebut, dapat ditarik sebuah logika bahwa daerah yang berstatus kota akan lebih melakukan pengungkapan wajib sesuai dengan SAP. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis penelitian dirumuskan dalam format hipotesis alternatif sebagai berikut: H 2 : Status Daerah berpengaruh pada Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota 2.2.3 Pengaruh Tingkat Ketergantungan pada Pemerintah Pusat terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota Tujuan pemberian Dana Perimbangan adalah agar dapat mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah dengan daerah dan antar daerah dan 14

meningkatkan kapasitas daerah dalam menggali potensi ekonomi daerah. DAU diberikan pemerintah pusat untuk membiayai kekurangan dari pemerintah daerah dalam memanfaatkan PADnya. DAU ini bersifat Block Grant yang artinya penggunaan DAU diserahan kepada pemerintah daerah sesuai dengan prioritas, kepentingan, dan kebutuhan daerah masing-masing yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik dalam rangka melaksanakan otonomi daerah (Nugroho, 2012). Dana Perimbangan merupakan dana transfer yang diberikan kepada Pemda dalam rangka pemerataan agar tidak terjadi ketimpangan pendapatan antar Pemda, tidak terdapat effort yang dilakukan Pemda untuk mendapatkan Dana Perimbangan. Tingginya persentase jumlah dana perimbangan mengindikasikan bahwa Pemda tidak mandiri dalam mengelola pendapatannya dan dapat menyebabkan penilaian akuntabilitas kinerja semakin rendah karena persentase Dana Perimbangan yang tinggi mengindikasikan bahwa Pemda tidak mampu dalam merencanakan dan menjalankan program/kegiatan untuk mengoptimalkan PAD (Nurdin, 2014). Penelitian sebelumnya yang menggunakan variabel ketergantungan pada kinerja pemerintah pusat adalah (Julitawati et. al 2012) menemukan bahwa Dana Perimbangan berpengaruh negatif terhadap kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota, dari uraian di atas, maka hipotesis pada penelitian ini adalah: H 3 : Tingkat Ketergantungan pada Pemerintah Pusat berpengaruh pada Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota 15

2.2.4 Pengaruh Belanja Modal Daerah pada Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota Belanja modal merupakan pengeluaran pemerintah daerah yang bermanfaat lebih dari satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan berakibat menambah belanja yang bersifat rutin. Belanja modal yang besar merupakan cerminan dari banyaknya infrastruktur dan sarana yang dibangun. Sehingga semakin banyak pembangunan yang dilakukan akan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sehingga kinerja daerah akan lebih baik (Sudarsana, 2013). Semakin tinggi belanja, Pemda seharusnya memberikan pelayanan yang lebih baik dan berkualitas kepada masyarakatnya. Merujuk kepada hal ini, seharusnya semakin tinggi tingkat pelayanan yang diberikan, semakin tinggi keinginan Pemda untuk mengungkapkan informasi pelayanan pada website Pemda (Martani, 2012). Penelitian yang menggunakan variabel belanja daerah dilakukan oleh Mustikarini dan Fitriasari (2012) menunjukkan bahwa belanja daerah berpengaruh negatif signifikan terhadap skor kinerja, hal ini berarti bahwa semakin besar belanja daerah maka semakin kecil skor kinerja. Menurut Sudarsana (2013) dimana belanja modal tidak berpengaruh terhadap skor kinerja Pemda, sedangkan penelitian (Nugroho 2012) menghasilkan bahwa belanja modal berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan kinerja keuangan daerah secara langsung. Berdasarkan uraian diatas maka apakah belanja yang telah terealisasi sudah sesuai dengan tujuan dalam program/kegiatan yang telah direncanakan, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: 16

H 4 : Belanja Modal Daerah berpengaruh pada Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota 2.2.5 Pengaruh Opini Audit pada Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota Setiap tahun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selalu melakukan audit atas laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) dan memberikan opini sesuai dengan hasil laporan tersebut. Opini auditor sering dijadikan sebagai pengukuran kinerja suatu daerah dalam pengelolaan keuangan daerahnya yang berasal dari pihak eksternal, sehingga seringkali terdapat gejala di daerah terkesan memburu predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Opini audit BPK merupakan kasuskasus yang ditemukan BPK terhadap laporan keuangan Pemda atas pelanggaran yang dilakukan suatu daerah pada ketentuan pengendalian intern maupun pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Semakin banyak pelanggaran yang dilakukan oleh Pemda mencerminkan semakin buruknya kinerja Pemda tersebut. Dengan kata lain, semakin banyak opini Tidak Wajar dan Tidak Memberikan Opini, maka menunjukkan semakin rendahnya kinerja suatu Pemda (Sudarsana, 2013). Adanya opini ini menyebabkan BPK akan meminta adanya peningkatan pemeriksaan dan koreksi. Sehingga, semakin banyak jumlah opini Tidak Wajar dan Tidak Memberikan Opini maka akan semakin rendah kinerja keuangan pemerintah daerah (Nugroho, 2012). Penelitian yang menghubungkan temuan audit dengan kinerja pemerintah daerah pernah dilakukan oleh Mustikarini dan Fitriasari (2012) yang menghasilkan bahwa semakin besar jumlah temuan audit BPK pada suatu pemerintah daerah maka semakin rendah kinerja keuangan pemerintah daerah itu. 17

Sedangkan penelitian Virgasari (2009) dan Indrarti (2011) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara opini audit BPK terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah. Dengan mengacu pada penelitian diatas dapat dirumuskan dalam hipotesis terakhir penelitian ini. H 5 : Opini Audit berpengaruh terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. 18