IX. KESIMPULAN DAN SARAN. yang sangat strategis bagi pembangunan yang berkelanjutkan di Provinsi

dokumen-dokumen yang mirip
VII. ANALISIS PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER. memenuhi kelestarian fungsi sosial ekonomi, pihak pemerintah melalui

IV METODOLOGI PENELITIAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN. angka-angka statistik sering dijadikan sebagai alat untuk memahami

BAB I PENDAHULUAN. Industri (HTI) sebagai solusi untuk memenuhi suplai bahan baku kayu. Menurut

BAB VIII ANALISIS KELAYAKAN PENGUSAHAAN PEPAYA CALIFORNIA BERDASARKAN SPO DAN NON SPO

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS PERBENIHAN DAN KULTUR JARINGAN TANAMAN BAB XI PENGELOLAAN KEGIATAN

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN. Tanaman kehutanan adalah tanaman yang tumbuh di hutan yang berumur

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

III. KERANGKA PEMIKIRAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG

RINGKASAN. masyarakat dalam berkesehatan. Instansi ini berfungsi sebagai lembaga

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

IV. METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. tempat ini ramai dikunjung oleh wisatawan baik dari dalam maupun dari luar

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK

I. PENDAHULUAN. pertanian. Tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pertanian memegang peranan

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha

BAB I PENDAHULUAN. telah dibuka maka investasi harus terus dilanjutkan sampai kebun selesai

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN III

TINJAUAN PUSTAKA. tinggi yang tersebar di ekosistem hutan dataran rendah Dipterocarpaceae sampai hutan

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

I.PENDAHULUAN. Komoditas minyak dan gas (migas) merupakan penghasil devisa utama bagi

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan paru-paru dunia karena hutan dapat memproduksi oksigen

BAB I PENDAHULUAN. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

BAB I PENDAHULUAN. dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

SMP NEGERI 3 MENGGALA

ANALISIS MANFAAT DAN BIAYA SOSIAL TERHADAP PENGELOLAAN HASIL HUTAN DI PROVINSI ACEH

ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG

METODE PENELITIAN. ini yang dianalisis adalah biaya, benefit, serta kelayakan usahatani lada putih yang

KUESIONER RESPONDEN PEMILIK ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL DAN PROSPEK PEMASARAN BUDIDAYA GAHARU PENGENALAN TEMPAT PETUGAS PROGRAM STUDI KEHUTANAN

KERANGKA PEMIKIRAN. dengan membangun suatu tempat pengelolaan sampah, tetapi yang dapat

I. PENDAHULUAN. Pertanian sebagai salah satu sektor yang dapat diandalkan dan memiliki

IV. METODE PENELITIAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN,

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Penjelasan PP No. 34 Tahun 2002 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

VIII. ANALISIS FINANSIAL

BAB I PENDAHULUAN. Dalam arti luas pariwisata adalah kegiatan rekreasi diluar dominasi untuk

Oleh : SULISMAN NIM : PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 1997

AGROFORESTRI PENDAHULUAN. Apa itu Agroforestri? Cakupan pembahasan agroforestri

KERANGKA PEMIKIRAN. Pada bagian ini akan dijelaskan tentang konsep dan teori yang

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH NOMOR 46 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA POCUT MEURAH INTAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN,

III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam bab ini penulis menjelaskan tinjauan teori-teori yang terkait yang

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

VII ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL

TAMBANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG

III. METODE PENELITIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

Analisa Manfaat Biaya Proyek Pembangunan Taman Hutan Raya (Tahura) Bunder Daerah Istimewa Yogyakarta

Konsep Imbal Jasa Lingkungan Dalam Penyelenggaraan Konservasi Tanah dan Air Oleh: Khopiatuziadah *

I. PENDAHULUAN. hal ini dikarenakan munculnya kesadaran dari masyarakat mengenai pentingnya

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia di samping kebutuhan

Analisis Kelayakan dan Perspektif Pengembangan Asuransi Pertanian pada Usahatani Padi dan Jagung

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN,

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Definisi Internet

BAB V HASIL ANALISA. dan keekonomian. Analisis ini dilakukan untuk 10 (sepuluh) tahun. batubara merupakan faktor lain yang juga menunjang.

