BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Periode post partum merupakan masa lahirnya plasenta, selaput janin, dan kembalinya organ reproduksi wanita pada kondisi tidak hamil. Wanita yang hamil akan mengalami perubahan dalam tubuhnya yaitu otot uterus yang disebut hipertropi dan hyperplasia. Ketika hamil, uterus seorang perempuan menjadi berkembang atau membesar hingga mampu menampung pertumbuhan dan perkembangan janin sampai cukup bulan dengan berat lebih dari 2500 gram. Adapun berat rahim yang semula hanya 30-50 gram menjadi satu kilogram (Verrals, 2003 ). Setelah persalinan, kondisi tubuh ibu secara anatomi juga akan mengalami perubahan yaitu rahim kembali pada ukuran semula. Proses ini biasa disebut dengan involusi dan proses involusi uterus berlangsung secara bertahap sampai empat puluh hari. Ketika involusi berlangsung, pada tempat implantasi plasenta ditemukan banyak pembuluh darah yang terbuka setelah plasenta dilahirkan, sehingga resiko perdarahan post partum sangat besar. Hal ini terjadi jika otototot pada uterus tidak berkontraksi dengan baik untuk menjepit pembuluh darah yang terbuka ( Rustam, 1998 ). Berdasarkan penelitian, diperoleh informasi bahwa angka kematian ibu di Indonesia karena perdarahan post partum mempunyai peringkat yang tinggi salah satu penyebab perdarahannya adalah Atonia Uteri atau tidak adanya kontraksi pada uterus. Hasil penelitian menunjukan bahwa 60% kematian ibu 1
akibat kehamilan terjadi setelah persalinan, dan 50% kematian nifas terjadi dalam 24 jam pertama ( Bobak,2004 ). Kondisi lain yang terkait dengan proses persalinan adalah kondisi bayi. Bayi yang baru lahir juga mengalami masa kritis dalam kehidupannya. Masa ini disebut neonatus. Hasil penelitian menunjukan bahwa 2/3 kematian bayi terjadi dalam empat minggu setelah persalinan, dan 60% kematian Bayi Baru Lahir terjadi dalam waktu tujuh hari setelah lahir ( Ambarwati dan Wulandari, 2008 ). Gambaran kondisi dan resiko diatas terjadi jika proses kehamilan hingga persalinan tidak ditangani secara sistematis dan teratur, jika seorang ibu, setelah melahirkan memberikan ASI pertama dengan baik dan memadai, maka kejadian perdarahan bisa dikurangi dan resiko kematian dapat diperkecil ( Rosita, 2008 ). Post partum normal, sebenarnya mengikuti pola tradisional yang dikemas secara modern melalui mobilisasi dini, rooming in, dan pemberian ASI. Penelitian pola ini terbukti mempunyai keuntungan bagi ibu maupun bayi. Perubahan secara fisiologis pada ibu dapat dilihat dari laktasi. Anjuran pemberian ASI dini pada bayi secara fisiologis akan memberikan rangsangan ke pars post hipofise yang akan melepaskan hormon oksitoksin ke dalam darah. Oksitoksin ini memacu selsel mioepitel yang mengelilingi alveoli dan duktuli payudara akan berkontraksi, sehingga memeras air susu dari alveoli, duktuli dari sinus menuju papila mamae,begitu juga efek hormon oksitoksin secara bersamaan memacu sel-sel miometrium pada uterus sehingga terjadi kontraksi uterus dan reflek aliran ini disebut let down reflect (Varney, Kriebs, & Gegor, 2002 ). 2
Departemen Kesehatan Republik Indonesia telah menerbitkan SK Menkes RI no 450 /MENKES/2004 tentang pemberian Air Susu Ibu secara eksklusif pada bayi Indonesia. Badan ( lembaga tersebut ) mencanangkan program peningkatan ASI. ASI mempunyai dampak yang luas terhadap status kesehatan bagi ibu dan pertumbuhan bayi.hal ini dapat dilihat berdasarkan status gizi bayi. Pemberian ASI oleh ibu-ibu di Indonesia belum dilaksanakan sepenuhnya. Upaya meningkatkan perilaku menyusui pada ibu yang memiliki bayi khususnya menyusui dini masih dirasa kurang. Dari hasil penelitian diketahui bahwa 900 ibu di sekitar jabotabek ( 1995 ) diperoleh data bahwa yang dapat memberi ASI eksklusif selama 4 bulan sekitar 5%, padahal 98% ibu menyusui. 