BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Strategi Sosial Ekonomi Keluarga Nelayan Strategi merupakan serangkaian cara tertentu yang berkesinambungan untuk mencapai tujuan tertentu. Jadi, strategi keluarga nelayan adalah suatu usaha atau cara keluarga nelayan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya atau guna kelangsungan hidup keluarga. Menurut Kusnadi (2000), strategi nelayan dalam menghadapi kemiskinan dapat dilakukan melalui: 1. Peranan Anggota Keluarga Nelayan (istri dan anak). Kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh anggota rumahtangga nelayan (istri dan anak) merupakan salah satu dari strategi adaptasi yang harus ditempuh untuk menjaga kelangsungan hidup mereka. 2. Diversifikasi Pekerjaan Dalam menghadapi ketidakpastian penghasilan, keluarga nelayan dapatmelakukan kombinasi pekerjaan. 3. Jaringan Sosial Melalui jaringan sosial, individu-individu rumahtangga akan lebih efektif dan efisien untuk mencapai atau memperoleh akses terhadap sumberdaya yang tersedia di lingkungannya. Jaringan sosial memberikan rasa aman bagi rumahtangga nelayan miskin dalam menghadapi setiap kesulitan hidup sehingga dapat mengarungi kehidupan dengan baik.jaringan sosial 21
secara alamiah bisa ditemukan dalam segala bentuk masyarakat dan manifestasi dari hakikat manusia sebagai makhluk sosial.tindakan sosialbudaya yang bersifat kreatif ini mencerminkan bahwa tekanan-tekanan atau kesulitan-kesulitan ekonomi yang di hadapi nelayan tidak direspon dengan sikap yang pasrah.secara umum, bagi rumahtangga nelayan yang pendapatan setiap harinya bergantung sepenuhnya pada penghasilan melaut, jaringan sosial berfungsi sangat strategis dalam menjaga kelangsungan kehidupan mereka. 4. Migrasi Migrasi ini dilakukan ketika di daerah nelayan tertentu tidak sedang musim ikan dan nelayan pergi untuk bergabung dengan unit penangkapan ikan yang ada di daerah tujuan yang sedang musim ikan.maksud migrasi adalah untuk memperoleh penghasilan yang tinggi dan agar kebutuhan hidup keluarga terjamin.dalam waktu-waktu tertentu, penghasilan yang telah diperoleh, mereka bawa pulang kampung untuk diserahkan kepada keluarganya, tetapi kadang kala penghasilan itu dititipkan kepada temantemannya yang sedang pulang kampung. Apabila di daerahnya sendiri telah musim ikan, atau keadaan hasil tangkapan nelayan setempat mulai membaik, merekapun akan kembali ke kampung halaman dan mencari ikan didaerah asalnya. Menurut Sitorus (Ihromi 2004:241) strategi ekonomi keluarga nelayan miskin di pedesaan dalam menghadapi kondisi kemiskinan mencakup upayaupaya alokasi sumber daya, khususnya tenaga kerja di dua sektor sekaligus, yaitu 22
sektor-sektor produksi dan non produksi.upaya di sektor produksi menunjuk pada ragam kegiatan para anggota rumah tangga di bidang ekonomi produksi.sedangkan upaya di sektor non produksi menunjuk pada keterlibatan para anggota rumah tangga di beragam lembaga kesejahteraan sosial dalam masyarakat. Edi Suhartomenyatakan strategi bertahan (coping strategis) dalam perekonomian dilakukan dengan berbagai cara yaitu : 1. Strategi aktif Strategi aktif yaitu strategi yang menghasilkan segala potensi untuk melakukan aktivitas sendiri, memperpanjang jam kerja, memanfaatkan sumber atau tanaman liar dan lingkungan sekitar dan sebagainya. 2. Strategi pasif Strategi pasif yaitu strategi yang mengurangi pengeluaran guna memenuhi kebutuhan. Misalnya: pengeluaran sandang, papan dan pendidikan. 3. Strategi jaringan Strategi jaringan yaitu strategi yang mencakup dalam menjalin relasi, baik secara formal maupun informal dengan lingkungan sosialnya dan lingkungan kelembagaan. Misalnya: meminjam uang ke Bank, rentenir dan sebagainya. Strategi ekonomi keluarga miskin dapat juga dilihat sebagai gejala sosiologi. Dalam analisis sosiologi tentang strategi ekonomi mencakup dua hal (Dhini 2009:39), yaitu : 23
