1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan dunia karena merupakan salah satu penyebab mortalitas dan morbiditas dengan menginfeksi sekitar 8 miliar jiwa, rata-rata jumlah kematian berkisar 1 juta jiwa setiap tahunnya (WHO. 2009). Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban TB tertinggi di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan dan Nigeria (WHO, 2009). Menurut estimasi, pasien TB di Indonesia sekitar 5,8% dari total jumlah pasien TB di dunia, diperkirakan setiap tahun terdapat 429.730 kasus baru dan kematian 62.246 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 102 per 100.000 penduduk (KEMENKES RI, 2011). Data dan infomasi kesehatan Provinsi Jawa Barat tahun 2013 menyebutkan bahwa Jawa Barat mempunyai jumlah penderita penyakit TB terbesar dibandingkan provinsi lain di Indonesia. Data terkait dengan banyaknya penderita TB tersebut sesuai dengan jumlah pendudukakan provinsi Jawa Barat yang terbanyak se-indonesia dengan kepadatan penduduk tertinggi berada di Kota Bandung yaitu 15.086 jiwa/km 2 (Infokes Jabar, 2013). Kasus TB di Kota Bandung menurut data Profil Kesehatan Jawa Barat tahun 2012 menunjukkan jumlah kasus baru TB paru sebesar 5.862 (93,43%) dan kasus lama sebesar 412 (6,57%). Prevalensi TB paru Kota Bandung 254 per 100.000 penduduk dengan jumlah kematian 21 orang, tertinggi ke dua di Jawa Barat setelah Kabupaten 1
2 Cianjur. Data P2TB Dinkes Kota Bandung tahun 2014 tentang capaian indikator program TB tahun 2014 ditampilkan dalam tabel berikut : Tabel 1. Capaian Indikator Program TB Kota Bandung 2014 Indikator Target Pemerintah Kota Bandung Proporsi pasien TB paru BTA (+) diantara 5-15 % 9,91 % suspek yang diperiksa dahaknya Proporsi pasien TB paru BTA (+) diantara > 65 % 29,69 % seluruh pasien TB Paru Angka Konversi 80 % 63,21 % Angka Kesembuhan 85 % 62,98 % Angka Keberhasilan Pengobatan 74,74 % Angka Default (Tidak lebih dari 10%) < 10 % 11,17 % Sumber : Profil Dinkes Kota Bandung 2014 Tabel capaian program tersebut menunjukkan bahwa belum semua indikator program TB di Kota Bandung tahun 2014 tercapai. Hal ini menggambarkan bahwa kasus TB di kota Bandung masih menjadi masalah masalah kesehatan yang perlu diperhatikan. Dampak dari suatu penyakit terutama penyakit kronis seperti tuberkulosis tidak hanya terjadi pada kondisi kesehatan fisik saja, tetapi juga berdampak pada psikologi, ekonomi, dan hubungan sosial penderitanya. Selama ini penanganan dan penilaian kesembuhan pasien tuberkulosis hanya terfokus pada hasil pemeriksaan laboratorium dan kondisi kesehatan fisik saja, aspek lain yang juga terpengaruh sering kali terabaikan (Aggarwal, 2010). Program Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) yang diperkenalkan sejak tahun 1997 juga hanya menggunakan hasil pemeriksan dahak yang negatif dan kenaikan berat badan penderita tuberkulosis sebagai indikator prognosis keberhasilan terapi, sehingga akan lebih baik apabila outcome keberhasilan terapi tuberkulosis berdasarkan
3 penilaian yang komprehensif, yaitu dengan menambahkan penilaian aspek-aspek yang terpengaruh akibat tuberkulosis (Dhuria, et al., 2008). Penelitian tentang kualitas hidup semakin berkembang terutama pada pasien dengan penyakit kronis karena dapat digambarkan akan banyak dampak akibat penyakitnya terhadap kualitas hidup pasien tersebut (Aggarwal, 2010). Sebuah studi litertur mengenai pengukuran kualitas hidup yang dilakukan oleh Guo, et al. (2009) memperoleh hasil bahwa tuberkulosis secara substansial mempengaruhi kualitas hidup penderitanya, terapi anti tuberkulosis mempunyai efek positif yang pertama, diikuti keadaan fisiknya kemudian keadaan mental penderita tuberkulosis. Hasil lain yang diperoleh adalah setelah penderita tuberkulosis selesai menjalani pengobatan dan secara mikrobiologi dinyatakan sembuh, ternyata kualitas hidup