BAB II LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II II.1 LANDASAN TEORI

DAFTAR ISI. Latar Belakang Masalah... I.1. Rumusan Masalah... I.2. Maksud dan Tujuan Penelitian... I.2. Batasan Masalah... I.2

BAB II LANDASAN TEORI. Kotler (1999) adalah serangkaian organisasi yang saling tergantung dan terlibat

STUDI PERBANDINGAN ALGORITMA CHEAPEST INSERTION HEURISTIC DAN ANT COLONY SYSTEM DALAM PEMECAHAN TRAVELLING SALESMAN PROBLEM

Pertemuan 14 HIERARCHICAL CLUSTERING METHODS

JURNAL IT STMIK HANDAYANI

Matematika dan Statistika

PENYELESAIAN TRAVELLING SALESMAN PROBLEM MENGGUNAKAN METODE SIMPLE HILL CLIMBING

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KATA PENGANTAR. Jurnal Ilmiah Teknik Industri dan Informasi -- 1

BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Kajian Penelitian Sebelumnya

PENYELESAIAN ASYMMETRIC TRAVELLING SALESMAN PROBLEM DENGAN ALGORITMA HUNGARIAN DAN ALGORITMA CHEAPEST INSERTION HEURISTIC.

BAB II LANDASAN TEORI

DSS untuk Menganalisis ph Kesuburan Tanah Menggunakan Metode Single Linkage

LANDASAN TEORI. Bab Konsep Dasar Graf. Definisi Graf

Penyelesaian Traveling Salesperson Problem dengan Menggunakan Algoritma Semut

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

IMPLEMENTASI HIERARCHICAL CLUSTERING DAN BRANCH AND BOUND PADA SIMULASI PENDISTRIBUSIAN PAKET POS

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

TARGET BERORIENTASI METODE CABANG DAN BATAS UNTUK OPTIMISASI GLOBAL

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

PENYELESAIAN TRAVELING SALESMAN PROBLEM (TSP) MENGGUNAKAN ALGORITMA RECURSIVE BEST FIRST SEARCH (RBFS)

BAB I PENDAHULUAN. Alat transportasi merupakan salah satu faktor yang mendukung berjalannya

Graf. Bekerjasama dengan. Rinaldi Munir

ALGORITMA OPTIMASI UNTUK PENYELESAIAN TRAVELLING SALESMAN PROBLEM (Optimization Algorithm for Solving Travelling Salesman Problem)

LABORATORIUM DATA MINING JURUSAN TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA. Modul II CLUSTERING

Design and Analysis of Algorithm

Penerapan Algoritma Branch and Bound pada Perancangan Jalur Bandros

Design and Analysis of Algorithms CNH2G3- Week 7 Brute Force Algorithm Part 2: Exhaustive Search

Penggunaan Metode Branch And Bound With Search Tree

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENENTUAN RUTE OPTIMAL PADA KEGIATAN PENJEMPUTAN PENUMPANG TRAVEL MENGGUNAKAN ANT COLONY SYSTEM

DATA MINING DAN WAREHOUSE A N D R I

BAB 2 LANDASAN TEORI. Definisi Graf G didefinisikan sebagai pasangan himpunan (V, E), yang dalam hal ini:

Matematika Diskret (Graf II) Instruktur : Ferry Wahyu Wibowo, S.Si., M.Cs.

Pemanfaatan Algoritma Hybrid Ant Colony Optimization dalam Menyelesaikan Permasalahan Capacitated Minimum Spanning Tree. Tamam Asrori ( )

ANALISIS CLUSTER PADA DOKUMEN TEKS

MateMatika Diskrit Aplikasi TI. Sirait, MT 1

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Graf Definisi 1 (Graf, Graf Berarah dan Graf Takberarah) 2.2 Linear Programming

Jurnal Ilmiah Mustek Anim Ha Vol.1 No. 2, Agustus 2012 ISSN

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat menyelesaikan masalah maka perlu dirumuskan terlebih dahulu langkahlangkah

