BAB I PENDAHULUAN. Metafora berperan penting dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Untuk

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Istilah metafora sudah muncul dari hasil interpretasi terhadap Kejadian di

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah alat komunikasi antaranggota masyarakat yang berupa sistem

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. dalam sebuah karya sastra, namun berkaitan dengan hal-hal yang dianggap sangat

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. kejadian, komponen semantis, kategorisasi, dan makna.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. dalam teori semantik, atau dengan perkataan lain, membahas segala aspek makna

BAB I PENDAHULUAN. Verba gerakan, seperti pindah, datang, dan berlari dapat ditemukan pada

BAB I PENDAHULUAN. diterbitkan kurang begitu memperhatikan aspek gramatikal bahkan masih

BAB I PENDAHULUAN. interaksi dan kerjasama dalam kehidupan sehari-hari. Dengan berinteraksi,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. Untuk mencapai suatu tujuan yang diharapkan, diperlukan suatu metode

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dita Marisa, 2013

ERIZA MUTAQIN A

BAB 3 METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif,

BAB 1 PENDAHULUAN. atau persamaan; misal kaki gunung, kaki meja, berdasarkan kias pada kaki manusia (Harimurti, 2008: 152).

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hubungan pengertian antara yang satu dengan yang lain (Rani dkk,

22, Vol. 06 No. 1 Januari Juni 2015 dapat diungkapkan dengan makna sebagai representasi maksud emosional manusia yang tidak terbatas. Penggunaan bahas

2015 METAFORA DALAM TUTURAN KOMENTATOR INDONESIA SUPER LEAGUE MUSIM : KAJIAN SEMANTIK KOGNITIF

BAB 1 PENDAHULUAN. kebahasaan dan keterampilan berbahasa. Pengetahuan kebahasaan meliputi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terbentuknya pembagian bahasa di dunia yang memiliki ciri-ciri yang unik yang

2015 FENOMENA PENGGUNAAN NAMA-NAMA UNIK PADA MAKANAN DI BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. Pada bagian pendahuluan ini berisi latar belakang masalah penelitian,

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan salah satu hasil budaya manusia yang bernilai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan suatu bangsa dan negara hendaknya sejalan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun-tahun pertama kehidupan, mendengar adalah bagian. terpenting dari perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak.

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang bersifat dinamis, arbitrer,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional digunakan oleh sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. untuk berinteraksi antar sesama. Kridalaksana (dalam Chaer, 2003: 32)

BAB I PENDAHULUAN. bahasa oleh berbagai media, baik itu media cetak maupun media non-cetak.

BAB I PENDAHULUAN. satu masalah diantaranya: pertama; pandangan dari objek yang utama, kedua;

1. Kita harus melaporkan kejadian itu besok, tetapi mereka sekarang tidak berada di sini.

BAB I PENDAHULUAN. pendapat dari seorang penutur kepada mitra tutur. mengemukakan pendapat, yang perlu diperhatikan bukan hanya kebahasaan

BAB I PENDAHULUAN. Pada awalnya, metafora muncul sebagai suatu gaya bahasa atau figure of

BAB I PENDAHULUAN. benar. Ini ditujukan agar pembaca dapat memahami dan menyerap isi tulisan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan produk dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan. wacana. Tindak tutur dapat pula disebut tindak ujar.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. penggunaan gaya bahasa kiasan metafora yang disampaikan melalui ungkapanungkapan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dilahirkan di dalam dunia sosial yang harus bergaul dengan

BAB I PENDAHULUAN. dalam melaksanakan keterampilan menulis dan hasil dari produk menulis itu.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN. Pada bagian ini digambarkan bagan alur penelitian dalam bentuk diagram berikut

BAB I PENDAHULUAN. dan mempertentangkan aspek-aspek dua bahasa yang berbeda untuk menemukan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pengertian metode berasal dari kata methodos (Yunani) yang dimaksud adalah

BAB I PENDAHULUAN. dalam (internal) dan unsur luar (eksternal). Unsur internal berkaitan

ANALISIS PENGGUNAAN DIKSI PADA ARTIKEL SURAT KABAR SOLOPOS EDISI APRIL - MEI 2010

BAB I PENDAHULUAN. maupun sebagai komunikan (mitra baca, penyimak, pendengar, atau pembaca).