1. Upaya keluarga miskin untuk mengatasi kondisi kemiskinan tidak terbatas pada upaya-upaya di sektor produksi melainkan juga melalui keterlibatan di sektor non produksi. 2. Wanita/keluarga memainkan peranan penting dalam keseluruhan upaya mengatasi kondisi kemiskinan tersebut. Dengan demikian keluarga atau masyarakat miskin yang secara langsung merasakan pahitnya kemiskinan itu harus memiliki agenda dan strategi tertentu guna mengakhiri penderitaan mereka sebagai akibat dari kemiskinan. 2.2 Tipologi Nelayan Tipologi dapat diartikan sebagai pembagian masyarakat ke dalam golongan-golongan menurut kriteria-kriteria tertentu. Kriteria dalam tipologi masyarakat nelayan dapat dilihat berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu: 1. Dari segi penguasaan alat-alat produksi atau peralatan tangkap yang dimiliki nelayan Dalam sudut pandang ini, nelayan bisa dibedakan menjadi dua golongan, yaitu golongan nelayan yang mempunyai alat-alat produksi sendiri (pemilik alat produksi) dan golongan nelayan yang tidak mempunyai alatalat produksi sendiri (nelayan buruh), dalam hal ini nelayan buruh hanya dapat menyumbang jasa tenaganya dalam kegiatan menangkap ikan serta mendapatkan upah yang lebih kecil dari pada nelayan pemilik alat produksi. 2. Dari segi skala investasi modal usahanya 24
Nelayan yang di pandang dari sudut pandang ini dapat di golongkan menjadi dua tipe, yaitu nelayan besar yang memberikan modal investasi dengan jumlah yang banyak untuk kegiatan menangkap ikan dan nelayan kecil yang hanya bisa memberikan modal investasinya dengan jumlah yang sedikit. 3. Berdasarkan tingkat teknologi peralatan tangkap ikan Berdasarkan teknologi peralatan tangkap ikan, nelayan dapat dibedakan menjadi nelayan modern dan nelayan tradisional.nelayan modern cenderung lebih menggunakan teknologi canggih dan berpendapatan lebih besar dibandingkan dengan nelayan tradisional, ini dikarenakan nelayan modern wilayah produksinya dapat menjakau perairan yang lebih jauh. Satria dalam Mugni (2006), menggolongkan nelayan menjadi 4 (empat) tingkatan yang dilihat dari kapasitas teknologi, orientasi pasar dan karakteristik hubungan produksi. Keempat tingkatan nelayan tersebut adalah: 1. Peasant-fisher atau nelayan tradisional yang biasanya lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri (subsisten). Umumnya nelayan golongan ini masih menggunakan alat tangkap tradisional, seperti dayung atau sampan tidak bermotor dan masih melibatkan anggota keluarga sebagai tenaga kerja utama. 2. Post-peasant fisher dicirikan dengan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju seperti motor tempel atau kapal motor. Penguasaan sarana perahu motor tersebut semakin membuka peluang bagi nelayan untuk menangkap ikan di wilayah perairan yang lebih jauh dan 25
memperoleh surplus dari hasil tangkapannya karena mempunyai daya tangkap lebih besar. Umunya, nelayan jenis ini masih beroperasi diwilayah pesisir. Pada jenis ini, nelayan sudah berorientasi pasar. Sementara itu, tenaga kerja yang digunakan sudah meluas dan tidak bergantung pada anggota keluarga saja. 3. Commercial fisher, yaitu nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan. Skala usahanya sudah besar yang dicirikan dengan banyaknya jumlah tenaga kerja dengan status yang berbeda dari buruh hingga manajer. Teknologi yang digunakan pun lebih modern dan membutuhkan keahlian tersendiri dalam pengoperasian kapal maupun alat tangkapnya. 4. Industrial fisher, ciri nelayan jenis ini adalah diorganisasi dengan caracara yang mirip dengan perusahaan agroindustri dinegara-negara maju, secara relatif lebih padat modal, memberikan pendapatan yang lebih tinggi daripada perikanan sederhana, baik untuk pemilik maupun awak perahu, dan menghasilkan untuk ikan kaleng dan ikan beku yang borientasi ekspor. Menurut Mubyarto, et al, berdasarkan stratifikasi yang ada pada masyarakat nelayan, dapat diketahui berbagai tipologi nelayan, yaitu: 1. Nelayan kaya A, yaitu ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor.nelayan yang mempunyai kapal sehingga mempekerjakan nelayan lain tanpa ia sendiri harus ikut bekerja. 26
