BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia terletak di garis khatulistiwa dan berada diantara benua Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudera Hindia. Karena letaknya yang berada diantara dua benua dan dua samudra, ia disebut juga sebagai Nusantara (Kepulauan Antara). Indonesia merupakan daerah pertemuan tiga lempeng tektonik besar, yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan lempeng Pasifik. Letak geografis indonesia yang sedemikian rupa menyebabkan indonesia menjadi negara yang rawan terhadap bencana alam. Indonesia menjadi negara yang paling rawan terhadap bencana di dunia berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana (UN-ISDR). Tingginya posisi Indonesia ini dihitung dari jumlah manusia yang terancam risiko kehilangan nyawa bila bencana alam terjadi. Indonesia, menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Sutopo Purwo Nugroho kepada wartawan BBC Indonesia, Yusuf Arifin, menduduki peringkat tertinggi untuk ancaman bahaya tsunami, tanah longsor, dan gunung berapi. Sutopo menambahkan Indonesia juga menduduki peringkat tiga untuk ancaman gempa serta enam untuk banjir. Namun dibandingkan negara-negara lain tsunami memang merupakan ancaman yang paling mengkhawatirkan dengan jumlah penduduk yang terpapar atau memiliki risiko tertinggi terhadap bencana sekitar 5,4 juta orang. 1
(http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2011/08/110810_indonesia_tsun ami.shtml) Bencana tidak dapat dianggap sebelah mata bagi manusia karena bencana merupakan gejala atau fenomena alam yang tidak bisa diprediksi kapan dan dimana akan terjadi. Bencana senantiasa disertai dengan cerita tragis penderitaan manusia yang tidak ada habisnya. Tidak hanya menyisakan kerusakan alam dan materi tetapi juga kerugian dari berbagai aspek khususnya kehidupan manusia. (Nurjannah, 2011 : 11) Sumatera utara menjadi salah satu wilayah yang terkena bencana alam khususnya bencana erupsi Gunung Sinabung yang masih berstatus awas level empat hingga saat ini. Gunung Sinabung setinggi 2.460 meter dari permukaan laut (mdpl) terletak di kabupaten karo yang sempat istirahat ratusan tahun kembali aktif dan memuntahkan material vulkanik sejak tahun 2010. Gunung sinabung merupakan gunung dengan erupsi terlama di indonesia. Berdasarkan catatan National Geographic Indonesia aktivitas Sinabung menjadi perhatian dari dunia, diberitakan oleh beragam media internasional dan menyebutkan bahwa Sinabung telah bangun setelah tidur ratusan tahun. Sebelumnya sinabung dikategorikan sebagai gunung tipe B tetapi semenjak letusan dahsyat yang terjadi pada tahun 2010 Sinabung akhirnya dikategorikan sebagai gunung tipe A. Mayoritas masyarakat Karo bermukim disekitaran Gunung Sinabung. Akibat erupsi Gunung Sinabung yang berkepanjangan dan berstatus awas hingga saat ini membawa dampak terhadap kondisi fisik, sosial, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan masyarakat. Dampak tersebut seperti hilangnya tempat tinggal, rusaknya sarana-prasarana publik, belum pulihnya sistem pertanian, peternakan 2
dan perkebunan masyarakat, krisis ketersediaan air bersih, terisolirnya beberapa wilayah akibat infrastruktur yang rusak, dan masyarakat Kabupaten Karo yang semula menempati wilayah pada zona merah (radius 3-5 km dari puncak Gunung Sinabung) yaitu warga yang berasal dari beberapa Desa/Dusun di Kecamatan Payung, Tiganderket, Namanteran dan Kecamatan Simpang Empat yang harus mengungsi ke tempat yang lebih aman, baik ke rumah sanak saudara atau ke posko pengungsian yang disediakan pemerintah. Dampak dari erupsi di Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumatra Utara diperkirakan sudah mencapai trilyunan rupiah. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, penghitungan sementara hingga akhir 2014 dari kerugian yang diderita mencapai 1 triliyun lebih.dampak erupsi secara pasti juga sulit dihitung karena erupsi masih berlangsung. Hasil perhitungan sementara dari kerugian dan kerusakan akibat erupsi Gunung Sinabung dari September 2013 tahun lalu hingga akhir 2014 diperkirakan Rp 1,49 trilyun. kerugian dan kerusakan pada sektor ekonomi produktif meliputi pertanian, perkebunan, peternakan, perdagangan, pariwisata, perikanan, UKM, dan industri adalah yang paling besar, yaitu sekitar Rp 896,64 milyar. Kerugian dan kerusakan di sektor permukiman Rp 501 milyar, infrastruktur Rp 23,65 milyar, sosial Rp Rp 53,43 milyar, dan lintas sektor Rp 18,03 milyar. Kerusakan dan kerugian ini belum termasuk dampak akibat lahar hujan. Ada lebih dari 3 juta meter kubik material erupsi yang ada di atas gunung yang dapat meluncur menjadi lahar hujan. (http://news.metrotvnews.com/read/2015/06/14/404518/dampak-erupsi-gunungsinabung-mencapai-rp1-49-trilyun) 3
Erupsi dan semburan lahar serta awan panas yang belum menunjukkan tanda-tanda untuk berakhir hingga kini menyebabkan beberapa desa harus tetap bertahan di posko pengungsian. Adapun desa yang masih mengungsi hingga saat ini yaitu desa Tiga Pancur yang mengungsi di Paroki Gereja Katolik Kabanjahe dengan jumlah 303 KK, desa Sukanalu di Gedung Serbaguna KNPI Kabanjahe dengan jumlah 345 KK, desa Pintu Besi di Gedung GBKP Ndokum Siroga dengan jumlah 79 KK, Desa Sigarang-garang di G. GBKP Simpang VI Kabanjahe dengan jumlah 428 KK, desa Jeraya di Gudang Jeruk Surbakti dengan jumlah 192 KK, Desa Kuta Gugung Dusun Lau Kawar di Jambur Korpri dengan jumlah 266 KK, desa Mardinding di Gudang Konco/Terong Peren dengan jumlah 265 KK, dan desa Kuta tengan di GPDI Ndokum Sirgoga dengan jumlah 160 KK. (Karokab.go.id). Sebanyak 7.214 pengungsi akibat letusan Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, mengalami krisis logistik. Sebulan terakhir, hampir setiap hari mereka hanya makan nasi dan sayur. Hanya sekali dalam seminggu mereka makan sedikit ikan. Penyebabnya, bantuan jatah hidup dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana berhenti sejak Desember 2016. Berdasarkan pantauan Kompas, pengungsi di pos pengungsian Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Simpang Enam, Kabanjahe, hanya makan nasi dan sayur sawi rebus. Saat siang tiba, mereka mendapat jatah nasi dan bihun rebus. Sayur dan bihun itu dimasak tanpa bumbu yang memadai serta hanya diberi garam dan sedikit cabai merah iris. Sejak awal April, pengungsi kekurangan logistik, terutama lauk-pauk, minyak goreng, dan bumbu masak. Adapun beras dan sayur masih memadai. Mereka hanya mendapat jatah ikan satu kali dalam sepekan 4
sebanyak 40 kilogram. Malah terkadang lebih dari sepekan mereka tidak mendapat lauk-pauk. Padahal, sebelumnya mereka dapat jatah ikan 5 x 140 kilogram dalam sepekan. Akhirnya, mereka lebih sering memasak sayur dengan direbus seadanya, tanpa minyak goreng untuk menumis bumbunya. Hal serupa terjadi di pos pengungsian lain. Hingga kini, tercatat 7.214 pengungsi yang tinggal di delapan pos pengungsian. Sudah hampir empat tahun mereka mengungsi. Mereka berasal dari delapan desa yang berada di zona merah Gunung Sinabung yang masih berstatus Awas. Kepala Bidang Logistik dan Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Karo Natanael Peranginangin mengakui, pengungsi kekurangan logistik dalam sebulan terakhir. Penyebabnya, bantuan jatah hidup dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana berhenti sejak Desember 2016. ( https://kompas.id/baca/nusantara/2017/05/05/pengungsisinabung-krisis-logistik/) Desa Mardingding adalah salah satu desa di Kabupaten Karo yang berjarak kurang lebih 3 km dari Gunung Sinabung dan juga merasakan dampak erupsi Gunung Sinabung. Berdasarkan keterangan Sekretaris desa Mardingding, awal erupsi Gunung Sinabung pada tahun 2010 mengharuskan masyarakat desa Mardinding mengungsi ke Kabanjahe selama satu bulan, kemudian pada saat itu kondisi Sinabung dianggap sudah aman dan warga dipulangkan kembali ke desa Mardingding. Pada September 2013 sinabung kembali meletus, masyarakat desa Mardingding diungsikan ke kecamatan Tiganderket selama 3 minggu, kemudian dipindahkan ke kecamatan Tiga Binanga selama delapan bulan dan dipulangkan kembali ke desa Mardingding selama satu tahun, masyarakat kembali beraktifitas dan hidup seperti biasanya. Karena guguran awan panas dan abu vulkanik dengan 5
