PENGARUH PEMBERIAN PUPUK N DENGAN BERBAGAI DOSIS TERHADAP PERTUMBUHAN AWAL BIBIT SAGU (Metroxylon spp.) DI PERSEMAIAN DENGAN SISTEM POLIBAG

dokumen-dokumen yang mirip
Pengendalian hama dan penyakit pada pembibitan yaitu dengan menutup atau mengolesi luka bekas pengambilan anakan dengan tanah atau insektisida,

Akhmad Fauzi Anwar (A ) di bimbing oleh: Prof. Dr Ir. H. M. H. Bintoro, M.Agr

AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PENGARUH PEMBERIAN PUPUK K DENGAN BERBAGAI DOSIS TERHADAP PERTUMBUHAN AWAL BIBIT SAGU DI PERSEMAIAN DENGAN SISTEM POLIBAG IKA ANDRIANI A

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

METODE MAGANG Tempat dan Waktu Metode Pelaksanaan Pengamatan dan Pengumpulan Data

BAHAN METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

TINJAUAN PUSTAKA. yang baik yaitu : sebagai tempat unsur hara, harus dapat memegang air yang

PENDAHULUAN. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. dengan ketinggian tempat ± 25 di atas permukaan laut, mulai bulan Desember

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh

TINJAUAN PUSTAKA. Sifat dan Ciri Tanah Ultisol. Ultisol di Indonesia merupakan bagian terluas dari lahan kering yang

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat ± 25 meter diatas permukaan

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu komoditas strategis yang bernilai

I. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung.

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Percobaan

II. TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN

BAHAN DAN METODE. Y ijk = μ + U i + V j + ε ij + D k + (VD) jk + ε ijk

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. dicotyledoneae. Sistem perakaran kailan adalah jenis akar tunggang dengan

TINJAUAN PUSTAKA. diklasifikasikan sebagai berikut. Divisi: Spermatophyta; Subdivisi:

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Percobaan

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Kacang Tanah

BAHAN DAN METODE Metode Percobaan

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung (POLINELA). Waktu

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

(Shanti, 2009). Tanaman pangan penghasil karbohidrat yang tinggi dibandingkan. Kacang tanah (Arachis hypogaea) merupakan salah satu tanaman pangan

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat ± 32 meter di atas permukaan

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat

TINJAUAN PUSTAKA Padi Varietas Way Apoburu Pupuk dan Pemupukan

III. BAHAN DAN METODE

PEMBUATAN BAHAN TANAM UNGGUL KAKAO HIBRIDA F1

TATA CARA PENELITIN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. B. Bahan dan Alat Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. MATERI DAN METODE

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Awal Tanah Gambut

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2015 sampai Mei 2016

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca Hortikultura Fakultas Pertanian

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di kebun percobaan Fakultas Pertanian

II. TINJAUAN PUSTAKA. udara yang baik untuk pertumbuhan tanaman cabai adalah 25-27º C pada siang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Subhan dkk. (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan vegetatif dan generatif pada

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. di daerah yang minim nutrisi. Rumput gajah membutuhkan sedikit atau tanpa

III. BAHAN DAN METODE

I. TATA CARA PENELITIAN. Muhammadiyah Yogyakarta di Desa Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai

I. PENDAHULUAN. Ultisols merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Percobaan ini dilakukan mulai

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di rumah kaca Gedung Hortikultura Universitas Lampung

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. diikuti oleh akar-akar samping. Pada saat tanaman berumur antara 6 sampai

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Muhammadiyah Yogyakarta di Desa Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten

BAHAN DAN METODE. Y ij = + i + j + ij

MATERI DAN METODE. dilaksanakan di lahan percobaan dan Laboratorium. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih pakcoy (deskripsi

I. PENDAHULUAN. tanpa mengurangi tingkat kesuburan tanah atau kelestariannya. Dalam usaha

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Laboratorium Lapang Terpadu

MATERI DAN METODE. Riau Jalan H.R Subrantas Km 15 Simpang Baru Panam. Penelitian ini berlangsung

III. MATERI DAN METODE. HR. Soebrantas KM 15 Panam, Pekanbaru. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Mei

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Suhu min. Suhu rata-rata

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Pupuk dan Pemupukan

III. BAHAN DAN METODE. Universitas Lampung pada titik koordinat LS dan BT

TINJAUAN PUSTAKA. antara cm, membentuk rumpun dan termasuk tanaman semusim.

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

PENGARUH PEMBERIAN NITROGEN DAN KOMPOS TERHADAP KOMPONEN PERTUMBUHAN TANAMAN LIDAH BUAYA (Aloe vera)

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan

BAHAN DAN METODE. Sumatera Utara (USU), Medan pada ketinggian tempat sekitar 25 m dpl. Analisis

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

III. METODE PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian

PENGELOLAAN PERKEBUNAN SAGU

III. BAHAN DAN METODE

MATERI DAN METODE. Urea, TSP, KCl dan pestisida. Alat-alat yang digunakan adalah meteran, parang,

Transkripsi:

PENGARUH PEMBERIAN PUPUK N DENGAN BERBAGAI DOSIS TERHADAP PERTUMBUHAN AWAL BIBIT SAGU (Metroxylon spp.) DI PERSEMAIAN DENGAN SISTEM POLIBAG FENDRI AHMAD A24080138 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

RINGKASAN FENDRI AHMAD. Pengaruh Pemberian Pupuk N Dengan Berbagai Dosis Terhadap Pertumbuhan Awal Bibit Sagu (Metroxylon spp.) di Persemaian Dengan Sistem Polibag. (Dibimbing oleh EKO SULISTYONO dan H. M. H. BINTORO DJOEFRIE). Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh berbagai dosis pupuk N terhadap pertumbuhan awal bibit sagu di persemaian dengan sistem polibag. Percobaan dilaksanakan di PT. National Sago Prima, Selat Panjang Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau pada bulan Februari sampai Juni 2012. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan satu faktor yaitu dosis N. Terdapat enam taraf perlakuan dosis N, yaitu 0, 3, 6, 9, 12 dan 15 g N/polibag. Setiap perlakuan diulang sebanyak empat kali, sehingga terdapat 24 satuan percobaan. Masing-masing satuan percobaan menggunakan 50 bibit, sehingga total bibit yang ditanam sebanyak 1200. Setiap satuan percobaan terdapat 24 bibit yang diamati, sehingga total yang diamati adalah 756 bibit. Bibit yang digunakan memiliki bobot 0.5-1.0 kg. Sebelum ditanam, bibit dipangkas 20 cm dari pangkal banir dan dibersihkan, kemudian direndam dengan larutan Dithane M-45 selama 10 menit. Bibit yang sudah direndam di tanam ke polibag dengan media tanah gambut. Saat penanaman diberikan furadan dengan dosis 3-5 g/polibag. Hasil percobaan menunjukkan pupuk N memberikan pengaruh yang nyata saat 7-9 MSP dan sangat nyata pada 10 MSP terhadap persentase hidup. Pupuk N berpengaruh nyata saat 9 dan 10 MSP terhadap pertumbuhan vegetatif yang meliputi panjang anak daun pangkasan, panjang daun ke-1 (10 MSP), lebar anak daun ke-1, persentase pemekaran daun ke-1 dan jumlah daun. Dosis 3 g N/polibag merupakan dosis yang paling baik terhadap panjang anak daun pangkasan. Untuk peubah yang lainnya, secara keseluruhan dosis 3 g N memberikan pertumbuhan vegetatif yang paling baik, tetapi tidak berbeda nyata dengan dosis 0 g N, dan mempunyai respon menurun secara linear dengan semakin tingginya dosis N. Pupuk N tidak berpengaruh terhadap panjang daun pangkasan, lebar anak daun pangkasan, persentase pemekaran daun pangkasan, panjang anak daun ke-1, bobot segar tajuk dan akar serta bobot kering tajuk dan akar.

PENGARUH PEMBERIAN PUPUK N DENGAN BERBAGAI DOSIS TERHADAP PERTUMBUHAN AWAL BIBIT SAGU (Metroxylon spp.) DI PERSEMAIAN DENGAN SISTEM POLIBAG Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor FENDRI AHMAD A24080138 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

JUDUL NAMA NIM : PENGARUH PEMBERIAN PUPUK N DENGAN BERBAGAI DOSIS TERHADAP PERTUMBUH- AN AWAL BIBIT SAGU (Metroxylon spp.) DI PER- SEMAIAN DENGAN SISTEM POLIBAG. : FENDRI AHMAD : A24080138 Menyetujui, Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Dr. Ir. Eko Sulistyono MSi. Prof. Dr. Ir. H. M. H. Bintoro Djoefrie, M.Agr NIP. 19620225 198703 1 001 NIP. 19480801 197403 1 001 Mengetahui, Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr NIP.19611101 198703 1 003 Tanggal Lulus:

RIWAYAT HIDUP Penulis lahir pada tanggal 22 Agustus 1990 di kota Pekanbaru, Propinsi Riau. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Ayah Abdullah dan Ibu Linda Wati. Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1996 di SDN 15 Andaleh, Kecamatan Matur Kabupaten Agam Sumatra Barat, kemudian dilanjutkan di SDN 003 Sail Pekanbaru. Penulis melanjutkan pendidikan di SLTPN 13 Pekanbaru selama tiga tahun. Setelah itu penulis melanjutkan pendidikan menengah atas di Madrasah Aliyah (MA) Ummatan Wasathon Pesantren Teknologi Riau di Pangkalan Baru Pekanbaru selama tiga tahun. Selama di MA penulis juga mengambil jurusan teknologi elektro. Pada tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor melalui jalur BUD Kementrian Agama Republik Indonesia dalam program beasiswa santri berprestasi (PBSB). Penulis bergabung dalam organisasi CSS MoRA (community of santry scholar of ministry of religious affair). Selama di CSS MoRA, penulis mengikuti kegiatan-kegiatan baik di IPB maupun di tingkat nasional. Penulis melakukan pembinaan dan pengabdian di Ponpes Al-Hikmah 2 Brebes (2008), di Ponpes Darun Najah Jakarta (2009), di Ponpes Nurul Ikhlas Bali (2010) dan di Ponpes Nurul Iman Bogor (2011). Tahun 2010 penulis mengikuti program Go Field IPB di Balai Benih Ikan (BBI) Kab. Brebes. Tahun 2011 penulis melakukan kuliah kerja profesi (KKP) yaitu di Desa Linggapura, Kec. Tonjong, Kab. Brebes. Selain itu, penulis pernah menjadi asisten MK. Dasar Agronomi dan menjadi pengajar di bimbingan belajar privat.

KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul Pengaruh Pemberian Pupuk N Dengan Berbagai Dosis Terhadap Pertumbuhan Awal Bibit Sagu (Metroxylonspp.) di Persemaian Dengan Sistem Polibag, sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana di Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Kementrian Agama Republik Indonesia melalui Direktur Diniyah dan Pondok Pesantren yang telah memberikan beasiswa selama kuliah di IPB. 2. Dr. Ir. Eko Sulistyono, M.Si dan Prof. Dr. Ir. H.M.H. Bintoro Djoefrie, M.Agr selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan dalam penelitian dan pembuatan skripsi. 3. Dr. Ir. Supijatno, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing dan memberikan saran selama kegiatan akademik. 4. Pak Fahmi, Kak Warno, Mas Andri, Mas Gia, Mas Fajar dan seluruh tim R&D serta PT. National Sago Prima (NSP) yang telah banyak memberikan bantuan, bimbingan dan saran serta fasilitas selama penelitian. 5. Ayah, ibu, Daus dan Novi beserta seluruh keluarga yang telah memberikan semangat dan keceriaan. 6. Lidya Oktaviani yang selalu memberikan semangat dan doa selama menyelesaikan penelitian dan pembuatan skripsi. 7. Sahabat sagu 45, Iqbal, Rahmat, Hesti, Ika dan Alma yang telah banyak memberikan bantuan selama penelitian. 8. Teman-teman Samefa, ibu kontrakan serta keluarga, seluruh keluarga besar CSS MoRA IPB dan keluarga besar AGH 45. Bogor, Agustus 2012 Penulis

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... vii DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR LAMPIRAN... xi PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 3 Hipotesis... 3 TINJAUAN PUSTAKA... 4 Botani Sagu... 4 Ekologi dan Penyebaran Sagu... 5 Persemaian Bibit Sagu... 6 Pupuk dan Pemupukan... 7 Nitrogen... 8 Tanah Gambut... 9 BAHAN DAN METODE... 11 Tempat dan Waktu... 11 Bahan dan Alat... 11 Metode Penelitian... 11 Pelaksanaan... 12 Pengamatan... 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum... 16 Hasil... 18 Pembahasan... 36 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan... 41 Saran... 41 DAFTAR PUSTAKA... 42 LAMPIRAN... 47

DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Rata-Rata Suhu dan Kelembaban dalam Paranet Bulan April-Juni 2012... 17 2. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Peubah-Peubah yang Diamati pada Perlakuan Berbagai Dosis N... 18 3. Pengaruh Pupuk N Terhadap Persentase Hidup Bibit... 19 4. Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Daun Pangkasan... 21 5. Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Anak Daun Pangkasan... 22 6. Data Hasil Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Anak Daun Pangkasan Setelah Transformasi... 23 7. Pengaruh Pupuk N Terhadap Lebar Anak Daun Pangkasan... 24 8. Data Hasil Pengaruh Pupuk N Terhadap Lebar Anak Daun Pangkasan Setelah Transformasi... 25 9. Pengaruh Pupuk N Terhadap Persentase Pemekaran Daun Pangkasan... 25 10. Data Hasil Pengaruh Pupuk N Terhadap Persentase Pemekaran Daun Pangkasan Setelah Transformasi... 26 11. Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Daun ke-1... 27 12. Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Anak Daun ke-1... 28 13. Data Hasil Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Anak Daun ke-1 Setelah Transformasi... 28 14. Pengaruh Pupuk N Terhadap Lebar Anak Daun ke-1... 29 15. Data Hasil Pengaruh Pupuk N Terhadap Lebar Anak Daun ke-1 Setelah Transformasi... 30 16. Pengaruh Pupuk N Terhadap Jumlah Anak Daun ke-1... 31 17. Data Hasil Pengaruh Pupuk N Terhadap Jumlah Anak Daun ke-1 Setelah Transformasi... 32 18. Pengaruh Pupuk N Terhadap Persentase Pemekaran Daun ke-1... 32

viii 20. Data Hasil Pengaruh Pupuk N Terhadap Persentase Pemekaran Daun ke-1 Setelah Transformasi... 33 21. Pengaruh Pupuk N Terhadap Jumlah daun... 34 22.Pengaruh Pupuk N Terhadap Bobot Segar dan Bobot Kering... 35

DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Lokasi Persemaian Dengan Naungan 75 %... 11 2. Perendaman Bibit Menggunakan Larutan Dithane M-45... 13 3. Penanaman Bibit ke Dalam Polibag... 13 4. Aplikasi Pupuk Pada Bibit... 14 5. Kondisi Bibit Saat Setelah Tanam (a) dan Saat 10 MSP (b)... 16 6. Hama Ulat Sagu (Rynchophorus ferrugineus) (a), Gejala Serangan Ulat Sagu Pada Banir (b) dan Serangan Cendawan Pada Bibit (c)... 17 7. Pengaruh Pupuk N Terhadap Persentase Hidup Bibit... 20 8. Respon Persentase Hidup Bibit Terhadap Pupuk N Saat 7-10 MSP... 20 9. Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Daun Pangkasan... 21 10. Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Anak Daun Pangkasan... 22 11. Respon Panjang Anak Daun Pangkasan Terhadap Pupuk N pada 9 dan 10 MSP... 23 12. Pengaruh Pupuk N Terhadap Lebar Anak Daun Pangkasan... 24 13. Pengaruh Pupuk N Terhadap Persentase Pemekaran Daun Pangkasan... 26 14. Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Daun ke-1... 27 15. Respon Panjang daun ke-1 Terhadap Pupuk N Saat 10 MSP... 27 16. Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Anak Daun ke-1... 29 17. Pengaruh Pupuk N Terhadap Lebar Anak Daun ke-1... 30 18. Respon Lebar Anak daun ke-1 Terhadap Pupuk N Saat 9 dan 10 MSP... 30 19. Pengaruh Pupuk N Terhadap Jumlah Anak Daun ke-1... 31 20. Pengaruh Pupuk N Terhadap Persentase Pemekaran Daun ke-1... 33

21. Respon Persentase Pemekaran daun ke-1 Terhadap Pupuk N Saat 9 dan 10 MSP... 33 22. Pengaruh Pupuk N Terhadap Jumlah Daun... 34 23. Respon Jumlah daun Terhadap Pupuk N... 35 24. Pengaruh Pupuk N Terhadap Bobot Kering Tajuk dan Akar... 36 x

DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Layout Percobaan... 48 2. Persiapan Abut Sebelum Tanam... 49 3. Pemeliharaan Pemangkasan Pada Bibit... 49 4. Keadaan Bibit di Akhir Pengamatan Sebelum Ditimbang Bobot Segar dan Kering... 50 5. Hasil Analisis Tanah Sebelum Pemupukan... 51 6. Data Curah Hujan Maret-November 2011 Camp Tuni, PT. National Sago Prima, Pulau Tebing Tinggi, Riau... 52 7. Sidik Ragam Panjang Daun Pangkasan... 53 8. Hasil Output Program SAS Persentase Hidup Bibit Saat 2 MSP... 54

PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagai negara yang terletak di daerah tropika basah, Indonesia kaya akan tanaman penghasil karbohidrat dan mampu menjadi sumber karbohidrat terbesar di dunia. Indonesia dalam mencukupi kebutuhan karbohidrat sangat bertumpu pada komoditas padi. Rendah dan sulitnya meningkatkan produktivitas padi disebabkan oleh banyaknya faktor internal dan eksternal yang mengganggu. Untuk mengatasi kekurangan pangan dan pemenuhan karbohidrat maka perlu pemanfaatan tanaman karbohidrat selain dari biji-bijian, salah satunya adalah tanaman sagu (Metroxylon spp.). Sagu atau Metroxylon spp. merupakan salah satu komoditas pangan dan sumber karbohidrat yang sangat potensial di Indonesia. Produktivitas tanaman sagu mencapai 20-40 ton pati kering /ha/tahun (Bintoro et al., 2010; Haryanto, 1992), tetapi faktanya baru 15 ton/ha/tahun (Jong, 2007). Sejauh ini tanaman sagu kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Padahal apabila tanaman sagu dibudidayakan (dikelola dengan baik), maka tanaman sagu dapat mencukupi kebutuhan karbohidrat seluruh bangsa Indonesia (Djoefrie, 1999). Kebutuhan karbohidrat seluruh penduduk Indonesia saat ini sekitar 30,2 juta ton/tahun, hal ini berarti tanaman sagu sekitar 1 juta ha dapat memenuhi karbohidrat seluruh bangsa Indonesia (Bintoro et al., 2010). Luas areal tanaman sagu di dunia diperkirakan lebih dari 2 juta ha (Bintoro et al., 2007) dan 5-6 juta ha (Schuiling, 2009). Potensi sagu di Indonesia menempati lebih dari 50% dari sagu dunia. Luasan hutan sagu di Indonesia mencapai 1.1 juta ha dengan 90% diperkirakan terdapat di provinsi Irian Jaya (Flach dalam Rusli, 2007), 2.25 juta ha (Mashud et al., 2008) dan menurut Schuiling (2009) 4-5 juta ha. Tanaman sagu tersebar di wilayah tropika basah Asia Tenggara dan Oseania, terutama tumbuh di lahan rawa dan payau atau yang sering tergenang air (BPBPI, 2007). Jika dilihat dari segi budidaya, sagu memiliki sifat baik yaitu potensi produksinya tinggi, dapat tumbuh, dan berproduksi pada daerah rawa. Tanaman sagu termasuk dalam kelompok tanaman tahunan dan cocok untuk daerah basah dataran rendah tropis.

2 Ada beberapa manfaat sagu antara lain: 1) Sebagai bahan pangan utama, 2) Sebagai bahan baku industri non pangan, misalnya industri tekstil, kosmetik, farmasi, pestisida, plastik, kertas, kayu lapis, makanan dan minuman, 3) Bahan energi, 4) Pati sagu diolah menjadi etanol yang dapat digunakan sebagai bahan pengganti bensin yang ramah lingkungan, 5) Sebagai bahan baku industri pangan: mie, soun, kue, dodol dan kerupuk dan 6) Sebagai pakan ternak (Djoefrie, 1999). Anak daun sagu dapat dijadikan bahan pembuatan atap rumah (Schuiling dan Flach, 1985 ; Lina et al., 2009 ; Schuiling, 2009), tetapi akibat pemotongan anak daun tersebut menyebabkan jumlah daun sagu menjadi lebih sedikit (Josue dan Okazaki, 2002) dan kulit batang dapat dijadikan lantai (Schuiling dan Flach, 1985). Ampas sagu dapat digunakan sebagai campuran media pembibitan cengkeh (Djoefrie dan Soebijandojo, 1993) dan campuran media pada pembibitan kakao (Djoefrie dan Sianipar, 1993). Kandungan kalori, karbohidrat, protein dan lemak pati sagu setara dengan kandungan pati tanaman penghasil karbohidrat lain (BPBPI, 2007). Menurut Schuiling (2009) pati sagu dari Indonesia mengandung 81-88% karbohidrat (27% amilosa dan 73% amilopektin), 10-17% air, 0.31% protein 0.11-0.25% lemak, 1.35% serat dan 0.15-0.28% abu. Kegiatan persiapan bahan tanam meliputi kegiatan persiapan bibit dan persemaian. Pada umumnya perbanyakan tanaman sagu dilakukan secara vegetatif melalui anakan, hal ini karena selain mudah diperbanyak, bibit yang diperoleh dari anakan lebih cepat dalam pertumbuhan (Jong dan Kueh, 1995 ; Irawan et al., 2009b). Perbanyakan menggunakan benih mempunyai beberapa kelemahan, yaitu benih susah didapat karena biasanya sagu dipanen sebelum pembungaan (Irawan et al., 2009a), biji sagu susah berkecambah (Schuiling dan Flach, 1985) serta sangat bervariasi dalam morfologi dan daya tumbuh (Jong, 2007). Persemaian bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan vegetatif dan mempunyai daya tahan hidup yang baik sehingga tidak mudah mati saat di lapang (Pinem, 2008). Selain itu, persemaian digunakan untuk menyeleksi bibit yang baik saat tanam ke lapang (Jong, 2007). Pupuk adalah bahan yang diberikan ke dalam tanah baik yang organik maupun anorganik untuk mengganti kehilangan unsur hara dari dalam tanah dan

3 bertujuan untuk meningkatkan produksi tanaman (Sutedjo, 1994). Sangat dianjurkan meningkatkan kesuburan tanah untuk mendapatkan hasil yang cukup dari tanaman sagu di tanah gambut (Ando, et al., 2007). Penambahan pupuk pada sagu di tanah gambut saat fase roset dan awal pembentukan batang dapat mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan produktivitas sagu (Purwanto et al., 2002). Pupuk N berfungsi memperbaiki pertumbuhan vegetatif tanaman dan pembentukan protein. Apabila unsur nitrogen kurang maka tanaman menjadi terganggu pertumbuhan vegetatifnya (Hardjowigeno, 2007). Aplikasi pupuk N dapat meningkatkan secara signifikan jumlah anak daun sagu pada pertumbuhan bibit, tetapi diameter dan jumlah daun tidak berpengaruh (Lina et al., 2009). Teknik persemaian bibit sagu dapat menggunakan rakit (sistem kanal), kolam lumpur dan polibag (Schuiling, 2009). Pinem (2008) menyatakan bahwa persemaian di media kanal adalah yang paling baik, karena bibit sagu di media kanal selalu mendapatkan air sehingga mendukung penambahan jumlah dan lebar daun. Selain itu menurut Jong (2007) persemaian di kanal memiliki persentase hidup bibit yang tinggi yaitu 80%. Wibisono (2011) menyatakan pada persemaian kanal, meskipun mempunyai kemampuan hidup yang tinggi dalam persemaian tetapi lebih dari 40% bibit mati pada saat dipindahtanamkan. Pinem (2008) menyatakan pada persemaian menggunakan kolam, tinggi air kolam tidak selalu sama, hal tersebut membuat bibit sagu seringkali menjadi stres sehingga pertumbuhannya tidak maksimal. Oleh karena itu perlu dikembangkan penelitian persemaian sagu menggunakan sistem polibag dan pemberian pupuk khususnya N untuk meningkatkan daya tumbuh bibit dan pertumbuhan vegetatif awal. Tujuan Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemupukan nitrogen terhadap pertumbuhan awal bibit sagu di persemaian sistem polibag. Hipotesis Terdapat pertumbuhan yang berbeda untuk setiap dosis nitrogen yang diberikan terhadap bibit sagu di persemaian dengan sistem polibag.

TINJAUAN PUSTAKA Botani sagu Sagu dari genus Metroxylon, secara garis besar digolongkan menjadi dua yaitu pleonanthic dan hepaxanthic. Pleonanthic adalah tanaman sagu yang berbunga atau berbuah dua kali dengan kandungan pati rendah. Hepaxanthic adalah tanaman sagu yang berbunga atau berbuah satu kali dan mengandung pati lebih banyak (Bintoro et al., 2010). Batang sagu merupakan bagian yang sangat penting karena mengandung pati yang diambil untuk berbagai keperluan. Pada umur 3-11 tahun tinggi batang bebas daun sekitar 3-16 m, bahkan dapat mencapai 20 m. Sagu memiliki batang tertinggi pada umur panen yakni 11 tahun keatas (Haryanto dan Pangloli, 1992). Sagu dapat mencapai tinggi 25 m dan 8-16 m batang dapat menghasilkan pati (Atmawidjaja, 1992). Lapisan kulit paling luar berupa lapisan sisa-sisa pelepah daun sagu yang terlepas, sehingga yang terlihat hanya lapisan kulit tipis pembungkus kulit dalam yang keras. Pada tanaman sagu yang masih muda, kulit dalam tersebut tipis dan tidak begitu keras. Serat dan empulur pada sagu muda masih muda dan banyak mengandung air, sedangkan pada sagu dewasa sampai umur panen empulur dan serat sudah mulai kering dan mengeras (Bintoro et al., 2010). Menurut Rumalatu (1981) kandungan pati dalam empulur batang sagu berbedabeda, tergantung dari umur, jenis dan lingkungan tempat sagu itu tumbuh. Sagu mempunyai daun sirip menyerupai daun kelapa yang tumbuh pada tangkai daun. Daun sagu memiliki anak daun dengan panjang 1,5 m, bertangkai dan berpelepah. Panjang daun sagu dapat mencapai 7 m. Setiap bulan sagu membentuk satu tangkai daun dan diperkirakan berumur rata-rata sekitar 18 bulan, kemudian akan gugur setelah tua (Flach, 1983). Bunga sagu merupakan bunga majemuk yang keluar dari ujung atau puncak batang sagu, berwarna merah kecoklat-coklatan seperti karat (Bintoro et al., 2010). Menurut Haryanto dan Pangloli (1992), penurunan kandungan pati dalam batang sagu biasanya ditandai dengan mulai terbentuknya primordia bunga.