BAB I PENDAHULUAN. dari peristiwa komunikasi. Di dalam komunikasi manusia memerlukan sarana

BAB I PENDAHULUAN. Variasi bahasa tersebut dapat dilihat dari berbagai segi. Dari segi penutur, variasi

BAB II KAJIAN TEORI. A. Kemampuan Representasi Matematis. solusi dari masalah yang sedang dihadapinya (NCTM, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. tuturanlisan adalah media elektronik, seperti televisi dan radio. Adapun, untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pragmatik memiliki lima bidang kajian salah satunya deiksis. berarti penunjukan atau hal petunjuk dalam sebuah wacana atau tuturan.

KARAKTERISTIK STRUKTUR PERCAKAPAN DAN KONTEKS PADA RUBRIK KARTUN OPINI DALAM HARIAN KOMPAS

BAB I PENDAHULUAN. Seiring berjalannya waktu, dunia perfilman telah mengalami perkembangan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah salah satu alat komunikasi. Melalui bahasa manusia

BAB 3 METODOLOGI. Universitas Indonesia Representasi jilbab..., Sulistami Prihandini, FISIP UI, 2008

BAB III METODE PENELITIAN

memperoleh pengetahuan dan keterampilan sehingga timbul adanya suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. Pelajaran 2011/2012. Bab 1 ini mencakup latar belakang masalah penelitian,

BAB I PENDAHULUAN. segala bentuk gagasan, ide, tujuan, maupun hasil pemikiran seseorang kepada orang

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini masuk dalam kategori penelitian kualitatif.

BAB l PENDAHULUAN. mengalami perkembangan seiring dengan pengguna bahasa. Bahasa merupakan alat

BAB I PENDAHULUAN. Tarigan (1987 : 27), Wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan sosial masyarakat karena tanpa bahasa masyarakat akan sulit untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Nana Sutarna, 2015

BAB I PENDAHULUAN. realitas, dan sebagainya. Sarana yang paling utama dan vital untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan bahasa di dalam karya sastra terkait dengan sejumlah ragam

BAB I PENDAHULUAN. berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri (Kridalaksana dalam Chaer, 2003:

BAB I PENDAHULUAN. untuk melakukan sastra. Pada intinya kegiatan bersastra sesungguhnya adalah media

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial, yang tidak bisa hidup sendiri tanpa kehadiran

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sekunder yang akan mendukung penelitian, juga diperlukan untuk mengetahui sampai

BAB I PENDAHULUAN. Kualitas sumber manusia itu tergantung pada kualitas pendidikan. Peran

BAB I PENDAHULUAN. kesehariannya manusia saling membutuhkan interaksi dengan sesama untuk

PRATIWI AMALLIYAH A

METAFORA ClNTA DALAM BAHASA ANGKOLA. Rumnasari K. Siregar Politeknik Negeri Medall Eddy Setia FIB Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia dalam sepanjang hidupnya tidak pernah terlepas dari

Bagan 3.1 Desain Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa Indonesia merupakan salah satu aset kebudayaan bagi bangsa

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan

IMPLIKATUR PERCAKAPAN DAN DAYA PRAGMATIK PADA IKLAN PRODUK KOSMETIK DI TELEVISI SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pers mempunyai beberapa fungsi yang saling berhubungan satu

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan alat komunikasi yang dipelajari secara sosial oleh

BAB I PENDAHULUAN. alat untuk menyampaikan gagasan, pikiran, maksud, serta tujuan kepada orang lain.

