EVALUASI PEJANTAN FRIES HOLLAND DENGAN METODE CONTEMPORARY COMPARISON DAN BEST LINEAR UNBIASED PREDICTION Dwi Wahyu Setyaningsih 1) 1) Dosen Fakultas Pertanian Unsoer Ngawi Abstract Progeny test a study was carried out on five Holstein Friesian Bulls at Artificial Insemination Centre Singosari Malang. The study was based on 34 milk production records of daughter cows. The progeny test was done based on contemporary comparison (CC) and Best Linear Unbiased Prediction (BLUP) methods. The result analysis showed that CC values of D, A, B, F and E bulls were 194,754 kg, 13,31 kg, 108,084 kg, -16,747 kg and -338,985 kg respectively. Therefore Best Linear Unbiased Prediction (BLUP) values of B, B, A, F and E bulls were 93,5 kg, 81,9 kg, -9,1 kg, -67,3 kg and -99,0 kg respectively. There was no significant Spearman s rank correlation between the CC method and BLUP method. According to the superiority of these methods, it was known that the CC method was still a reliable method for progeny test. Keywords : progeny test, zuriat contemporary comparison, best linear unbiased prediction PENDAHULUAN Perbaikan mutu genetic sapi perah dapat dilakukan dengan cara seleksi. Faktor genetic tidak nampak dari luar sehingga untuk menilainya dilakukan pendugaan. Pendugaan mutu genetic pejantan menurut Hardjosubroto (1994), dapat dilakukan atas dasar performance anak betinanya. Pejantan sapi perah khususnya yang diuji untuk sifat produksi susu, maka pendugaan kemampuan genetic pejantan di duga dari produksi susu anak betinanya. Seleksi pejantan dengan cara tersebut dinamakan Uji Zuriat atau Progeny Test. Memasuki pasar bebas akan terjadi kom petisi yang intensif. Alternative yang dilakukan bidang peternakan adalah dengan peningkatan populasi dan produksi melalui perbaikan mutu genetic dengan jalan pengujian terhadap potensi genetic ternak diantaranya dengan peningkatan mutu potensi pejantan melalui uji Zuriat atau uji Progeny. Uji Progeny ini ada berbagai metode diantaranya BLUP, dengan fasilitas recording dan organisasi yang lebih komplek. Namun ada juga seleksi dengan metode CC yang lebih mudah dan sederhana. Peternak pada umumnya memiliki pengetahuan dan ketrampilan serta fasilitas recording terbatas, maka metode CC kemungkinan masih relevan digunakan oleh peternak di Indonesia. AGRI-TEK: Jurnal Ilmu Pertanian, Kehutanan dan Agroteknologi Volume 18 Nomor 1 Maret 017; ISSN : 1411-5336
Evaluasi Pejantan Fries Holland Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan evaluasi terhadap pejantan Fries Holland dengan metode CC dan menguji ketelitian metode CC dibandingkan dengan metode BLUP. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk alternative melakukan seleksi dengan cara yang mudah dan sederhana dengan ketelitian cukup tinggi. METODE PENELITIAN Materi yang digunakan adalah catatan produksi susu laktasi pertama dari 34 ekor anak bentina sapi FH dalam uji progeny II yang terdapat di propinsi jawa timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan BPT-HMT Baturaden. Sebagai materi pejantan teruji adalah 6 pejantan eks import dari jepang dengan kode A, B, D, E, dan F. Penelitian ini menggunakan metode study kasus dengan mengambil data Skunder dari Balai Inseminasi Buatan Singosari Malang. Analisa Data Semua data produksi susu dikoreksi terlebih dahulu terhadap masa laktasi 305 hari, pemerahan kali sehari dan umur setara dewasa, menurut Tabel koreksi yang disarankan oleh USDA. Koreksi data pada analisis BLUP menggunakan program LSMLMW (Least Square Model and Likelihood Maximum Weighted). Analisis berdasarkan CC yang dipakai oleh Milk Marketing Board CC = W Y H W ( n1xn) W : ( n1 + n) = faktor tertimbang W : jumlah anak betina efektif n1 : jumlah anak betina pejantan yang diuji n : jumlah anak betina pejantan lain sebagai pembanding _ Y : Rataan