5 Ekologi dan Penyebaran Sagu Secara alami tanaman sagu tersebar dari Melanesia di Pasifik Selatan di sebelah Timur sampai ke India sebelah Barat (90-180 BT) dan dari Mindanau di sebelah Utara sampai di pulau Jawa di sebelah Selatan (10 LU-10 LS) (Johson dalam Djoefrie, 1999). Hutan sagu ditemukan di lahan-lahan sepanjang dataran rendah tepi pantai hingga ketinggian 1000 m dpl, sepanjang tepi sungai dan di sekitar danau ataupun rawa. Ketinggian tempat yang terbaik sampai 400 m dpl, lebih dari itu pertumbuhan sagu terhambat dan produksinya rendah (Djoefrie, 1999). Suhu udara terendah bagi pertumbuhan tanaman sagu adalah 15 C, dengan kelembaban udara sekitar 90% dan intensitas cahaya sekurang-kurangnya 900 joule/cm 2 /hari. Apabila suhu udara rata-rata kurang dari 20 C atau kelembaban kurang dari 70% maka pembentukan pati berkurang 25% (Bintoro et al., 2010 ; Notohadiprawiro dan Louhenapessy, 1993). Umumnya di Serawak sagu tumbuh di tanah gambut, tetapi pertumbuhannya lambat, jumlah daun lebih sedikit (17-19 daun dibandingkan di tanah mineral 20-24 daun) dan hasil per batang lebih rendah dibandingkan di tanah mineral (Flach dan Schuiling, 1991). Pada tanah gambut masa tebang 12.7 tahun sedangkan di tanah mineral 9.8 tahun (Kueh et al., 1991), rata-rata pati keringnya lebih sedikit yaitu 88-179 kg/tanaman dibandingkan di tanah mineral 123-189 kg/tanaman (Sim dan Ahmad, 1991) dan produksi per satuan waktu 25% lebih rendah dari sagu yang tumbuh pada tanah mineral (Kueh, 1995). Sagu dapat tumbuh dengan baik pada tanah vulkanik, podzolik merah kuning, grumosol, alluvial dan hidromofik (Djoefrie, 1999). Menurut Haryanto dan Pangloli (1992), pada tanah yang tidak cukup tersedia mikroorganisme penyubur tanah, pertumbuhan sagu menjadi kurang baik. Selain itu, pertumbuhan tanaman sagu juga dipengaruhi oleh adanya unsur hara yang disuplai dari air tawar terutama unsur P, K dan Mg. Akar nafas tanaman sagu yang terendam terus menerus a- kan menghambat pertumbuhan sagu sehingga pembentukan pati dalam batang juga terhambat. Menurut Djoefrie (1999), satu hal yang menarik dari tanaman sagu yaitu tanaman tersebut dapat tumbuh pada suatu kawasan yang tanaman lain tidak dapat tumbuh dan apabila tanaman pangan lainnya seperti padi, jagung, umbi-umbian

6 dan palawija hasilnya akan membusuk bila terendam 1 m, tetapi pati yang masih terdapat di batang sagu tidak akan rusak bila tanaman sagu terendam 1 m selama beberapa hari. Sagu tumbuh tersebar di Kepulauan Nusantara. Lebih dari 95 % tanaman sagu terdapat di Indonesia, Malaysia dan Papua New Guinea, sisanya terdapat di pulau-pulau di Pasifik, Filipina dan Thailand bahkan sampai India (Flach, 1983). Lebih dari 50 % sagu Indonesia tumbuh di Papua. Provinsi lainnya yang memiliki sagu yang agak luas yaitu Maluku, Maluku Utara, Aceh, Riau, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Utara (Bintoro, 2008). Persemaian Bibit Sagu Kegiatan persemaian merupakan kegiatan lanjutan dari penyeleksian abut (anakan sagu). Persemaian bertujuan memberikan kondisi yang sesuai atau aklimatisasi untuk abut-abut yang akan di tanam di lapangan. Aklimatisasi bertujuan agar abut tersebut tidak stres, sehingga selama proses persemaian kondisi abut baik dan sehat untuk ditanam di lapangan. Lama bibit di persemaian yaitu selama tiga bulan, bibit memiliki rata-rata jumlah daun 2-3 helai dan perakaran yang baik sehingga bibit sudah siap dipindah ke lapang (Bintoro et al., 2010). Bibit yang digunakan dapat berasal dari biji (generatif) dan dari tunas atau anakan sagu (vegetatif). Perbanyakan tanaman secara generatif belum optimal keberhasilannya, terutama dalam perkecambahan biji (Flach dalam Haryanto dan Pangloli, 1992). Bibit yang diambil sebagai bahan tanaman adalah bibit yang telah matang atau tua. Bibit sagu umumnya dapat ditemukan pada kebun yang pohon induknya sudah dipanen 3-4 kali. Bibit yang baik dengan bobot 2-5 kg dan bonggol berbentuk L (Wibisono, 2011). Sebelum penyemaian bibit terlebih dahulu dilakukan pemotongan pelepah dan tunas kurang lebih 20-30 cm dari banir, terutama untuk tunas-tunas yang telah mengering akibat terlalu lama di tempat persiapan bahan tanam. Tujuan pemotongan untuk mempercepat pemunculan calon tunas pertama yang selanjutnya menjadi daun (Asmara, 2005). Teknik pembibitan yang dilaksanakan pada bibit sagu adalah persemaian rakit. Persemaian rakit dilaksanakan pada parit atau kanal dengan air mengalir.

7 Rakit bisa terbuat dari bambu atau pelepah tua tanaman sagu. Keuntungan menggunakan persemaian rakit adalah kemampuan tumbuh bibit tinggi serta pemeliharaan sangat sedikit. Selain menggunakan rakit, persemaian juga bisa dilakukan dengan menggunakan teknik kolam dan polibag. Pada persemaian menggunakan polibag digunakan tanah gambut ke dalam polibag tersebut (Bintoro, 2008). Menurut Pinem (2008), perlakuan persemaian dengan polibag menghasilkan nilai rata-rata panjang tunas yang rendah jika dibandingkan dengan sistem rakit dan kolam. Hal ini karena kadar air polibag cukup rendah, sedangkan bibit sagu membutuhkan kadar air yang tinggi untuk pertumbuhannya. Pupuk dan Pemupukan Pupuk adalah setiap bahan yang diberikan ke dalam tanah atau disemprotkan pada tanaman dengan maksud menambah unsur hara yang diperlukan tanaman. Pemupukan adalah setiap usaha pemberian pupuk yang bertujuan menambah persediaan unsur-unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman (Sarief, 1985). Menurut Hardjowigeno (2007), agar pemupukan efisien maka dalam pemupukan harus diketahui beberapa hal, yaitu tanaman yang akan dipupuk, jenis tanah, jenis pupuk, dosis pupuk, waktu dan cara pemupukan. Dosis pupuk yang diberikan berhubungan dengan kebutuhan tanaman akan unsur hara, kandungan unsur hara yang ada dalam tanah dan kadar unsur hara yang terdapat dalam pupuk. Menurut Harjadi (1996), pada banyak tanaman, N diberikan beberapa kali selama musim tanam karena N mudah tercuci dan mudah berubah ke bentuk gas yang tidak tersedia bagi tanaman. Pupuk terbagi menjadi pupuk alami dan buatan. Pupuk alami adalah pupuk yang telah tersedia di alam dan dapat diserap tanaman, sedangkan pupuk buatan adalah pupuk yang sengaja dibuat dengan menambahkan unsur hara tertentu. Selain itu pupuk buatan terdiri atas pupuk tunggal dan pupuk majemuk. Pupuk tunggal adalah pupuk yang hanya mengandung satu unsur hara saja, sedangkan pupuk majemuk mengandung lebih dari satu unsur hara. Urea adalah salah satu bentuk pupuk N buatan dan tergolong pupuk tunggal. Rumus kimianya adalah CO(NH 2 ) 2. Pupuk urea mengandung 45% N dan ter-

8 masuk golongan pupuk yang higroskopis. Pada kelembaban nisbi 73% sudah mulai menarik air dari udara. Reaksi fisiologisnya agak masam dengan ekivalen kemasaman 80 tetapi tidak terlalu mengasamkan tanah. Pupuk urea dibuat dari amoniak dan gas asam arang, berbentuk kristal berwarna putih atau butir-butir bulat berdiameter kurang lebih 1 mm. Pupuk urea sering dilapisi suatu bahan pelapis untuk mengurangi sifat higroskopisnya. Untuk dapat diserap tanaman, nitrogen dalam urea diubah dahulu menjadi ammonium dengan bantuan enzim tanah urease melalui proses hidrolisis. Apabila diberikan ke tanah proses hidrolisis tersebut cepat sekali terjadi sehingga mudah menguap menjadi amonia. Amonia mudah bereaksi dengan air dan akan membentuk hidroksi amonium, sehingga untuk sementara tidak akan hilang dari tanah (Sarief, 1985 ; Hardjowigeno, 2007). Nitrogen Nitrogen merupakan unsur yang termasuk ke dalam salah satu unsur esensial bagi tanaman. Menurut Miftahudin et al., (2010) unsur esensial diartikan sebagai hara mineral yang sangat dibutuhkan oleh tanaman. Bila salah satu diantaranya tidak tercukupi dalam tanah maka pertumbuhan dan perkembangan tanaman tidak dapat optimal. Senyawa nitrogen sebagai sumber nitrogen yang dapat diasimilasikan oleh tanaman dan dapat dibagi menjadi empat golongan besar, yaitu: nitrogen nitrat (NO - 3 ), nitrogen ammonia, nitrogen organik dan nitrogen molekul lain (N 2 ). Sumber utama unsur nitrogen bagi tanaman diantaranya atau yang terpenting adalah ion nitrat (NO - 3 ) dalam larutan tanah. Ion nitrat diserap oleh bulu-bulu akar melalui proses respirasi anion dan diakumulasikan dalam vakuola. Sumber lain dari nitrogen anorganik adalah dalam bentuk ion ammonium (NH + 4 ). Masuknya ion ammonium ke dalam sel karena adanya gradien listrik akibat pengambilan ion secara aktif (Suseno, 1974). Kandungan nitrogen di udara sekitar 79%. Nitrogen tersebut tidak langsung dapat dimanfaatkan oleh tanaman sebelum mengalami perombakan menjadi senyawa nitrat (NO - 3 ) dan ammonium (NH + 4 ). Sumber nitrogen udara berasal dari vulkan, pembakaran, denitrifikasi dan pelapukan sedimen. Nitrogen udara dioksidasi oleh cahaya kilat dan bereaksi dengan air hujan membentuk nitrat. Fiksasi

9 biologi dapat dilakukan oleh mikroorganisme seperti bakteri, aktinomisetes dan ganggang hijau biru. Molekul nitrogen (N 2 ) akan bereaksi dengan oksigen (O 2 ) membentuk ammonium (NH + 4 ) yang tersedia bagi tanaman. Menurut Hardjowigeno (2007), perubahan-perubahan bentuk nitrogen dalam tanah dari bahan organik melalui beberapa macam proses, yaitu aminisasi, amonifikasi, nitrifikasi dan denitrifikasi. Aminisasi adalah pembentukan senyawa amino dari bahan organik (protein) oleh berbagai mikroorganisme. Amonifikasi adalah pembentukan ammonium dari senyawa-senyawa amino oleh mikroorganisme. Nitrifikasi adalah perubahan dari ammonium (NH + 4 ) menjadi nitrit (NO - 2 ) oleh bakteri Nitrosomonas, kemudian menjadi nitrat oleh bakteri Nitrobacter. Faktor-faktor yang mempengaruhi nitrifikasi adalah tata udara (nitrifikasi berjalan baik jika tata udara tanah baik), ph tanah (baik pada ph sekitar 7.0) dan suhu. Denitrifikasi adalah proses reduksi nitrat (NO - 3 ) menjadi bentuk N 2 oleh mikroorganisme dan proses reduksi kimia (terjadi setelah terbentuk nitrit). Syarat terjadinya denitrifikasi adalah di tempat yang tergenang, drainase buruk dan tata udara tidak baik. Nitrogen merupakan penyusun semua protein dan asam nukleat, sehingga merupakan penyusun protoplasma (Sarief, 1985). Menurut Hardjowigeno (2007) N berfungsi memperbaiki pertumbuhan vegetatif tanaman. Apabila tanaman kekurangan nitrogen maka terlihat gejala seperti tanaman menjadi kerdil, pertumbuhan akar terbatas dan daun - daun kuning dan gugur. Menurut Sarief (1985), jumlah N yang terlalu banyak mengakibatkan menipisnya bahan dinding sel sehingga mudah diserang oleh hama dan penyakit, serta mudah terpengaruh oleh keadaan buruk seperti kekeringan dan kelebihan air. Tanah Gambut Tanah gambut merupakan material atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan, bersifat tidak mampat dan tidak atau hanya sedikit mengalami perombakan. Berdasarkan klasifikasi tanah, tanah gambut dikelompokkan ke dalam ordo histosol (histos dari bahasa Yunani yang artinya jaringan) atau sebelumnya dinamakan organosol yang mempunyai ciri dan sifat yang berbeda dengan jenis tanah mineral umumnya (Noor, 2001).

10 Kesuburan tanah gambut sangat beragam tergantung ketebalan lapisan gambut, tingkat dekomposisi, komposisi tanaman penyusun gambut dan tanah mineral yang berada di bawah lapisan tanah gambut (Barchia, 2006). Tanah gambut di PT. National Sago Prima memiliki ph berkisar antara 3.30-3.70 (sangat masam), kapasitas tukar kation (KTK) tergolong tinggi (46.59-74.22 me/100 g), sedangkan kejenuhan basanya termasuk rendah (5,75-7.69 %) (Bintoro et al., 2010). Tanah yang sangat masam menyebabkan kekahatan N, P, K, Ca, Mg, Bo dan Mo. KTK tanah yang tinggi dan kejenuhan basa yang rendah menyebabkan penyediaan hara yang baik bagi tanaman terhambat terutama K, Mg dan Ca (Noor, 2001). Bobot isi (bulk density) tanah gambut berkisar antara 0.01-0.20 g/cm 3, tergantung pada tingkat kematangannya. Rendahnya bobot isi tanah gambut mencirikan rendahnya daya dukung tanah tersebut (Bintoro et al., 2010). Nisbah C/N tanah gambut berkisar antara 31-49. Apabila nilai rasio C/N lebih besar dari 30, mikroorganisme tanah akan memobilisasi N untuk metabolismenya. Jadi meskipun kadar N total tinggi, tetapi tidak tersedia bagi tanaman. Selain itu, N total di tanah gambut dalam bentuk N-organik yang sedikit diserap tanaman. Agar tersedia bagi tanaman, bentuk N-organik harus diubah menjadi N- anorganik melalui proses asimilasi, amonifikasi dan nitrifikasi. Seperti halnya unsur N, unsur P di tanah gambut dalam bentuk P organik yang sulit tersedia untuk tanaman (Barchia, 2006). Hara mikro tanah gambut tergolong rendah. Hal tersebut terjadi karena senyawa organometal mengikat unsur mikro. Keadaan tersebut menyebabkan unsur mikro tidak tersedia bagi tanaman. Selain itu, dalam kondisi reduksi, unsur mikro diubah ke dalam bentuk yang sulit diserap tanaman (Noor, 2001). Barchia (2006) menyatakan kandungan unsur hara mikro tanah gambut pada lapisan bawah u- mumnya lebih rendah dibandingkan pada lapisan atas.

