Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Unggul Kedelai di Lahan Kering Kabupaten Ngawi Jawa Timur E. Fidiyawati 1), L. Fauziah 2), dan Suwono 2) 1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB Jalan Raya Paninjauan Narmada Lombok Barat NTB 2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur Jalan Raya Karangploso KM 4 Malang PO. Box 188. Kode Pos 65101 E-mail: enibptp@gmail.com Abstrak Penanaman kedelai di Jawa Timur diusahakan pada dua tipe agroekologi, yaitu kedelai lahan kering dan kedelai lahan sawah, sekitar 277.000 ha (66%) pertanaman kedelai ditanam di lahan sawah dan sekitar 142.700 ha (34%) di kedelai lahan kering. Usahatani kedelai di Jawa Timur memiliki keunggulan komparatif dibanding daerah lainnya, meskipun demikian produktivitas di lapangan masih berkisar 1,1 1,4 t/ha. Berdasarkan hasil kajian lapangan, penerapan teknologi rekomendasi pada budidaya kedelai di sawah setelah padi dapat mencapai hasil berkisar 1,7 t-3,0 t/ha (Disperta Jatim, 2010). Dengan demikian terbuka peluang besar untuk meningkatkan produktivitas di tingkat petani, terutama di lahan kering.pengkajian ini dilaksanakan di lahan kering dengan menggunakan rangcangan acak kelompok diulang 4 kali, ukuran petak 4 m x 5 m, yang dilaksanakan di LMDH Desa Walikukun Kec. Widodaren Kabupaten Ngawi pada MK.1, 2012 dan MH. 2012/2013. Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi data kesuburan tanah, keragaan agronomis, produktivitas. Data yang dikumpulkan dianalisa secara statistik menggunakan ANOVA (Analysis of Variance) sedangkan untuk membandingkan antara rata-rata pengamatan setiap variabel yang diuji menggunakan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) 5%.Burangrang menghasilkan biji kedelai paling tinggi (1,96 t/ha), sekitar 14,5% lebih tinggi dari hasil Wilis baik pada musim kemarau maupun musim hujan. Varietas Baluran, Wilis dan Anjasmoro mempunyai hasil yang setara, yakni 1,72-1,77 t/ha. Kata kunci : Kedelai, lahan kering, varietas unggul Pendahuluan Kebutuhan kedelai nasional sebagian masih harus dipenuhi dari impor karena produksi dalam negeri belum mampu memenuhi permintaan yang terus meningkat. Kebutuhan kedelai nasional hanya mampu terpenuhi oleh produksi dalam negeri sebesar 40%, sedangkan sisanya masih mengandalkan dari impor (Disperta Jatim, 2012). Penanaman kedelai di Jawa Timur diusahakan pada dua tipe agroekologi, yaitu kedelai lahan kering dan kedelai lahan sawah,sekitar 277.000 ha (66%) pertanaman kedelai ditanam di lahan sawah dan sekitar 142.700 ha (34%) di kedelai lahan kering (BPS, 2011). Usahatani kedelai di Jawa Timur memiliki keunggulan komparatif dibanding daerah lainnya, meskipun demikian produktivitas di lapangan masih berkisar 1,1 1,4 t/ha. Berdasarkan hasil kajian lapangan, penerapan teknologi rekomendasi pada budidaya kedelai di sawah setelah padi dapat mencapai hasil berkisar 1,7 t-3,0 t/ha (Disperta Jatim, 2010). Dengan demikian terbuka peluang besar untuk meningkatkan produktivitas di tingkat petani, terutama di lahan kering. Luas areal panen kedelai di Jawa Timur selama kurun waktu 10 tahun sangat fluktuatif dan cenderung mengalami penurunan yang signifikan. Hal tersebut dikarenakan kedelai bukan komoditas pertanian favorit bagi petani dikarenakan harga jual serta produktivitas tanaman yang rendah. Kurva produksi kedelai di Jawa timur cenderung mengikuti kurva luas areal tanam, sehingga jika luas areal tanam meningkat maka produksi kedelai juga akan meningkat. Sehingga Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian 695