POLICY BRIEF DAYA SAING KOMODITAS PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DALAM KONTEKS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN. Dr. Adang Agustian

METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengumpulan Data

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Lampung Timur. Lokasi penelitian

KODEFIKASI RPI 25. Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

TINJAUAN KELAYAKAN PROYEK DENGAN MENGGUNAKAN NET PRESENT VALUE METHOD DAN INTERNAL RATE OF RETURN METHOD

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

Transkripsi:

136 IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Pengembangan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser memiliki peran yang sangat strategis bagi pembangunan yang berkelanjutkan di Provinsi Sumatera Utara dan NAD khususnya serta Indonesia pada umumnya. Nilai pembangunan yang strategis tersebut karena Taman Nasional Gunung Leuser merupakan modal yang alami dan dapat dimanfaatkan sebagai sumber kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat. Kekayaan Taman Nasional Gunung Leuser baik berupa produk-produk kayu maupun bukan kayu setiap saat merupakan daya tarik yang bernilai komersial yang dapat diperdagangkan baik secara lokal maupun internasionl. Untuk menjaga kelestariannya kawasan penyangga merupakan kawasan yang dapat mempertemukan kepentingan kelestarian dan keperluan masyarakat. Di kawasan penyangga TNGL wilayah Dusun Pamah Semelir produk bukan kayu dan kayu yang terinventarisasi adalah sebanyak 1.127 rumpun tanaman yang terdiri atas 122 jenis tanaman, sedangkan kayu komersil yang terdiri atas kelas I, II, III, IV dan V sebayak 22 jenis. Untuk membangun dan mengembangkan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser sebagai sumber pembiayaan diperoleh dari beberapa sumber diantaranya dari APBN, Anggaran Rutin, Bantuan World Bank dan Provisi Suberdaya Hutan (PSDH). Setiap tahun besarnya biaya yang dialokasikan mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu rata-rata 84 persen. Pembiayaan ini bersumber dari APBN, total biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 3.589.816.485. Sedangkan dana bantuan luar negeri yaitu dari World Bank selama

137 10 tahun rata-rata mengalami kenaikan yang sangat besar dengan jumlah bantuan sebesar Rp. 1.276.362.093. Bantuan dana PSDH secara keseluruhan menunjukan kenaikan rata-rata 65,175 persen dengan nilai bantuan Rp. 427.118.000. Dengan kenaikan bantuan dana yang dikeluarkan oleh sumber-sumber tersebut berarti TNGL memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi, penilaian ini dilihat dari tujuan besarnya manfaat yang akan dihasilkan oleh TNGL secara keseluruhan. Untuk menjaga kawasan TNGL dari ancaman pengrusakan yang dilakukan oleh penduduk maupun pemegang HPH maka pengembangan kawasan ini memerlukan pengamanan yang intensif. Pengamanan yang dilakukan dengan beberapa cara yaitu pengamanan dengan pembangunan bangunan fisik, pengamanan dengan mempertinggi intensitas operasi dan pengamanan dengan cara menanami dengan pohon-pohon kayu keras (komersial). Keserasian yang alamiah bagi seluruh kekayaan flora maupun fauna di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser membangun suatu ekosistem yang sangat besar manfaatnya bagi kehidupan. Manfaat tersebut secara langsung dan tidak langsung juga berguna bagi kesejahteraan umat manusia. Hal tersebut terlihat dari manfaat cadangan air yang disumbangkan oleh kawasan Taman Nasional Gunung Leuser khususnya bagi penduduk Garuggung yaitu suply air sebanyak sembilan meter kubik per sepuluh menit atau dalam nilai rupiah sebesar Rp. 2.592.000 perhari. Selain itu penduduk sekitar kawasan dapat bertambah kesejahteraannya karena kawasan Taman Nasional Gunung Leuser menjadi salah satu objek wisata yang sudah dikunjungi oleh wisatawan domestik dan wisatawan manca negara. Setiap tahun jumlah pengunjung yang datang ke daerah ini terus meningkat. Manfaat lainnya yang dihasilkan dari kawasan Taman Nasional