penderita tuberkulosis secara signifikan lebih buruk dibandingkan populasi sehat. Hal ini sejalan dengan hasil penelitia Rajeswari (2004) di India menyebutkan bahwa penderita TB paru yang dinyatakan sembuh secara mikrobiologi hanya 54% yang mempunyai happy mental status pada akhir terapi. Meskipun terjadi perbaikan yang bermakna dari status kesehatan penderita TB paru (kurang dari 7% menyatakan saat awal terapi menjadi lebih dari 78% di akhir terapi) tetapi tidak ada perubahan dari status sosial (stigma) bila dibandingkan antara awal dan akhir terapi. Penelitian yang dilakukan di negara lain menunjukkan adanya perubahan kualitas hidup penderita penyakit tuberkulosis, serta besarnya pengaruh kualitas hidup dalam keberhasilan terapi TB. Penelitin lain yang dilakukan di Indonesia oleh Ratnasari (2004) yang meneliti dampak dukungan sosial terhadap kualitas
4 hidup penderita TB paru di BP4 Minggiran memperoleh hasil yang berkebalikan dengan penelitian di luar negeri, penelitian tersebut menyebutkan bahwa dari semua responden 68% penderita TB paru tergolong dalam penderita dengan kualitas hidup baik, 30% dengan kualitas hidup sedang dan 2% dengan kualitas hidup buruk. Penelitian tersebut menggunakan kuesioner dari Spitzer dan menilai 5 aspek, yaitu aktivitas, kehidupan sehari-hari, kesehatan, dukungan sosial serta harapan. B. Perumusan Masalah Masih tingginya kasus TB dunia bahkan Indonesia menduduki urutan ke 5 tertinggi menggambarkan bahwa diperlukan perhatian khusus dalam penanganannya. Kota Bandung merupakan salah satu wilayah dengan kasus TB masih tinggi terbukti dengan belum terpenuhinya capaian indikator program TB dari pemerintah dan angka kematian akibat TB tertinggi ke 2 se Jawa Barat setelah Cianjur. Seorang pasien TB memiliki beban fisik dan psikis akibat sakitnya serta beban efek samping dari obat anti tuberkulosis yang harus dikonsumsi dalam jumlah banyak dan lama dapat mempengaruhi kualitas hidup. Penelitian sebelumnya di India tentang kualitas hidup penderita TB oleh Rajeswari (2004) memperoleh hasil bahwa seseorang yang dinyatakan sembuh secara mikroskopis hanya 54% yang mempunyai happy mental status. Penelitian tentang kualitas hidup penderita TB belum banyak, terutama di Indonesia, belum banyak dilakukan. Hal tersebut mendorong penulis untuk meneliti kualitas hidup penderita TB di Indonesia, khususnya di Kota Bandung. Alat ukur yang dipilih untuk mengukur kualitas hidup adalah kuesioner Short Form-36 (SF-36) sebagai
5 alat ukur baku dengan menilai 8 aspek yang menggambarkan kualitas hidup. Pengukuran dilakukan 2 kali, yaitu pada saat pasien mulai mendapat terapi dan setelah 2 bulan pasien menjalani terapi fase intensif, dengan asumsi beban fisik dan psikis terkait TB serta efek samping obat anti tuberkulosis yang dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita TB mulai berkurang setelah pasien menyelesaikan terapi fase intensif 2 bulan. Uraian pembahasan permasalahan TB dan kualitas hidup penderitanya tersebut memunculkan pertanyaan penelitian : Bagaimanakah kualitas hidup penderita tuberkulosis (TB) paru yang menjalani pengobatan fase intensif di Kota Bandung? C. Tujuan Penelitian Mengetahui adanya perubahan kualitas hidup penderita TB paru yang menjalani pengobatan fase intensif di Kota Bandung. D. Keaslian penelitian Beberapa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dan memiliki kesamaan dengan penelitian yang akan dilakukan antara lain adalah : 1. Ratnasari pada tahun 2004 melakukan penelitian di BP4 Minggiran Yogyakarta tentang dampak dukungan sosial terhadap kualitas hidup penderita TB paru di BP4 Minggiran, metode penelitian yang digunakan adalah cross sectional, sampel penelitian adalah penderita TB paru BTA (+) yang telah melewati pengobatan fase intensif (2 bulan), alat ukur penilaian kualitas hidup menggunakan kuesioner Spitzer.