dapat disimpulkan bahwa, produkstivitas kedelai di Jawa Timur cenderung stagnan. Solusi yang dapat digunakan untuk meningkatkan produksi kedelai di Jawa Timur salah satunya dengan meningkatkan produktivitas kedelai di lapangan, dengan menggunakan varietas unggul baru (VUB), yang terjadi selama ini adanya perbedaan hasil yang tinggi antara hasil riil di lapangan dengan uji coba (pengkajian) dan potensi produksi (genetik) dari VUB tersebut. Akan tetapi cara tersebut terkendala dengan belum semua VUB yang dilepas dapat diadopsi oleh petani atau pengguna dan ketersediaan benih sumber (jumlah, mutu, varietas, da n waktu) belum terpenuhi. sehingga kebutuhan benih kedelai bermutu di Jawa Timur sekitar 34.000 t/tahun masih sulit dipenuhi. Salah satu faktor penentu keberhasilan usaha tani kedelai adalah penyediaan benih bermutu dari varietas unggul yang sesuai dengan kondisi serta kebutuhan petani setempat (Heriyanto et al, 2005). Pertanaman kedelai lahan kering mempunyai peran sangat penting, kaitannya dengan jabalsim sebagai penyedia benih yang bermutu, sumber benih untuk lahan sawah MK-1 berasal dari pertanaman kedelai lahan kering musim hujan. Hingga saat ini Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan varietas kedelai dengan berbagai macam ukuran biji, warna, potensi hasil maupun tingkat ketahanan terhadap OPT maupun cekaman lingkungan ( Deptan, 2008). Akan tetapi hingga saat ini jumlah varietas yang ditanam petani di lahan kering masih sangat terbatas. Badan Litbang pertanian telah menghasilkan beberapa varietas kedelai dengan berbagai keunggulan yang mampu menghasilkan 2,0 3,0 t/ha, tetapi varietas kedelai yang ditanam petani saat ini masih terbatas, baik mutu maupun jenisnya. Pertanaman kedelai lahan kering mempunyai peran sangat penting, kaitannya dengan jabalsim sebagai sumber benih untuk lahan sawah MK-1 maupun MK-2. Di beberapa lokasi pertanaman kedelai lahan kering, masih dimungkinkan untuk meningkatkan intensitas pertanaman kedelai menjadi 2 kali/tahun, yakni pada musim kemarau I dan musim hujan. Pengkajian ini bertujuan untuk mendapatkan kesesuaian varietas pada sentra produksi kedelai lahan kering untuk mencapai hasil >1,80 t/ha. Keluaran yang diharapkan adalah kesesuaian varietas pada sentra produksi kedelai lahan kering dengan hasil >1,80 t/ha. Metodologi Pengkajian ini dilaksanakan di lahan kering dengan menggunakan rangcangan acak kelompok diulang 4 kali, ukuran petak 4 m x 5 m, yang dilaksanakan di LMDH Desa Walikukun Kec. Widodaren Kabupaten Ngawi yang merupakan salah satu daerah sentra kedelai di Jawa Timur, pada MK.1, 2012 dan MH. 2012/2013. Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi data kesuburan tanah, keragaan agronomis, produktivitas. Data yang dikumpulkan dianalisa secara statistik menggunakan ANOVA ( Analysis of Variance) sedangkan untuk membandingkan antara rata-rata pengamatan setiap variabel yang diuji menggunakan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) 5%. Varietas yang dicoba mempunyai potensi untuk menghasilkan kedelai >2,0 t/ha dengan kualitas biji sesuai permintaan pasar, yaitu: a. Grobogan : ukuran biji besar, umur panen 80-82 hari, toleran penyakit karat ( Phakopsora pachyrhizi), hasil 2 ton/ha, bobot 100 biji 18 gram. b. Burangrang : Berbiji besar, toleran penyakit karat ( Phakopsora pachyrhizi), hasil 2,3 ton/ha, umur 85 hari, bobot 100 biji 16 gr. 696 Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian
c. Wilis: Toleran Ulat Grayak (Spodoptera litura), hasil 2,5 ton/ha, umur 83 hari, bobot 100 biji 10,7 gram, Ukuran biji sedang. d. Baluran : Toleran karat daun, hasil >2,5 ton/ha, umur 80 hari, bobot 100 biji 12,0 gram, Ukuran biji sedang e. Argomulyo : ukuran biji besar, umur panen 80-82 hari, toleran penyakit karat ( Phakopsora pachyrhizi), hasil 2 ton/ha, bobot 100 biji 16 gram. Hasil dan Pembahasan Bentuk wilayah lahan kering di Kabupaten Ngawi beragam, dari mulai datar hingga bergelombang. Lahankering sebagian besar berada di kawasan hutan (PT Perhutani), oleh sebab itu pelaksanaan kegiatan dilakukan dengan bekerja sama dengan LMDH, yaitu LMDH Walikukun Kec. Widodaren. Tabel 1. Hasilanalisistanahuntukpengkajian kedelai di Ngawi (2012) Macamanalisis Nilaidanharkat ph H 2 O 6,7 ph KCl 5,5 C-Organik (%) 1,62 (R) Bahanorganik (%) 2,78 (R) N-Total (%) 0,15 (R) P-Olsen (ppm) 14,3 (S) KTK (me/100 g) 44,34 (T) K-tersedia (me/100 g) 0,42 (Sd) Ca (me/100 g) 22,4 (T) Mg (me/100 g) 3,15 (S) Na (me/100 g) 0,62 (S) Keterangan: R = Rendah; Sd = Sedang; T = Tinggi; ST = Sangat Tinggi Lokasi pengkajian mempunyai jenis tanah Vertisol atau Grumusol, yaitu tanah hitam yang mempunyai kandungan mineral liat monmorilonit/vermiculit yang mempunyai ciri khas permukaan tanah dapat mengembang pada musim hujan dan mengkerut pada musim kemarau, faktor pembatas utama kesuburan tanah di lokasi ini adalah faktor ketersediaan air. Wilayah lahan kering di Ngawi mempunyai status P sedang, keragaan hara P pada tanah vertisol biasanya padalahan kering adalah rendah, karena P difiksasi oleh mineral liat monmorilonit dan oleh kapur (Ca) yang cukup tinggi. Di lokasi pengkajian kandungan P sedang, hal ini disebabkan lahan untuk pengkajian berupa lahan hutan yang mengandung bahan organik yang cukup. Ketersediaan P dalam tanah berada pada rentang ph yang sempit, pada suasana asam (ph < 6) sebagian besar ion P terikat oleh ion Al, sedang pada suasana alkalin (ph > 6,5) sebagian besar ion P membentuk senyawa dengan Ca dan Mg ( Suyamto dkk, 1991). Disamping itu ion P dapat berikatan dengan mineral liat membentuk liat-fosfat. Fosfat yang terikat tersebut merupakan cadangan fosfat dalam tanah dengan tingkat kelarutan yang berbeda, dari yang mudah larut, sukar larut hingga tidak larut dalam tanah.tingginya status hara P dan K dalam tanah merupakan modal penting dalam usaha peningkatan produksi kedelai dan berpengaruh terhadap tingkat produktivitas yang dihasilkan. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian 697
Umumnya petani jarang memupuk kedelai secara lengkap, namun demikian produktivitas yang dihasilkan cukup tinggi. Oleh karena itu praktek pemupukan harus mempertimbangkan status hara dalam tanah dan tingkat hasil yang akan dicapai (Manshuri, 2010).Berdasarkan hasil analisis tanah sebelum pengkajian (Tabel 1), menunjukkan bahwa kandungan N-total tanah untuk percobaan adalah rendah (0,15%), hal ini berkaitan dengan rendahnya bahan organik dalama tanah (1,62% C- organik), hal ini disebabkan pengusahaan lahan percobaan pada beberapa tahun yang lalu tanpa diberi pupuk kandang. Reaksi tanah mendekati netral (nilai ph -H 2 O 6,7) dengan klas tekstur lempung berliat. Kandungan hara fosfat (P) adalah tinggi, yakni P-tersedia 19,3 ppm dan kandungan K-tersedia adalah sedang (0,42 me/100 g). Nilai kapasitas tukar kation ( KTK) adalah tinggi ( 44,34mg/100 g), kandungan basa-basa dapat ditukar (K, Ca, Mg dan Na) adalah tinggi, KTK merupakan sifat kimia yang sangat berhubungan erat dengan kesuburan tanah, hal ini disebabkan tanah dengan nilai KTK yang tinggi mampu menjerap dan menyanggah unsur hara lebih banyak sehingga ketersediaan hara bagi tanaman juga lebih tercukupi. Lokasi kegiatan berupa hamparan lahan hutan tanaman Mindi yang dikelola oleh PT Perhutani dan dilakukan kerjasama dengan petani setempat melalui LMDH Desa Walikukun. Sebelum ditanami kedelai sebagaian besar lahan dalam keadaan bero tidak diusahakan (Gambar 1), perlu diketahui bahwa lahan PT Perhutani yang dikerjasamakan dengan petani sekitarnya tidak boleh ditanami padi sawah. Keragaan tanaman tegakan berupa kayu Mindirelatif kurang baik, populasinya jarang dan keragaan pertumbuhannya kurang subur. Total hamparan lahan semacam ini di Kukun sekitar 37 ha. Gambar 1. Kondisi lahan kering yang diusahakan untuk pertanaman kedelai Tabel 2. Keragaan pertumbuhan dan hasil beberapa varietas kedelai lahan kering di Ngawi No (MK-1, 2012) Varietas Tinggi tanaman (cm) Umur (hari) Hasil kedelai (t/ha) 1 Baluran 73b 80b 1,51b 2 Anjasmoro 81a 90a 1,47b 3 Grobogan 59c 75c 0,98c 4 Burangrang 70b 80b 1,74a 5 Wilis 72b 80b 1,52b 698 Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian
Dari kegiatan pengenalan VUB kedelai pada Tabel 2, menunjukkan bahwa hasil varietas Grobogan adalah paling rendah (0,98 t/ha), pada awalnya petani menyukai varietas ini karena ukuran bijinya yang besar, namun demikian setelah melihat keragaan tanaman, pendek, umur genjah dan daya tumbuhnya kurang baik petani kurang menyukai. Varietas Baluran, Wilis dan Anjasmoro mempunyai hasil yang setara, yakni 1,47-1,52 t/ha (Tabel 2 ). Varietas Anjasmoro berumur dalam, sehingga kurang disukai oleh petani. Petani memilih varietas Burangrang karena mampu menghasilkan paling tinggi (1,74 t/ha), sekitar 14,5% lebih tinggi da ri hasil Wilis yang biasa ditanam petani. Disamping itu varietas ini tidak terlalu banyak cabangnya tetapi jumlah polong yang dihasilkan cukup banyak, sehingga diharapkan varietas Burangrang ini dapat ditanam agak rapat. Tabel 3. Keragaan pertumbuhan dan hasil beberapa varietas kedelai lahan kering di Ngawi (MH, No 2012/2013) Varietas Tinggi tanaman (cm) Umur (hari) Hasil kedelai (t/ha) 1 Baluran 77b 83c 1,77 a 2 Anjasmoro 84a 95a 1,87 a 3 Grobogan 55c 80c 1,30 b 4 Burangrang 75b 85b 1,96 a 5 Wilis 74b 85b 1,72 a Keragaan hasil uji adaptasi pengenalan VUB kedelai, menunjukkan bahwa hasil varietas Grobogan adalah paling rendah (1,30 t/ha), varietas ini ternyata pertumbuhannya paling pendek baik pada musim kemarau maupun pada musim hujan, sehingga jumlah polongnya rendah, tetapi ukuran bijinya lebih besar dibanding varietas lain yang dicoba. Varietas Baluran, Wilis dan Anjasmoro mempunyai hasil yang setara, yakni 1,72-1,77 t/ha (Tabel 3). Varietas Anjasmoro berumur dalam (95 hari) dan daun muda ters erang virus, sehingga kurang disukai oleh petani. Petani memilih varietas Burangrang karena mampu menghasilkan paling tinggi (1,96 t/ha), sekitar 14,5% lebih tinggi dari hasil Wilis yang biasa ditanam petani. Disamping itu varietas ini tidak terlalu banyak cabangnya tetapi jumlah polong yang dihasilkan cukup banyak, sehingga diharapkan varietas Burangrang ini dapat ditanam agak rapat. Baik pada MK I dan MH, varietas yang memiliki adaptasi paling tinggi untuk produksi adalah Burangrang, sedangkan Grobogan memiliki tingkat adaptasi yang paling rendah. Hal tersebut diduga karena umur tanaman Grobogan paling singkat, sehingga untuk pertumbuhan vegetatif dan generatif tidak optimal, yang berpengaruh terhadap penurunan hasil. Hasil tersebut juga dikarenakan Grobogan merupakan varietas yang spesifik dan akan berproduksi tinggi mendekati potensi genetiknya jika ditanam di daerah Grobogan. Varietas Baluran yang berproduksi tertinggi kedua pada saat MK I dan berproduksi tertinggi ketiga pada MH, mengindikasikan bahwa varietas tersebut spesifik untuk kondisi kering, meskipun di daerah asalnya (wilayah Jember dan Banyuwangi) produksi saat MK dan MH tidak banyak menunjukkan perubahan yang signifikan. Anjasmoro memiliki hasil yang cukup tinggi, terutama pada saat MH, akan tetapi rentan terhadap serangan virus bercak daun serta memiliki umur yang lebih panjang, Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian 699