BAB I PENDAHULUAN. Menulis merupakan salah satu dari empat keterampilan berbahasa yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Suatu wacana dituntut untuk memiliki keutuhan struktur. Keutuhan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. onoma yang berarti nama dan syn yang berarti dengan. Secara harfiah sinonim

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dilakukan secara lisan maupun tertulis. Melalui bahasa, manusia berinteraksi

Analisis metaforis..., Widya, FIB, UI, 2010.

KOHESI LEKSIKAL REPETISI PADA WACANA INTERAKTIF DALAM KOLOM DETEKSI HARIAN JAWA POS EDISI JUNI 2007 SKRIPSI

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Metafora berperan penting dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Untuk menarik perhatian pembaca, judul-judul berita pada surat kabar, tabloid, atau majalah sering dinyatakan secara metaforis. Ekspresi metaforis biasanya juga mengisi percakapan di antara partisipan, baik dalam situasi formal maupun dalam situasi nonformal. Misalnya, ekspresi metaforis seperti membuang waktu, menang berdebat, menyerang KPK, atau mendidih darah terdengar begitu akrab dan lazim dalam bahasa Indonesia sehari-hari. Hal ini sejalan dengan pendapat Lakoff dan Johnson (1980: 3) yang mengatakan bahwa sistem konseptual manusia pada hakikatnya adalah metafora. Sejauh mana peran metafora dalam bahasa diterangkan dengan baik oleh Hai-Yun (2007: 34). Menurut Hai-Yun, ada tiga fungsi komunikatif dari metafora. Pertama, metafora memungkinkan penutur bahasa untuk mengungkapkan gagasan-gagasan yang abstrak dan rumit apabila dia (merasa) terbatas dalam penggunaan bahasa harfiah. Kedua, metafora merupakan suatu cara komunikasi yang rapi sebab banyak informasi dapat disampaikan secara ringkas. Ketiga, metafora mampu memberikan gambaran yang lebih kaya, lebih hidup, dan lebih terperinci tentang pengalaman subjektif penutur bahasa daripada pengalaman tersebut diekspresikan secara harfiah (lihat juga Verspoor, 1993: 5; Croft dan Cruse, 2004: 193).

Metafora dalam kenyataannya merupakan suatu mekanisme yang lazim digunakan oleh penutur bahasa untuk mengungkapkan jenis-jenis peristiwa yang berbeda, khususnya peristiwa-peristiwa abstrak. Karena kelaziman itu, ekspresi metaforis dapat memengaruhi makna harfiah kata-kata (lihat Saeed, 1997: 16; Mercer, 2000: 79). Tidak terlalu mengherankan jika batas antara makna harfiah dan makna figuratif kadang-kadang sulit ditentukan dengan jelas. Lakoff dan Johnson (1980) mengemukakan bahwa tidak ada perbedaan prinsip antara pemakaian bahasa harfiah dan pemakaian bahasa metaforis. Menurut kedua pelopor linguistik kognitif itu, hal itu terjadi karena sebagian besar proses pikiran manusia adalah metaforis dan sistem konseptual manusia dibangun dan dibatasi secara metaforis (Lakoff dan Johnson, 1980: 6). Keadaan internal, khususnya keadaan emosional, sering dideskripsikan secara metaforis (Verspoor, 1993: 42; Sandström, 2006: 1; dan Rajeg, 2009: 4). Ekspresi metaforis untuk keadaan emosional didasari asumsi bahwa kualitas keadaan emosional sulit diungkapkan dan dipahami dengan baik jika hanya menggunakan bahasa harfiah. Apabila suatu keadaan emosional (misalnya, sedih) dapat dinamai dengan mudah, penutur bahasa pada umumnya terkendala dalam menyediakan deskripsi harfiah tentang kualitas pengalaman emosi tertentu, kecuali yang bersangkutan menggunakan ekspresi metaforis (misalnya, hancur hatinya). Hal ini mencerminkan kegunaan metafora untuk konsep-konsep abstrak. Sehubungan dengan hal itu, Hai-Yun (2007: 35) menjelaskan bahwa ada dua cara penutur bahasa dalam menyampaikan kualitas keadaan emosionalnya. Pertama, penutur menggunakan bahasa harfiah dalam mendeskripsikan suatu peristiwa yang dipicu oleh keadaan emosional tertentu dan dia berharap bahwa