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan dilaksanakan di perkebunan sagu PT. National Sago Prima, Selat Panjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. Waktu percobaan pada bulan Februari 2012 sampai bulan Juni 2012. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan pupuk Urea (46 % N), TSP, KCl, Dolomit, Dithane M-45, Furadan, media tanah gambut dan bibit sagu yang mempunyai kriteria sehat, bebas dari hama penyakit dan mempunyai perakaran yang cukup dengan bobot 500-1000 g. Polibag yang digunakan berukuran 30 x 35 cm. Alat yang digunakan adalah paranet 75% (Gambar 1), ember, angkong, skop, cangkul, meteran, ph meter, termometer bola basah bola kering, pompa air, timbangan, parang dan label. Gambar 1. Lokasi Persemaian Dengan Naungan 75 % Metode Penelitian Percobaan terdiri atas satu faktor yaitu dosis pupuk N. Perlakuan yang diberikan yaitu: P0: Perlakuan kontrol (tanpa pupuk N) P1: Perlakuan dosis 3 g N/polibag P2: Perlakuan dosis 6 g N/polibag P3: Perlakuan dosis 9 g N/polibag P4: Perlakuan dosis 12 g N/polibag P5: Perlakuan dosis 15 g N/polibag

12 Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan empat ulangan. Perlakuan terdiri atas enam perlakuan yang diulang empat kali sehingga percobaan terdiri atas 24 satuan percobaan. Model aditif linier yang digunakan adalah: Y ij = µ + α i + β j + ε ij Keterangan: Y ij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = Rataan umum α i = Pengaruh perlakuan ke-i (i:1, 2, 3, 4, 5, 6) β j = Pengaruh ulangan ke-j (j:1, 2, 3, 4) ε ij =Pengaruh acak pada perlakuan ke-i pada ulangan ke-j Percobaan diasumsikan memiliki pengaruh perlakuan yang bersifat aditif, data menyebar normal, galat percobaan saling bebas dan menyebar normal serta ragam galat percobaan bersifat homogen. Dalam percobaan, jumlah bibit yang digunakan sebanyak 50 bibit untuk setiap satuan percobaan dan 24 bibit yang digunakan atau diambil sebagai contoh dalam setiap satuan percobaan. Jadi total bibit yang digunakan semuanya adalah sebanyak 1 200 bibit, sedangkan jumlah bibit yang diambil sebagai contoh untuk pengamatan sebanyak 576 bibit. Data yang diperoleh diuji dengan sidik ragam atau uji F dan apabila menunjukkan pengaruh nyata maka dilanjutkan dengan pengujian DMRT (duncan multiple range test) pada taraf 5 %. Untuk mengetahui dosis pemupukan nitrogen optimum dan respon pemupukan N dilakukan uji kontras orthogonal polinomial. Pelaksanaan Tahap awal yang dilakukan adalah pengadaan bibit (abut). Bibit berasal dari pembelian melalui kontraktor penyedia abut. Sebelum dilakukan penyemaian, dilakukan pemangkasan pada bagian pelepah dan pucuk ± 20 cm di atas banir. Pemangkasan pelepah dan pucuk dilakukan agar mempercepat pemunculan tunas dan mengurangi evaporasi. Bibit direndam dalam larutan fungisida Dithane M-45 dengan konsentrasi 2 g/l selama 10 menit dan dikering anginkan selama 10-15

13 menit (Gambar 2). Hal tersebut bertujuan untuk menghindari dan mencegah cendawan dan jamur pada bibit. Polibag diisi dengan tanah di sekitar areal percobaan (tanah gambut) setelah dicampur dolomit dengan dosis 40 g/polibag. Sebelum bibit ditanam diberikan furadan dengan dosis 2-3 g/polibag. Setelah itu bibit ditanam atau dimasukkan ke dalam polibag dan tanah dipadatkan (Gambar 3). Polibag disusun rapi dan dikelompokkan sesuai rancangan acak yang digunakan. Semua bibit diletakkan di dalam rumah paranet dengan naungan 75%. Gambar 2. Perendaman Bibit Menggunakan Larutan Dithane M-45 Gambar 3. Penanaman Bibit ke Dalam Polibag Selain pupuk N (urea) sebagai perlakuan, semua bibit diberikan pupuk dasar P (TSP) dan K (KCl) dengan dosis 3 g dan 2.5 g/polibag dan diaplikasikan saat setelah tanam. Pemberian pupuk nitrogen diaplikasikan dua kali yaitu saat setelah tanam dan empat minggu setelah tanam dengan dosis masing-masing aplikasi setengah dari dosis perlakuan pupuk N. Cara aplikasi langsung ditebar di sekitar bibit (Gambar 4). Untuk mengetahui kandungan N dalam media tanam, dilakukan pengujian dan analisis pada media tanam yang digunakan.

14 Gambar 4. Aplikasi Pupuk Pada Bibit Pemeliharaan yang dilakukan meliputi pengairan, pengendalian gulma dan pemotongan (pemangkasan) petiol yang busuk. Pengairan menggunakan air tanah gambut yang dilakukan secara manual saat pagi dan sore hari. Pengendalian gulma dilakukan secara manual dengan cara mencabut gulma-gulma yang tumbuh di polibag. Pengamatan Pengamatan dilakukan setelah dua minggu dari pengaplikasian perlakuan pupuk N awal dan dilakukan pengamatan terus setiap seminggu sekali selama 2.5 bulan. Adapun beberapa peubah yang diamati adalah: 1. Persentase bibit hidup, dibandingkan antara total bibit yang hidup dan total bibit yang ditanam. 2. Panjang daun pangkasan, diukur mulai dari pangkal pangkasan sampai titik teratas daun yang terpangkas, baik ketika masih tunas maupun sudah menjadi daun. 3. Panjang daun ke-1, diukur mulai dari titik tumbuh bibit baik ketika masih berupa tunas maupun setelah berubah menjadi daun mekar sempurna. 4. Panjang anak daun pangkasan, diukur pada anak daun yang terpanjang dari daun pangkasan yang sudah mekar. 5. Lebar anak daun pangkasan, diukur pada anak daun yang paling lebar dari daun pangkasan yang sudah mekar. 6. Persentase pemekaran daun pangkasan, dihitung antara total daun pangkasan yang sudah mekar dengan total bibit yang diamati. 7. Panjang dan lebar anak daun ke-1, diukur pada anak daun yang tengah dari daun ke-1 yang telah membuka.

15 8. Jumlah anak daun ke-1, dihitung dari total anak daun pada daun ke-1 yang telah membuka sempurna. 9. Persentase pemekaran daun ke-1, dihitung dari total daun ke-1 yang sudah mekar sempurna. 10. Jumlah daun, dihitung dari total jumlah daun pada bibit di akhir pengamatan (10 MSP), yaitu daun pangkasan dan daun baru yang muncul setelah daun pangkasan. 11. Bobot kering tajuk dan akar. Bibit dicabut kemudian dipisahkan antara akar dan tajuk, kemudian masing-masing ditimbang bobot segarnya. Setelah itu dikeringkan dengan suhu 80 C selama 48 jam, dan ditimbang sebagai bobot kering. 12. Data suhu dan kelembaban, diukur setiap hari saat pagi dan siang hari.

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Persemaian bibit sagu sampai saat ini masih banyak terdapat kendala-kendala khususnya dalam mempertahankan tingkat hidup bibit selama di persemaian dan ketika pindah ke lapang. PT. National Sago Prima melakukan persemaian sagu di media rakit atau sistem kanal. Cara persemaian tersebut sangat baik karena persentase hidup bibit dapat mencapai 80 %, tetapi ketika dipindah ke lapang persentase hidupnya kecil. Hal tersebut karena bibit kurang beradaptasi di lapang karena selama di persemaian di kanal air selalu tersedia. Oleh karena itu perlu diuji metode persemaian bibit sagu yang diharapkan mampu meningkatkan persentase hidup bibit. Salah satu metodenya adalah persemaian dengan menggunakan sistem polibag. a b Gambar 5. Kondisi Bibit Saat Setelah Tanam (a) dan Saat 10 MSP (b). Secara umum kondisi bibit saat setelah tanam dan di akhir pengamatan (10 MSP) dapat dilihat di Gambar 5. Persentase hidup bibit yang paling rendah yaitu sebesar 45 % dan paling banyak masih mencapai 77.50 %. Faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban dalam paranet mempengaruhi tingkat kematian bibit. Suhu siang yang tinggi yaitu mencapai 32.31-34.67 C dan kelembabannya 75.38-58.33 % (Tabel 1) banyak mengakibatkan persentase hidup menurun. Selama percobaan hama dan penyakit juga ditemukan pada bibit. Pada bibit yang sudah mati, ketika banirnya dibelah ditemukan adanya serangan ulat sagu (Rynchophorus ferrugineus) yang melobangi banir serta merusak titik tumbuh bi-

17 bit sehingga menjadi mati (Gambar 6). Flach (1997) menyatakan Rynchoporus spp. sangat berbahaya bagi tanaman sagu, hama tersebut masuk ke dalam tanaman muda dan merusak jaringan tanaman. Serangan ulat sagu tersebut pada bibit selama percobaan sebesar 20 %. Selain itu banyaknya serangan cendawan pada petiol dan daun bibit terutama saat musim hujan. Serangan cendawan tersebut ditandai dengan adanya benang-benang putih dan serbuk yang menempel pada bibit, kemudian akan menyebabkan bibit menjadi kering dan mati. Pencegahan cendawan tersebut menggunakan fungisida Dithane M-45 dengan konsentrasi 1 % dengan cara mengoleskan langsung ke bagian bibit. Tabel 1. Rata-Rata Suhu dan Kelembaban dalam Paranet Bulan April-Juni 2012 Bulan Suhu ( C) RH (%) Pagi Siang Pagi Siang April 26.38 32.31 88.15 75.38 Mei 25.52 33.55 88.45 59.19 Juni 25.78 34.67 78.00 58.33 a b c Gambar 6. Hama Ulat Sagu (Rynchophorus ferrugineus) (a), Gejala Serangan Ulat Sagu Pada Banir (b) dan Serangan Cendawan Pada Bibit (c). Daun pangkasan pada bibit menunjukkan baru mekar mulai minggu ke-4 MSP. Pertumbuhan bibit tidak seragam, sehingga masih ada bibit yang daun pangkasannya belum mekar. Pada 4 MSP daun ke-1 juga sudah muncul pada beberapa bibit, sedangkan kebanyakan bibit belum muncul. Daun ke-1 mengalami pemekaran mulai dari 7 MSP ditandai anak daun sudah membuka sempurna dan dihitung panjang, lebar dan jumlah anak daunnya. Secara keseluruhan, perlakuan

18 N dengan dosis rendah memperlihatkan kondisi yang lebih bagus dari perlakuan N dosis yang lebih tinggi. Hal ini diduga bibit yang diberikan pupuk N dengan dosis lebih tinggi mengalami keracunan N dan pertumbuhan bibit menjadi terhambat. Hasil Pada Tabel 2 terlihat pengaruh pupuk N terhadap semua peubah - peubah yang diamati. Pupuk N berpengaruh nyata terhadap Persentase hidup bibit baru pada minggu ke-7 setelah perlakuan. Pupuk N tidak berpengaruh nyata terhadap panjang daun pangkasan, lebar anak daun pangkasan dan persentase pemekaran daun pangkasan, panjang anak daun ke-1, jumlah anak daun ke-1, bobot segar tajuk dan akar serta bobot kering tajuk dan akar. Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Peubah - Peubah yang Diamati pada Perlakuan Berbagai Dosis N No. Peubah Umur (MSP) Pengaruh Perlakuan 1 Persentase Hidup Bibit 2 6 7 9 10 tn * ** 2 Panjang Daun Pangkasan 2-8 tn 3 Panjang Anak Daun Pangkasan 4 8 9-10 tn * 4 Lebar Anak Daun Pangkasan 4 10 tn 5 Persentase Pemekaran Daun Pangkasan 4 10 tn 6 Panjang Daun ke-1 4 9 10 tn * 7 Panjang Anak Daun ke-1 7 10 tn 8 Lebar Anak Daun ke-1 7 8 9-10 tn * 9 Jumlah Anak Daun ke-1 7-10 tn 10 Persentase Pemekaran Daun ke-1 7 8 9-10 tn * 11 Jumlah Daun 10 * 12 Bobot Segar Tajuk 10 tn 13 Bobot Segar Akar 10 tn 14 Bobot Kering Akar 10 tn 15 Bobot Kering Tajuk 10 tn Keterangan : *= berbeda nyata pada taraf 5%, ** = berbeda sangat nyata pada taraf 5%, tn= tidak berbeda nyata, MSP= Minggu Setelah Perlakuan