produksi susu anak betina pejantan yang diuji _ H : Rataan produksi susu anak betina pejantan lain sebagai pembanding Analisis berdasar metode BLUP. a. Angka faktor koreksi dari pengaruh lingkungan diperoleh dengan model statistik: Y ijklmn = µ + P i + S j + D k + A l +S m + e ijklmn Y ijklm = produksi susu anak betina dari pejantan setelah dikoreksi 305 hari, x, ME(kg) µ = rataan produksi susu P i S j = propinsi ke-i = ketinggian tempat ke-j D k = hari laktasi ke-k A l = umur beranak ke-l S m = musim ke-m e ijklmn = galat Data produksi susu yang diperoleh dari lapangan dikoreksi dengan persamaan: X =X x µ µ + P 1 + S + D + A + S X = produksi susu terkoreksi (kg) X = produksi susu belum dikoreksi (kg) b. Nilai heritabilitas dihitung dengan model statistik: j Y ijklmn = µ+ S h + Pi + S j + D k + A l +S m + e hijklmn Rumus heritabilitas: 4σ h s = σ + σ σ s σ w s w = keragaman dari pejantan σ = keragaman dari anak h = nilai heritabilitas S h = pejantann ke-h k l m Volume 18 Nomor 1 Maret 017, AGRI-TEK 11
Dwi Wahyu Setyaningsih c. Nilai ETA (Estimate Transmiting Ability) dari masing-masing calon pejantan menggunakan model statistik: Y ijk = S i + H j + e ijk Dengan rumus ETA: ETA = ETA = n 4 h n + h _ = = P P + P Y ijk = produksi susu anak betina dari pejantan setelah dikoreksi 305 hari, x, ME (kg) S i = pejantan yang diuji ke-i H j = kelompok ternak ke-j e ijk = galat _ P = = rataan produksi susu = P = rataan produksi susu Untuk mengetahui kesamaan peringkat keunggulan pejantan FH dengan CC dan BLUP digunakan Spearman s Rank correlation (Sudradjat, 1985). Model statistic Spearman s rank coefficient of correlation adalah: Keterangan: r s d i n r s 1 6 = n( n i d i 1) = nilai Spearman s Rank = kwadrat selisih ke i = jumlah subyek Kemudian besarnya r s diuji untuk mengetahui nyata atau tidaknya korelasi tersebut dengan uji t. rumusnya adalah: t = r s n 1 r s HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu Data produksi susu yang terkumpul tidaklah seragam. Rataan produksi susu anak betina uji progeny kedua sebesar 457,1 kg per laktasi. Rataan produksi susu tertinggi adalah wilayah Bandung yaitu sebesar 5439,807 kg per laktasi. Rataan produksi susu anak betina terendah adalah Pasuruan sebesar 3590,978 kg per laktasi. Rataan produksi susu untuk beberapa daerah berbeda diakibatkan adanya perbedaan wilayah baik iklim, suhu lingkungan, ketinggian tempat, manajemen pemeliharaan maupun pemberian pakan (Pane, 1986). Panjang laktasi berkisar antara 50 hari sampai 305 hari. Perbedaan panjang laktasi selain disebabkan faktor genetic ternak, juga karena faktor non genetic. Faktor non genetic meliputi manajemen pemeriharaan maupun pemberian pakan. Produksi susu dievaluasi dengan menyeragamkan dengan faktor koreksi panjang laktasi selama 305 hari, seperti yang disarankan oleh USDA (Warwick dkk., ; Hardjosubroto dan Astuti, 1993). Demikian juga untuk anakanak betina (daughter cow) beranak pertama berkisar umur 18 bulan sampai 36 bulan, dikoreksi ke umur setara dewasa. Faktor koreksi tersebut kurang tepat digunakan di Indonesia, karena faktor koreksi yang khusus untuk Indonesia belum ada, terpaksa menggunakan faktor koreksi tersebut. Produksi susu dipengaruhi pula oleh lokasi atau lokasi peternakan. Daerah dengan kategori dataran rendah didapatkan rataan produksi susu yang lebih rendah disbanding dengan produksi susu yang berada di dataran tinggi. Faktor lingkungan sangat berpengaruh di dalam uji keturunan. Faktor lingkungan berupa iklim, pemberian pakan maupun tata laksana pemeliharaan. Penampakan sifat sangat dipengaruhi oleh genetic dan 1 AGRI-TEK, Volume 18 Nomor 1 Maret 017