37,9% ibu tidak pernah mendapatkan informasi khusus tentang ASI, 70,4% ibu tidak pernah mendengar informasi tentang ASI eksklusif. Protokol evidence based yang baru, telah diperbarui oleh WHO dan UNICEF tentang asuhan bayi baru lahir untuk satu jam pertama menyatakan bahwa bayi harus mendapat kontak kulit ke kulit dengan ibunya segera setelah lahir selama paling sedikit satu jam, bayi dibiarkan untuk melakukan inisiasi menyusu dini. Fenomena tersebut diperjelas oleh tema pekan ASI 2007 bahwa menyusui pada 1 jam pertama menyelamatkan lebih dari 1 juta bayi. Penelitian yang dilakukan WHO yang bekerja sama dengan Departemen Kesehatan RI pada tahun 2001 membuktikan bahwa bayi yang diberi susu selain ASI mempunyai resiko tujuh belas kali lebih besar mengalami diare dan 3-4 kali lebih besar terkena ISPA dibanding bayi yang mendapatkan ASI secara memadai. 3
Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di ruang Bougenville Rumah Sakit Bakti Wira Tamtama diperoleh informasi rata-rata pasien satu bulan 20-30 ibu post partum dengan latar belakang persalinan baik secara spontan, vaccum ekstraksi, maupun operasi sectio caesaria dan didukung dengan lingkungan rooming in / rawat gabung khususnya pada pasien partus spontan sehinggan ibu dapat menyusui bayinya dengan didampingi atau tidak didampingi PASI. Bukti lain menunjukan, saat pasien dua jam post partum dipindahkan ke ruang perawatan Bougenville karena pasien primipara masih ketakutan untuk melakukan mobilisasi dini dan menyusui dini, sehingga pasien mengalami perdarahan post partum kurang lebih 500 cc. Pada pasien tersebut ditemukan kontraksi uterus yang lembek karena tidak ada rangsangan dari luar. Setelah dilihat oleh bidan setempat ternyata tidak ada sisa plasenta yang tertinggal. Oleh karena itu ibu dianjurkan untuk segera menyusui bayinya dengan dibantu perawat diharapkan efek bayi mengisap puting susu akan merangsang hormon oksitoksin keluar sehingga merangsang otot uterus untuk berkontraksi dengan baik dan didapatkan secara palpasi uterus ibu menjadi keras serta jumlah lochea rubra tidak berlebihan. Sepanjang informasi yang penulis ketahui, kejadian atau fenomena ini belum pernah ada yang meneliti. Oleh karena itu dengan berdasarkan rasional serta latar belakang diatas penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul Hubungan antara Menyusui Dini dengan Involusi Uteri pada Ibu Post Partum di ruang Bougenville Rumah Sakit Bakti Wira Tamtama. Semarang. 4
B. Rumusan Masalah Berdasarkan paparan pada latar belakang yang telah dipaparkan, maka masalah dalam penelitian ini sebagai berikut adakah hubungan antara menyusui dini dengan involusi uterus pada ibu post partum? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara menyusui dini dengan involusi uteri di ruang Bougenville Rumah Sakit Bakti Wira Tamtama Semarang. 2. Tujuan khusus a) Mendiskripsikan proses menyusui dini ibu post partum di ruang Bougenville Rumah Sakit Bakti Wira Tamtama Semarang. b) Mendiskripsikan kondisi involusi uteri ibu post partum di ruang Bougenville Rumah Sakit Bakti Wira Tamtama Semarang. c) Memperoleh informasi tentang hubungan antara menyusui dini dengan involusi uteri ibu post partum di ruang Bougenville Rumah Sakit Bakti Wira Tamtama Semarang. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi klien a. Membantu mempercepat pemulihan kondisi rahim dari hamil ke kondisi tidak hamil normal. 5
b. Menjaga kesehatan bagi ibu dan anak. 2. Bagi masyarakat Masyarakat menjadi lebih mengenal manfaat menyusui dini dengan pemulihan rahim ibu post partum dan ikut mendukung program tersebut. 3. Institusi Rumah Sakit a. Untuk menurunkan kejadian perdarahan ibu post partum di ruang bersalin akibat proses involusi uteri yang tidak baik. b. Motivasi staf perawatan untuk menggerakkan program inisiasi menyusui dini di ruang bersalin. 4. Bagi peneliti a. Menambah pengalaman baru tentang penelitian bagi peneliti sendiri. b. Diharapkan dapat dijadikan sumber peneliti berikutnya. E. Bidang Ilmu Penelitian. Maternitas. Penelitian ini termasuk dalam bidang ilmu kesehatan keperawatan 6