2. Nelayan kaya B, yaitu nelayan yang memiliki kapal tetapi ia sendiri masih ikut bekerja sebagai awak kapal. 3. Nelayan sedang, yaitu nelayan yang kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi dengan pendapatan pokoknya dari bekerja sebagai nelayan, dan memiliki perahu tanpa mempekarjakan tenaga dari luar keluarga. 4. Nelayan miskin, yaitu nelayan yang pendapatan dari perahunya tidak mencukupi kebutuhan hidupnya, sehingga harus ditambah dengan bekerja lain baik untuk ia sendiri atau untuk isteri dan anak-anaknya. 5. Nelayan pandega atau tukang kiteng. 2.3 Kemiskinan nelayan 2.3.1 Konsep kemiskinan Menurut Setiadi (2006), kemiskinan merupakan masalah struktural dan multi dimensional, yang mencakup politik, sosial, ekonomi, asset dan lain-lain. Dimensi-dimensi kemiskinan pun muncul dalam berbagai bentuk, seperti (a) Tidak dimilikinya wadah organisasi yang mampu memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat miskin, sehingga mereka benar-benar tersingkir dari proses pengambilan keputusan penting yang menyangkut diri mereka. Akibatnya, masyarakat miskin tidak memiliki akses yang memadai ke berbagai sumberdaya kunci yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan hidup mereka secara layak, termasuk akses informasi. (b) Tidak terintegrasinya warga miskin ke dalam institusi sosial yang ada, sehingga mereka teralinasi dari dinamika masyarakat; (c) Rendahnya penghasilan sehingga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sampai batas yang layak dan (d) Rendahnya kepemilikan masyarakat 27
miskin ke berbagai hal yang mampu menjadi modal hidup mereka, termasuk asset kualitas sumberdaya manusia (human capital), peralatan kerja, modal dana, perumahan, pemukiman dan sebagainya. 2.3.2 Bentuk-Bentuk Kemiskinan Secara garis besar, kemiskinan dikelompokkan menurut sebab dan jenisnya. Menurut sebabnya (asal mula), kemiskinan dibagi menjadi tiga macam yaitu: 1. Kemiskinan natural Kemiskinan natural atau yang disebut juga dengan kemiskinan alamiah adalah keadaan miskin karena pada awalnya memang sudah miskin.biasanya daerah yang mengalami kemiskinan natural adalah daerah-daerah yang terisolir, jauh dari sumber daya-sumber daya yang ada.sehingga perkembangan teknologi yang ada berjalan sangat lambat.contoh masyarakat yang mengalami kemiskinan natural adalah masyarakat yang tinggal di puncak-puncak gunung yang jauh dari pemukiman warga.sehingga sulit untuk mendapatkan bantuan. 2. Kemiskinan Kultural Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor adat atau budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang atau kelompok masyarakat sehingga membuatnya tetap melekat pada kemiskinan. Berikut penuturan Kartasasmita mengenai kemiskinan kultural: 28