19 Persentase Hidup Bibit Persentase hidup bibit merupakan salah satu peubah yang digunakan untuk melihat kemampuan tumbuh bibit selama di persemaian. Dari Tabel 3 dapat dilihat pengaruh perlakuan pupuk N terhadap persentase hidup bibit dari 2 sampai 10 MSP (minggu setelah perlakuan). Hasil menunjukkan bahwa tidak adanya pengaruh pupuk N terhadap persentase hidup bibit pada 2 sampai 6 MSP diantara semua perlakuan. Pengaruh pupuk N berpengaruh nyata saat 7, 8 dan 9 MSP, dan berpengaruh sangat nyata pada mingu ke 10. Tabel 3. Pengaruh Pupuk N Terhadap Persentase Hidup Bibit. N (g/polibag) MSP Ke- 2 3 4 5 6 7 8 9 10...%... 0 97.50 93.50 92.50 87.50 82.00 78.00ab 74.50ab 70.00ab 68.50ab 3 98.50 93.50 93.00 89.50 85.00 85.00a 82.50a 79.00a 77.50a 6 97.50 89.50 88.50 86.00 82.00 76.00ab 74.00ab 71.00ab 67.50ab 9 98.50 92.00 89.50 84.50 77.00 71.50abc 68.00abc 62.5abc 58.50bc 12 99.00 91.50 90.00 85.00 77.00 65.50bc 62.50bc 56.00bc 52.50bc 15 98.50 87.50 84.50 78.50 69.00 57.50bc 53.00c 48.50c 45.00c KK (%) 2.77 5.23 5.11 7.84 10.97 14.04 15.04 16.14 17.47 Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %. Persentase hidup terus mengalami penurunan hingga 10 MSP (Gambar 7). Perlakuan yang terbaik adalah perlakuan dosis 3 g N /polibag dengan persentase hidup masih mencapai 77.50 % saat 10 MSP. Perlakuan 3 g N memiliki rata-rata persentase hidup yang paling tinggi diantara semua perlakuan dari 2-10 MSP, walaupun dari 2-6 MSP tidak berbeda secara nyata dari perlakuan lainnya. Perlakuan 3 g N menunjukkan tidak berbeda secara nyata dengan perlakuan kontrol dan perlakuan 6 g N. Penurunan persentase hidup perlakuan 3 g N setiap minggunya hampir sama, yaitu rata-rata 2.8 %. Perlakuan dosis N tinggi (15 g N) menunjukkan rata-rata penurunan persentase hidup sebesar 5.55 % setiap minggunya dan penurunan paling besar yaitu pada minggu ke 7 MSP (11.5 %). Sampai 6 MSP pengaruh pupuk N tidak nyata, hal ini karena akar pada bibit belum terben-

tuk dan energi untuk pertumbuhan berasal dari cadangan makanan dalam banir. Saat 7-10 MSP perlakuan 3 g N merupakan yang terbaik, karena dosis N yang lebih tinggi menyebabkan kematian bibit yang lebih banyak. Untuk percobaan selanjutnya, pemupukan N di persemaian polibag sebaiknya diberikan setelah tujuh minggu dari saat penanaman. Persentase Hidup (%) 120 100 80 60 40 20 0 2 3 4 5 6 7 8 9 10 MSP Ke- 0 g N 3 g N 6 g N 9 g N 12 g N 15 g N Gambar 7. Pengaruh Pupuk N Terhadap Persentase Hidup Bibit 20 Berdasarkan Gambar 8 pupuk N memberikan respon yang linear terhadap persentase hidup bibit dari 7 sampai 10 MSP. Terjadi penurunan persentase hidup bibit dengan semakin tingginya dosis N yang diberikan. Bibit dipindah ke lapang apabila telah memiliki tiga daun. Setiap bulannya bibit sagu akan membentuk satu daun baru, sehingga dibutuhkan waktu tiga bulan sampai bibit dipindah tanam ke lapang. Untuk perlakuan 3 g N, pada saat tiga bulan (12 MSP) persentase hidup masih mencapai 73.23 % (rata-rata penurunan persentase hidup setiap minggu 2.8 %), sedangkan pada perlakuan 15 g N persentase hidup hanya tinggal 40.16 % (rata-rata penurunan persentase hidup setiap minggunya 5.55 %). Persentase Hidup Bibit (%) 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 9 MSP(y = -1,7619x + 77,714) R² = 0,795 10 MSP(y = -1,9248x + 76,052) R² = 0,8223 0 3 6 9 12 15 g N/polibag 7 MSP(y = -1,5048x + 83,119) R² = 0,8597 8 MSP(y = -1,6524x + 81,476) R² = 0,8012 7 MSP 8 MSP 9 MSP 10 MSP Gambar 8. Respon Persentase Hidup Bibit Terhadap Pupuk N Saat 7-10 MSP

21 Panjang Daun Pangkasan Salah satu peubah pertumbuhan vegetatif bibit sagu adalah panjang daun. Daun sangat berperan dalam menghasilkan energi untuk pertumbuhan melalui proses fotosintesis. Panjang daun pangkasan adalah panjang daun yang mengalami pemangkasan saat penanaman awal. Berdasarkan hasil rata-rata panjang daun pangkasan dari 2-8 MSP, menunjukkan tidak adanya pengaruh yang nyata dari aplikasi pupuk N (Tabel 4). Walaupun tidak berbeda nyata secara statistik, perlakuan 3 g N/polibag memberikan nilai rata-rata panjang daun pangkasan yang tinggi di setiap pengamatan (7.59-16.00 cm). Secara umum laju pertambahan panjang daun pangkasan hampir sama diantara semua perlakuan dari 2-8 MSP (Gambar 9). Tabel 4. Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Daun Pangkasan N (g/polibag) MSP Ke- 2 3 4 5 6 7 8...cm... 0 6.13 7.79 9.20 10.79 11.26 12.61 13.90 3 7.59 9.70 11.09 12.28 13.51 14.78 16.00 6 6.00 7.75 9.53 10.74 11.83 12.89 14.05 9 7.07 8.49 9.98 10.95 12.42 11.82 12.47 12 7.29 8.60 9.22 9.60 10.65 11.79 12.51 15 5.66 7.18 9.37 10.27 10.61 11.56 12.54 KK (%) 30.61 27.29 28.12 23.59 24.40 22.60 23.24 Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%. tn: tidak berbeda nyata Panjang Daun Pangkasan (cm) 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 2 3 4 5 6 7 8 MSP Ke- 0 g N 3 g N 6 g N 9 g N 12 g N 15 g N Gambar 9. Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Daun Pangkasan

22 Panjang Anak Daun Pangkasan Panjang anak daun pangkasan diukur dari anak daun yang paling panjang pada daun pangkasan. Perlakuan pupuk N tidak berpengaruh nyata terhadap panjang anak daun pangkasan pada 4 sampai 8 MSP, tetapi pada 9 dan 10 MSP terlihat pengaruh yang nyata pada panjang anak daun pangkasan (Tabel 5). Tabel 5. Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Anak Daun Pangkasan N (g/polibag) MSP Ke- 4 5 6 7 8 9 10...cm... 0 0.29 0.32 0.86 1.51 1.56 1.65b 1.85b 3 0.48 0.84 1.43 2.57 3.05 5.84a 6.23a 6 0.39 0.56 0.65 1.07 1.21 1.61b 2.48b 9 0.45 0.71 0.85 0.99 1.41 1.74b 2.21b 12 0.35 0.36 0.49 0.55 0.64 1.50b 1.58b 15 0.39 0.42 0.51 0.71 1.24 2.31b 2.37b Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %. Panjang Anak Daun Pangkasan (cm) 7 6 5 4 3 2 1 0 4 5 6 7 8 9 10 MSP Ke- 0 g N 3 g N 6 g N 9 g N 12 g N 15 g N Gambar 10. Pengaruh Pupuk N terhadap Panjang Anak Daun Pangkasan Perlakuan dosis 3 g N memberikan rata-rata panjang anak daun pangkasan yang paling tinggi dibandingkan semua perlakuan lainnya (Gambar 10). Secara umum perlakuan dosis 12 g N memberikan nilai yang paling rendah diantara semua perlakuan. Pada saat 4 dan 5 MSP perlakuan tanpa aplikasi N memberikan rata-rata panjang anak daun pangkasan lebih rendah dari perlakuan 12 g N, tetapi saat 6 MSP perlakuan tanpa N meningkat lebih tinggi dari pada perlakuan 12 g N (Tabel 6). Pada 4 sampai 6 MSP rata-rata penambahan panjang anak daun pang-

23 kasan hampir sama di setiap perlakuan, tetapi pada 5-10 MSP perlakuan 3 g N menunjukkan pertambahan yang lebih tinggi di setiap minggunya dibandingkan dengan semua perlakuan lain, yaitu sebesar 1.11 cm. Panjang anak daun pangkasan mulai nyata saat 9 MSP, hal ini karena bibit sudah berakar dan menyerap unsur hara untuk pertumbuhannya. Tabel 6. Data Hasil Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Anak Daun Pangkasan Setelah Transformasi N (g/polibag) MSP Ke- 4 5 6 7 8 9 10...cm... 0 0.87 0.88 1.11 1.35 1.37 1.44b 1.50b 3 0.97 1.14 1.38 1.69 1.84 2.49a 2.57a 6 0.91 0.99 1.02 1.20 1.25 1.36b 1.62b 9 0.94 1.08 1.13 1.20 1.36 1.46b 1.60b 12 0.90 0.91 0.96 0.99 1.02 1.34b 1.50b 15 0.93 0.94 0.98 1.07 1.25 1.54b 1.55b KK(%) 26.17 24.76 26.23 31.37 31.22 30.73 30.60 Keterangan: data merupakan hasil dari transformasi y+0.5. angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %. Panjang Anak Daun Pangkasan (cm) 7 6 5 4 3 2 1 0 9 MSP(y = -0,0913x + 3,1267) R² = 0,0921 10 MSP(y = -0,1107x + 3,6167) R² = 0,1304 0 3 6 9 12 15 g N/Polibag 9 MSP 10 MSP Gambar 11. Respon Panjang Anak Daun Pangkasan Terhadap Pupuk N pada 9 dan 10 MSP Berdasarkan uji kontras orthogonal polinomial, pemberian pupuk N memberikan respon yang linear saat 9 dan 10 MSP pada panjang anak daun pangkasan (Gambar 11). Panjang anak daun pangkasan menurun secara linear dengan semakin tingginya dosis N. Nilai R 2 (koefisien determinasi) sangat kecil (0.13 dan

0.09), hal ini berarti persamaan dari pupuk N (peubah bebas) kurang mampu menjelaskan dengan kuat peubah panjang anak daun pangkasan (peubah terikat). 24 Lebar Anak Daun Pangkasan Perlakuan pupuk N tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap lebar anak daun pangkasan dari 4-10 MSP (Tabel 7). Hal tersebut karena daun pangkasan merupakan daun yang pertama kali tumbuh dan pertumbuhannya berasal dari cadangan makanan dalam banir. Perlakuan yang memberikan nilai lebar anak daun pangkasan dari paling tinggi sampai yang rendah secara berturut-turut adalah perlakuan 3 g N (0.78-1.03 cm), 6 g N (0.76-0.89 cm), 9 g N (0.77-0.90 cm), 15 g N (0.77-0.89 cm), 0 g N (0.74-0.87 cm) dan 12 g N (0.76-0.84 cm) (Tabel 8). Walaupun tidak berbeda nyata, perlakuan 3 g N memberikan nilai lebar anak daun pangkasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain (Gambar 12). Tabel 7. Pengaruh Pupuk N Terhadap Lebar Anak Daun Pangkasan N (g/polibag) MSP Ke- 4 5 6 7 8 9 10...cm... 0 0.05 0.06 0.14 0.20 0.21 0.22 0.27 3 0.12 0.21 0.29 0.40 0.45 0.47 0.59 6 0.09 0.10 0.13 0.19 0.19 0.25 0.32 9 0.10 0.17 0.20 0.26 0.28 0.30 0.32 12 0.09 0.09 0.12 0.14 0.16 0.21 0.23 15 0.10 0.11 0.14 0.18 0.27 0.28 0.31 Lear Anak Daun Pangkasan (cm) 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0,0 4 5 6 7 8 9 10 MSP Ke- 0 g N 3 g N 6 g N 9 g N 12 g N 15 g N Gambar 12. Pengaruh Pupuk N Terhadap Lebar Anak Daun Pangkasan

Tabel 8. Data Hasil Pengaruh Pupuk N Terhadap Lebar Anak Daun Pangkasan Setelah Transformasi 25 N (g/polibag) MSP Ke- 4 5 6 7 8 9 10...cm... 0 0.74 0.75 0.79 0.83 0.84 0.85 0.87 3 0.78 0.84 0.88 0.94 0.96 0.97 1.03 6 0.76 0.77 0.79 0.82 0.83 0.85 0.89 9 0.77 0.81 0.83 0.86 0.87 0.88 0.90 12 0.76 0.77 0.78 0.79 0.80 0.83 0.84 15 0.77 0.78 0.79 0.82 0.83 0.87 0.89 KK(%) 8.66 8.76 10.38 13.19 13.89 14.96 15.51 Keterangan: data merupakan hasil dari transformasi y+0.5. Persentase Pemekaran Daun Pangkasan Suatu daun optimal dalam melakukan proses fotosintesis apabila daun sudah mekar sempurna. Dari hasil Tabel 9, terlihat bahwa pupuk N tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase pemekaran daun pangkasan dari 4-10 MSP. Perlakuan 3 g N memberikan rata-rata persentase pemekaran daun pangkasan yang tinggi saat 4-10 MSP dari semua perlakuan lain (9.37-28.12 %) (Gambar 13). Perlakuan yang memberikan nilai panjang daun pangkasan paling rendah adalah perlakuan 12 g N (5.21-11.46 %). Walaupun tidak berbeda nyata, perlakuan 3 g N memberikan nilai yang paling tinggi untuk persentase pemekaran daun pangkasan (Tabel 10). Penambahan persentase pemekaran daun pangkasan setiap minggunya kecil, bahkan banyak yang tidak bertambah, kecuali untuk perlakuan 3 g N (terus bertambah setiap minggu). Tabel 9. Pengaruh Pupuk N Terhadap Persentase Pemekaran Daun Pangkasan N (g/ MSP Kepolibag) 4 5 6 7 8 9 10...%... 0 4.17 4.17 7.29 9.37 9.37 9.37 11.46 3 9.37 13.54 16.67 19.79 22.91 26.04 28.12 6 5.21 6.25 7.29 8.33 9.37 13.54 15.62 9 6.25 9.37 10.41 10.41 12.50 13.54 14.58 12 5.21 5.21 6.25 6.25 6.25 11.46 11.46 15 6.25 6.69 8.33 8.33 9.37 11.46 11.46