Evaluasi Pejantan Fries Holland lingkungannya. Lasley (1987) menyatakan bahwa antara genetic dengan lingkungan terjadi interaksi. Interaksi ini bermanfaat pada saat seleksi pejantan dalam suatu kelompok pada lokasi, jenis makann dan manajemen yang berbeda. Tabel 1. Rata-rata produksi susu setelah dikoreksi ke 305, x ME dalam program uji zuriat II. Wilayah Ketinggian tempat Rataan produksi (kg) Jumlah data Malang Dataran tinggi 4469,47 30 Jombang Dataran rendah 3913,31 11 Mojokerto Dataran tinggi 4676,913 Pasuruan Dataran tinggi 3590,978 4 Lumajang Dataran rendah 3660,946 5 Klaten Dataran rendah 3875,494 30 Boyolali Dataran tinggi 4198,791 16 Baturaden Dataran tinggi 4804,761 4 Garut Dataran tinggi 58,3 44 Bandung Dataran tinggi 5439,807 48 Berdasar tabel 1. dapat diketahui bahwa kondisi wilayah mempunyai ketinggian tempat yang berbeda-beda. Di daerah dataran tinggi disamping faktor-faktor lain, memberikan kecenderungan produksi susu tinggi dan sebaliknya untuk daerah dataran rendah produksi susu cenderung rendah. Sapi perah FH dapat hidup dengan baik di dataran tinggi sehingga produktivitasnya tinggi. Dataran tinggi suhu lingkungan rendah dan kenaikan suhu sekitar 7 o C menurut Siregar (199), sapi FH tidak dapat tumbuh dengan baik. Suhu yang tinggi berpengaruh terhadap penurunan nafsu makan, dengan demikian akan mengakibatkan terjadinya penurunan produksi susu. Berdasarkan penelitian daerah dataran rendah dengan ketinggian kurang lebih 50 m dari permukaan laut, kemampuan produksi susu sapi perah FH dengan jumlah 30 ekor, produksi susu rata-rata 1.811. Daerah dataran tinggi dengan ketinggian di atas 70 m dari permukaan laut menunjukkan kemampuan produksi susu sekitar 3.099 kg per laktasi dari 55 ekor sapi (Sitorus dkk, 1983) Performans Pejantan FH berdasarkan Uji Progeny dengan Metode CC dan BLUP Jumlah Anak Betina Efektif kg per laktasi. Metode CC ini merupakan metode yang sederhana, pengujian terhadap anak betina yang lahir pada tahun, umur dan musim yang sama. Hasil pengujian pejantan-pejantan secara CC didapatkan nilai CC yang bervariasi dari -338,985 kg sampai +194,754 kg dengan rata-rata produksi susu anak-anaknya mulai dari 381,78 kg sampai 643,448 kg per laktasi. Tabel yang menunjukkan nilai CC positif yaitu pejantan A, B dan D Volume 18 Nomor 1 Maret 017, AGRI-TEK 13
Dwi Wahyu Setyaningsih Tabel. Performans pejantan FH berdasarjan uji progeny dengan metode CC Pejantan Tahun Musim A Anak betina efektif Kemarau 4,118 Hujan 3,938 Kemarau 13,950 Hujan 15,3 Nilai CC Total 37,38 13,31 B Kemarau,471 Hujan,438 Kemarau 11,550 Hujan 0,975 Total 37,434 108,084 D Kemarau,471 Hujan,438 Kemarau 13,950 Hujan 18,68 Total 37,487 194,754 E Kemarau 1,765 Hujan 0,938 Kemarau 11,550 Hujan 0,413 Total 34,666-338,985 F Kemarau 1,765 Hujan 1,750 Kemarau 1,800 Hujan 0,975 Total 37,90-16,747 14 AGRI-TEK, Volume 18 Nomor 1 Maret 017
Evaluasi Pejantan Fries Holland dengan nilai CC secara berurutan adalah 13,31 kg; 108,084 kg dan 194,754 kg. ketiga pejantan tersebut dinyatakan sebagai pejantan unggul. Nilai CC positif berarti bahwa pejantan-pejantan tersebut akan memberikan derajat perbaikan atau derajat keunggulan sebesar CC-nya. Pejantan E dan F dengan nilai CC-nya -338,985 kg dan -16,747 kg dan mempunyai anak betina efektif lebih dari 0 dinyatakan tidak unggul. Hardjosubroto (1993), metode CC akan akurat bila anak betina tidak kurang dari 0, karena makin banyak anak betina efektif yang dipakai akan lebih mendekati kebenaran hasil pengujian. Peringkat Keunggulan Pejantan FH dengan Metode CC dan BLUP Nilai keunggulan pejantan FH ditunjukkan dengan ETA pada metode CC dan BLUP seperti pada Tabel 3. Tabel 3. Peringkat kunggulan pejantan FH dengan metode CC dan BLUP Kode Pejantan Derajat Keunggulan Pengurutan Nilai CC BLUP CC BLUP A 13,31-9,1 3 B 108,084 93,5 3 1 D 194,754 81,9 1 E -338,985-99,0 5 5 F -16,747-67,3 4 4 Data yang dapat dikumpulkan dihitung peringkat keunggulan pejantan FH yang memakai metode CC dan BLUP, didapat