138 Gunung Leuser ini adalah produk-produk bukan kayu yang mempunyai arti dan nilai komersil di masa depan karena kelangkaannya. Dengan pembudidayaan produk-produk bukan kayu penduduk mempertinggi kesejahteraan ekonomi sosialnya. Pemeliharaan kawasan penyangga mutlak diperlukan agar lingkungan di sekitarnya dapat diusahakan secara maksimal. Terjadinya gangguan atau pengrusakan di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Leuser akan mengganggu keseimbangan ekosistem alamnya. Terjadinya tanah longsor seperti yang dialami oleh penduduk Pamah Semelir dapat dinilai dampak kerugian yang dirasakan secara kuantitatif. Penilaian ini mempunyai makna bahwa kawasan penyangga TNGL mempunyai nilai perlindungan. Beberapa pendekatan yang dipergunakan dalam menilai dampak kerugian dari rusaknya perlindungan kawasan yaitu Rehabilitation Cost dan pendekatan Value of Lost Production. Kerugian produksi dapat diukur dengan membandingkan antara sebelum terjadi kerusakan kawasan dengan setelah terjadi kerusakan. Sebelum terjadi bencana longsor di Dusun Pamah Semelir mempunyai beberapa sektor yang berproduksi yaitu sawah produktif seluas 40 hektar dengan hasil 160 ton per tahun, huller rice dengan kapasitas giling pertahun sebesar 64 ton, produk dedak padi pertahun sebanyak 5.120 kg, kolam ikan dengan kapasitas produk 800 kg pertahun, generator listrik tenaga air menerangi 40 KK dengan nilai sewa per bulan Rp. 2.000. Dengan rusaknya kawasan TNGL di Dusun Pamah Semelir yaitu terjadinya longsor yang menutup sebagian permukaan sawah produktif dan penurunan kedalaman air (terjadi pendangkalan), akibatnya bagi produksi ialah produksi padi menjadi 136 ton pertahun, kapasitas giling huller rice menjadi 27,2

139 ton, jumlah dedak padi yang dihasilkan pertahun menjadi 2.176 kg, produksi kolam ikan menjadi nol dan kemampuan generator berkurang dari 12 jam menjadi 6 jam. Jika dihitung dengan nilai rupiah maka kerugian produksi sebesar Rp. 8.230.000. Sedangkan kerugian dengan perhitungan rehabilitation cost sebesar Rp. 2.100.000. Sehingga total kerugian menjadi Rp. 10.330.000. Keselamatan kawasan lindung TNGL terutama kawasan penyangga sangat tergantung pada besarnya kesadaran masyarakat terhadap arti penting keberadaan TNGL bagi kehidupan umat manusia. Oleh karena itu diperlukan usaha yang berkesinambungan dari setiap periode kegiatan penyuluhan masyarakat sekitar maupun masyarakat pelajar yang ada pada tiga wilayah yang bersentuhan dengan TNGL. Produk-produk bukan kayu terdapat di kawasan TNGL memiliki nilai ekonomi yang paling tinggi, dan diperkirakan akan berkelanjutan ke masa depan, terutama tanaman-tanaman yang dikelompokkan pada tanaman hias (ornamental) maupun tanaman lain termasuk bambu dan enau. Terhadap jenis-jenis tanaman tersebut diperlukan penyuluhan yang mendalam tentang teknik pembudidayaan. Hal ini sangat penting agar perburuan tanaman hutan dapat dihindari sekaligus akan terjadi diversifikasi usaha di kalangan penduduk. Sedangkan tanaman hutan yang telah dikenal dalam perdagangan lokal seperti bambu, enau dan lain-lain perlu dilakukan peremajaan yang intensif agar mata pencaharian penduduk tidak hilang dan bila perlu diperkenalkan teknik pengelolaan yang lebih modern. Analisis ekonomi manfaat dan biaya adalah dengan mengitung Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR) dan Net Benefit/Cost (Net B/C) yang dilakukan dengan suku bunga (tingkat diskonto) pasar (18 persen) menunjukkan bahwa pengusahaan kawasan penyangga TNGL tidak layak untuk