sehingga kurang disukai petani, karena akan memundurkan jadwal pertanaman selanjutnya, dan berhubungan dengan ketersediaan air yang rendah di lahan kering. Rendahnya produktivitas kedelai pada pada akhir-akhir ini memberikan petunjukusaha tani kedelai kurang diminati oleh petani. Menurut Suyamto et al, (2001) dan Adisarwanto et al, (2007) hal ini disebabkan antara lain disebabkan oleh: a. Usaha tani kedelai dirasakan petani sebagai jenis usaha yang kurang menguntungkan. b. Tingginya keragaman hasil kedelai antar petani/antar blok dan stabilitas hasil yang masih rendah walau sudah menerapkan teknologi baku. c. Tingkat efisiensi, keuntungan usahatani dan daya saing usaha tani kedelai rendah. d. Kedelai masih diposisikan sebagai tanaman sekunder, belum intensif dikarenakan kurang modal (karena tiadanya kredit), penyuluhan kedelai masih terbatas, harga kedelai dirasa kurang layak dan mahalnya harga pestisida (DipertaJatim, 2009) Salah satu faktor penentu keberhasilan usaha tani kedelai adalah penyediaan benih bermutu dari varietas unggul yang sesuai dengan kondisi serta kebutuhan petani setempat. Pertanaman kedelai lahan kering mempunyai peran sangat penting, kaitannya dengan jabalsim sebagai sumber benih untuk lahan sawah MK-1, namun demikian produktivitas kedelai lahan kering masih rendah, yakni sekitar 1,1 t/ha (Roesmiyanto et al, 1999). Dewasa ini telah tersedia varietas kedelai dengan berbagai macam spesifikasi: ukuran biji, warna, potensi hasil maupun tingkat ketahanan terhadap OPT maupun cekaman lingkungan (Puslitbang Tanaman Pangan, 2009), sehingga petani dapat memilih varietas yang sesuai dengan daya dukung lahan dan permintaan pasar. Akan tetapi hingga saat ini jumlah varietas yang ditanam di lahan kering masih sangat terbatas, karena kurangnya informasi. Varietas wilis yang selama ini diusahakan petani memiliki perbedaan hasil yang signifikan dari varietas Burangrang. Kesimpulan Burangrang menghasilkan biji kedelai paling tinggi (1,96 t/ha), sekitar 14,5% lebih tinggi dari hasil Wilis baik pada musim kemarau maupun musim hujan. Varietas Baluran, Wilis dan Anjasmoro mempunyai hasil yang setara, yakni 1,72-1,77 t/ha. Daftar Pustaka Adisarwanto, T., Subandi dan Sudaryono, 2007. Teknologi produksi kedelai. Dalam Sumarno et al. ( eds.). Kedelai Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengambangan Tanaman Pangan. BPS. 2011. Statistik Indonesia 2011. BPS. 620 p. Departemen Pertanian, 2008. Panduan Pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Kedelai. Departemen Pertanian. Jakarta. 39 p. Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur. 2010. Program Peningkatan Produksi dan Produktivitas Tanaman Pangan Tahun 2011 di Jawa Timur. Disampaikan Dalam Rangka Evaluasi Pelaksanaan BLBU 2009 dan Sosialisasi Pelaksanaan BLBU Tahun 2010 di Jawa Timur. Heriyanto, FachrurRozi, RulyKrisdianadanZaenalArifin. 2005. Kondisi Aktual Komoditas kedelai Sebagai Pijakan Pengembangan. Risalah Seminar Puslitbang Tanaman Pangan 2004. Bogor. P:61-78 700 Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian
Manshuri, A. G. 2010. Pemupukan N, P dan K pada Kedelai. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Vol. 29 No. 3. 2010, p:171-179 Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 2009. Deskripsi Varietas Unggul Palawija (1918-2009). Bogor. Roesmiyanto, N. Pangarso, S. Yuniastuti, Suhardjo, S. Roesmarkam, E. Purnomo dan Handoko. 1999. Pengkajian Sistim Usaha Tani Kedelai Varietas Bromo dan Argomulyo di Lahan keringan Jawa Timur. Makalah unggulan Hasil Penelitian Badan Litbang pertanian 1999. Suyamto dan Sumarno. 1991. Effect of rate and time of potassium application on growth and yield of maize planted on a Vertisol. PenelitianPalawija 6 (1 dan 2): 36-43. Suyamto, Roesmiyanto dan F Kasijadi.2001. Rekayasa Paket Teknologi Usahatani Kedelai berwawasan Agribisnis. Makalah disampaikan pada Seminar Tahunan Hasi lpenelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Balitkabi Tahun 2001. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian 701