petutur dapat menyimpulkan perasaannya dengan tepat. Pada kasus seperti ini, deskripsi harfiah tidak menggambarkan kualitas keadaan subjektif, tetapi menandai keadaan emosional yang diperolehnya. Kedua, penutur menggunakan metafora untuk mendeskripsikan kualitas keadaan emosionalnya. Pada cara yang kedua ini, deskripsi metaforis mengungkapkan upaya dalam menggolongkan kualitas keadaan subjektif. Lebih jauh, ada berbagai kategori metafora untuk menyatakan keadaan emosional. Penamaan metafora itu didasari tipe emosi dasar yang disandangnya. Salah satu di antara kategori metafora itu ialah metafora cinta; artinya, konsep cinta dinyatakan dengan bahasa metaforis atau bahasa figuratif. Rajeg (2009: 7) berpendapat bahwa cinta tergolong konsep emosi yang bermetafora tinggi sebab cinta selain dapat dianggap sebagai suatu hubungan, juga dianggap sebagai emosi. Apabila cinta dipahami sebagai sebuah konsep emosi universal dapat diartikan bahwa ekspresi metaforis untuk konsep cinta ditemukan pada bahasa-bahasa di dunia meskipun cara-cara yang digunakan penutur dalam mengonseptualisasikan emosi cinta itu berbeda-beda. Misalnya, dalam bahasa Inggris, konsep love memiliki lebih dari dua puluh ranah semantis yang berbeda yang dapat ditempatkan pada sumbernya, antara lain PERJALANAN, PERANG, API, dan PERMAINAN (Kövecses, 2006: 120 121). Akibat perbedaan pada konseptualisasi tentang cinta, jumlah ranah cinta dalam bahasa Inggris tentunya berlainan dengan ranah cinta dalam bahasa-bahasa yang lain, termasuk dalam bahasa Angkola, yaitu bahasa yang umumnya dituturkan oleh masyarakat yang berdomisili di Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara.

Penelitian tentang metafora cinta dalam bahasa Angkola sangat penting untuk dilakukan. Sekurang-kurangnya, ada tiga alasan utamanya. Pertama, bahasa Angkola kaya akan ekspresi metaforis untuk menyatakan cinta. Perasaan cinta yang muncul di dalam diri seseorang didorong oleh suatu keinginan untuk selalu bersama atau keinginan untuk berada di dekat orang yang dicintai dan orang itu biasanya akan merasakan kerinduan yang mendalam apabila ditinggal pergi oleh pasangannya dalam jangka waktu yang lama. Bukti tentang kekayaan metafora cinta dalam bahasa Angkola (selanjutnya disingkat MCBA) tercermin dari faktor budayanya. Dalam masyarakat Angkola, konsep holong, yang dapat diterjemahkan sebagai cinta dan kasih sayang, merupakan sumber dari segala sumber masyarakat hukum adat (Lubis, 2006: 25). Konsep holong bertalian erat dengan konsep domu persatuan dan kesatuan. Lubis (2006: 25) mengemukakan bahwa konsep holong dan domu merupakan falsafah hidup yang bulat dan utuh dalam masyarakat Angkola, seperti terdapat pada ungkapan holong manjalahi domu ( kasih sayang akan menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan ) dan domu manjalahi holong ( rasa persatuan dan kesatuan akan menumbuhkan kasih sayang ). Bertolak dari kenyataan itu tidak berlebihan jika ditafsirkan bahwa konsep cinta merupakan ekspresi pengalaman dasar pada masyarakat Angkola. Karena metafora merupakan konseptualisasi pengalaman manusia yang bersumber dari bahasa alami, jenis penelitian ini tentu dapat menyingkap konsepsi dan persepsi penutur bahasa Angkola tentang realitas sosialnya, terutama dalam penggolongan emosi cinta. Contohnya, perhatikan konsep cinta pada ekspresi metaforis dalam bahasa Angkola. Dengan metafora, peristiwa cinta pada kalimat (1) dan (2) terlihat lebih