Tabel 10. Data Hasil Pengaruh Pupuk N Terhadap Persentase Pemekaran Daun Pangkasan Setelah Transformasi N (g/polibag) MSP Ke- 4 5 6 7 8 9 10...%... 0 2.55 2.55 3.10 3.46 3.46 3.51 3.77 3 3.31 3.95 4.37 4.63 4.94 5.25 5.47 6 2.69 2.81 2.95 3.19 3.31 3.81 4.00 9 2.81 3.43 3.54 3.54 3.74 3.91 4.03 12 2.78 2.78 2.93 2.93 2.93 3.58 3.58 15 2.93 2.98 3.16 3.16 3.30 3.54 3.54 KK (%) 40.96 34.65 35.26 33.71 35.89 36.21 36.54 Keterangan: data merupakan hasil dari transformasi y+4.0 26 30 Persentase Pemekaran Daun Pangkakasan (%) 25 20 15 10 5 0 4 5 6 7 8 9 10 MSP Ke- 0 g N 3 g N 6 g N 9 g N 12 g N 15 g N Gambar 13. Pengaruh Pupuk N Terhadap Persentase Pemekaran Daun Pangkasan Panjang Daun ke-1 Daun ke-1 merupakan daun yang pertama keluar setelah daun pangkasan. Panjang daun diukur dari pangkal banir sampai titik tertinggi dari daun. Perlakuan pupuk N tidak berpengaruh nyata terhadap panjang daun ke-1 saat 4-9 MSP dan baru berpengaruh nyata saat 10 MSP (Tabel 11). Saat 10 MSP, perlakuan 3 g N memberikan nilai panjang daun ke-1 yang paling tinggi (17.74 cm), tetapi tidak berbeda secara nyata dengan perlakuan lainnya (kecuali perlakuan 15 g N). Saat 4 MSP, perlakuan 3 g N memberikan nilai rata-rata panjang daun ke-1 yang paling rendah diantara semua perlakuan. Rata-rata pertambahan panjang daun ke-1 ham-

27 pir sama pada semua perlakuan di setiap minggunya (Gambar 14). Penambahan panjang yang paling besar yaitu perlakuan 3 g N saat 9 MSP yaitu sebesar 3.70 cm. Panjang Daun Ke-1 (cm) 20 15 10 5 0 4 5 6 7 8 9 10 MSP Ke- 0 g N 3 g N 6 g N 9 g N 12 g N 15 g N Gambar 14. Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Daun ke1 Tabel 11. Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Daun ke-1 N (g/polibag) MSP Ke- 4 5 6 7 8 9 10...cm... 0 3.79 4.25 6.04 6.59 9.20 12.45 14.48a 3 3.25 4.59 5.61 7.64 10.56 14.26 17.74a 6 3.94 4.47 5.70 7.06 9.21 12.22 14.60a 9 3.62 4.76 6.00 7.33 10.04 11.87 13.15ab 12 4.40 5.46 5.78 7.63 10.14 12.16 14.34a 15 3.31 3.68 4.60 6.12 7.32 8.73 8.67b KK(%) 59.58 59.29 50.84 45.88 32.49 26.66 23.72 Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %. Panjang Daun 1 (cm) 25 20 15 10 5 y = -0,3876x + 16,737 R² = 0,5421 0 0 3 6 9 12 15 18 g N/polibag Gambar 15. Respon Panjang Daun ke-1 Terhadap Pupuk N Saat 10 MSP

28 Pupuk N memberikan pengaruh yang nyata pada tingkat linear terhadap panjang daun ke-1 saat 10 MSP (Gambar 15). Panjang daun ke-1 terus menurun sampai dengan dosis N tertinggi dengan persamaan y = 16.737-0.387x dan R 2 0.542. Panjang Anak Daun ke-1 Daun ke-1 mulai mengalami pemekaran pada saat 7 MSP. Panjang anak daun diukur pada anak daun yang tengah dari daun ke-1. Dari Tabel 12 dan Tabel 13 dilihat bahwa pemberian pupuk N dengan berbagai dosis tidak berpengaruh nyata terhadap panjang anak daun ke-1 selama 7, 8, 9, dan 10 MSP. Walaupun tidak berbeda nyata, perlakuan 3 g N memberikan nilai rata-rata panjang anak daun ke-1 lebih tinggi diantara semua perlakuan lainnya (1.27-2.47cm) dan yang paling rendah adalah perlakuan 15 g N (1.32-1.61) (Gambar 16). Tabel 12. Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Anak Daun ke-1 N (g/polibag) MSP Ke- 7 8 9 10...cm... 0 0.42 0.97 2.90 3.23 3 0.14 1.19 2.89 4.63 6 0.26 0.66 1.25 1.51 9 0.51 1.23 1.40 2.12 12 0.39 0.45 1.13 2.02 15 0.28 0.30 1.19 1.41 Tabel 13. Data Hasil Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Anak Daun ke-1 Setelah Transformasi N (g/polibag) MSP Ke- 7 8 9 10...cm... 0 1.37 1.55 2.04 2.13 3 1.27 1.63 2.08 2.47 6 1.31 1.42 1.55 1.63 9 1.38 1.63 1.67 1.85 12 1.35 1.36 1.58 1.76 15 1.32 1.32 1.54 1.61 KK(%) 17.81 19.93 29.49 30.43 Keterangan: data merupakan hasil dari transformasi y+1.5.

29 Panjnag Anak Daun Ke-1 (cm) 5,0 4,5 4,0 3,5 3,0 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0 7 8 9 10 0 g N 3 g N 6 g N 9 g N 12 g N 15 g N MSP Ke- Gambar 16. Pengaruh Pupuk N Terhadap Panjang Anak Daun ke-1 Lebar Anak Daun ke-1 Pemberian pupuk N dengan berbagai dosis tidak berpengaruh nyata pada 7 dan 8 MSP terhadap lebar anak daun ke-1 (Tabel 14). Pemberian pupuk N berpengaruh nyata terhadap lebar anak daun ke-1 pada 9 dan 10 MSP. Pada 9 MSP, dosis pupuk 0 g N, 3 g N, dan 9 g N tidak berbeda nyata (Tabel 15). Pada pemberian pupuk dengan dosis terbanyak yaitu 15 g N tidak memberikan hasil yang berbeda nyata dengan pemberian pupuk N pada dosis 6, 9, dan 12 g N (Gambar 17). Pada saat 9 MSP lebar anak daun ke-1 berkisar dari 0.04-0.35 helai dan pada 10 MSP berkisar dari 0.07 sampai 0.54 helai. Tabel 14. Pengaruh Pupuk N Terhadap Lebar Anak Daun ke-1 N (g/polibag) MSP Ke- 7 8 9 10...cm... 0 0.03 0.08 0.31ab 0.39ab 3 0.03 0.10 0.35a 0.54a 6 0.01 0.04 0.11bc 0.16b 9 0.04 0.10 0.14abc 0.18b 12 0.01 0.02 0.11bc 0.20b 15 0.02 0.02 0.04c 0.07b Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %.

Tabel 15. Data Hasil Pengaruh Pupuk N Terhadap Lebar Anak Daun ke-1 Setelah Transformasi N (g/polibag) MSP Ke- 7 8 9 10...cm... 0 0.72 0.76 0.89ab 0.94ab 3 0.73 0.77 0.92a 1.01a 6 0.71 0.73 0.77bc 0.796bc 9 0.73 0.77 0.79abc 0.82bc 12 0.71 0.72 0.77bc 0.82bc 15 0.72 0.73 0.74c 0.75c KK(%) 4.30 5.90 10.14 12.70 Keterangan: data merupakan hasil dari transformasi y+0.5. angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %. Lebar Anak Daun Ke-1 (cm) 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0,0 7 8 9 10 MSP Ke- 0 g N 3 g N 6 g N 9 g N 12 g N 15 g N Gambar 17. Pengaruh Pupuk N Terhadap Lebar Anak Daun ke-1 30 Lebar Anak Daun 1 (cm) 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 9 MSP(y = -0,0194x + 0,3224) R² = 0,7748 10 MSP(y = -0,0248x + 0,4424) R² = 0,6381 0 3 6 9 12 15 g N/polibag 9 MSP 10 MSP Gambar 18. Respon Lebar Anak daun ke-1 Terhadap Pupuk N Saat 9 dan 10 MSP

31 Pada 10 MSP, perlakuan paling baik adalah dosis 3 g N, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan 0 g N. Pemberian pupuk dengan dosis 6, 9, 12, dan 15 juga tidak berbeda nyata dengan tanaman yang tidak dipupuk (perlakuan 0 g N) terhadap lebar anak daun ke-1. Gambar 18 menunjukkan bahwa pupuk N memberikan respon yang linear terhadap lebar anak daun ke-1 saat 9 dan 10 MSP. Jumlah Anak Daun ke-1 Pada Tabel 16 dan Tabel 17 terlihat pemberian pupuk N tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah anak daun ke-1. Pada saat 7 dan 8 MSP perlakuan 9 g N memberikan nilai jumlah anak daun ke-1 paling banyak sedangkan pada 9 dan 10 MSP perlakuan 3 g N yang paling tinggi (Gambar 19). Jumlah anak daun ke-1 pada 10 MSP berkisar dari 0.67-4.32 helai. Tabel 16. Pengaruh Pupuk N Terhadap Jumlah Anak Daun ke-1 N (g/polibag) MSP Ke- 7 8 9 10...helai... 0 0.14 0.50 2.27 3.20 3 0.06 0.52 2.54 4.32 6 0.07 0.28 1.04 1.14 9 0.27 0.67 1.26 1.36 12 0.06 0.05 1.18 1.92 15 0.08 0.10 0.31 0.67 Jumlah Anak Daun Ke-1 (helai) 5,0 4,5 4,0 3,5 3,0 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0 7 8 9 10 MSP Ke- 0 g N 3 g N 6 g N 9 g N 12 g N 15 g N Gambar 19. Pengaruh Pupuk N Terhadap Jumlah Anak Daun ke-1

Tabel 17. Data Hasil Pengaruh Pupuk N Terhadap Jumlah Anak Daun ke-1 Setelah Transformasi N (g/polibag) MSP Ke- 7 8 9 10...helai... 0 1.27 1.41 1.92 2.13 3 1.24 1.42 2.00 2.41 6 1.25 1.31 1.51 1.55 9 1.31 1.45 1.64 1.66 12 1.24 1.24 1.61 1.78 15 1.25 1.25 1.33 1.45 KK(%) 7.90 11.83 21.11 24.55 Keterangan: data merupakan hasil dari transformasi y+1.5. 32 Persentase Pemekaran Daun ke-1 Daun ke-1 sudah mekar sempurna ditandai dengan sudah membukanya a- nak daun. Pada Tabel 18 terlihat bahwa pada 7 dan 8 MSP, pemberian pupuk N tidak berpengaruh nyata terhadap persentase pemekaran daun ke-1. Pada 9 dan 10 MSP pemberian pupuk N berpengaruh nyata terhadap persentase pemekaran daun ke-1. Perlakuan yang paling baik adalah perlakuan 3 g N (6.35 %), tetapi tidak berbeda secara nyata dengan perlakuan tanpa N (Tabel 19). Perlakuan dengan N dosis tinggi (15 g) memberikan nilai persentase pemekaran daun ke-1 yang paling sedikit (2.85 %) (Gambar 20). Tabel 18. Pengaruh Pupuk N Terhadap Persentase Pemekaran Daun ke-1 N (g/polibag) MSP Ke- 7 8 9 10...cm... 0 3.33 6.66 25.00ab 28.33ab 3 1.67 10.00 26.66a 36.66a 6 1.67 3.33 8.33abc 10.00bc 9 5.00 10.00 10.00abc 13.33bc 12 1.67 1.67 6.66bc 10.00bc 15 1.67 1.67 3.33c 5.00c Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %.

33 Persentase Pemekaran Daun ke-1 (%) 7 6 5 4 3 2 1 0 7 8 MSP Ke- 9 10 0 g N 3 g N 6 g N 9 g N 12 g N 15 g N Gambar 20. Pengaruh Pupuk N Terhadap Persentase Pemekaran Daun ke-1 Tabel 19. Data Hasil Pengaruh Pupuk N Terhadap Persentase Pemekaran Daun ke-1 Setelah Transformasi N (g/polibag) MSP Ke- 7 8 9 10...%... 0 2.63 3.17 5.25ab 5.52ab 3 2.31 3.71 5.48a 6.35a 6 2.31 2.54 3.02bc 3.34bc 9 2.72 3.58 3.58abc 3.96bc 12 2.31 2.31 3.17bc 3.51bc 15 2.31 2.31 2.54c 2.85c KK(%) 36.64 31.05 36.42 33.94 Keterangan: data merupakan hasil dari transformasi y+4.0. angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %. Persentase Pemekaran Daun 1 (%) 40 35 30 25 20 15 10 5 0 9 MSP(y = -1,5874x + 25,236) R² = 0,8027 10 MSP(y = -1,841x + 31,027) R² = 0,6932 0 3 6 9 12 15 g N/polibag 9 MSP 10 MSP Gambar 21. Respon Persentase Pemekaran Daun ke-1 Terhadap Pupuk N Saat 9 dan 10 MSP

34 Pupuk N memberikan respon yang linear terhadap persentase pemekaran daun ke-1 saat 9 dan 10 MSP (Gambar 21). Saat 10 MSP, terjadi penurunan persentase pemekaran daun ke-1 secara linear sampai dengan dosis 15 g N dengan persamaan y = 31.027 1.841x. Jumlah Daun Pada saat 10 MSP, terlihat bahwa pupuk N memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah daun pada bibit (Tabel 20). Perlakuan yang memberikan rata-rata jumlah daun paling banyak adalah perlakuan 3 g N, tetapi tidak berbeda secara nyata dengan kontrol (0 g N). Perlakuan yang jumlah daunnya paling sedikit adalah perlakuan dengan dosis N paling tinggi (1.28 helai) (Gambar 22). Tabel 20. Pengaruh Pupuk N Terhadap Jumlah Daun Saat 10 MSP N (g/polibag) Jumlah Daun (helai) 0 1.44a 3 1.48a 6 1.45a 9 1.30bc 12 1.42ab 15 1.28c KK(%) 5.76 Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %. Jumlah Daun (helai) 1,50 1,40 1,30 1,20 1,10 0 g N 3 g N 6 g N 9 g N 12 g N 15 g N Gambar 22. Pengaruh Pupuk N Terhadap Jumlah Daun Saat 10 MSP Gambar 23 menunjukkan bahwa pupuk N memberikan respon yang linear terhadap jumlah daun. Perlakuan yang memberikan jumlah daun paling banyak adalah perlakuan 3 g N dan terus mengalami penurunan jumlah daun sampai perlakuan 15 g N dengan persamaan y = 1.475 0.0108x dan R 2 = 0.519.