140 dijalankan. Dengan memberikan subsidi suku bunga sehingga tingkat diskonto turun menjadi 10 persen, hal tersebut menjadi layak untuk dijalankan. Akan tetapi pengusahaan tersebut cukup riskan karena hasil analisis sensitifitas menunjukkan bahwa penurunan nilai manfaat bukan kayu sebesar 20 persen dapat menyebabkan kegiatan tersebut menjadi tidak layak. Kelayakan baru akan terjaga dengan baik (risiko terkelola dengan baik), walaupun terjadi penurunan nilai manfaat bukan kayu 20 persen dan/atau kenaikan biaya operasional 20 persen, apabila subsidi suku bunga diberikan 11 persen (sehingga tingkat diskonto 7 persen). Sejalan dengan hasil analisis manfaat-biaya, matrik analisis kebijakan menunjukkkan bahwa pengelolaan TNGL kurang kompetitif karena keuntungan finansialnya yang negatif. Namun pengelolaan tersebut efisien secara ekonomi, dimana untuk memperoleh tambahan satu rupiah output diperlukan tambahan biaya faktor domestik atau non-tradable lebih kecil dari satu rupiah. Temuan lain menunjukkan adanya kebijakan yang menyebabkan berkurangnya surplus produsen di mana kebijakan pemerintah menyebabkan pengelola mengeluarkan biaya lebih besar dari pada biaya imbangan pengelolaannya (opportunity cost). Hal ini mengindikasikan pentingnya dipastikan bahwa kebijakan pemerintah hendaklah sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat, sehingga pelaksanaannya jangan sampai menimbulkan inefisiensi. Untuk itu, partisipasi masyarakat sangat diperlukan sejak penentuan kegiatan hingga pengelolaan serta pemantauan pelaksanaan kegiatan, sehingga kawasan penyangga TNGL di satu sisi mampu meningkatkan pendapatan masyarakat dan di sisi lain menopang kelestarian TNGL.

141 9.2. Saran Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dilakukan maka saran yang dapat diberikan adalah: 1. Pengembangan kawasan penyangga (buffer zone) sebagai kawasan yang diharapkan dapat berfungsi ganda yaitu fungsi melindungi Taman Nasional Gunung Leuser serta fungsi untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat dilakukan dengan mempertimbangkan kesesuaian potensi secara karakter yang khas dari komoditi-komoditi yang tumbuh di masingmasing wilayah penyangga. 2. Taman Nasional Gunung Leuser Dusun Pamah Semelir masih sangat kaya dengan produk-produk bukan kayu yang asli sebagai tumbuhan hutan primer. Melihat keaslian yang sedemikian rupa dan para wisatawan manca negara mulai mengenal daerah tersebut maka perlu dipertimbangkan agar kawasan ini dijadikan sebagai kawasan hutan wisata baru. 3. Ancaman keasrian seluruh kawasan Taman Nasional Gunung Leuser pada dasarnya tidak saja bersumber dari masyarakat sekitar kawasan lindung tetapi kerusakan tersebut juga disebabkan oleh banyaknya program pembangunan fisik yang terjadi di dalam wilayah TNGL. Program pembangunan tersebut diantaranya pembuatan jalan tembus antara Tanah Karo hingga Desa Garunggung (Langkat), jalan antara Blang Kejeren sampai Banda Aceh dengan adanya pembangunan jalan tersebut telah mengundang berdirinya bangunan rumah oleh penduduk. Oleh karena itulah kiranya perlu dipertimbangkan kembali bangunan yang bersifat fisik di