Kemiskinan kultural ini mengacu pada sikap hidup seseorang atau sekelompok masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan dan budaya dimana mereka merasa hidup berkecukupan dan tidak merasa kekurangan. Kelompok masyarakat seperti ini tidak mudah untuk diajak berpartisipasi dalam pembangunan, tidak mau berusaha untuk memperbaiki dan merubah tingkat kehidupannya.akibatnya pendapatan mereka rendah menurut ukuran yang dipakai secara umum. Selain itu kemiskinan kultural ini terjadi karena faktor budaya seperti malas, tidak disiplin, boros, dan lainnya. 3. Kemiskinan struktural Sedangkan yang dimaksud dengan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang terjadi sebagai akibat ketidakberdayaan seseorang atau kelompok masyarakat terhadap sistem atau tatanan sosial yang tidak adil sehingga mereka tidak memiliki akses untuk mengembangkan dan membebaskan diri dari perangkap kemiskinan. 2.3.3 Ciri Kemiskinan Nelayan Menurut Kusnadi (2002), ciri umum yang dapat dilihat dari kondisi kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi dalam kehidupan masyarakat nelayan adalah fakta-fakta yang bersifat fisik berupa kualitas pemukiman. Kampung-kampung nelayan miskin akan mudah diidentifikasi dari kondisi rumah hunian mereka. Rumah-rumah yang sangat sederhana, berdinding anyaman bambu, berlantai tanah berpasir, beratap daun rumbia, dan keterbatasan pemilikan 29
perabotan rumahtangga adalah tempat tinggal para nelayan buruh atau nelayan tradisional. Sebaliknya, rumah-rumah yang megah dengan segenap fasilitas yang memadai akan mudah dikenali sebagai tempat tinggal pemilik perahu, pedagang perantara atau pedagang berskala besar dan pemilik toko. Selain gambaran fisik, kehidupan nelayan miskin dapat dilihat dari tingkat pendidikan anak-anak mereka, pola konsumsi sehari-hari dan tingkat pendapatannya. 2.3.4 Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan Nelayan Menurut Pangemanan dkk(2003), ada banyak penyebab terjadinya kemiskinan pada masyarakat nelayan, seperti kurangnya akses kepada sumber sumber modal, akses terhadap teknologi, akses terhadap pasar maupun rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu dapat pula disebabkan karena faktor-faktor sosial seperti pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi, rendahnya tingkat pendidikan, dan rendahnya tingkat kesehatan serta alasan-alasan lainnya seperti kurangnya prasarana umum di wilayah pesisir, lemahnya perencanaan spasial yang mengakibatkan tumpang tindihnya beberapa sektor pada satu kawasan, polusi dan kerusakan lingkungan. Menurut Kusnadi (2000), faktor-faktor yang menyebabkan semakin terpuruknya kesejahteraan nelayan sangat kompleks, yaitu: 1. Faktor alam yang berkaitan dengan fluktuasi musim ikan. Jika musim ikan atau ada potensi ikan yang relatif baik, perolehan pendapatan bisa lebih terjamin, sedangkan pada saat tidak musim ikan nelayan akan menghadapi kesulitan-kesulitan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Faktor alamiah ini selalu berulang setiap tahun. 30
2. Faktor non alam, yaitu faktor yang berkaitan dengan ketimpangan dalam pranata bagi hasil, ketiadaan jaminan sosial awak perahu, dan jaringan pemasaran ikan yang rawan terhadap fluktuasi harga, keterbatasan teknologi pengolahan hasil ikan, dampak negatif modernisasi, serta terbatasnya peluang-peluang kerja yang bisa di akses oleh keluarga nelayan. Kondisi-kondisi aktual yang demikian dan pengaruh terhadap kelangkaan sumberdaya akan senantiasa menghadapkan keluarga nelayan ke dalam jebakan kekurangan. Menurut Suyanto (2003), faktor yang menyebabkan kondisi kesejahteraan nelayan tidak pernah beranjak membaik, yaitu : 1. Berkaitan dengan sifat hasil produksi nelayan yang sering kali rentan waktu atau cepat busuk. Bagi nelayan tradisional yang tidak memiliki dana dan kemampuan cukup untuk mengolah hasil tangkapan mereka, maka satu-satunya jalan keluar untuk menyiasati kebutuhan hidup adalah bagaimana mereka menjual secepat mungkin ikan hasil tangkapannya ke pasar. Bagi nelayan miskin, persoalan yang paling penting adalah bagaimana mereka bisa memperoleh uang dalam waktu cepat, meski seringkali kemudian mereka harus rela menerima pembayaran yang kurang memuaskan dari para tengkulak terhadap ikan hasil tangkapan mereka. Di komunitas nelayan manapun, jarang terjadi nelayan bisa menang dalam tawar menawar harga dengan tengkulak karena secara struktural posisi nelayan selalu kalah akibat sifat hasil produksi mereka yang sangat rentan waktu. 31