1.4. Batasan Masalah Batasan-batasan masalah dalam pembuatan tugas akhir ini adalah sebagai berikut :

ANALISA ALGORITMA GENETIKA DALAM TRAVELLING SALESMAN PROBLEM SIMETRI. Lindawati Syam M.P.Siallagan 1 S.Novani 2

PERBANDINGAN KINERJA ALGORITMA GENETIK DAN ALGORITMA BRANCH AND BOUND PADA TRAVELLING SALESMAN PROBLEM

Pendekatan Algoritma Divide and Conquer pada Hierarchical Clustering

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Permasalahan

Penggabungan Algoritma Brute Force dan Backtracking dalam Travelling Thief Problem

Penyelesaian Traveling Salesman Problem dengan Algoritma Heuristik

PENGENALAN OBJEK PADA CITRA DIGITAL MENGGUNAKAN ALGORITMA HIERARCHICAL ALGOMERATIVE CLUSSTERING

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERANCANGAN DAN SIMULASI PENCARIAN JALUR TERAMAN PADA PERUTEAN KENDARAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ALGORITMA FLEURYUNTUK MENYELESAIKAN PERMASALAHAN TSP (Traveling Salesman Problem)

BAB III ALGORITMA BRANCH AND BOUND. Algoritma Branch and Bound merupakan metode pencarian di dalam ruang

BAB I PENDAHULUAN. Analisis statistik multivariat adalah metode statistik di mana masalah yang

Algoritma Brute Force (lanjutan)

PENYELESAIAN TRAVELLING SALESMAN PROBLEM DENGAN METODE TABU SEARCH

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Penyelesaian Masalah Symmetric Traveling Salesman Problem Dengan Jaringan Saraf Continuous Hopfield Net

PANDUAN APLIKASI TSP-VRP

BAB I PENDAHULUAN. Traveling Salesman Problem (TSP) dikenal sebagai salah satu masalah

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Penerapan Algoritma Branch and Bound dalam Pemacahan Travelling Salesman Problem (TSP) dalam Graf Lengkap

BAB II LANDASAN TEORI

APLIKASI TRAVELLING SALESMAN PROBLEM DENGAN METODE ARTIFICIAL BEE COLONY

BAB 2 OPTIMISASI KOMBINATORIAL

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengiriman barang dari pabrik ke agen atau pelanggan, yang tersebar di berbagai

Graf. Matematika Diskrit. Materi ke-5

VEHICLE ROUTING PROBLEM UNTUK DISTRIBUSI BARANG MENGGUNAKAN ALGORITMA SEMUT

PENGARUH NILAI PARAMETER TERHADAP SOLUSI HEURISTIK PADA MODEL VTPTW

BAB 1 PENDAHULUAN. tempat tujuan berikutnya dari sebuah kendaraan pengangkut baik pengiriman melalui

UKDW BAB I PENDAHULUAN

PERBANDINGAN KOMPLEKSITAS PENERAPAN ALGORITMA GREEDY UNTUK BEBERAPA MASALAH

Penyelesaian Sum of Subset Problem dengan Dynamic Programming

Algoritma Brute Force (lanjutan)

ANALISIS CLUSTER PADA DOKUMEN TEKS

BAB II LANDASAN TEORI

Analisis Beberapa Algoritma dalam Menyelesaikan Pencarian Jalan Terpendek

PERBANDINGAN ALGORITMA GREEDY, ALGORITMA CHEAPEST INSERTION HEURISTICS DAN DYNAMIC PROGRAMMING DALAM PENYELESAIAN TRAVELLING SALESMAN PROBLEM

ANALISIS KLASTERING LIRIK LAGU INDONESIA

PENERAPAN ALGORITMA BRANCH AND BOUND DALAM MENENTUKAN RUTE TERPENDEK UNTUK PERJALANAN ANTARKOTA DI JAWA BARAT

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pada bab kajian pustaka berikut ini akan dibahas beberapa materi yang meliputi