jelas. Pada kalimat (1), ekspresi cinta diungkapkan secara langsung dengan kata holong kasih sayang. Sebaliknya, pada kalimat (2) makna cinta dibentuk secara tidak langsung melalui kombinasi antara kata parrasuan hubungan dan kata bondul makkalang aral melintang. Interpretasi yang diperoleh dari penjelasan ini ialah bahwa kalimat (1) pada dasarnya bersumber dari ekspresi CINTA sebagai KESATUAN (yang ditandai oleh penggunaan kata padomu merajut ), sedangkan kalimat (2) mengekspresikan CINTA sebagai PERJALANAN (yang ditandai oleh penggunaan kata bondul makkalang). (1) Hami sannari giot padomu holong. 1Jm sekarang mau AKT.rajut sayang Kami sedang merajut cinta. (2) Parrosuan on adong bondul makkalang. hubungan PART ada aral melintang Hubungan ini mendapat rintangan. Pemahaman terhadap kategori cinta pada kedua contoh di atas didasari pertimbangan bahwa relasi metaforis sejatinya dibentuk oleh pemetaan pada ranah sumber dan ranah sasaran. Esensi metafora adalah pemahaman terhadap satu ranah pengalaman, yaitu ranah sasaran, berdasarkan ranah pengalaman lain, yaitu ranah sumber (lihat Lakoff dan Johnson, 1980: 117; Verspoor, 1993: 10 11; dan Palmer, 1996: 224). Pemahaman itu didasarkan pada seluruh ranah pengalaman, dan tidak didasarkan pada konsep-konsep yang terpisah. Dalam pengertian lain, sebuah makna baru tercipta pada ranah sumber dan makna itu kemudian dipetakan ke dalam ranah sasaran. Pemahaman terhadap makna (baru) itu dapat dicapai melalui satu penafsiran dengan memahami seluruh kalimat atau, dalam kerangka

linguistik kognitif, dengan menemukan persamaan makna umum yang terdapat di antara ranah sumber dan ranah sasaran. Alasan yang kedua ialah bahwa penelitian tentang MCBA mempunyai nilai signifikansi yang tinggi. Alasan ini mengacu pada fakta bahwa makna cinta pada ekspresi metaforis tidak selalu mudah untuk ditafsirkan. Sebagai sebuah konsep emosi, ciri-ciri semantis yang termuat pada konsep cinta kadang-kadang bertumpang-tindih dengan ciri-ciri semantis pada konsep emosi lain (misalnya, gembira). Hal ini tampak dengan jelas pada contoh-contoh berikut. (3) Matania bolnang. 3Tg. terbelalak Matanya berbinar. (4) Mukonia jeges. muka 3.Tg. cantik Wajahnya berseri-seri. (5) Parmikimnia manarik. senyum 3Tg. AKT.tarik Senyumnya sumringah. Metafora pada kalimat (3) (5) di atas mencerminkan salah satu dari dua keadaan emosional, yakni cinta atau gembira. Tanpa pelibatan konteks, contohcontoh itu cenderung ditafsirkan sebagai metafora gembira. Hal ini menunjukkan bahwa MCBA mengandung potensi ketaksaan yang tinggi dengan kategori metafora emosi yang lain sehingga tingkat analisisnya dianggap lebih rumit. Agar diperoleh interpretasi yang tepat perlu disediakan bukti-bukti pendukung tentang fenomena seperti itu.