nilain r s = 0,7. Setelah dilakukan uji t didapatkan t 0,05 =3,18 dan nilai t hitung lebih kecil dari t tabel sehingga H0 diterima dan H1 ditolak, berarti pengujian peringkat pejantan dengan metode CC dan BLUP tidak sama. Keadaan ini menunjukkan bahwa pejantan pejantan tersebut menunjukkan bahwa keduanya merupakan pejantan unggul meskipun mempunyai peringkat yang berbeda. Pejantan B dan D berdasar hasil uji dengan metode CC dan BLUP sama-sama bernilai positif. Nilai positif kedua pejantan tersebut menunjukkan bahwa keduanya merupakan pejantan unggul meskipun mempunyai peringkat yang berbeda. Pejantan A dengan metode CC diperoleh nilai positif dan dengan metode BLUP diperoleh nilai negative tetapi tertinggi diantara yang bernilai negative. Pejantan A, B dan D hasil uji antara dua metode tersebut sama-sama mempunyai peringkat diantara I dan III walaupun urutan peringkat terserbut tidak sama. Pejantan E dan F di metode CC dan BLUP sama-sama bernilai negative dan sangat rendah, mempunyai peringkat yang sama, sehingga dapat dikatakan keduanya bukan merupakan pejantan unggul. Dengan demikian uji dengan metode CC masih dapat dipertimbangkan untuk ketiga propinsi dan BPT-HMT Baturaden dengan ketelitian cukup memadai. Pada uji zuriat kedua ini, pejantan yang diuji berjumlah 5 ekor, hal ini akan berpengaruh juga pada hasil uji. Menurut Astuti (1989), jumlah pejantan yang diuji merupakan jumlah minimal untuk syarat uji Volume 18 Nomor 1 Maret 017, AGRI-TEK 15
Dwi Wahyu Setyaningsih zuriat yang efektif. Pejantan yang diuji lebih banyak akan mengurangi kerugian akibat waktu dan biaya serta kecermatan yang diperoleh lebih tinggi. Kecermatan r s dari metode CC dan BLUP dipengaruhi pula oleh jumlah pejantan yang diuji. Nilai r s yang tidak nyata dapat diduga karena jumlah pejantan yang diuji sedikit. yang diuji dengan metode CC mempunyai derajat keunggulan yang tidak sama dengan pejantan yang diuji dengan metode BLUP. Nilai r s yang tidak nyata dapat diduga karena jumlah pejantan yang diuji sedikit. Keunggulan Dan Kelemahan Metode CC dan BLUP Metode CC ini lebih sederhana karena faktor koreksi yang diperhitungkan hanya umur ternak, masa laktasi dan frekwensi pemerahan yang didasarkan pada angka koreksi yang dikeluarkan oleh USDA. Produksi ternak dihitung hanya pada laktasi pertama dan perhitungan dapat dilakukan secara manual. Metode CC tidak memperhitungkan nilai heritabilitas. Pelaksanaan metode CC tidak membutuhkan biaya yang mahal dan waktu yang dibutuhkan relative lebih pendek, sehingga dapat mengurangi perpanjangan generasi (interval generasi). Hal ini karena data yang dibutuhkan adalah data produksi susu dari anak-anaknya pada laktasi pertama. Metode CC sesuai diterapkan pada peternakan dengan kondisi yang belum maju. Kondisi peternakan yang belum bisa mendukung adanya data atau informasi yang lengkap. Kondisi peternakan tersebut bisa dijumpai di Indonesia. Rata-rata pemilikan ternak -3 ekor tiap peternak di peternakan rakyat, sehingga untuk pengumpulan datadata yang dibutuhkan tidak efektif dan tidak efisien. Sarana dan prasarana meupun tenaga kerja pencatat untuk melakukan pencatatan terhadap produksi susu masih kurang memadai. Kelemahan dari metode CC adalah kemungkinan masih adanya penyimpangan dari faktor yang tidak dimasukkan ke dalam faktor koreksi yaitu faktor lingkungan. Faktor lingkungan sangat penting untuk dikoreksi. Ternak meskipun berasal dari satu jenis, kalau pemeliharaannya pada daerah yang berbeda dengan faktor lingkungan yang nyata berbeda, nilai faktor koreksi mungkin tidak sama. Kelemahan lain yaitu prosedur uji hanya mungkin bila jumlah anak betina dari masing-masing pejantan cukup tersedia. Menurut Hardjosubroto (1994) minimal ada 0 ekor anak betina dari masing-masing pejantan yang diuji. Nilai CC adalah transmiting ability