Pengelompokan Data dengan Metode...(Luh Joni Erawati Dewi)

Pengenalan Pola. Hierarchical Clustering

BAB II LANDASAN TEORI

Penerapan Travelling Salesman Problem dalam Penentuan Rute Pesawat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Branch and Bound untuk Rute Terpendek Tur Pengenalan Labtek V Gedung Benny Subianto Chita Najmi Nabila /

Design and Analysis Algorithm. Ahmad Afif Supianto, S.Si., M.Kom. Pertemuan 05

BAB II KAJIAN TEORI. linier, varian dan simpangan baku, standarisasi data, koefisien korelasi, matriks

BAB 2 LANDASAN TEORI

STUDI KOMPARATIF PENERAPAN METODE HIERARCHICAL, K-MEANS DAN SELF ORGANIZING MAPS (SOM) CLUSTERING PADA BASIS DATA. Abstract

ALGORITMA GREEDY : MINIMUM SPANNING TREE. Perbandingan Kruskal dan Prim

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Traveling Salesmen Problem (TSP) Travelling Salesman Problem (TSP) merupakan sebuah permasalahan optimasi yang dapat diterapkan pada berbagai kegiatan seperti routing. Masalah optimasi TSP terkenal dan telah menjadi standar untuk mencoba algoritma yang komputational. Pokok permasalahan dari TSP adalah seorang salesman harus mengunjungi sejumlah kota yang diketahui jaraknya satu dengan yang lainnya. Semua kota yang ada harus dikunjungi oleh salesman tersebut dan kota tersebut hanya boleh dikunjungi tepat satu kali. Permasalahannya adalah bagaimana salesman tersebut dapat mengatur rute perjalanannya sehingga jarak yang ditempuhnya merupakan rute yang optimum yaitu jarak minimum terbaik. (Larranaga et.al 1999). Masalah Travelling Salesman problem (TSP) adalah salah satu contoh yang paling banyak dipelajari dalam combinatorial optimization. Masalah ini mudah untuk ditanyakan tetapi sangat sulit untuk diselesaikan. TSP termasuk kelas NP-Hard problem dan tidak dapat diselesaikan secara optimal dalam Polynomial computation dengan algoritma eksak. Bila diselesaikan secara eksak waktu komputasi yang diperlukan akan meningkat secara eksponensial seiring bertambah besarnya masalah. TSP dapat dinyatakan sebagai permasalahan dalam mencari jarak minimal sebuah tour tertutup terhadap sejumlah n kota dimana kota-kota yang ada hanya dikunjungi sekali. TSP di presentasikan dengan menggunakan sebuah graf lengkap dan berbobot G = (V. E) dengan V himpunan vertek yang mempresentasikan himpunan titik-titik, dan E adalah himpunan dari edge. Setiap edge (r, s) E adalah nilai (jarak) d rs yang merupakan jarak dari kota r ke kota s, dengan (r, s) V. Dalam TSP simetrik (jarak dari kota r ke titik s sama dengan jarak dari titik s ke titik r), d rs = d rs untuk semua edge (r, s) E. Misalkan II.1

II.2 terdapat n buah titik maka graf tersebut memiliki n! n 2 2! buah egde, sesuai dengan rumus kombinasi, dan juga memiliki n 1! buah tour yang mungkin. Dalam sebuah graf, TSP digambarkan seperti gambar di bawah ini: 2 A 5 B 2 3 3 E 4 6 5 2 D 2 Gambar 2.1 Ilustrasi masalah TSP C Berikut adalah contoh kasus TSP: Diberikan sejumlah kota dan jarak antar kota. Tentukan sirkuit terpendek yang harus dilalui oleh seorang pedagang itu berangkat dari sebuah kota asal dan menyinggahi setiap kota tepat satu kali dan kembali lagi ke kota asal keberangkatan. Apabila kita mengubah contoh kasus tersebut menjadi persoalan pada graf, maka dapat dilihat bahwa kasus tersebut adalah bagaimana menentuka sirkuit Hamilton yang memiliki bobot minimum pada graf tersebut. Seperti diketahui, bahwa untuk mencari jumlah sirkuit Hamilton di dalam graf lengkap dengan n vertek adalah: (n-1)!/2. A 12 B 10 5 9 8 D 15 C Gambar 2.2 Graf ABCD