Perlu dikemukakan bahwa metafora cinta juga memiliki batas yang kabur dengan metafora nafsu, seperti terlihat pada ekspresi Nafsunia kuat Nafsunya meluap-luap atau dengan metafora takut, seperti pada ekspresi Tarottoknia dotukdotuk Jantungnya berdebar-debar. Kesulitan lain ditemukan pada metafora sedih, khususnya dalam pemuatan citra hati, seperti tampak pada kalimat Dohotnia mangaciti ate-atekku Dia menghancurkan hatiku. Interpretasi terhadap kategori emosi yang kabur seperti ini mensyaratkan penggunaan berbagai konteks yang tepat. Apabila tidak, interpretasi atas ekspresi metaforis itu menjadi kurang tepat dan kurang berterima dalam bahasa Angkola. Alasan yang ketiga ialah bahwa penelitian ini, sejauh yang diketahui, belum pernah dikerjakan, lebih-lebih penelitian yang berbasis pada ancangan linguistik kognitif. Perhatian dan minat dari para ahli semantik untuk meneliti metafora emosi baru muncul akhir-akhir ini (lihat Rajeg, 2009; Mulyadi, 2010a, b). Penelitian yang ada umumnya mengandalkan korpus yang terbatas sehingga belum dapat merumuskan generalisasi yang valid tentang metafora emosi. Terkait dengan hal ini, benar bahwa Siregar (2004) telah mengkaji metafora politik dalam bahasa Indonesia secara mendalam, tetapi hasil penelitiannya berbeda dengan masalah yang dibicarakan dalam penelitian ini. Penelitian semantik pada bahasa-bahasa daerah mencakup aspek-aspek semantis yang umum, seperti tipe-tipe makna, sinonim, antonim, ketaksaan makna, dan lain-lain (Silalahi, 2005: 96). Analisis metafora pada bahasa-bahasa daerah, antara lain, dikerjakan oleh Silalahi (2005) dan Nurismilida (2010). Akan tetapi, kedua jenis penelitian itu berbeda dengan penelitian MCBA walaupun ada kontribusinya pada tingkatan tertentu (lihat Bab II). Dengan korpus data yang luas,

jelaslah bahwa penelitian ini dimungkinkan untuk menghasilkan suatu generalisasi yang valid tentang kategori semantis MCBA dan pemetaan konseptual pada kedua ranahnya. 1.2 Perumusan Masalah Penelitian ini pada dasarnya membahas relasi cinta (sebuah konsep abstrak) dengan berbagai peristiwa konkret seperti perjalanan, benda, cairan, api, perang, atau binatang buas yang ditemukan dalam bahasa Angkola. Relasi semantis antara konsep konkret dan konsep abstrak itu meliputi dua subjek penelitian yang menarik untuk diuji. Masalah penelitian ini dirumuskan secara ringkas sebagai berikut: (1) Bagaimanakah kategorisasi semantis dari metafora cinta yang terdapat dalam bahasa Angkola? (2) Bagaimanakah pemetaan konseptual metafora cinta pada ranah sumber dan ranah sasaran dalam bahasa Angkola? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) mendeskripsikan pola-pola berbahasa penutur bahasa Angkola, khususnya ekspresi yang terkait dengan metafora cinta; (2) menjelaskan konsepsi dan persepsi penutur bahasa Angkola tentang ekspresi cinta secara metaforis.

1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini tentu bertalian dengan masalah penelitian. Sejalan dengan masalah penelitian, penelitian ini bertujuan sebagai berikut: (1) mendeskripsikan kategorisasi metafora cinta dalam bahasa Angkola; (2) menerangkan pemetaan ranah sumber dan ranah sasaran pada metafora cinta dalam bahasa Angkola. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis Manfaat teoretis penelitian ini ialah: (1) menjadi salah satu model acuan yang dapat diadopsi untuk melakukan penelitian metafora emosi (khususnya metafora cinta) yang berbasis pada ancangan linguistik kognitif, (2) memperkaya dan memperluas wawasan para mahasiswa yang menekuni bidang semantik tentang kajian metafora cinta dalam perspektif linguistik kognitif. 1.4.2 Manfaat Praktis Manfaat praktis dari hasil penelitian ini ialah: (1) menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi para pejabat daerah dalam merancang program pembangunan, terutama di Kecamatan Padang Bolak;