142 dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Demikian pula usaha pengembangan proyek pabrik semen di Bahorok dapat dihentikan. 4. Selain itu untuk menjaga kesinambungan ekosistem secara alamiah penduduk kawasan penyangga TNGL juga perlu diarahkan pada pengusahaan kawasan yang bertumpu pada penanaman tanaman hutan rakyat. Hal ini berdasarkan pertimbangan tingginya kebutuhan kayu di masa yang akan datang. Dari setiap hektar lahan penyangga yang ditanami tanaman pohon setidak-tidaknya akan menerima hasil 300-400 meter kubik. 5. Untuk menjamin pemeliharaan pohon yang ditanami tersebut kepada penduduk diberikan kejelasan hak pemilikan (penguasaan) lahan yang sesuai dengan siklus timber 35 tahun. Setelah 35 tahun perjanjian pengusahaan lahan dapat ditinjau kembali. Dengan adanya kejelasan dari lembaga pemilikan ini masyarakat secara aktif turut memelihara keasrian kawasan lindung Taman Nasional Gunung Leuser. 6. Mengingat masih seringnya pengambilan kekayaan hasil hutan serta penebangan kayu komersil di kawasan ini maka untuk menjaga pencurian dan penebangan yang merusak kawasan Taman Nasional Gunung Leuser diperlukan ketegasan pelaksanaan peraturan secara tegas. 7. Diperlukan adanya pembenahan dalam sistem pengelolaan TNGL serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam merumuskan berbagai kegiatan hingga pemantauan pelaksanaan kegiatan, sehingga kebijakan-kebijakan yang ditetapkan pengelola menjadi lebih tepat sasaran, kualitas pelayanan dapat ditingkatkan, dan berbagai kemungkinan inefisiensi dapat ditekan. Peningkatan partisipasi masyarakat tersebut pada gilirannya akan

143 meningkatkan manfaat ekonomi yang dapat diperoleh masyarakat dan pemerintah serta perlindungan kelestarian TNGL. 8. Hasil analisis PAM menunjukkan bahwa manfaat privat (private benefits) dari upaya konservasi lebih rendah dari manfaat publik (public benefits). Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian insentif sangat diperlukan, terutama berkaitan dengan upaya-upaya konservasi dalam pengelolaan SDA dan lingkungan yang lebih baik. Sejalan dengan hasil analisis manfaat-biaya, insentif juga hendaknya diberikan dalam bentuk subsidi suku bunga. Pemberian subsidi suku bunga ini disarankan khusus untuk pengembangan usaha masyarakat terhadap komoditas-komoditas bukan kayu yang menopang kelestarian TNGL. 9. Kebijakan Pemerintah (Pusat), yang antara lain menetapkan harga karcis masuk ke TNGL jauh di bawah yang semestinya sebagai akibat gagalnya pengelola dalam memperhitungkan eksternalitas positif, merugikan pengelola serta masyarakat sekitar TNGL. Oleh karena itu, maka perlu dicari alternatif lain untuk meningkatkan pendapatan pengelolaan TNGL guna menjamin bahwa kualitas pengelolaan kelestarian ekosistem sebagai fungsi utama kawasan konservasi dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan. Salah satu alternatif yang dalam dekade terakhir banyak dikembangkan oleh negara-negara di Amerika Latin dan menunjukkan keberhasilan adalah peningkatan partisipasi masyarakat penerima manfaat upaya-upaya konservasi dalam membiayai upaya-upaya tersebut melalui skema pembayaran jasa lingkungan (payment for environmental services - PES).