2. Karena perangkap hutang, akibat irama musim ikan yang tidak menentu dan kondisi perairan yang overfishing, maka sering terjadi keluarga nelayan miskin kemudian harus menjual sebagian atau bahkan semua asset produksi yang mereka miliki untuk menutupi hutang dan kebutuhan hidup sehari-hari yang tak kunjung usai. 2.4 Indikator Kemiskinan Menurut suryawati (2005) menyatakan ada beberapa metode dalam pengukuran tingkat kemiskinan yang dikembangkan di Indonesia yaitu: 1. Biro Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan didasarkan pada jumlah rupiah konsumsi berupa makanan yaitu kurang dari 2100 kalori per orang per hari. Disamping itu secara ekonomi, BPS menetapkan penghasilan Rp.131.256,/bulan di pedesaan(sitaskin,bandung.go.id/2015/10/31). Adapun kriteria miskin menurut standar BPS : 1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8m2 per orang 2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan 3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/ rumbia/ kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester. 4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/ bersama-sama dengan rumah tangga lain. 5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik. 6. Sumber air minum berasal dari sumur/ mata air tidak terlindung/ sungai/ air hujan. 32
7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/ arang/ minyak tanah. 8. Hanya mengkonsumsi daging/ susu/ ayam dalam satu kali seminggu. 9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun. 10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/ dua kali dalam sehari. 11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/ poliklinik. 12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 500m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000,- per bulan. 13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/ tidak tamat SD/ tamat SD. 14. Tidak memiliki tabungan/ barang yang mudah dijual dengan minimal Rp. 500.000,- seperti sepeda motor kredit/ non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya. Jika minimal 9 variabel terpenuhi maka suatu rumah tangga miskin(skpd.batam kota.go.id/sosial/persyaratan/perizinan diakses pada tanggal 20 maret 2016)). 2. Sajogyo, tingkat kemiskinan didasarkan jumlah rupiah pengeluaran rumah tangga yang disetarakan dengan jumlah kilogram konsumsi beras per orang pertahun dan dibagi wilayah pedesaan dan perkotaan. Daerah pedesaan: 1. Miskin : bila pengeluaran keluarga lebih kecil 360 kg nilai tukar beras per orang per tahun 33
2. Miskin sekali : bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari 240 kg nilai tukar beras per orang per tahun. 3. Paling miskin : bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari 180 kg nilai tukar beras per orang per tahun. 3. Bank Dunia mengukur garis kemiskinan berdasarkan pada pendapatan seseorang kurang dari US$ 1 per hari untuk kemiskinan absolut dan US$ 2 per hari untuk kemiskinan menengah. Adapun indikator kemiskinan menurut Bank Dunia: 1. Kepemilikan tanah dan modal yang terbatas. 2. Terbatasnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan pembangunan yang bias kota. 3. Perbedaan kesempatan diantara anggota masyarakat. 4. Perbedaan sumber daya manusia dan sektor ekonomi. 5. Rendahnya produktivitas. 6. Budaya hidup yang jelek. 7. Tata pemerintahan yang buruk. 8. Pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan. Sumber(republika.co.id.nurafni.com diakses pada tanggal 20 maret 2016) 34