(2) menumbuhkan pemahaman penutur bahasa-bahasa daerah lain tentang karakteristik budaya Angkola. 1.5 Definisi Istilah Dalam penelitian ini terdapat sejumlah istilah yang perlu dibatasi dengan ketat untuk menghindari terjadinya salah tafsir. Istilah-istilah yang dimaksud meliputi cinta, metafora, metonimi, kategori, dan skema-citra. Berikut ini dijelaskan pengertian dari istilah-istilah tersebut. Istilah cinta mengacu pada jenis emosi yang dipicu oleh pikiran tentang keinginan melakukan hal-hal yang baik kepada orang lain (Wierzbicka, 1999: 53). Emosi cinta melibatkan dua jenis partisipan, yaitu orang yang merasakan cinta (pecinta) dan orang yang menjadi sasaran, penyebab, atau objek cinta (Tissari, 2006: 136). Di sini cinta yang diekspresikan menyangkut dua jenis hubungan, yaitu hubungan romantis dan hubungan keluarga. Selanjutnya, metafora ialah mekanisme kognitif dalam memahami satu ranah pengalaman berdasarkan struktur konseptual dari ranah pengalaman lain yang bertalian secara sistematis (Lakoff dan Johnson, 1980: 117; Verspoor, 1993: 10; dan Kövecses, 2006: 130). Kedua ranah ini disebut ranah sumber dan ranah sasaran. Ranah sumber ialah jenis ranah yang lebih konkret, sedangkan ranah sasaran adalah jenis ranah yang lebih abstrak (Kövecses, 2006: 117). Istilah metafora bertalian dengan istilah metonimi, yaitu sebuah proses kognitif tempat elemen konseptual atau entitas (benda, peristiwa, sifat), sumber, menyediakan akses mental kepada entitas konseptual yang lain (benda, peristiwa, sifat), sasaran, dalam kerangka, ranah, atau model kognitif ideal yang sama

(Kövecses, 2006: 99; Lakoff dan Johnson, 1980: 36; dan Palmer, 1996: 232 233). Berbeda dengan metafora yang fungsi utamanya adalah pemahaman, metonimi berfungsi referensial; artinya, metonimi memungkinkan penggunaan satu entitas untuk mengacu pada entitas lain. Perbedaan yang lain ialah bahwa jika metafora dipetakan melintasi ranah konseptual, pemetaan pada metonimi terjadi pada satu ranah tunggal (Saeed, 2003: 352). Istilah berikutnya ialah kategori yang dibatasi oleh Lakoff (1987: 17) sebagai kumpulan ciri umum dari anggota kategori sehingga tidak ada anggota yang lebih utama dari anggota lainnya. Pada bagian yang lain, Lakoff (1987: 6) berpendapat bahwa kategori adalah suatu wadah abstrak, dan benda-benda terletak di dalam atau di luar kategori. Benda-benda dianggap sebagai kategori yang sama jika dan hanya jika memiliki ciri-ciri tertentu secara umum. Ciri-ciri yang umum itu digunakan untuk membatasi kategori. Istilah terakhir yang digunakan dalam penelitian ini ialah skema-citra, yaitu pola-pola dinamis yang berulang dari interaksi perseptual kita dan program mekanis yang menyatu dengan pengalaman kita (Johnson, 1987: xix dalam Kövecses, 2006: 207). Dalam kaitan dengan definisi skema-citra, Kövecses (2006: 207 208) menegaskan bahwa skema citra mempunyai dua ciri semantis yang penting: pertama, skema-citra pada dasarnya adalah imajistik dan tidak proposisional dan kedua, skema-citra sangat skematik, atau abstrak.