II.3 Pada gambar diatas, graf memiliki 4 1! 2 = 3 sirkuit Hamilton, yaitu: L1 = (A, B, C, D, A) atau (A, B, C, D, A) => panjang = 10 + 12 + 8 + 15 = 45 L2 = (A, C, D, B, A) atau (A, B, D, C, A) => panjang = 12 + 5 + 9 + 15 = 41 L3 = (A, C, B, D, A) atau (A, D, B, C, A) => panjang = 10 + 5 + 9 + 8 = 32 A 12 12 B A B A B 5 9 10 8 10 8 5 9 D C D 15 15 C D C Gambar 2.3 Sirkuit Hamilton Pada gambar diatas terlihat jelas bahwa sirkuit Hamilton terpendek adalah L3 = (A, C, B, D, A) atau (A, D, B, C, A) => panjang = 10 + 5 + 9 + 8 = 32. Jika jumlah vertek n = 20 akan terdapat (19!)/2 sirkuit Hamilton atau sekitar 6 x 10 16 penyelesaian. Dalam kehidupan sehari-hari, kasus TSP ini dapat diaplikasikan untuk menyelesaikan kasus lain, diantaranya yaitu: 1. Tukang POS mengambil surat di kotak pos yang tersebar pada n buah lokasi di berbagai sudut kota. 2. Lengan robot mengencangkan n buah mur pada beberapa buah peralatan mesin dalam sebuah jalur perakitan. 3. Mobil pengangkut sampah mengambil sampah pada tempat-tempat pembuangan sampah yang berada pada n buah lokasi di berbagai sudut kota. 4. Petugas Bank melakukan pengisian uang pada sejumlah mesin ATM di n buah lokasi. 5. Dan lain sebagainya.

II.4 2.1.1 Convex Hull Convex Hull berperan penting dalam proses Travelling Salesman Problem tour (Vickers & Lee, 2003) dan (Rooij et al., 2003). Convex Hull merupakan persoalan klasik dalam geometri komputasional. Definisi dari convex hull adalah poligon yang disusun dari subset titik sedemikian sehingga tidak ada titik dari himpunan awal yang berada di luar poligon tersebut (semua titik berada di batas luar atau di dalam area yang dilingkupi oleh poligon tersebut). Suatu poligon dikatakan konveks jika digambarkan garis yang menghubungkan antar titik maka tidak ada garis yang memotong garis yang menjadi batas luar poligon. Algoritma 2.1 Convex Hull 1. memilih titik pertama 2. memilih titik berikutnya berdasarkan definisi : jika dibuat garis dengan titik sebelumnya maka seluruh titik lainnya tidak ada yang berada disebelah kiri jika titik tersebut sesuai maka dimasukan dalam daftar titik luar Algoritma tersebut menggunakan pendekatan exhaustive (brute-force). kompleksitas algoritma tersebut mendekati O(n 2 ). Algoritma tersebut dapat dioptimasi dengan membuat agar kumpulan titik-titik tersebut terurut secara lexicografis (urutkan dulu berdasarkan koordinat sumbu-x lalu untuk koordinat pada sumbu-x yang sama urutkan berdasarkan koordinat pada sumbu-y). Sifat keterurutan ini kemudian dimanfaatkan sehingga pada setiap fase tiap titik hanya dikunjungi satu kali (kompleksitas linier). Adapun fase-fase yang perlu dilalui terdiri dari dua fase yaitu batas bagian atas (upper boundary) dan batas bagian bawah (lower boundary). 2.1.2 Metode Heuristik Permasalahan penentuan rute biasanya merupakan permasalahan dimana penyelesaian dengan metode exact seringkali akan memakan waktu yang cukup