kecepatan tinggi ke lereng gunung Sinabung maka masyarakat desa Mardingding kembali mengungsi ke desa Tanjung Mbelang selama tiga minggu. Kemudian dipindahkan ke Gudang Konco atau sering disebut Posko Pengungsian Terong Peren mulai juli 2015 hingga saat ini. Hidup di pengungsian memberikan beragam cerita duka dan kegelisahan bagi setiap pengungsi. Kehidupan sangat timbal balik dengan yang selama ini dijalani. Mereka harus merelakan kehilangan tempat tinggal, barang berharga, dan kehilangan matapencaharian. Hidup dipengungsian bukan hal yang mudah karena tidur dengan kondisi tenda-tenda yang bocor dan tidak layak huni, makan apa ada nya, dan hidup tanpa kepastian dengan harapan masih bisa kembali pulang ke desa Mardingding. Mayoritas mata pencaharian masyarakat desa Mardingding yaitu sebagai petani. Akibat debu vulkanik Sinabung menutupi lahan pertanian warga maka lahan menjadi rusak dan tidak bisa ditanami selain itu desa ini tidak dapat lagi ditempati oleh warga. Disisi lain, kebutuhan akan pendidikan, pangan bahkan kebutuhan sandang masyarakat harus tetap dipenuhi. Berdasarkan hal-hal yang sudah diuraikan pada latar belakang diatas, penulis sebagai peneliti tertarik untuk meneliti lebih dalam bagaimana bentuk strategi pengungsi dalam mempertahankan hidupnya yang kemudian dituangkan pada penelitian dengan judul: Strategi Bertahan Hidup Masyarakat Desa Mardingding Korban Erupsi Gunung Sinabung Di Posko Pengungsian Terong Peren Kecamatan Tiganderket Kabupaten Karo. 6
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penulis merumuskan masalah penelitian sebagai berikut : bagaimana strategi bertahan hidup Masyarakat Desa Mardingding korban erupsi Gunung Sinabung di Posko Pengungsian Terong Peren Kecamatan Tiganderket Kabupaten Karo 1.3 Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian adalah untuk mengetahui gambaran strategi bertahan hidup Masyarakat Desa Mardingding korban erupsi Gunung Sinabung di Posko Pengungsian Terong Peren Kecamatan Tiganderket Kabupaten Karo 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi yakni : 1. Secara akademis dapat memberikan kontribusi keilmuan dalam menambah referensi dan kajian serta studi komparatif bagi peneliti atau mahasiswa yang tertarik terhadap penelitian yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat korban erupsi. 2. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan, memberikan informasi, pengalaman, serta pemahaman mengenai strategi bertahan hidup pengungsi. 3. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat digunakan menjadi bahan masukan dalam pengembangan teori-teori, konsep-konsep, dan menjadi sumbangan pemikiran mengenai strategi bertahan hidup bagi pihak-pihak terkait. 7
1.5 Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini disajikan dalam 6 bab yaitu sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisikan uraian konsep yang berkaitan dengan masalah dan objek yang diteliti, kerangka pemikiran, defenisi konsep dan defenisi operasional. BAB III : METODE PENELITIAN Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data, serta teknik analisis data. BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini berisikan secara singkat gambaran umum lokasi penelitian dan data-data lain yang mendukung penelitian ini. BAB V : ANALISIS DATA Berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian beserta dengan analisisnya. BAB VI : PENUTUP Berisikan tentang kesimpulan dan saran dari hasil penelitian sehubungan dengan penelitian yang dilakukan. 8