6 Perbedaan penelitian yang dilakukan dengan penelitian Ratnasari tersebut adalah lokasi, penelitian di lakukan di di Kota Bandung sedangkan penelitian Ratnasari di kota Yogyakarta. Metode penelitian dalam penelitian ini quasi experimental before and after sedangan Ratnasari menggunakan cross sectional. Subjek penelitian adalah penderita TB paru (baik BTA (+) atau (-)) kategori 1, sedangkan subjek penelitian Ratnasari adalah penerita TB paru BTA (+) yang telah melewati pengobatan fase intensif (2 bulan). Alat ukur penilaian kualitas hidup pada penelitian ini menggunakan kuesioner short form 36 (SF - 36), sedangkan pada penelitian Ratnasari menggunakan kuesioner Spitzer. 2. Rajaswari et al. pada tahun 2004 melakukan penelitian di India mengenai persepsi penderita TB terhadap kondisi fisik, mental dan lingkungan sosial, metode penelitian yang digunakan adalah quasi experimental before and after, subjek penelitian adalah penderita TB paru yang diukur persepsinya pada awal terapi dan akhir terapi menggunakan kuesioner SF-36. Metode, subjek penelitian dalam penelitian dan kuesioner yang digunakan pada ini sama dengan yang dilakukan oleh Rajeswari, yang membedakan adalah lokasi penelitian dan banyaknya pengulangan peengukuran. Penelitian dilakukan di Kota Bandung sedangkan Rajeswari di India. Penelitian ini mengukur kualitas hidup di awal terapi dan setelah terapi 2 bulan, sedangkan Rajeswari melakukan 3 kali pengukuran yaitu awal terap, setelah terapi 2 bulan dan 6 bulan.
7 3. Unalan et al. pada tahun 2006 melakukan penelitian di India tentang : perbedaan kualitas hidup penderita tuberkulosis aktif dan inaktif. Metode penelitian yang digunakan adalah case control study membandingkan antara kelompok penderita TB aktif, penderita TB inaktif dan kontrol sehat dengan menggunakan kuesioner SF-36 sebagai alat ukur kualitas hidup dan kuesioner BDI sebagai alat ukur tingkat depresi. Perbedan penelitian yang dilakukan dengan penelitian Unalan adalah metode penelitian dan alat ukur penelitian. Penelitian yang dilakukan menggunakan metode quasi experimental before and after, sedangkan Unalan menggunakan metode case control study sehingga subjek penelitian yang dilakukan berbeda. Penelitian ini menggunakan subjek penelitian penderita TB paru kategori 1, sedangkan Unalan menggunakan 2 kelompok subjek penelitian yaitu penderita TB paru aktif dan TB paru inaktif. Alat ukur dalam penelitian ini hanya kuesioner SF-36 sedangkan Unalan menggunakan kuesioner SF-36 dan BDI E. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat : 1. Bagi Institusi pendidikan Menganalisis kajian dalam ilmu penyakit tropis, khususnya manajemen penyakit tuberkulosis dalam hal peningkatan kualitas hidup sebagai pendukung keberhasilan terapi TB paru.
8 2. Bagi Institusi kesehatan Memberikan masukan bagi penentu kebijakan pengelolaan TB di Indonesia pada umumnya, dan Kota Bandung pada khususnya dalam menunjang keberhasilan pemberantasan penyakit TB di Indonesia. 3. Bagi peneliti Memberikan tambahan ilmu pengetahuan serta mampu mengaplikasikan teori yang telah diperoleh dalam penatalaksanaan kasus TB secara tepat.