II.5 lama untuk menyelesaikannya. Karena sebab inilah banyak para ahli yang merancang penyelesaian suatu problem dengan menggunakan merode heuristik. Metode Heuristik adalah teknik yang dirancang untuk memecahkan masalah yang mengabaikan apakah solusi dapat dibuktikan benar, tapi yang biasanya menghasilkan solusi yang baik atau memecahkan masalah yang lebih sederhana yang mengandung atau memotong dengan pemecahan masalah yang lebih kompleks. Metode Heuristik ini bertujuan untuk mendapatkan performa komputasi atau penyederhanaan konseptual, berpotensi pada biaya keakuratan atau presisi. Metode heuristik ada dua jenis yakni metode heuristik sederhana dan metaheuristik. Metode heuristik contohnya adalah cheapest insertion, Priciest Insertion, Nearest insertion, Farthest Insertion, Nearest addition dan Clarke and Wright Saving Method. Pada penelitian ini hanya menggunakan metode cheapest insertion. Cheapest insertion adalah metode heuristik yang banyak digunakan untuk mencari jarak minimal antara dua titik dengan cara menyisipkan titik baru diantara kedua titik yang sudah ada sehingga terbentuk sudut atau jarak baru Berikut ini adalah tata urutan algoritma Cheapest Insertion : 1. Penelusuran dimulai dari sebuah titik pertama yang dihubungkan dengan sebuah titik terakhir. 2. Dibuat sebuah hubungan subtour antara 2 titik tersebut. Yang dimaksud subtour adalah perjalanan dari titik pertama dan berakhir di titik pertama, misal (1,3) (3,2) (2,1) seperti yang tergambar dalam gambar berikut ini : Gambar 2.4 Subtour

II.6 2. Ganti salah satu arah hubungan (arc) dari dua kota dengan kombinasi dua arc,yaitu arc (i,j) dengan arc (i,k) dan arc (k,j), dengan k diambil dari titik yang belum termasuk subtour dan dengan tambahan jarak terkecil. Jarak diperoleh dari penghitungan sebagai berikut : C ik + C kj - C ij C ik adalah jarak dari titik i ke titik k C kj adalah jarak dari titik k ke titik j C ij adalah jarak dari titik i ke titik k 3. Ulangi langkah 3 sampai semua titik masuk dalam subtour. 2.2 Hierarchical Clustering Clustering dengan pendekatan hirarki adalah mengelompokkan data yang mirip dalam hirarki yang sama dan yang tidak mirip di hirarki yang agak jauh. Ada dua metode yang sering diterapkan yaitu agglomerative hieararchical clustering dan divisive hierarchical clustering. Agglomerative melakukan proses clustering dari N cluster menjadi satu kesatuan cluster, dimana N adalah jumlah data, sedangkan divisive melakukan proses clustering yang sebaliknya yaitu dari satu cluster menjadi N cluster. Beberapa metode hierarchical clustering yang sering digunakan dibedakan menurut cara mereka untuk menghitung tingkat kemiripan. Ada yang menggunakan Single Linkage, Complete Linkage, Average Linkage, Average Group Linkage dan lain-lainnya. Seperti juga halnya dengan partition-based clustering, kita juga bisa memilih jenis jarak yang digunakan untuk menghitung tingkat kemiripan antar data. Salah satu cara untuk mempermudah pengembangan dendogram untuk hierarchical clustering ini adalah dengan membuat similarity matrix yang memuat tingkat kemiripan antar data yang dikelompokkan. Tingkat kemiripan bisa dihitung dengan berbagai macam cara seperti dengan Euclidean Distance Space. Berangkat dari similarity matrix ini, kita bisa memilih lingkage jenis mana yang akan digunakan untuk mengelompokkan data yang dianalisa.