karena tidak mengikutsertakan heritabilitas. Heritabilitas dipengaruhi oleh ragam genotip dan ragam phenotif. Penampakan dari penotip dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan antara genetic dan lingkungan saling berinteraksi, sehingga besarnya heritabilitas besar pengaruhnya oleh lingkungan. Lingkungan yang baik dan mendukung untuk kehidupan ternak tersebut mengakibatkan nilai heritabilitas tinggi. Nilai heritabilitas yang tidak dimasukkan ke dalam perhitungan evaluasi pejantan akan berpengaruh pada besarnya nilai hasil. Kelebihan metode BLUP adalah dapat menghilangkan bias karena faktor lingkungan. Bermacam-macam faktor dimasukan dalam perhitungan yang komplek, sehingga suatu uji akan lebih teliti. Data yang digunakan selain data anak-anaknya, juga data pejantan yang diuji (sire). Data yang lebih sedikit dalam suatu uji bisa dilakukan dengan metode BLUP. Berdasarkan data yang ada setelah dicari nilai heritabilitasnya dengan program LSMLMW ternyata hanya mendapatkan heritabilitas 0,1. nilai ini jauh dari standart. Nilai standar heritabilitas 0. 0.3 menurut Widodo dan Hakim (1981). Heritabilitas merupakan proporsi dari ragam genetic dan ragam 16 AGRI-TEK, Volume 18 Nomor 1 Maret 017
Evaluasi Pejantan Fries Holland penotif. Genotip tidak mengalami perubahan dan bersifat baka. Phenotif atau penampilan genetic dapat berubah dan dipengaruhi oleh lingkungan, sehingga nilai heritabilitas dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Lingkungan ini dapat berupa iklim, tata laksana pemeliharaan maupun pemberian pakan. Uji zuriat ini menggunakan sapi-sapi rakyat, dimana tata laksana pemeliharaan maupun lingkungan lainnya berbeda-beda, sehingga lingkungan besar pengaruhnya terhadap penampakan genetic dan phenotif. Keadaan tersebut akan berpengaruh terhadap nilai heritabilitas suatu populasi ternak. Heritabilitas yang tinggi diharapkan anaknya akan mempunyai keunggulan sifat yang tinggi pula. Bila heritabilitas rendah, belum tentu anak keturunannya mempunyai keunggulan dalam sifat tersebut. Sebagian kecil saja dari keungggulan yang dapat diwariskan kepada anaknya apabila kondisi lingkungan sangat mendukung atau baik. KESIMPULAN Hasil analisis pejantan dengan metode CC dalam uji progeny, peringkat I: pejantan D (194,754 kg), peringkat II: penjantan A (13,31 kg), peringkat III: pejantan B (108,084 kg), peringkat IV: pejantan F (-16,747 kg), peringkat V: pejantan E (-338,985 kg). Analisis pejantan dengan metode BLUP, peringkat I: pejantan B (93,5 kg), peringkat II: pejantan D (81,9 kg), peringkat III: pejantan A (-9,1), peringkat IV: pejantan F (-67,3 kg), peringkat V; pejantan E (-99,0 kg). Peringkat keunggulan dengan metode CC dan BLUP tidak sama. Berdasar nilai keunggulannya, pemakaian CC untuk tiga propinsi dan BPT-HMT Baturaden masih dapat dipertimbangkan. Evaluasi pejantan dengan metode CC merupakan cara yang mudah dan sederhana. Pada kondisi peternakan yang belum maju seperti Indonesia seperti halnya di Indonesia, metode ini masih dapat digunakan. DAFTAR PUSTAKA Bashori, 1996. Analisa Pejantan Sapi Perah pada Program Uji zuriat di Balai Inseminasi Buatan singosari. Dalam: Buletin Peternakan. Fakultas Peternakan. UNIBRAW. Balai Inseminasi Buatan Singosari. Malang. Hardjosubroto, 1993. Analisa Progeny test untuk Menghitung Nilai Pemuliaan pejantan. Dalam: bulletin Peternakan. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta, Vol 17:-10 Hardjosubroto, 1994. Aplikasi Pemuliaan Ternak di Lapang. Grasindo. Gramedia. Widyasarana Indonesia. Jakarta. Siregar, S., 199. Sapi perah, Jenis, Teknik Pemeliharaan dan Analisa Usaha. Seri Peternakan XXX/30/90. Penebar Swadaya. Anggota IKAPI. Warwick, E.J., J.M. Astuti, W. Hardjosubroto,. pemuliaan Ternak. Gadjah mada University Press. Yogyakarta. Volume 18 Nomor 1 Maret 017, AGRI-TEK 17