35 Jumlah Daun (helai) 1,8 1,7 1,6 1,5 1,4 1,3 1,2 1,1 1 y = -0,0108x + 1,4757 R² = 0,519 0 3 6 9 12 15 g N /polibag Gambar 23. Respon Jumlah Daun Terhadap Pupuk N Bobot Segar dan Bobot Kering Tabel 21 menunjukkan bahwa pupuk N tidak berpengaruh nyata terhadap bobot segar tajuk, bobot segar akar, bobot kering tajuk, bobot kering akar dan rasio tajuk-akar (SRR). Perlakuan 3 g N memberikan nilai bobot segar tajuk 44.79 g dan bobot kering tajuk sebesar 6.31 g. Nilai bobot kering tajuk berkisar dari 5.30-9.59 g dan bobot kering akar berkisar dari 0.29 sampai 0.65 g. Tabel 21. Pengaruh Pupuk N Terhadap Bobot Segar dan Bobot Kering N (g/polibag) Bobot segar (g) Bobot kering (g) Rasio tajuk- Tajuk Akar Tajuk Akar akar (SRR) 0 44.79 2.93 6.31 0.35 21.27 3 70.44 5.57 9.59 0.65 16.47 6 40.67 2.79 5.47 0.29 22.56 9 51.43 2.95 7.39 0.35 26.03 12 36.33 3.37 5.35 0.39 12.60 15 36.46 2.44 5.30 0.38 16.67 KK (%) 52.45 50.26 53.28 47.52 55.68 Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5 %. Perlakuan 3 g N juga memberikan nilai bobot kering tajuk dan akar paling besar dibandingkan semua perlakuan lainnya (Gambar 24). Bobot kering tajuk paling rendah yaitu pada perlakuan 15 g N (5.30 g) dan bobot kering akar paling rendah adalah perlakuan 6 g N (0.29 g).

36 Bobot kering (g) 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 9,59 7,39 6,31 5,47 5,35 5,30 0,35 0,65 0,29 0,35 0,39 0,38 0 3 6 9 12 15 g N/polibag tajuk akar Gambar 24. Pengaruh Pupuk N Terhadap Bobot Kering Tajuk dan Akar Nilai ratio tajuk-akar (SSR) merupakan perbandingan antara bobot kering tajuk terhadap bobot kering akar. SRR lebih dari satu menunjukkan pembentukan tajuk lebih dominan dari pada pembentukan akar. Nilai SSR yang paling besar sampai paling kecil secara berturut-turut yaitu perlakuan 9 g N (26.03), 6 g N (22.56), 0 g N (21.27), 15 g N (15.67), 3 g N (16.47) dan perlakuan 12 g N (12.60). Perlakuan 3 g N memiliki bobot kering tajuk paling tinggi dari semua perlakuan, tetapi sebanding juga dengan bobot kering akarnya yang besar sehingga nilai SRR nya lebih kecil dari perlakuan 9, 6, 0 dan 15 g N. Pembahasan Persemaian bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan vegetatif, menyeragamkan pertumbuhan bibit, dan mempunyai ketahanan yang lebih tinggi saat dipindahkan ke lapang (Listio, 2007). Permintaan bibit sagu untuk mencukupi penanaman terutama untuk perkebunan sangat banyak dibutuhkan. Menurut Jong (1995), permasalahan dalam penyediaan bibit adalah rendahnya daya hidup bibit saat di persemaian dan saat pindah tanam ke lapang. Pada percobaan ini, persemaian menggunakan sistem polibag, dengan media tanam adalah tanah di sekitar tempat percobaan (tanah gambut). Dari hasil percobaan dapat dilihat bahwa pupuk N memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase hidup bibit. Persentase hidup bibit menurun secara linear dengan semakin tingginya dosis N yang diberikan. Perlakuan dosis N mem-

37 berikan pengaruh yang nyata terhadap persentase hidup bibit pada 7-10 MSP. Hasilnya menunjukkan dosis dengan N semakin tinggi menyebabkan persentase hidup yang lebih rendah. Dosis dengan 3 g N saat 10 MSP persentase hidupnya masih di atas 70 %, sedangkan dosis dengan N paling tinggi (15 g N) persentase hidupnya hanya 45 %. Hal ini diduga bibit dengan dosis N tinggi mengalami keracunan dan kelebihan unsur N. Menurut Bintoro et al. (2010) bahwa pemberian dosis N, P dan K yang tinggi dapat menyebabkan kematian pada bibit sagu. Dalam percobaan ini sumber pupuk N menggunakan pupuk urea dengan kandungan N 46 %. Hardjowigeno (2007) menyatakan dalam proses pembuatan urea sering terbentuk senyawa biuret yang merupakan racun bagi tanaman apabila terdapat dalam jumlah yang banyak. Jumlah pupuk yang diberikan berhubungan dengan kebutuhan tanaman a- kan unsur hara, kandungan unsur hara yang ada di tanah dan kandungan unsur hara yang terdapat dalam pupuk. Tanah yang digunakan adalah tanah gambut, Purwanto et al. (2002) menyatakan tanah gambut memiliki kerapatan tanah (bulk density) yang rendah, rendahnya ph dan rendahnya unsur hara N, P, K, Ca, Zn serta Cu. Noor (2001) menyatakan tanah gambut mempunyai kandungan N total yang tinggi, namun tidak tersedia bagi tanaman karena rasio C/N tinggi. Oleh karena itu tanaman pada tanah gambut mengindikasikan gejala kekurangan N pada awal pertumbuhannya. Pupuk N tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah daun pangkasan, yang meliputi panjang, panjang anak daun dan persentase pemekaran. Daun pangkasan merupakan daun yang dibawa (terdapat) pada bibit saat penanaman awal. Menurut Maulana (2011) setelah bibit dipisahkan dari tanaman induknya, daun pertama mendapatkan energi untuk pertumbuhannya berasal dari cadangan makanan pada banir bibit. Oleh karena itu, pupuk N tidak memberikan pengaruh terhadap peubah daun pangkasan kecuali panjang anak daun. Panjang anak daun pangkasan baru nyata pada minggu ke 9 dan 10 MSP, ini menunjukkan pupuk N telah berpengaruh pada bibit karena cadangan makanan dalam banir bibit sudah mulai habis dan bibit telah mampu melakukan fotosintesis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Maulana (2011) pada minggu ke-5 setelah semai pada bibit dengan bobot mimimal 0.5 kg telah habis cadangan

38 makanan dalam banirnya dan energi berasal dari hasil fotosintesis dari daun. Irawan (2004) menyatakan semakin berat bobot bibit maka semakin banyak pula cadangan makanan dalam banir yang digunakan untuk pembentukan tunas dan akar. Pada percobaan ini bibit yang digunakan merupakan bibit dengan bobot kurang dari 1 kg, sehingga cadangan makanan dalam banir semakin cepat habis. Pupuk N berpengaruh nyata pada minggu 10 MSP terhadap panjang daun ke-1. Daun ke-1 mulai muncul pada minggu ke-4 setelah perlakuan. Hal ini sesuai dengan (Flach, 1997) bahwa tanaman sagu mengeluarkan satu daun baru dari titik tumbuhnya setiap satu bulan sekali. Pertumbuhan daun ke-1 mendapatkan energi yang berasal dari fotosintesis daun pangkasan. Panjang daun ke-1 diawal kecil, hal ini karena energi yang digunakan dalam pertumbuhan daun ke-1 berasal dari fotosintesis daun pangkasan. Daun pangkasan memiliki luas yang kecil karena sebagian dari daun mengalami pemangkasan saat sebelum tanam, oleh karena itu bidang fotosintesis semakin kecil juga. Panjang daun ke-1 menurun secara linear dengan semakin tingginya dosis N (sampai 15 g N/polibag). Hal ini diduga pupuk N yang berlebihan dapat menghambat pertumbuhan bibit dan pupuk tidak diserap oleh bibit. Dosis 3 g N merupakan dosis yang paling baik dalam menghasilkan panjang daun ke-1 tetapi tidak berbeda nyata dengan tanpa pupuk N. Berdasarkan penelitian Lina et al. (2009) bahwa pemupukan pada bibit sagu dengan semakin tinggi dosis N menghasilkan tingkat pertumbuhan bulanan lebih rendah dibandingkan dengan tanpa pemupukan N. Daun ke-1 baru mengalami pemekaran pada minggu 7 MSP. Pertumbuhan daun pangkasan akan semakin lambat atau berhenti saat telah muncul daun berikutnya (daun ke-1) karena energi untuk pertumbuhan banyak disalurkan ke pertumbuhan daun ke-1 (Wibisono, 2011). Gardner et al. (2008) juga menyatakan panjang, lebar dan luas daun umumnya meningkat berangsur - angsur sampai ke suatu titik, kemudian menurun sehingga daun terbesar berada pada pusat tanaman (daun baru). Hal ini dapat dilihat dengan pertumbuhan panjang daun pangkasan yang sudah melambat saat daun ke-1 sudah muncul dan mekar. Pupuk N memberikan pengaruh yang nyata terhadap lebar anak daun ke-1 saat 9 dan 10 MSP. Dosis yang paling baik dalam menghasilkan lebar anak daun

39 ke-1 adalah 3 g N, tetapi tidak berbeda nyata dengan 0 g N. Lebar anak daun ke-1 terus menurun secara linear dengan semakin tingginya dosis N. Hal ini diduga dosis N yang berlebihan dapat merusak proses penyerapan nitrogen oleh bibit sehingga pertumbuhan bibit akan terganggu. Berdasarkan penelitian Purwanto et al. (2002) pemupukan pada tanaman sagu di lapang dengan kandungan N yang lebih tinggi walaupun tidak berbeda nyata, tetapi menghasilkan jumlah daun yang lebih sedikit. Percobaan yang dilakukan Lina et al. (2008) menemukan pemupukan N memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah anak daun. Pada hasil pupuk N tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap panjang anak daun dan jumlah anak daun ke-1. Hal ini karena tanah yang digunakan tanah gambut. Menurut Jong et al. (2008) tingkat penyerapan nitrogen oleh tanaman sagu pada tanah gambut lebih rendah dibandingkan pada tanah mineral. Selain itu unsur N merupakan unsur yang mudah mengalami kehilangan melalui pencucian (Gardner et al., 2008). Tanah gambut memiliki bulk density yang sangat rendah yaitu rata-rata 0.1 g/cm 3 (Kueh et al., 1991 ; Tie et al., 1991). Menurut Hardjowigeno (2007) semakin rendah bulk density berarti semakin mudah tanah tersebut untuk meneruskan air dan hara-hara di dalamnya. Pupuk N tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap bobot segar tajuk dan akar. Bobot segar kurang akurat dalam menunjukkan tingkat pertumbuhan karena nilainya berfluktuasi sesuai dengan keadaan kelembaban (Gardner et al., 2008). Nazari (2008) juga menemukan bahwa pupuk NPK tidak memberikan pengaruh terhadap bobot segar bibit kelapa sawit di pembibitan utama. Bobot kering umumnya digunakan sebagai petunjuk yang memberikan ciri pertumbuhan (Gardner et al., 2008). Pupuk N tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot kering tajuk dan akar bibit sagu. Percobaan yang dilakukan oleh Harefa (1986) pada bibit kelapa juga tidak menunjukkan pengaruh pupuk N terhadap bobot kering tajuk dan akar. Hasil percobaan menunjukkan bahwa bobot kering tajuk dan akar paling tinggi pada perlakuan 3 g N dan paling rendah pada dosis N yang paling tinggi. Hasil ini sesuai dengan percobaan Kakuda et al. (2005) yang menyatakan bobot kering akar semakin berkurang dengan pemberian tingkat nitrogen yang tinggi.

40 Tanah yang digunakan memiliki ph yang rendah yaitu 3.8-4.0. Sabiham et al. (1989) menyatakan pada tanah masam dengan ph dibawah lima akan menghambat pertumbuhan bakteri terutama Nitrobacter (bakteri yang berperan dalam pembentukan nitrat), sehingga proses oksidasi NH + 4 menjadi NO - 3 akan terhambat. Hal ini akan menyebabkan penumpukan NO - 2 yang berbahaya bagi tanaman karena tidak seimbangnya antara pembentukan NO - 2 dan NO - 3. Bibit sagu dengan dosis N yang tinggi diduga keracunan nitrit (NO - 2 ) dan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan akar. Menurut penelitian Lina et al. (2009) tingkat efisiensi penggunaan pupuk N oleh tanaman sagu sangat rendah. Pada bibit nilai efisiensi penggunaan pupuknya 10-20 % dan pada tanaman sagu umur dua tahun hanya 5-15 %. Oleh karena itu pemberian pupuk N pada tanaman sagu belum banyak memberikan pengaruh yang nyata. Rendahnya efisiensi penyerapan N oleh tanaman sagu dapat diperhatikan sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan pemupukan N agar tidak banyak terjadi kehilangan pupuk.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dosis 3 g N merupakan dosis terbaik untuk panjang anak daun pangkasan. Secara keseluruhan untuk peubah yang lain, perlakuan tanpa pupuk N dan perlakuan dosis 3 g N memberikan hasil yang baik dibandingkan dengan semua perlakuan lainnya. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pemupukan N pada bibit sagu di persemaian sistem polibag dengan dosis N yang lebih rendah yaitu 3 g/ polibag. Selain pemupukan melalui tanah, mungkin dapat dikombinasikan dengan pupuk daun.