II.7 Teknik hirarki klastering agglomerative bekerja dengan sederetan dari penggabungan yang berurutan atau sederetan dari pembagian yang berurutan dan berawal dari objek-objek individual. Jadi pada awalnya banyaknya klaster sama dengan banyaknya objek. Objek-objek yang paling mirip dikelompokkan, dan kelompok-kelompok awal ini digabungkan sesuai dengan kemiripannya. Sewaktu kemiripan berkurang, semua subkelompok digabungkan menjadi satu klaster tunggal. Hasil-hasil dari clustering dapat disajikan secara grafik dalam bentuk dendrogram atau diagram pohon. Cabang-cabang dalam pohon menyajikan klaster dan bergabung pada node yang posisinya sepanjang sumbu jarak (similaritas) menyatakan tingkat di mana penggabungan terjadi. Gambar 2.5 Dendrogram Langkah-langkah dalam algoritma clustering hirarki agglomerative untuk mengelompokkan N objek (item/variabel): 1. Mulai dengan N cluster, setiap cluster mengandung entiti tunggal dan sebuah matriks simetrik dari jarak (similarities) D = {d ik } dengan tipe NxN. 2. Cari matriks jarak untuk pasangan cluster yang terdekat (paling mirip). Misalkan jarak antara cluster U dan V yang paling mirip adalah duv. 3. Gabungkan cluster U dan V. Label cluster yang baru dibentuk dengan (UV). Update entries pada matrik jarak dengan cara :

II.8 a. Hapus baris dan kolom yang bersesuaian dengan cluster U dan V b. Tambahkan baris dan kolom yang memberikan jarak-jarak antara cluster (UV) dan cluster-cluster yang tersisa. 4. Ulangi langkah 2 dan 3 sebanyak (N-1) kali. (Semua objek akan berada dalam cluster tunggal setelah algoritma berahir). Catat identitas dari cluster yang digabungkan dan tingkat-tingkat (jarak atau similaritas) di mana penggabungan terjadi. 2.2.1 Hierarchical Clustering Average Linkage Agerage Linkage adalah proses pengklasteran yang didasarkan pada jarak rata-rata antar objeknya. Prosedur ini hampir sama dengan Single Linkage maupun Complete Linkage, namun kriteria yang digunakan adalah rata-rata jarak seluruh individu dalam suatu klaster dengan jarak seluruh individu dalam klaster yang lain. Average Linkage memperlakukan jarak antara dua klaster sebagai jarak rata-rata antara semua pasangan item-item dimana satu anggota dari pasangan tersebut kepunyaan tiap klaster. Mulai dengan mencari matriks jarak D = {d ik } untuk memperoleh objek-objek paling dekat (paling mirip) misalnya U dan V. Objek-objek ini digabungkan untuk membentuk klaster (UV). Untuk langkah dari algoritma diatas jarak-jarak antara (UV) dan klaster W yang lain di tentukan oleh: d (UV)W = i d ik k N UV N W... (2.1) dimana d ik adalah jarak antara objek i dalam klaster (UV) dan objek k dalam klaster W dan N uv dan N w berturut-turut adalah banyaknya item-item dasar klaster (UV) dan W.

II.9 2.2.2 Hierarchical Clustering Single Linkage Input untuk algoritma Single Linkage bisa berujud jarak atau similarities antara pasangan-pasangan dari objek-objek. Kelompok-kelompok dibentuk dari entities individu dengan menggabungkan jarak paling pendek atau similarities (kemiripan) yang paling besar. Pada awalnya, kita harus menemukan jarak terpendek dalam D = {d ik } dan menggabungkan objek-objek yang bersesuaian misalnya, U dan V, untuk mendapatkan cluster (UV). Untuk langkah (3) dari algoritma di atas jarak-jarak antara (UV) dan cluster W yang lain dihitung dengan cara: d (UV )W = min{ d UW,d VW }......(2.2)