2.5 Teori Jaringan Sosial Menurut Lawang (Damsar 2009) jaringan dimengerti sebagai : 1. Ada ikatan antar simpul (orang atau kelompok) yang dihubungkan dengan media (hubungan sosial). Hubungan sosial ini diikat dengan kepercayaan. Kepercayaan itu dipertahankan oleh norma yang mengikat kedua belah pihak. 2. Ada kerja antar simpul (orang atau kelompok) yang melalui media hubungan sosial menjadi satu kerjasama, bukan kerja bersama-sama. 3. Seperti halnya sebuah jaring (yang tidak putus) kerja yang terjalin antar simpul itu pasti kuat menahan beban bersama, dan malah dapat menangkap ikan lebih banyak. 4. Dalam kerja jaring itu ada ikatan (simpul) yang tidak dapat berdiri sendiri. Malah kalau satu simpul saja putus, maka keseluruhan jaring itu tidak bisa berfungsi lagi, sampai simpul itu diperbaiki. Semua simpul menjadi satu kesatuan dan ikatan yang kuat. Dalam hal ini, analogi tidak seluruhnya tepat terutama kalau orang yang membentuk jaring itu hanya dua saja. 5. Media (benang atau kawat) dan simpul tidak dapat dipisahkan atau antara orang-orang dan hubungannya tidak dapat dipisahkan. 6. Ikatan atau pengikat (simpul) adalah norma yang mengatur dan menjaga bagaimana ikatan dan medianya itu dipelihara dan dipertahankan. Granovetter (Ritzer 2014) menjelaskan bahwa ikatan yang lemah dapat menjadi sangat penting.contoh ikatan lemah antara dua aktor dapat membantu sebagai jembatan antara dua kelompok yang kuat ikatan internalnya. Tanpa 35
adanya ikatan yang lemah seperti itu, kedua kelompok mungkin akan terisolasi secara total. Isolasi ini selanjutnya dapat menyebabkan sistem sosial semakin terfragmentasi. Seseorang tanpa ikatan lemah akan merasa dirinya terisolasi tentang apa yang terjadi di kelompok lain maupun dalam masyarakat lebih luas. Karena itu ikatan yang lemah mencegah isolasi dan memungkinkan individu mengintegrasikan dirinya dengan lebih baik ke dalam masyarakat yang lebih luas. Meski Granovetter menekankan pentingnya ikatan yang lemah, ia segera menjelaskan bahwa ikatan yang kuat pun mempunyai nilai atau manfaat (1983 : 209; lihat Bian, 1997). Misalnya, orang yang mempunyai ikatan kuat memiliki motivasi lebih besar untuk saling membantu dan lebih cepat untuk saling memberi bantuan. 2.5 Penelitian Terdahulu yang Relevan Penelitian terdahulu yang relevansi dengan penelitian yang berjudul Strategi Keluarga Nelayan Dalam Mengatasi Kemiskinan di Desa Perupuk Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batu Bara diantaranya adalah: 1. Widodo (2013) dalam jurnal yang berjudul Starategi Nafkah Berkelanjutan Bagi Rumah Tangga Miskin di Daerah Pesisir, menunjukkan hasil penelitian bahwa kehidupan ekonomi dan sosial nelayan di Desa Kwanyar Barat, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan yang hanya memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dengan pendapatan tidak menentu dan hasil tangkapannya hanya bergantung pada kondisi alam (laut). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang penyebab kemiskinan, strategi nafkah yang dijalankan oleh rumah 36
tangga miskin nelayan serta menyusun strategi nafkah berkelanjutan berdasarkan kondisi yang ada di masyarakat. Hasil penelitian ini telah menunujukkan rendahnya akses terhadap modal, terutama modal finansial yang menjadi penyebab kemisikinan. Akses yang terbatas terhadap modal finansial sehingga menyebabkan nelayan tidak mampu mengakses modal fisik berupa teknologi penangkapan yang lebih modern. Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya konflik perebutan sumber daya dengan nelayan dari daerah lain. Strategi nafkah yang dilakukan oleh rumah tangga nelayan miskin terdiri atas strategi ekonomi dan strategi sosial. Strategi ekonomi dilakukan dengan cara melakukan pola nafkah ganda, pemanfaatan tenaga kerja rumah tangga, dan migrasi, sedangkan strategi sosial dilakukan dengan memanfaatkan ikatan kekerabatan yang ada. Berdasarkan penelitian tersebut maka dapat ditarik persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang yang telah penulis lakukan, yaitu pada fokus penelitiannya. Penelitian yang telah dilakukan penulis dan yang telah dilakukan oleh Widodo yaitu sama-sama mengenai strategi adaptasi nelayan. Perbedaannya adalah jika penelitian yang dilakukan oleh penulis berfokus pada strategi keluarga nelayan dalam memenuhi kebutuhan hidup, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Widodo berfokus pada Strategi Nafkah Rumah Tangga Miskin yang Ada di Perairan Laut dan Pesisir. 2. Kedua, Helmi (2012) dalam jurnal yang berjudul Strategi Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Ekologis menunjukkan hasil penelitian bahwa perubahan ekologis di kawasan ini diakibatkan oleh berbagai 37
bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir yang cenderung eksploitatif. Bentuk perubahan ekologis dilihat dari kerusakan mangrove dan terumbu karang. Strategi adaptasi yang diterapkan oleh rumah tangga nelayan berbeda-beda dan tidak hanya terbatas pada satu jenis adaptasi saja. Rumah tangga nelayan mengkombinasikan berbagai macam pilihan adaptasi sesuai sumber daya yang dimilikinya. Pilihan-pilihan adaptasi yang dilakukan oleh nelayan antara lain: menganekaragamkan sumber pendapatan, memanfaatkan hubungan sosial, memobilisasi anggota rumah tangga, melakukan penganekaragaman alat tangkap, dan melakukan perubahan daerah penangkapan serta melakukan strategi lainnya, yakni berupa penebangan hutan mangrove sacara ilegal dan mengandalkan bantuan-bantuan dari berbagai pihak. Berdasarkan penelitian tersebut maka dapat ditarik persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang yang telah penulis lakukan, yaitu pada fokus penelitiannya. Penelitian yang telah dilakukan penulis dan yang telah dilakukan oleh Helmi yaitu samasama mengenai strategi adaptasi nelayan. Perbedaannya adalah jika penelitian yang dilakukan oleh penulis berfokus pada strategi keluarga nelayan dalam memenuhi kebutuhan hidup, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Helmi mengenai Strategi Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Ekologis. 3. Abdul Mugni, mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Pertanian Institut pertanian Bogor pada tahun 2006, dalam Skripsi yang berjudul Strategi Rumahtangga Nelayan dalam Mengatasi Kemiskinan (Studi Kasus Nelayan Desa Limbangan, 38
Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada analisis kesetaraan jender masih adanya ketimpangan jender yang mewarnai pola kerja masyarakat nelayan setempat yakni adanya beban kerja, dimana istri memiliki peran ganda yaitu sebagai penanggung jawab dalam urusan rumah tangga dan juga membantu suami sebagai pencari nafkah. Persepsi jender yang paling banyak dianut oleh suami dan istri dalam keluarga nelayan pada masyarakat tersebut adalah istri dan suami menyadari bahwa perbedaan jenis kelamin tidak harus dipertentangkan dalam menghidupi keluarga, tetapi justru bersifat saling mendukung dan melengkapi. Metode yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan oleh Abdul Mugni tersebut adalah metode survey yang bersifat deskriptif. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah pada fokus kajiannya, dalam penelitian sebelumnya memfokuskan pada pandangan atau persepsi jender mengenai pengelolaan rumahtangga nelayan yang melibatkan seorang istri. Sedangkan dalam penelitian peneliti, lebih menfokuskan bagaimana kehidupan keluarga nelayan tradisional serta bagaimana caracara mempertahankan hidup keluarga nelayan tradisional di Desa Perupuk Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batu Bara dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. 39