DAFTAR PUSTAKA Ando, H, D. Hirabayhasi, K. Kakuda, A. Watanabe, J.F. Shoon and B.H. Puruwant. 2007. Effect of chemical fertilizer application on the growt and nutrient contents in leaflet of sago palm at the rosette stage. Jpn. J. Trop. Agr. 51(3) :102-108. Asmara, A. 2005. Pengelolaan Tanaman Sagu (Metroxylon spp) di PT. National Timber and Forest Product Unit HTI Murni Sagu, Selat Panjang Riau, Dengan Studi Kasus Persemaian. Skripsi. Departemen Budidaya Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. 57 hal. Atmawidjaja, R. 1992. Komoditi Sagu Ditinjau dari Kepentingan Nasional (Prospek dan Permasalahannya). Prosiding Simposium Sagu Nasional. Fakultas Pertanian Universitas Pattimura. Ambon. Hal. 49-54 Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. 2007. Tanaman sagu sebagai sumber energi alternatif. Warta Penelitian dan Pertanian 29 (4):3-4. Barchia, M.F. 2006. Gambut, Agroekosistem dan Transformasi Karbon. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 196 hal. Bintoro, H.M.H. 2008. Bercocok Tanam Sagu. IPB Press. Bogor. 71 hal. Bintoro, H.M.H, N. Mashud dan H. Novarianto. 2007. Status Teknologi Sagu (Metroxylon sagu sp.). Prosiding Lokakarya Pengembangan Sagu di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Bogor. Hal 76-94 Bintoro, H.M.H, Yanuar J.P dan Shandra A. 2010. Sagu di Lahan Gambut. IPB Press. Bogor. 169 hal. Djoefrie, H.M.H.B. 1999. Pemberdayaan tanaman sagu sabagai penghasil bahan pangan alternatif dan bahan baku agroindustri yang potensial dalam rangka ketahanan pangan nasional. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Tanaman Perkebunan Fakultas Pertanian, IPB. Bogor. 69 hal. Djoefrie, H.M.H.B. dan Soebijandojo. 1993. Pemanfaatan Limbah Sagu dan Kotoran Ayam Sebagai Media Tanam dan Pemupukan NP Pada Pembibitan Cengkeh. Prosiding Simposium Sagu Nasional. Fakulas Pertanian Universitas Pattimura. Ambon. Hal 107-114 Djoefrie, H.M.H.B. dan M. Sianipar. 1993. Pemanfaatan Limbah Sagu Sebagai Media Tanam dan Pemupukan NPK Untuk Pembibitan Kakao. Prosiding Simposium Sagu Nasional. Fakulas Pertanian Universitas Pattimura. Ambon. Hal 173-180

Flach, M. 1983. Yield Potential of the Sago Palm, Metroxylon sago and Its Realisation. Paper of the First International Sago Symposium. Kuching. pp 157-177. Flach, M. 1997. Sago Palm. Metroxylon sagu Rottb. Promoting the conservation and used of underutilized and neglated corps. 13. IPGRI. Rome. Italy. 76 hal. Flach, M and D.L. Schuiling. 1991. Growth and Yield of Sago Palms in Relation to Their Nutritional Needs, p.103-110. in Proceding of The Four International Sago Symposium, Khucing, Sarawak, Malaysia. TT. Ng, YL. Tie and H.S. Kueh (Eds). Lee Ming Press. Khucing. Gardner, F.P., R.B. Pearce, dan R.L. Mitchell. 2008. Fisiologi Tanaman Budidaya (diterjemahkan dari:physiology of Crop Plants, penerjemah: H.Susilo). Pener-bit Universitas Indonesia. Jakarta. 428 hal. Hardjowigeno, S. 2007. Ilmu Tanah. Akademika Presindo. Jakarta. 288 hal. Harefa, F. 1986. Pengaruh Pemupukan Nitrogen Terhadap Pertumbuhan Dua Bibit Kelapa Hibrida. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. 81 hal. Harjadi, S.S. 1996. Pengantar Agronomi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 197 hal. Haryanto, B. dan P. Pangloli. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius. Yogyakarta. 140 hal. Haryanto, B. 1993. Proses Ekstraksi sagu di Plot Ciampea Bogor. Prosiding Simposium Sagu Nasional. Fakulas Pertanian Universitas Pattimura. Ambon. Hal 159-166. Irawan, A. F. 2004. Pengelolaan Persemaian Bibit Sagu (Metroxylon spp.) di Perkebunan PT National Timber and Forest Product Unit HTI Murni Sagu, Selat Panjang, Riau. Skripsi. Departemen Budidaya Pertanian, fakultas Pertanian IPB. Bogor. Irawan, A.F, Y. Yamamoto, A. Miyazaki, T. Yoshida and J.F. Shoon. 2009a. Characteristics of sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) suckers from various mother palms at growth stages in Tebing Tinggi island, Riau, Indonesia. Tropical Agriculture and Development. 53(1) :1-6. Irawan, A.F, Y. Yamamoto, A. Miyazaki, T. Yoshida and J.F. Shoon. 2009b. Characteristics of suckers from sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) grown in different soil types in Tebing Tinggi island, Riau, Indonesia. Tropical Agriculture and Development. 53(4) :103-111. 43

Jong, F.S. 1995. Research for Development of Sago Palm (Metroxylon sagu Rottb.) Cultivation in Sarawak, Malaysia. Ph.D. Dissertation of Agricultural University. Wageningen. 139p. Jong, F.S. 2007. The Commercial Potentials of Sago Palm and Methods of Commercial Sago Palm (Metroxylon sagu ROTTB.) Plantation Establishment. Prosiding Lokakarya Pengembangan Sagu di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Bogor. Hal 51-62. Jong, F.S and H.S. Kueh. 1995. Sago palm (Metroxylon sagu) cultivation: factors affecting the subsequent survival rate of suckers in the nursery. Jpn. J. Trop. Agr. 39(2) :116-124. Jong, F.S, A. Watanabe, Y. Sasaki, K. Kakuda and H. Ando. 2008. a Study on the Growth Response of Young Sago Palm to the Omission of N,P and K in Cultural Solution, p.103-112. In Proceding of the 9 th International Sago Symposium: Sago: its Potential in Food and Industry. Y. Toyoda, M. Okazaki, M. Quevedo and J. Bacusmo (Eds). TUAT Press. Tokyo. Josue, A.R dan M. Okazaki. 2002. Sago Cultivation in Northern Mindano, Philippines p.43-50. in The International Symposium on Sago: New Frontiers of Sago Palm Studies. K. Kainuma, M. Okazaki, Y. Toyota and J.E Cecil (Eds). Universal Academy Press. Tsukuba. Kakuda, K, A. Wanatabe, H. Ando dan F.S. Jong. 2005. Effects of fertilizer application on the root and aboveground biomass of sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) cultivated in peat soil. Jpn. J. Trop. Agr. 49 (4) : 264-269. Kueh H.S. 1995. The effect of soil applied NPK fertilizers on the growth of the sago palm (Metroxylon sagu, rottb.) on undrained deep peat. Acta Horticultura. 389:67-76. Kueh, H.S, R. Elone, T. Yiu-Liong, U. Chin-Min and J. Hj. Osman. 1991. The Feasibility of Plantation Production of Sago (Metroxylon sagu) on an Organic Soil in Sarawak, p.127-136. in Proceding of The Four International Sago Symposium, Khucing, Sarawak, Malaysia. TT. Ng, YL. Tie and H.S. Kueh (Eds). Lee Ming Press. Khucing. Lina, S.B, M. Okazaki, D. S. Kimura, Y. Yano, K. Yonebayashi, M. Igura, M. A. Quevedo and A. B. Loreto. 2009. Nitrogen uptake by sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) in the early growth stages. Soil Science and Plant Nutrition. 55: 123-144. Listio, D. 2007. Pengelolaan Perkebunan Sagu (Metroxylon spp.) Aspek Persemaian di PT National Timber And Forest Product Unit HTI Murni Sagu, Selat Panjang, Riau. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB. Bogor. 44

45 Mashud, N, H. Novarianto and B. Prastowo. 2008. Ex Situ and In Situ Sago Conservation in Indonesia, p.53-62. In Proceding of the 9 th International Sago Symposium: Sago: its Potential in Food and Industry. Y. Toyoda, M. Okazaki, M. Quevedo and J. Bacusmo (Eds). TUAT Press. Tokyo. Maulana, A. 2011. Pengelolaan Sagu (Metroxylon spp) di PT National Sago Prima, Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau : Seleksi Bibit Sagu Berdasarkan Jenis, Tinggi Pohon Induk dan Bobot Bibit Sagu Terhadap Pertumbuhan Bibit Sagu di Persemaian. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Miftahudin, D. Ratnadewi, Hamim dan Tridiati. 2010. Fisiologi Tumbuhan Dasar -Buku II. Departemen Biologi Institut Pertanian Bogor. Bogor. 99 hal. Nazari, Y.A. 2008. Respon pertumbuhan bibit kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) pada pembibitan awal terhadap pupuk NPK mutiara. Ziraa ah 23(3):170-184 Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut. Kanisius. Yogyakarta. 174 hal. Notohadiprawiro, T. dan J. E. Louhenapessy. 1992. Potensi Sagu Dalam Penganekaragaman Bahan Pangan Pokok Ditinjau Dari Persyaratan Lahan. Prosiding Simposium Sagu Nasional. Fakulas Pertanian Universitas Pattimura. Ambon. Hal. 99-106 Pinem, A. 2008. Pengelolaan Perkebunan Sagu (Metroxylon spp.) di PT National Timber and Forest Product unit HTI Murni Sagu Selat Panjang, Riau, Dengan Studi Kasus Persemaian Menggunakan Berbagai Media dan Bobot Bibit. Skripsi. Departemen Agronomi Hortikultura IPB. Bogor. 43 hal. Purwanto, B.H, K. Kakuda, H. Ando, J.F. Shoon, Y. Yamamoto, A. Wanatabe and T. Yoshida. 2002. Nutrient availability and response of sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) to controlled release N fertilizer on coastal lowland peat in the tropics. Soil Science and Plant Nutrition. 48(4) :529-537. Rumalatu, F.J. 1981. Distribusi dan Potensi Produk Pati dari Batang Beberapa Jenis Sagu ( Metroxylon sp.) di Daerah Seram Barat. Thesis. Fakultas Pertanian Kehutanan Universitas Pattimura. Afiliasi Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rusli, Y. 2007. Pengembangan Sagu di Indonesia: Strategi, Potensi dan Penyebarannya. Prosiding Lokakarya Pengembangan Sagu di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Bogor. Halaman 14-24

Sabiham, S, G. Soepardi dan S. Djokosudarjo. 1989. Pupuk dan Pemupukan. Departemen Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 142 hal. Sarief, S. 1985. Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Pustaka Buana. Bandung. 180 hal. Schuiling, D.L. 2009. Growth and Development of True Sago Palm (Metroxylon sagu Rottboll) With Special Reference to Accumulation of Starch in The Trunk. Thesis. Wageningen University. Wageningen. 259 p Schuiling, D.L and M. Flach. 1985. Guidelines For The Cultivation of Sago Palm. Dep. of Trop. Crop. Sci. Agri. Univ. Wageningen. The Netherlands. 34p. Sim, E.S and M.I. Ahmed. 1991. Leaf Nutrient Variations in Sago Palm, p. 92-102. in Proceding of The Four International Sago Symposium, Khucing, Sarawak, Malaysia. TT. Ng, YL. Tie and H.S. Kueh (Eds). Lee Ming Press. Khucing. Suseno, H. 1974. Fisiologi Tumbuhan. Metabolisme Dasar dan Beberapa Aspeknya. Departemen Botani Institut Pertanian Bogor. Bogor. 273 hal. Sutedjo, M.M. 1994. Pupuk dan Cara Pemupukan. Rineka Cipta. Jakarta. 175 hal. Tie Yiu-Liong, L. Kuong-Soon and K. L. Eng-Tian. 1991. The Geographical Distribution of Sago (Metroxylon spp.) and the Dominant Sago-Growing Soils in Sarawak, p.36-45. in Proceding of The Four International Sago Symposium, Khucing, Sarawak, Malaysia. TT. Ng, YL. Tie and H.S. Kueh (Eds). Lee Ming Press. Khucing. Wibisono, M.A. 2011. Pengelolaan Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) di PT. National Sago Prima, Kab. Kepulauan Meranti, Riau, Dengan Studi Kasus Pengaruh Teknik Persemaian Dan Jenis Tanaman Induk Terhadap Pertumbuhan Bibit Sagu. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB. Bogor. 67 hal. 46

LAMPIRAN

48 Lampiran 1. Layout Percobaan Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4 U P2 P5 P1 P0 P3 P2 P4 P1 P0 P3 P5 P4 P1 P4 P2 P5 P5 P1 P0 P3 P4 P0 P3 P2 Keterangan: P0: Perlakuan kontrol (tanpa pupuk N) P1: Perlakuan dosis 3 g N/polibag P2: Perlakuan dosis 6 g N/polibag P3: Perlakuan dosis 9 g N/polibag P4: Perlakuan dosis 12 g N/polibag P5: Perlakuan dosis 15 g N/polibag

49 a b c Lampiran 2. Persiapan Abut Sebelum Tanam a) Abut yang Baru Sampai di Lokasi Persemaian, b) Pemangkasan dan Pembersihan Abut dan c) Abut Setelah Dipangkas dan Dibersihkan a Lampiran 3. Pemeliharaan Pemangkasan Pada Bibit a) Pemangkasan Pada Bibit yang Mengalami Pembusukan dan b) Pertumbuhan Tunas Setelah Pemangkasan b

50 a b c d e f Lampiran 4. Keadaan Bibit di Akhir Pengamatan Sebelum Ditimbang Bobot Segar dan Kering a) 0 g N, b) 3 g N, c) 6 g N, d) 9 g N, e) 12 g N dan f) 15 g N